Laman

Kamis, 19 Januari 2012

Daftar Peserta Sinau Esai Sedina

1 Maulana Kurnia Putra
2 Arif Saifudin Yudistira
3 Saeful Achyar
4 Muhammad Milkhan
5 Priyadi
6 Nimas Dara Bertha Widyastri
7 Ganang Setiawan
8 Khiron Al-Ayyubi
9 Nanang Widi Atmoko
10 Febri Aryanti
11 Agus Iswadi
12 Arif Setiawan
13 Aji Wicaksono
14 Rusindriyawan
15 Miftakhul Abrori
16 M. Abdul Gofur
17 Ahmad Danuji
18 Femi Noviyanti
19 M. Zainal A. Sadjad
20 Mustaghfirin
21 Sukma Larastiti
22 Mia Wahyuningsari
23 Titis Efrindu
24 Anna Nur Khasanah
25 Abdul Qasim
26 Beyrul Anam
27 Wijayanto Puji
28 Maria Ulfa
29 Uun Nur Cahyanti
30 Umi Mustamidah
31 Ulfa Zumaroh
32 Rekso Triono Wibowo
33 Feri Jamaludin
34 Andi Zulkarnaen
35 Aswar
36 Muhammad Asra
37 Iin Sholihin
38 Andi Candra
39 Kezia
40 Ariyanto
41 Bonnie
42 Hapsari Kusumaningdyah
43 Adi Putra Purnama

Catatan:
1. Peserta membawa kliping 5 esai. Sumber boleh dari majalah atau koran. Boleh asli atau kopian.
2. Peserta meniatkan diri mengikuti acara dari pukul 8 pagi sampai 5 sore. Dilarang terlambat dan membolos.
3. Panitia menyediakan penginapan tidak mewah, mulai hari Sabtu dan Minggu.
4. Peserta minta doa restu dari orangtua, istri, suami, kekasih, Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, Pak Camat, dan siapa saja.
5. Peserta boleh membawa bekal atau oleh-oleh dari rumah untuk disantap bersama saat acara.
6. Panitia berjualan buku-buku baru dan bekas sehingga para peserta boleh membawa bekal uang belanja.
7. Peserta menjaga kondisi lahir dan batin agar tidak lungkrah alias waras selama mengikuti acara.
8. Informasi peta Bilik Literasi dan pelbagai hal bisa lekas ditanyakan pada panitia.
9. Peserta dianjurkan mengikuti acara Ngaji Kematian di Bilik Literasi, Sabtu, 21 Januari 2012, pukul 7 malam bersama Geger Riyanto, M Damm, M Fauzi Sukri, M Milkhan, Fanny Chotimah, Bandung Mawardi dan teman-teman.
10. Mau tambah catatan lagi?

Senin, 25 April 2011

PETAKA KELUARGA


Sartika Dian Nuraini 

Keluarga menunjukkan satu unit interaksi dan seluruh sistem dimana seluruh tatanan sosial bermuara. Dan, apabila kita bermuara pada titik yang memanifestasikan pembacaan kita terhadap keluarga masa kini, dengan analisa yang konkret dan tradisional, maka kita akan sadar bahwa sebuah keluarga adalah juga sebagai konstruksi ruang yang tak bisa lepas dari terbentuknya identitas kultur individu dan sosial. Sedangkan, bila kita membaca keluarga dengan kacamata yang dekonstruktif, maka risalah keluarga juga merupakan petaka, kematian, ketersenjangan, konflik, dan alienasi sejarah diri. Risalah keluarga adalah masalah religiositas.  


Kesadaran identitas dalam keluarga adalah sumber kebahagiaan. Tetapi, ketika keluarga diterpa embus angin kemodernan, momentum sebuah keluarga tak dapat dinikmati seutuh-utuhnya. Keluarga tradisional seringkali kebingungan ruang dan melupakan tabiat kekeluargaan. Bahkan, seperti yang telah ditulis oleh Berger dan Luckman (1991), serta Geertz (1973), keluarga akan mengalami perubahan sistem tatanan dan alienasi sebagai faktor dari pencarian makna dalam kelompok dan komunitasnya. Sehingga,  jika sistem dalam keluarga berubah, sistem dalam masyarakat pun akan berubah. Dan, perubahan-perubahan inilah yang disebut sebagai kematian (Geertz, 1973). 

