Laman

Rabu, 25 Agustus 2010

KITA, RUMAH, DAN SEJARAH DIRI

Oleh Fanny Chotimah

Manusia membuat rumah seperti burung membuat sarang? Adanya kebutuhan untuk merasa terlindungi dari dunia di luar rumah yang liar, menyebabkan manusia sadar rumah, melebihi fungsi sarang. Manusia menciptakan dunia baru dengan nalar dan imajinasi, yaitu “dunia rumah.”, di mana dia bisa berlaku seperti tuan. Aktivitas membangun dan merawat rumah diwujudkan dalam menata dan mengatur segala sesuatunya dalam rumah dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Bahkan tidak cukup dengan beranak pinak saja, manusia juga membawa hewan, tumbuhan, dan benda-benda untuk ikut serta ke dalam “dunia rumah.” Rumah adalah mosaik kehidupan manusia di antara makhluk dan benda-benda yang dapat ikut memberi makna keberadaan rumah.

Segala sesuatu yang di dalam dan di luar rumah, mencerminkan penghuni rumah. Tetapi saat ini, cerminan tersebut dapat kabur karena banyak orang hanya memasukkan apa saja dan membangun lalu meletakkan sesuatu di lingkungan rumah tanpa tahu arti dan fungsi. Kalau seperti ini rumah adalah gudang apa saja, juga mirip etalase, entah diniatkan untuk pamer atau menuruti keinginan konsumtif. Barangkali hal tersebut untuk estetisasi rumah, tetapi tidak sadar dengan tafsir dan makna rumah. Kebutuhan akan rumah berkembang menjadi sebuah kepemilikan yang harus disahkan negara melalui perangkat hukum yang bernama sertifikat kepemilikan. Rumah yang didirikan di atas tanah sendiri juga harus dikenai pajak. Rumah tidak bebas dari intervensi Negara. Kita menghuninya, tetapi negara ikut mengaturnya, karena memiliki kekuatan memaksa dan memberi hukuman. Tidak cukup sampai di situ, untuk dalih keamanan maka ada di antara kita membangun pagar tinggi dan kawat berduri seolah-olah keharusan. Rumah harus tampil menor dengan trend arsitektur terbaru. Rumah akhirnya menjadi cerminan pencapaian materi dan prestise sang pemilik yang akan menentukan tempat pemiliknya dalam strata sosial di masyarakat.

Pemaknaan

Dalam bahasa Inggris, ada dua kata yang merujuk pada rumah, yaitu home dan house. Menurut Mirriam Webster Dictionary, istilah ini lahir sebelum abad ke 12 dari middle English. House, rumah sebagai bangunan fisik dalam arti tempat tinggal. Sedangkan kata home memiliki pengertian lebih luas tak hanya berarti sebagai bangunan tempat tinggal. Rumah sebagai tempat di mana hatimu berada. Maksudnya, bukan hanya sebagai sebuah bangunan yang bisa melindungi kita secara lahir dari ancaman dunia luar, tetapi juga secara batiniah di mana kita merasakan kenyamanan dan penerimaan. Sehingga, kita bisa menemukan rumah di mana pun kita berada. Namun, realitasnya rumah yang kita tinggali saat ini hanya sebatas tempat untuk tidur, makan dan mandi sebagai sebuah bangunan tak berjiwa. Jika melihat kesibukan kaum pekerja di kota besar yang menghabiskan waktu seharian di kantor ditambah kemacetan di jalan. Pergi dari rumah sebelum terbit fajar pulang ke rumah pada waktu malam. Pemandangan matahari dan senja sangat langka bisa disaksikan di akhir pekan jika tak berkeliaran di mall. Rumah terus kehilangan fungsi dan makna. Rumah bisa jadi sama dengan terminal, pos ronda, toko, gudang, atau apa saja. Rumah kehilangan sakralitasnya, dan hanya dipandang sebagai tempat. Jiwa rumah hilang tergantikan tubuh rumah yang sering sakit-sakitan. Manusia modern semakin terasing di dalam rumahnya. Ironi, merasa terasing di dalam dunia yang dia ciptakan dan cita-citakan. Kontak dengan dunia luar semakin tak terhindarkan saat televisi hadir menjadi bagian dari keluarga.

Tubuh memang ada di dalam rumah, tetapi pikiran dan imajinasi melewati tembok dan pagar rumah. Makna hadir di rumah jadi pudar. Ironi ini dapat dicontohkan dengan potret keluarga Amerika dalam serial film kartun The Simpsons, di mana semua anggota keluarga berkumpul di depan televisi. Inilah potret nyata keluarga saat ini. Televisi dicitrakan sebagai perekat kebersamaan keluarga. Namun, kebersamaan yang hadir menjadi kehilangan arti. Televisi telah memaksa kita lupa rumah, padahal kita ada di dalam rumah itu secara fisik. Televisi malah berarti “rumah bersama” bagi para penonton meskipun beda tempat.

Akhirnya, kita selalu kesepian lalu ingin pergi meninggalkan rumah. Namun, saat kita sudah berada di luar rumah kita selalu mencari-cari rumah. Kita didera dilema yang membingungkan, bahkan membuat kita kehilangan orientasi hidup. Hal ini yang dimanfaatkan kaum kapitalis dengan membangun industri-industri yang menjanjikan kehadiran rumah yang dirindukan. Sebutlah kafe, restoran, hotel yang dibangun dengan konsep rumah atau bernuansa rumah, entah dengan sentuhan klasik maupun kontemporer. Kita harus mengeluarkan dana besar untuk membeli pengalaman seperti ada di dalam rumah, bukannya pengalaman sebenarnya saat di dalam rumah sendiri.

Sejarah Diri
Kita dapat menengok tokoh lelaki tua Carl Fedricksen dalam film animasi UP besutan Pixar yang meraih Oscar tahun ini. Kontraktor perumahan modern membujuk Fedrickson untuk menjual rumah yang telah dia huni puluhan tahun. Rumahnya menyimpan sejarah, dan dia merefleksikan bahwa Ellie (mendiang sang isteri) hidup di dalamnya. Karena merasa terancam dan ikatan batin yang kuat dengan rumah tersebut, secara tak sengaja dia menyerang seorang karyawan menggunakan tongkatnya, sehingga dia dituntut secara hukum. Putusan pengadilan pun harus diterima. Karena pertimbangan ketuaannya, dia harus tinggal di panti jompo. Secara kreatif, meski tidak logis, dia memasang banyak balon gas helium berwarna-warni, sehingga rumahnya bisa terbang (floating home) menuju sebuah mimpi masa kanak-kanak, yakni hidup di tebing dan air terjun yang indah di Paradise Fall, Amerika Selatan. Di sanalah rumahnya akan berpindah. Carl yang keras kepala dan penuh keyakinan mempertahankan rumahnya untuk tetap menjadi bagian dari hidupnya dengan berbagai cara, merupakan contoh kesadaran memiliki makna rumah.

Belajar dari film tersebut, bagi saya rumah merupakan tempat segala sesuatu bermula, sebuah tempat di mana cita-cita, harapan dan mimpi bermula. Rumah membuat kita berproses menjadi manusia. Rumah sebenarnya membuat kita jauh dari alienasi. Pengambilan jarak dan ekses modernitas selalu membujuk kita untuk kehilangan makna dan ingin pergi dari rumah. Kita patut belajar pada Carl dan Ellie, pasangan dalam film UP, yang tak kenal putus asa membangun dan mencita-citakan impian dan makna hidup dalam rumah. Artinya, rumah adalah sejarah diri tempat kita memulai dan mengakhiri. Rumah membuat kita menjadi manusia yang sadar dengan pusat dan orientasi kehidupan. Rumah adalah pusat kehidupan dan kita hidup di dalamnya dengan berbagai kisah suka dan duka.

Senin, 23 Agustus 2010

Sastra Jawa modern & sastra dunia

Oleh Bandung Mawardi

Orang Jawa ternyata sudah memiliki pergaulan intim dengan sastra dunia sejak abad XIX.