Kuburan Keluarga 

Keluarga dalam risalah modernitas tentu akrab dengan kata kuburan yang tak pantas dikenang. Wujud asali keluarga dapat kemudian dianggap sebagai masa lalu karena telah terkubur. Jika keluarga dalam pengertian tradisional telah hilang, lalu apa sejatinya makna keluarga yang tereproduksi dalam realitas kita? Keluarga menjelma sebagai family labour: sebuah perayaan kapitalistik. Siapa pemimpin keluarganya? Kepala keluarga adalah sang pemilik modal yang dengan kekuasaan hampir tak terbatas mengatur sikap dan tindakan ideal yang harus dilakukan oleh anggota keluarganya yang lain. Anggota keluarga yang lain akan senantiasa menjalankan perintah karena sebelum itu telah terjadi tawar-menawar yang telah disepakati.

Keluarga yang ekonomistis mengajarkan untuk selalu membentuk jejaring yang kuat dan solidaritas yang kuat. Supaya perputaran perekonomian itu tidak berlari jauh dari kantongnya. Semua elemen keluarga harus membentuk sistem relasi yang kuat. Sederhananya, relasi itu terbentuk dari elemen-elemen state, market, dan society. Basis ideologi yang dibangun antar ketiga elemen inilah yang disebut keluarga kapitalistik. 

Irwan Abdullah (2006) mengidentifikasi keluarga sebagai lokasi konsumsi dan praktek sosial pasar. Program KB yang diselenggarakan pemerintah dapat menjadi contoh. Program KB melibatkan seluruh keluarga untuk menjadi pelaku serta objek pasar ideologi. Walaupun demikian, tetap ada pilihan-pilihan lain yang ditawarkan untuk keluarga dan negosiasi pun terus terjadi. Contoh lain adalah model pakaian yang disediakan pasar bisa menggempur dinding-dinding etika dan norma kesopanan yang ditanamkan oleh keluarga. 

Orang tua dalam keluarga kehilangan laku otoritatif. Dari waktu ke waktu, laku ini mengakibatkan melemahnya ritme kehidupan tradisional dan dehumanisasi.  Pasar yang bekerja dalam keluarga telah menghadirkan kebutuhan-kebutuhan simbolis yang mengarah pada pembentukan status dan pendefinisian identitas dalam keluarga, bahkan pembangkangan terhadap praktek-praktek tradisional. Praktik tradisional yang mulai lenyap itu tergempur habis oleh perkembangan teknologi yang mengintervensi keluarga. Foucault dalam “The Death of the Subject” telah mendefinisikan keluarga bahwa keluarga hilang seiring dengan kehadiran teknologi. Sebagai contoh, ada seorang istri yang sedang menjalani persalinan. Ketika itu suaminya tak dapat menghadiri persalinan itu. Handphone telah menggantikan keberadaan sang suami. Subjek seolah-olah ada tetapi tiada. Begitulah hal ikhwal tentang teknologi, menggantikan subjek dan sekaligus menyihir realitas kita. Konsep Tonnies mengidentifikasikannya sebagai Gemeinschaaft yang berarti membunuh substansi.  

Dekonstruksi Sosial Keluarga 

Fakta tentang perubahan masyarakat dan implikasinya terhadap keluarga telah menjadi bagian dari persoalan jangka panjang. Pemerintah mendefinisikan keluarga melalui konsep NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) dan konsep prasejahtera. Di situ terbaca bagaimana konstruksi keluarga era pembangunanisme ala Orde Baru yang dilandasi kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Pemerintah punya kuasa atas keluarga dalam mengatur jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan alat kontrasepsi yang dipakai. 


Ritme yang begitu cepat atas arus modernisasi dan tekanan tatanan masyarakat yang begitu kompleks membuat keluarga kehilangan laku otoritatif dalam menjalankan tugas konvensionalnya. Anggotanya tercabik satu persatu dalam arus modernitas sampai pada akhirnya mengalami kematian yang tragis. Kita perlu merancang dan mengenali keluarga dan tak segera mematikan diri dalam arus dan buai modernitas. Tidak perlu menghadirkan dewa penolong bagi keluarga kita, ketika kesadaran akan keluarga telah mengurapi pikiran kita, maka kitalah sejatinya dewa penolong itu. []

Memikir Ulang Mitos Keperawanan

Sartika Dian Nuraini

Operasi hymenoplasty (pemulihan selaput dara) di beberapa negara besar seperti Jepang dan Amerika adalah bukti kuat bahwa keperawanan bagi para perempuan modern masih sangat penting. Operasi semacam itu berawal pada tahun yang sama saat feminisme berkembang di Barat, yaitu tahun 1960-an. Entah demi harga diri, ataukah demi mentalitas pemenuhan ekspektasi kaum maskulin di sana, perempuan rela mengeluarkan uang yang banyak untuk mengembalikan selaput dara mereka. Di sini dapat terbaca, ada ketimpangan gender yang membuat perempuan merasa penting mengembalikan lagi selaput daranya.


Di Mesir, keperawanan sangat sakral di mata perempuan. Robeknya selaput dara benar-benar menjadi tolok ukur harga diri wanita Arab. Sehingga tak heran, jika banyak mempelai wanita yang diceraikan setelah malam pertama. Yang lebih menyedihkan lagi, perempuan yang diceraikan karena tak perawan juga harus mengembalikan seluruh mahar bagi mempelai pria. Tradisi seperti ini juga berlaku di Tunisia dan Syria. Perempuan mengemban tugas berat menjaga keperawanannya sebagai bentuk kesadaran religiositas dan etika. Harga keperawanan bagi mereka adalah setara dengan nyawanya. Ketika perempuan sudah tak perawan lagi, bukan hanya cemoohan yang harus dia tanggung, tetapi lebih tragis lagi, nasibnya bisa saja berujung kematian di tangan keluarganya sendiri dengan dalih untuk membuang malu dan memulihkan kehormatan keluarga.


Bangsa Yahudi bahkan memperlakukan perempuan sebagai properti. Pernikahan bagi bangsa Yahudi adalah proses jual beli. Mempelai perempuan dianggap sebagai harta milik lelaki yang dibeli dari ayahnya, sehingga suami seringkali dianggap majikan oleh istri. Dan, jika perempuan teridentifikasi tidak perawan lagi, perempuan akan diceraikan dan dibuang tanpa memperoleh harta kekayaan apapun dari pernikahannya.

Mitos atau realitas?


Keperawanan adalah sebuah mitos dan realitas yang mendunia. Siapa yang tak bicara masalah ini? Sebuah istilah sakral yang dibawa dan diperbincangkan oleh seluruh agama samawi. Tradisi Jawa, Madura, Minangkabau, Batak, adat orang Afrika, kebudayaan Barat yang sekuler, semuanya seolah memandang keperawanan sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Keperawanan diartikan sangat luas. Bahkan, istilah keperawanan terjebak dan rela diboncengi oleh ideologi global kapitalisme yang sengaja mencipta design untuk perempuan dan keperawanannya. Sebagaimana Naomi Wolf (2004) mengungkapkannya dalam Mitos Kecantikan, abad modern sengaja melahirkan mitos yang tidak rasional, klenik, dan mistis untuk mengkomodifikasi perempuan di ruang iklan dan dunia industri yang serba palsu dan fatamorgana.

Nama yang melegenda


Selama berabad- abad keperawanan ditamsilkan sebagai “Cherry Pie” atau pastel ceri. Seorang gadis dinilai kehilangan ceri apabila kehilangan selaput daranya. Buah ceri adalah simbol yang mengacu pada warna dan rasa. Manis dan menggoda. Ceri berasal dari bahasa latin ceresia, nama kuno dari sebuah kota bernama Cerasus, di Laut Mati, yang terkenal dengan pohon cerinya, buahnya berwarna merah agak gelap dan manis. Ini identifikasi pertama tentang selaput dara atau hymen.


Pada zaman Yunani Kuno, kata hymen pertama kali disebarluaskan untuk berbicara masalah perkawinan. Lalu sebuah puisi berjudul hymen dengan “h” kecil mulai mengidentifikasinya sebagai selaput tipis atau membran. Lewat orang Indo-Eropa, selaput ini disebut syumen yang berarti lapisan tipis. Simbolisme ceri dengan warna merah darah dan kulit tipis yang agak kuat, yang bila kulit itu pecah, bagian dalamnya yang lunak akan keluar beserta biji-bijinya. Zaman kuno memitoskan ceri mirip vagina. Hingga sekarang mitos itu masih diatributkan kepada para gadis.
Keperawanan juga disebut virgin dari bahasa latin “virgo” alias ranting muda atau cabang yang tidak berbentuk. Keperawanan dalam bahasa kita dan bahasa Arab adalah ketika seseorang belum disentuh atau belum berhubungan intim dengan orang lain. Hal ini sering dikaitkan dengan hymen. Jika hymen seorang perempuan pecah, maka ia sudah tak perawan lagi. Faktanya, secara medis hymen bisa pecah walau tanpa berhubungan intim.