Ada sebuah teks sastra saduran dari Barat yang dipublikasikan di Jawa. Novel legendaris Robinson Crusoe anggitan Daniel Defoe disadur ke dalam bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Tenaya dengan judul Lelampahanipoen Robinson Groesoe terbit tahun 1881. Kehadiran novel saduran ini membuktikan bahwa bahasa Jawa memungkinkan menjadi medium untuk mengenalkan orang Jawa pada kisah petualangan di negeri-negeri lain. Sastra menjadi perantaraan hubungan orang Jawa dengan dunia internasional.

Kesadaran untuk membaca sastra menjadi indikasi keterbukaan orang Jawa untuk menyerap pengetahuan dan hikmah dari negeri lain. Pilihan saduran Robinson Crusoe ke bahasa Jawa juga menguatkan dugaan bahwa proses pembentukan sastra Jawa modern ditentukan oleh relasi kebahasaan, ilmu pengetahuan, estetika Barat, dan politik kebudayaan kolonial. Publikasi Lelampahinpoen Robinson Groeso pada abad XIX merupakan sisi lain dari model saduran dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf Von de Wall dan bahasa Sunda dengan judul Robinson Crusoe (1879) oleh Karta Winata (Jedamski, 2006: 29). Model saduran merupakan modal awal dalam pembentukan sastra Jawa modern karena memiliki kelonggaran pilihan bahasa dan estetika.

Cerita petualangan dipilih mungkin didasarkan pada semangat zaman saat itu ketika kolonialisme mengajarkan ada interaksi pelbagai negeri dengan perbedaan dan keunikan. Novel Robinson Crusoe adalah cerita filosofis mengenai manusia yang terdampar di sebuah pula. Tokoh ini mesti hidup dengan segala keterbatasan dan pemakaian akal agar tidak mati. Pencarian makna hidup dilakukan melalui kesadaran terhadap alam dan kekuasaan adikodrati. Novel ini kentara memerkarakan eksistensi manusia di dunia. Saduran ke dalam bahasa Jawa merupakan kejutan meski lebih mengambil tendensi pada sisi petualangan.

Masa awal pembentukan sastra Jawa modern pada awal abad XX dijelaskan oleh George Quinn (1992) dalam enam kategori: pakem atau ringkasan prosa cerita wayang kulit, terbitan ilmiah teks berbahasa Jawa, terjemahan-terjemahan misionaris, traktat-traktat, buku-buku ajar, koran, dan sastra novelistik berbahasa Belanda, Cina, dan Melayu. Sastra saduran masuk dalam kriteria terakhir tapi jelas menentukan kecenderungan orientasi sastra Jawa modern karena memiliki relasi kuat dengan pertumbuhan sastra Melayu, Cina Peranakan, dan Sunda pada peralihan abad XIX ke abad XX.

Sejarah sastra Jawa modern patut diperiksa kembali sebelum fakta-fakta historis terlupakan oleh perdebatan tentang nasib sastra Jawa mutakhir atau keruntuhan sastra-sastra Jawa klasik. Buku Telaaah Sastra Jawa Modern (1975) susunan Suripan Sadi Hutomo belum menjelaskan secara detail mengenai proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa modern. Suripan secara ringkas cuma menginformasikan bahwa sastra Jawa modern tumbuh bebarengan dengan laju pertumbuhan pers di Jawa, pembentukan institusi budaya dan penerbitan oleh kolonial, dan hubungan-hubungan antara pengarang Jawa dengan para ahli Jawa dari Belanda secara literer dan bahasa atau administrasi kolonial. Memeriksa ulang sejarah sastra Jawa modern bakal mengingatkan publik mengenai otentisitas sastra Jawa dan proses pendakuan pada publik Jawa bahwa sastra itu menunjukkan identitas atau sastra itu adiluhung. Bias kolonial dan pertemuan peradaban Barat-Timur pada abad XIX jelas menjadi argumentasi kuat bahwa sastra Jawa modern itu lentur dan gampang melakukan penyesuaian mengacu pada jiwa zaman dan tingkat pengetahuan estetika kalangan pembaca.