Kodrat seksualitas perempuan mengacu pada cara tafsir tentang keperawanan. Maka, tafsir bias seringkali terjadi. Diartikulasikan dalam dimensi peradaban yang berbeda-beda. Ada sebuah kebudayaan yang menganggap seorang perempuan yang belum menikah tetaplah perawan meski dia seorang pelacur. Di bagian dunia lain, seorang perempuan menikah tak punya anak masih dianggap perawan karena keperawanan biasanya akan hilang setelah melahirkan anak pertama. Ada anggapan pula, jika perempuan tidak mengalami kesempurnaan virginitasnya sebelum diperawani oleh seorang walinya (Gugun dan Sitorus, 2009:4-5).

Keperawanan dan ketimpangan gender

Keperawanan menurut kaca mata orang Timur, lebih merupakan persoalan kultural. Hanya saja ada beberapa ketidakadilan gender bagi perempuan. Perempuan cenderung dipojokkan dan dituntut untuk menjaga keperawanannya, sementara lelaki tidak. Virginitas kemudian menjelma menjadi mitos yang disakralkan dan menghabisi harapan dan spiritualitas perempuan jika ia kehilangan keperawanannya.
Kita tahu, dalam kebudayaan kita yang menjunjung tinggi nilai moral, perempuan yang telah melakukan hubungan seks pra-nikah akan disebut aib bagi masyarakat. Semua orang mempersalahkan dan menciderai hati perempuan itu. Sedangkan bagi laki-laki, pelabelan ketidakperjakaan tak pernah diberlakukan dan dipertanyakan. Pola pikir inilah yang disebut terlalu patriarkhi. Konsekuensi kulturalnya bagi perempuan tentu saja akan menanggung malu dan menjadi rendah diri terhadap kaum laki-laki. Laki-laki pun akan menilai perempuan secara parsial saja. Menilai harga diri perempuan sebatas selaput daranya? Sungguh tragis!


Menakar perempuan seharga alat kelaminnya adalah pelecehan. Prasangka buruk dan mempertanyakan kesucian perempuan juga merupakan pelecehan. Kita perlu menilik pada hukum Qazf (menuduh zina dalam Islam) yang menafsirkan bahwa segala pandangan buruk, sikap dan perlakuan yang menghinakan dan menzalimi martabat perempuan adalah bukan hanya penyimpangan moral, tapi juga merupakan kejahatan. Ini berarti, konsep Qazf mendekonstruksi mitos keperawanan sehingga menyengat-menghentak kepekaan dan kesadaran kita untuk tak menghakimi perempuan agar ia jauh dari keterpurukan.[]

Bahasa dan Kuasa Global

Bahasa dan Kuasa Global
 

Sartika Dian Nuraini


Pujangga Amerika, Walt Whitman, pernah berkata, “Bahasa bukanlah bikinan abstrak para terpelajar atau para pembuat kamus, melainkan merupakan sesuatu yang timbul dari kerja, kebutuhan, ikatan, kegirangan, kemesraan, selera dari angkatan-angkatan umat manusia yang berurut-urutan, dan sumbernya yang luas dan rendah, dekat ke tanah.” Pernyataan politis ini mampu mengembalikan lagi jejak-jejak kebahasaan kita. Menyadarkan kembali identitas bahasa yang kita anut dengan proses perubahan yang evolusioner. Mestinya saat membaca pengukuhan atas kekuatan bahasa itu, kita menjadi lebih reflektif dan tak bingung menghadapi dunia global yang mengistimewakan bahasa internasional dan berbondong-bondong mencomot bahasa itu dalam keseharian kita.




Sekarang, peminggiran bahasa ibu diaktualisasikan oleh pemerintah dalam program dan paket pendidikan. Tak hanya itu, orang-orang terpelajar, ulama, biarawan, sarjana, leksitograf, dan para pendidik pada zaman modern terlibat aktif dalam penyebaran bahasa. Anak-anak yang berbicara dalam bahasa ibu kemudian diperkenalkan dengan bahasa yang benar-benar asing, yang tidak diajarkan oleh ibu. Pada titik perkenalan itu, diusahakan untuk memelihara sifat asing yang menyembulkan nafas barat di mulut pribumi.




Pada Abad Pertengahan, bahasa yang dianggap tinggi derajatnya disebarluaskan melalui gereja-gereja. Saat itu, bahasa Latin mendapat masa kejayaannya karena dipakai para biarawan untuk mengajar ilmu agama. Bahasa itu kemudian menyebar melalui kekejaman ilmu pengetahuan modern. Para sarjana didukung oleh pihak gereja untuk syiar bahasa. Bahasa menjelmakan bentuk-bentuk godaan ketika dilumuri oleh standar-standar dan klasifikasi bahasa yang tertentukan. Pemujaan terhadap bahasa tinggi mempunyai nilai eksperensial dalam hal representasi sebuah ras dari sebagian pengelompokan etnis (Mario Pei, 1971).