Sastra Jawa modern memiliki topangan kuat pada kemunculan kelas elite intelektual dan proyek pendidikan oleh kolonial. Peran pers dan Balai Pustaka sering dijadikan parameter dalam gairah pertumbuhan sastra Jawa. Pemahaman ini memang normatif tapi terkadang melupakan jalur-jalur alternatif dalam penulisan dan publikasi sastra Jawa modern di luar garis pemerintah kolonial. Pelacakan mengenai teks-teks sastra Jawa modern membutuhkan ketekunan sebab dokumentasi pada masa itu masih belum memadai. Para ahli Jawa pun terus mengalami kesulitan untuk membuat kronologi sastra Jawa modern mengacu pada pelbagai sumber dan fakta historis. Perhatian Balai Pustaka pada tahun 1920-an dan 1930-an memang besar dalam mengurusi sastra Jawa. Perhatian itu mungkin tendesius ketimbang perhatian pada sastra Sunda dan sastra Melayu (Indonesia). Penerbitan sastra Jawa modern secara kuantitas cukup besar dan mendapati antusiasme dari kalangan pembaca di pulau Jawa sebagai pusat pembentukan masyarakat literasi.

Novel-novel saduran atau terjemahan pada tahun 1930-an masih jadi andalan dan melengkapi khzanah penerbitan teks-teks sastra anggitan pengarang Jawa. Publikasi terjemahan novel Kantjing Lawang (1932) anggitan J.B.P. Moliere ke dalam bahasa Jawa oleh Soewignja menunjukkan intensitas hubungan sastra Jawa dengan sastra dunia. Novel ini secara implisit direstui oleh pemerintah kolonial karena diterbitakan oleh Balai Pustaka. Novel dari pengarang Prancis itu mengandung satire zaman dan memberi pengetahuan kritis terhadap dunia nilai di Eropa. Penerjemahan memungkinkan publik pembaca Jawa sadar terhadap karakter sastra dunia dan lakon kehidupan di negeri-negeri Eropa. Pertautan dunia nilai juga menjadi medium reflektif bagi pembaca Jawa mengenai tranformasi peradaban di Timur dalam proyek modernitas dalam bayang-bayang kuasa kolonialisme.

Sastra dalam proyek modernitas menempati posisi penting karena menjadi representasi lakon manusia dan kehidupan di dunia modern. Agenda menyusun sejarah sastra Jawa modern memang membutuhkan kerja keras dan komitmen besar. Informasi tentang kelahiran dan pertumbuhan novel Jawa modern harus juga dilengkapi dengan kasus cerpen dan puisi Jawa modern. Jakob Soemardjo (2004: 104) menganjurkan bahwa diperlukan pelacakan terhadap cerpen dalam kaitan dengan pertumbuhan dunia pers di Jawa.

Novel saduran atau terjemahan cenderung terbit sebagai buku tapi cerpen dan puisi mayoritas terbit di koran dan majalah. Embrio dari pemunculan cerpen Jawa modern terdapat dalam publikasi majalah Sri Poestaka pada tahun 1923. Informasi ini pantas dijadikan modal untuk memikirkan sastra Jawa modern agar tidak terus ada dalam keminderan dan pesimisme sebab sastra Jawa modern sejak mula telah intim dalam pergaulan
dengan sastra dunia. Begitu.

(Dimuat di Solopos, Minggu, 22 Agustus 2010 , Hal.IV)

Membaca Tafsir Sastra Inklusif


 Oleh Mohamad Fauzi



Judul: Sastra Bergelimang Makna
Penulis: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagat Abjad, Solo
Cetakan: April, 2010
Tebal: 176 halaman  

Barangkalai tidak salah jika dikatakan: karya sastra pada awal dan dasarnya adalah untuk dibaca-dinikmati, dibaca-digumuli, dan dibaca-dihayati. Dan itulah yang akan ditemukan dalam buku Sastra Bergelimang Makna.  Buku kumpulan tujuh esai tesebut sangat kentara sekali untuk memperlakukan sastra sebagai pengalaman. Pengalaman selalu mengandaikan tubuh yang bergelut dengan waktu, sejarah diri, perkembangan pemikiran, dan dunia yang mengada dalam kehidupan sastrawan/penyair. Karena, secara retrospektif, dari sana karya lahir.