Nalar kolonialisme merupakan syarat utama kebahasaan yang populer. Bahasa sastra yang diakui di penghargaan Nobel Sastra menggunakan bahasa Inggris sebagai standar pengukuran sastra. Tragedi mutakhir dunia sastra tersebut terintrodusir dalam bahasa Inggris sebagai bahasa yang dikenal semua orang. Bahasa dimaknai sebagai kuasa global dan sebagai konsensus yang dimiliki setiap insan. Kelak otoritas bahasa yang dimiliki pengarang akan hancur, karena para pengarang sastra dipaksa oleh peralatan zaman menghilangkan kultur identitas mereka. Bahasa yang menjadi orangtua tempat para pengarang berdiam dan pulas oleh lagu-lagu pengantar tidurnya akan menghilang. Demi pertaruhan kreatif, pengarang menemui kesunyian historis sehingga tak ada lagi tempat bertaut.




Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan mengungkapkan bahwa dalam sejarah politik, jangkauan luar biasa imperialisme Barat terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 melalui pesona mahakarya-mahakarya besar tradisi Barat, Heart of Darkness karya Joseph Conrad, Mansfield Park karya Jane Austen, dan Aida karya Verdi. Dalam dunia pascakolonial sekarang ini, asumsi-asumsi yang memenuhi entitas yang tunggal dan murni dalam bahasa menjadi pernyataan kunci atas ajuan terhadap sanggahan yang bersifat imperium. Kekuasaan imperial dalam bahasa sebenarnya telah mengalami perlawanan dari pribumi yang terjajah. Pelacakan atas perlawanan kebahasaan yang imperialis dapat terbaca dari karya-karya Frans Fanon, C.L.R James, WB Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie.




Syarat bahasa agar menjadi bahasa dengan konsensus, yaitu mengikuti dan mempunyai nalar koloni. Jika bahasa itu tak dibekali politik kekuasaan, bahasa tak akan menjangkit ke mana-mana dan menjadi bahasa yang dianut oleh bangsa-bangsa lain. India menjadi negara penuh berkah karena pernah dijajah Inggris. Bahasa Inggris kemudian menempel sebagai bahasa yang dipakai kaum terpelajar di India. Stigmatisasi kemudian diberlakukan. Bahasa Inggris menjadi bahasa orang-orang terpelajar. India menjadi korban utama bahasa Inggris dengan nalar koloninya. Bahasa Inggris diproduksi dan dijadikan bahasa yang menggantikan bahasa ibu.


Arogansi


Bangsa Norman dari Perancis pada Abad Pertengahan melakukan penyerangan terhadap kerajaan di Inggris. Inggris kalah. Inggris kemudian dijajah bangsa Perancis. Tetapi, kearoganan bahasa sudah ditampakkan oleh bangsa pendatang. Elite Perancis tak sudi menggunakan Anglo-Saxon karena mereka merasa ras mereka lebih tinggi dari bangsa yang menghuni Inggris terlebih dahulu. Bahasa yang digunakan di Inggris selama berabad-abad lamanya adalah Anglo-Saxon. Saat itu bangsa Danes (Jerman) mengalami kekalahan pertempuran. Penyerangan yang dilakukan untuk menggempur jajahan Jerman tersebut ditujukan untuk mengatur dan merombak kebudayaan yang ada di Inggris. Saat Jerman bertekuk lutut dengan Perancis itu, Inggris mengalami kebingungan bahasa. Rakyat memakai bahasa daerah mereka, dan pemerintah, yang saat itu diduduki oleh oleh bangsa Norman menggunakan bahasa asli mereka (Perancis).
Selama berabad-abad lamanya, kaum elitis di Inggris menggunakan bahasa Perancis dan rakyat jelata berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Anglo-Saxon. Lalu, kaum elitis yang menjajah tanah Inggris memaksa rakyat untuk belajar bahasa mereka.
Pada perempat awal abad ke-19, saat pendidikan tinggi dimonopoli Church of England hanya ada dua universitas di Inggris, yaitu Oxford dan Cambridge. Keduanya menerima mahasiswa sakramen Anglikan dan beribadah di kapel perguruan tinggi. Orang-orang Katolik dan Yahudi dilarang mengikuti perkuliahan. Pada saat yang sama, terobosan baru terjadi di London bersamaan dengan berdirinya University College. Sejak tahun 1828, universitas itulah yang pertama kali mengajarkan bahasa Inggris pada mahasiswanya. Tetapi, yang dipelajari utamanya adalah bahasa Inggrisnya saja, dan kesusastraan hanya digunakan sebagai sumber contoh linguistik. Sastra Inggris baru diajarkan pertama kalinya di King’s College, London University mulai tahun 1831 (Peter Barry, 2010).




Dari sini, pemaknaan bahasa Inggris lebih dilihat dari sebagai semacam pengganti bagi agama. Pelajaran bahasa Inggris akan melibatkan banyak orang untuk mempertahankan status quo politik tanpa harus diadakannya distribusi ulang kekayaan bahasa tradisional. Bahasa Inggris terus berkembang dengan adanya pembakuan dan standarisasi. Menjadi agitator yang berdimensi politis dan berbau imperial yang gigantik. Perlawanan atas hukuman terhadap identitas diri dan hujatan kefakiran pemilik bahasa ibu. Arogansi bahasa Inggris memunculkan ironi atas hinaan terhadap kita dan budaya.[]

Manusia Hiburan

Manusia Hiburan
Sartika Dian Nuraini
(Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo dan Pengajian Malem Senin)
Manusia merayakan bentuk-bentuk represif dengan gencar menikmati hiburan. Hiburan dibidik dalam momen penting yang sakral dan manusiawi. Periodisasi hiburan manusia dimulai sejak bayi. Para ibu menyanyikan kidung-kidung mesra untuk bayinya sebelum tidur. Hiburan diperoleh untuk memberdayakan diri dalam suka cita dan kesedihan. Maka, estetika hidup yang diperoleh dari hiburan bersifat habitual, intuitif, dan verbal. Hiburan menjelmakan diri dengan hal-hal yang bersifat mitos, aporistik, dan ritual.


Hiburan menjadi sarana edukatif yang membentuk kepribadian, sebagai kesenangan dan gaya hidup. Sebagian besar kita perlu hiburan agar bisa menyentuh intimitas dan politik massa. Hiburan menjadi komoditas karena menjamin dan menopang populisme uang dan martabat yang diperoleh dari rapuhnya dinding-dinding individualisme. Di lingkaran ini, individu dan massa terseret dalam arus yang memabukkan.
Manusia siap menjadi mata yang membidik arena tontonan yang menggembirakan. Di sela-sela itu semua, hedonisme yang kian parau membantu pedagang hiburan meringkuk dalam puncak dominasi kehidupan populer. Pelaku hiburan tentu memerlukan modal yang tak sedikit berupa uang, waktu, kekuasaan, ruang, publik, dan pamrih kepentingan kolektif.


Hiburan menjadi ritual kebanggaan dan puja-puji materialistik. Manusia borjuis menjadi sosok filogenetis yang akrab dengan pamer-diri, tantangan, kepura-puraan, pertunjukan, dan pertandingan (kontestasi). Dalam epos Inggris kuno, seorang raja Denmark pernah mendatangkan Beowulf untuk menghiburnya dengan cerita-cerita kepahlawanannya pada masa lalu. Raja menganut kesombongan dan keagungan dirinya dengan acara seremonial itu, sebagai pertaruhan atas martabat dan pertarungan yang eksistensialis.


Ekspektasi hiburan harus memenuhi syarat imagologi massa. Ada kecenderungan manusia menentukan ciri dan ragam hiburan yang sesuai dengan kondisi batinnya. Dalam humor misalnya, beberapa puluh tahun terakhir, manusia lebih toleran dan menerima guyonan yang sifatnya seksual, tetapi sangat tak toleran dengan guyonan yang sifatnya etnis.
Budaya tumbuh subur dan meranggas dengan akar kuat bernama hiburan. Hannah Arendt secara lugas berterus terang bahwa masyarakat massa bukan menginginkan kebudayaan, tetapi hiburan. Lalu, disajikan sebagai industri hiburan yang memang dikonsumsi masyarakat seperti barang-barang konsumsi pada umumnya. Kebudayaan massa menurut konsepsi Barat ini menjelma hal-hal yang sifatnya komersial, menghibur, populer. Artinya, merupakan paket, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara demokratis. Hiburan menjadi ujung tombak berdirinya kebudayaan.


Dalam budaya Jawa pada masa kolonial, golongan pedagang Cina kurang mendapat penghargaan dalam status sosialnya karena kurang menunjukkan kekayaan mereka. Seperti yang dilakukan oleh kaum pejabat dan birokrasi tradisional kekaisaran yang selalu melegitimasi kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dengan mengadakan hiburan berupa sayembara dan pesta pora kekayaan. Para pejabat kolonial modern pun dalam memperoleh hiburannya harus bergantung dengan para aristokrat tradisional Jawa dan pengusaha Cina (Ong Hok Ham, 1997).