Maka ”teknik” pembacaan sastra yang berbasis pada pengalaman ini berangkat dari dalam sejarah diri pengarang dan karya sastra yang dibuatnya. Sejarah diri sastrawan/penyair dijadikan patokan awal untuk masuk dalam karya sastranya. Di sini, proses terciptanya sebuah karya sastra menjadi penting. Proses kreatif menjadi semacam acuan dan ancangan untuk membaca karya sastra. Membaca sastra: membaca sejarah diri pengarang. Dengan demikian, pembacaan sastra berangkat, meski tidak sepenuhnya, dari subjektivitas. Sastra diperlakukan sebagai subjek bukan objek.

Dalam perjalanan telaah sastra Indonesia, ada dua model atau pola telaah yang kecenderungan saling menjauh satu dengan yang lain. Yang pertama hendak menjadikan dan memperlakukan sastra sebagai objek kajian. Yang kedua sastra hendak mengembalikan pada fungsi awalnya yaitu sastra sebagai bentuk berkesenian, berkemanusiaan, dan dengan demikian untuk memanusiakan manusia. Yang pertama berbasis dan berasumsi tentang objektivitas, sastra yang mengandung realitas objektif. Yang kedua hendak membebaskan dan membesarkan subjektivitas manusia, sastra sebagai pengalaman diri manusia yang tidak sepenuhnya objektif.

Pada tahun 90-an model yang pertama sering diwakili oleh kalangan mahasiswa atau akademisi kampus. Mereka membedah sastra dengan berbagai teori keilmuan, mencari obejktivitasnya. Model seperti ini bertahan sampai sekarang, meski pemikiran strukturalisme banyak mengandung beberapa kelemahan.

Dalam model yang pertama ini, sang pengarang dibunuh dan karyanya dihidupkan. Tidak ada kreativitas atau orisinalitas sebuah karya dari seorang pengarang. Pengarang hanya sekadar pembaca (tukang fotokopi) realitas dan mengungkapkannya dalam karya sastra.

Sedangkan model yang kedua adalah ’kritik sastra’ pada masa awal perkembangan sastra Indonesia dan banyak dilakukan oleh para sastrawan sendiri. Seringkali, model kritik sastra ini dituduh tidak lebih dari sekadar bentuk apresiasi antar para pengarang sendiri.

Dalam esai-esai Bandung Mawardi, ada kegigihan untuk terus-menerus berada dalam ketegangan antara dua kutup itu. Pengarang dan karyanya hendak dihidupkan sekaligus. Di sini, kita ingat pembelaan H. B. Jassin (1970) terhadap karya Langit Makin Mendung yang kontroversial itu, ”Suatu karya berhak untuk merdeka, seperti seniman mempunyai hak untuk merdeka. Suatu karya haruslah dianggap sebagai alat penggugah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atau tidak menyenanginya, tapi orang tidak berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak untuk membunuhnya.”

Tentu, pembelaan Jassin di atas datang di saat kritik sastra kita masih belum (?) begitu digegerkan oleh ”Matinya Sang Pengarang”. Pernyataan Jassin itu masih ’sebatas’ sebuah sikap apresiator atau pembela sastra(wan), bukan sebagai pembedah objektivitas sastra.

Dalam buku Sastra Begelimang Makna, pengarang dan karya benar-benar dihidupkan kembali secara serentak, melalui pendalaman biografi pengarang dan penguasan ilmu-ilmu humaniora Bandung. Di sini, kita seakan dibawa pada aroma cultural studies. Dalam cultural studies, penelaah/kritikus sastra berangkat dari kesadaran teori/metodis, dengan berbagai campuran perspektif. Sastra diposisikan sebagai teks yang timbul dalam suatu konteks (masyarakat). Posisi karya sastra masih dijadikan sebagai objek.

Berbeda dengan cultural studies, tujuh esai dalam buku tersebut berangkat dari kesadaran biografis. Pembacaan dan penelaahan karya sastra berangkat dari sosok atau tokoh pengarangnya, berikut yang melingkupinya terutama dalam proses kreatif penulisan karya sastra. Model pendekatan ini hampir mirip dengan asumsi dasar filsafat romantis, yaitu bahwa pikiran (tempat pertama kalinya karya sastra dibayangkan) adalah kesadaran kreatif yang bekerja pada setiap individu (pengarang). Rumah, anak, orang tua, tubuh, pergulatan pikiran dan batin, singkatnya segala unsur-unsur biografi, menjadi unsur-unsur yang penting untuk dijadikan data dan acuan penetelaahan sastra.

Sebagai contoh, pada esai pertama Rumah, Puisi, Penyair, kita dihadapkan pada sejarah diri seorang penyair, keterkaitan-keterlepasan, pergulatan-pengabaian, dan pengaruh rumah terhadap puisi-puisinya. Di sini, seorang penyair ditilik dari ketegangannya dengan rumah sebagai awalan dan acuan untuk membaca karya-karya mereka. Biografi, sejarah diri pengarang dan sebagainya menjadi penting.

Yang menarik dari ketujuh esai ini adalah esai Putri Cina: Tanah, Wajah, Darah. Dalam esai yang mengulas karya Shindunata ini, Bandung Mawardi mendekati karya sastra, Putri China, dengan teks non-sastra yang ditulis Shindunata sendiri. Di sini memang terkesan seakan esais sekadar melakukan konfirmasi-afirmasi antar teks yang berbeda dan menyamakan satu dengan yang lainnya. Namun bukan sebagai ’teori’ atau pendekatan metodis meski Shindunata juga menulis tentang teori kambing hitamnya Rene Girard. Teori kambing hitam Rene Girard, sejarah babad putri Cina, fenomenologi eksistensial, karya lukis, dan sebagainya digunakan sebagai pisau analisis dan pemberangkatan penelaahan sastra secara ideografis.

Terakhir, dalam batas-batas tertentu, buku ini merupakan salah satu kritik sastra Indonesia yang berhasil bergerak di antara dua kutup kekuatan tarik ulur subjektivitas dan objektivitas. Objektivitas dan subjektivitas hendak dilebur dan benturkan karena karya sastra dan pengarang harus terus hidup dan dihidupi. Inilah perlakuan dan sikap inklusif seorang esais terhadap pengarang dan karya sastra.

KECEREWETAN MENGULAS SASTRA


Oleh Sartika Dian

Judul: Sastra Bergelimang Makna
Penulis: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagat Abjad, Solo
Cetakan: April, 2010
Tebal: 176 halaman 