Penghiburan dinikmati sebagai ritual untuk membunuh waktu dan ruang. Proyek dan pesona politik ekonomi kebudayaan global menyuguhi kita ruang-ruang baru yang sifatnya pribadi dan begitu khusus. Penghiburan dijalani sebagai selebrasi dan ritual yang mendewasakan, mengerdilkan, dan simbol solidaritas. Hasrat untuk menikmati hiburan dialami sebagai bentuk ekstase dan gila yang eksistensialis.
Penghiburan jaman sekarang ditafsirkan sebagai rekaan budaya yang postmodern. Komponen budaya populer ditempuhi dan diimani sebagai bentuk kemajuan rasionalitas dan modernitas Barat. Hiburan tak menjadi remeh-temeh ketika difungsikan sebagai pelipur lara dan nestapa. Hiburan menjamin kebahagiaan tatkala belenggu modernitas merasuki ruang-ruang individu yang melupa identitas dan biografi diri.
Pentingnya citra atau imaji dalam ranah hiburan menunjukkan mahalnya ongkos gaya hidup mutakhir. Hiburan dihadirkan manusia sebagai sarana popularisasi gaya hidup, menampakkan lagi sisi remaja, dan sebagai komunikasi massa. Ideologi yang masuk melalui ranah hiburan dengan elegan menjadi ritual yang membentuk jati diri perkotaan.


Risiko kolektif yang ditanggung para pemuja hiburan mengalami hampa spiritualitas. Tak bisa disangkal, bila manusia yang berhubungan dengan hiburan membentangkan pembangkrutan reflektifitas. Wilayah hiburan akan menampakkan perubahan social ekonomi dan kemudahan berkenalan dengan penampilan gaya hidup modern. Pendekatan moralis rezim Orde Baru yang susah mengakui keberadaan pembedaan kelas sosial di Indonesia, menyuburkan larisnya produk penghiburan massal. Gaya hidup modern seperti gaya dugem misalnya, pameran sensualitas seksual dan penghiburan sejenis itu sudah secara terang-terangan dipanggungkan.


Daya reflektifitas kaum muda di dunia gemerlap ini seolah teledor dan di ambang kebangkrutan. Puing-puing spiritualitas terbang bersama kenikmatan duniawi. Kita seringkali berbohong untuk menafikan diri dari gelimang kemewahan yang ditawarkan oleh rezim kapitalistik. Namun, krisis daya reflektif ini hendaknya dapat mensenjatai genderang perubahan, mengacu pada keterpisahan diri dari ekstasi dan kooptasi atas hiburan terhadap diri kita. Sehingga, kita tak menghambakan diri pada kesenangan-kesenangan saja. []