Seringkali kritik sastra tak pernah berkutat pada hal sepele. Tapi, Bandung Mawardi menjawab tantangan untuk berlari jauh-jauh ke dalam imaji karya itu dengan atau tanpa melalui pembatasan. Kritik sastra yang dibicarakan dalam buku kumpulan esai menawan yang berceloteh ria tentang segala makna, baik empirikal maupun referensial, telah ada di depan mata. Senjata kritiknya tentulah dimulai dari perjalanan sosio kultural, religi, modernitas, sakralitas, feminisme, serta hal-hal yang berbau menyengat dalam bidang humaniora.
Karya sastra dibaca untuk merefleksi diri, pembelajaran, dan permenungan. Karya sastra dilihat dari kacamata yang luas, bukan hanya cerminan nalar dan rasio, tapi juga yang bermain-main di bawah sadar. Karya sastra diajukan dalam bentuk yang berbeda dan disebulkan ruh baru ke dalamnya. Bukan melalui keomongkosongan, melainkan rujukan atas makna denotasi dan konotasi yang disajikan penyair atau sastrawan. Buku kumpulan esai ini diwarnai ketegangan pemikiran dan hasil hipotesa pembacaan karya yang mumpuni. Analisa atas kinerja yang luar biasa untuk menghubungkan berjuta penyair dalam satu benang merah yang pada akhirnya membentuk sebuah pola, yakni negasi dan kritik maupun otokritik.
Dari awal hingga paripurna, bahasannya melulu mengenai tematik perpetaan karya sastra yang ditarik ke dalam beberapa kesimpulan yang ringkas, tapi tetap mengena dan tidak membosankan, walau banyak repetisi kata yang seharusnya bisa disubstitusi dengan kata-kata segar lainnya. Setiap tulisan diberikan pengantar yang ditujukan agar  membantu pembaca meraba pola pikir sang penulis untuk tetap mengartikulasi teks demi teks, hingga keterpahaman makna itu saling bertautan dengan intimidasi sikap pribadi dalam memandang, berpikir dan mengonsumsi permasalahan.
Pola yang digunakan Bandung Mawardi tentu saja dapat terbaca, referensial dan konsideratif, sebagai pelengkap serta acuan memperoleh aneka ragam teori serta keterbahasaan yang tebal dan komunikatif. Bahasa khas seorang penulis di media. Konten alusif yang padat dan ceceran sugesti seolah mengonfirmasi intimitas Bandung Mawardi terhadap karya sastra. Warna-warni pemaknaan pun memberikan penjelasan konkrit akan afeksasinya terhadap karya sastra yang terpilih.
Syarikat rumah dalam jagat perpuisian Indonesia modern yang membuka kumpulan esai ini memberikan penerjemahan mendalam terhadap identifikasi strata dan struktur sosio kultural dan dilengkapi dengan proses kreatif kepengarangan terhadap rumah. Rumah adalah pelindung puisi dari hujan dan panas. Rumah adalah deklarasi eksistensialis para penyair. Rumah adalah sumber. Rumah adalah ruang yang melatari jalannya kinerja puisi hingga terlahir. Rumah adalah juga tempat dimana penyair itu memuntahkan ide-idenya dalam karya sastra. Esai “Rumah, Penyair, Puisi” ini diramu dengan cakupan nalar yang membentang untuk memperbudak kritik terhadap modernitas dan perumahan kota. Esai ini juga diberikan penutup yang menggelitik para penyair untuk mencantumkan alamat rumah puisi agar jelas identitas dan eksistensinya. Pentingkah?
Esai lainnya yang cukup menarik adalah esai “Humor Politis dan Humor Tragis.”  Entah puisi-puisi ini mewakili bahan tertawaan bagi seluruh manusia atau tidak, yang jelas humor dalam puisi-puisi yang dicomot Bandung Mawardi menjadi bekal satirikalnya mengenai beberapa penyair yang saling berdebat untuk memperjuangkan idealisme masing-masing. Bandung Mawardi sekali lagi membuat gebrakan dengan membaca para penyair-penyair miring yang terlalu percaya diri. Mengikuti alur pikirnya dan membuat standpoint untuknya sendiri. Dengan kencang ia berteriak pada Joko Pinurbo untuk tidak pelit kata. Hal ini kemungkinan akan membuat bulu kuduk Jokpin meremang. Merasa tertantang dan tergugat.
Esai selanjutnya, adalah esai yang tak kalah apik, mengenai transformasi diri perempuan oleh Oka Rusmini. Esai berjudul “Biografi (Tubuh) Perempuan: Puisi Mengisahkan Ibu” ini telah menguak betapa Bandung Mawardi ternyata mengagumi Oka, seolah memberi asersi yang subversif mengenai tubuh perempuan, dengan jalinan teori feminisme yang sampai sekarang menjadi momok bagi manusia patriarki. Esai ini mengungkap masokisme anak terhadap ibu, juga melanggengkan upaya Oka untuk meneriakkan testimoni diri. Ada juga upaya pelik yang tak canggung mengabaikan realitas. Kemudian mencari-cari sisi dramatisasi lain dalam karya itu. Bandung Mawardi menawarkan konstruksi perempuan lain yang Oka perbincangkan. Ia meneriaki Oka yang seorang ibu dari anak yang bernama Pasha dengan detil dan tidak tergesa-gesa.
Sepertinya, adalah halal bagi esais untuk mencomot sana sini karya yang dianggapnya relevan untuk mencapai afirmasi integritas diri. Esai lainnya, yaitu “Novel Bergelimang Makna”, “Putri Cina: Tanah, Wajah, Darah”, “Risalah Religiositas: Penghiburan dan Pengharapan”, “Puisi Ibu: Pokok dan Tokoh”,   tentu saja masih mengenai pembacaan komprehensif karya sastra yang kompleks dan menggugah manusia sastra untuk menggumamkan makna sastra. Semua esainya dirangkum dalam penutup yang berisi pepujian dan kritik pahit. Barangkali seperti lirik lagu, Bandung Mawardi memberikan ruh baru dengan nada-nada dan irama yang pas. Untuk itu, penyair dan sastrawan hendaknya menghaturkan terimakasih atas kecerewetan Bandung Mawardi  dalam pembacaannya.
Mungkin terlalu cepat menutup tulisan ini, mengingat esai yang termuat sungguh kaya akan pemenuhan ilmu kritik sastra. Hal terakhir yang dapat disampaikan adalah keberanian penerbitan buku Sastra Bergelimang Makna, yang telanjang dari kata pengantar dan kumpulan komentar di sampul dan isi buku. Sepertinya, Bandung Mawardi merasa percaya diri untuk bersuara. Cara ini pantas diapresiasai, sebab penerbitan buku-buku sastra sekarang sering dipenuhi oleh komentar-komentar tidak jelas, meskipun dari tokoh-tokoh terlena, apalagi kata pengantar yang seolah digunakan untuk klaim-klaim yang berlebihan pada si penulis. Selamat membaca buku ini dan memberi kritik atas kritik.