Doa Tak Paripurna

Doa Tak Paripurna
Sartika Dian Nuraini

Ibarat seorang pemahat, doa diukirkan pada kayu-kayu pengharapan dan impian. Saat itu pula, doa diartikan sebagai cercapan untuk menjalani masa depan. Kumpulan doa menangkap gelombang Ilahiah. Doa diucapkan karena impian dan perasaan reflektif. Pengharapan bisa berwujud eksploitatif pada Tuhan dan kehadiran usaha. Dalam doa, manusia meminta dan mengemis. Doa adalah dewa penolong bagi gelisah dan resah menerba kehidupan. Doa memancarkan cahaya penerang bagi balada sendu kehidupan insan.
Doa mewujud dalam kata-kata. Kata yang melantun menjadi doa dapat mengilhami kemslahahatan pikiran dan pencapaian di masa lalu. Doa bukanlah bentuk mutakhir dari ambisi dan kriteria cita-cita. Doa menjadi sandaran tatkala hati sedang gundah gulana, sedih dan bersedu sedan. Sebuah hajat hidup yang didalamnya terkandung ekspresi syukur dan pertaruhan atas keluhan-keluhan yang baik dan buruk. Prasangka terhadap Tuhan, rajukan, dan harapanlah yang membuat doa itu terhidupi sebagai jaminan kebahagiaan. Doa cenderung mengisahkan kelemahan diri, ketidak-mampuan, dan keterbatasan manusia sebagai makhluk eksistensial.
Manusia menyemai doa sejak nafasnya mengalun lembut dan jantungnya masih mau berdetak. Doa bagai air segar bagi manusia yang haus berkah dan spiritualitas. Dalam sebuah syair yang merupakan potret dirinya yang paling menawan, Mawlana Rumi pernah berkata, “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa –setiap orang yang melihatku meminta doa dariku”. Doa yang diucapkan mempunyai kekuatan realisasi: karena datang dari Tuhan. Pada awalnya ia menjadi sumber semua aktivitas. Tetapi semua jawaban atas doa juga mempunyai kekuatan yang besar. Bangsa kuno dan bangsa modern mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan. Mengucapkan kata bisa menyembuhkan sekaligus menyakiti.
Doa menjelma sebagai pahala spiritual. Ia adalah rahmat tiada tara nilainya. Dalam Fihi Ma Fihi karya Jalaludin Rumi dikisahkan seseorang pernah bertanya padanya, “Adakah cara yang lebih dekat dengan Allah daripada berdoa?” Rumi menjawabnya bahwa ada dua bentuk doa, yaitu luar dan dalam. Bentuk luar dari doa adalah tubuh doa, karena ia memiliki awal dan akhir. Semua kata dan suara memiliki awal dan akhir. Tetapi jiwa ruhaniah doa tidak terkondisi dan tak terbatas. Jiwa tidak memiliki awal maupun akhir. Jiwa manusia itulah yang dihidupi oleh doa. Jiwa yang mendoa bukanlah kata-kata dan bentukan luar itu, melainkan kekhidmatan jiwa bersama Tuhan tanpa batasan ruang dan waktu.
Doa dianulir sebagai aspirasi spiritual dan kepasrahan. Tradisi sufistik merupakan babak penting kisah doa yang sakral. Pendirian moderat dalam tradisi ini merenungkan doa sebagai hal yang menyatu dan manunggal terhadap tubuh. Kunci memahami doa membuka sejarah kembalinya diri pada hal yang kosmik dan mistik. Doa adalah bentukan canggih dan ciri khas iman yang mendalam. Doa dapat diartikan sebagai pembicaraan yang akrab, atau munajat antara manusia dan Tuhan, sebagai pertukaran kata cinta yang menghibur hati duka, meski tidak langsung dijawab. Meminjam istilah Rumi, ia adalah “bahasa kerinduan akan kekasih”.
Bukti bahwa doa berkelindan dalam cinta kasih tersyairkan juga dalam The Heart Of God oleh Rabindranath Tagore. Catatan tentang doa sempat mengantarkannya menjadi salah satu penyair pertama di Asia yang meraih hadiah nobel sastra tahun 1913. Pengaruh doa dalam hidup yang penuh sahaja ini ampuh untuk menyadarkan manusia modern dalam pertalian hati kembali kepada Tuhan.Berikut doa yang ditulisnya, Berilah aku keberanian cinta yang paling agung, inilah doaku –keberanian untuk berbicara, untuk melakukan, untuk menderita atas kehendak-Mu, untuk meninggalkan segala benda atau untuk tertinggal sendirian. Kuatkan aku menahan bahaya, berkahi aku dengan beribu luka, dan bantulah aku mendaki tebing kesukaran yang berkorban setiap hari untuk-Mu.
Kalangan mistik dan sufisme dalam Islam sering diungkapkan dalam bahasa klasik, lex orandi lex credendi. Mereka berpandangan bahwa doa itulah yang terpenting dari segala keyakinan. Al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘ulum ‘ad-din menerangkan tentang doa bebas dalam suatu bab yang panjang. Ia merumuskan atas bantahan bahwa doa tidak sesuai dengan gagasan takdir. Takdir mencakup kemungkinan menolak kejahatan dengan doa. Ia mengibaratkan antara doa dan takdir selayaknya perisai menolak anak panah yang pada saat bersamaan saling melakukan perlawanan. Ia juga menungkapkan kembali gagasan Yahya Ibn Muad tiga abad sebelumnya: “Bila nasib menyerangku dengan kemalangan, aku menyambutnya dengan serangan doa.” Yahyapun mengumandangkan doa dan karunia yang selalu berakhir dengan keyakinan penuh harap akan pengampunan dan pertolongan Tuhan.
Kita bangkit melalui jalan keyakinan. Manusia memenuhi ritual berdoa setiap hari karena dengan itu manusia mengalami keyakinan cinta yang paling agung. Keyakinan yang menjadi milik kehidupan dan kematian. Kemenangan dalam kekalahan, kekuatan tersembunyi dalam keindahan yang terapuh, kehormatan diri dalam luka yang menerima sara namun merasa hina untuk melakukannya. Inilah doa yang takkan pernah paripurna.[]