Memikir Ulang Aksi Mahasiswa


  • Oleh Mohamad Fauzi


Model pengejawantahan gerakan mahasiswa pasca 1998 hampir selalu berbasis aksi dalam merespon isu, kejadian, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Bentuk yang paling dominan adalah demontrasi atau pengerahan massa. Model seperti ini setidaknya memiliki dua keuntungan. Yang pertama adalah sifatnya yang mencolok. Pengerahan  massa di jalan-jalan trotoar dan di tempat strategis tentu saja akan menarik perhatian masyarakat. Belum lagi, para demonstran sering menggunakan berbagai atraksi, pengeras suara, dan berbagai umbul-umbul, spanduk, atau poster.
Keuntungan yang kedua adalah sifatnya yang responsif. Demontrasi atau unjuk rasa bisa merespon isu, kebijakan, atau kejadian yang sedang berlangsung dengan cepat dan biaya yang sedikit.
Meski demikian, model gerakan berbasis aksi ini memiliki banyak kelemahan. Ia cenderung bersifat reaktif, kurang analitis, kurang meyakinkan, kurang data, cenderung mengikuti arus yang dibentuk oleh media konvensional atau kalangan yang memiliki kepentingan tertentu, dan sering tidak membumi di mata masyarakat baik dari segi isu, isi, dan aksinya sendiri. Dan tak jarang sering menimbulkan aksi anarkis, pengrusakan, kemacetan lalu lintas, dan sebagainya. Dalam batas-batas tertentu, keberhasilan gerakan berbasis aksi ini ditentukan oleh chaos atau kerusuhan yang meminta bahkan memaksa untuk ditanggapi.
Gerakan mahasiswa yang berbasis aksi sebenarnya sudah tidak efektif lagi dalam alam demokrasi liberal (konstitusional) sekarang ini. Dalam alam demokrasi liberal, setiap aksi yang tidak mampu memenangkan hati publik, tidak massif (sporadis), dan tidak mengarah pada proses legislasi, hampir dapat dipastikan akan kandas, menguap di tengah jalan, dan pada akhirnya hanya akan menghasilkan kekecewaan dan anarkisme.
Dalam demokrasi liberal ini, yang paling penting untuk dilakukan gerakan mahasiswa adalah berdasarkan rentetan berikut: (1) memenangkan opini publik, (2) mengusulkan dan mengawal proses legislasi, dan (3) memastikan berjalannya semua ini untuk kepentingan bangsa.
Memenangkan opini publik mengharuskan mahasiswa untuk bergerak dalam ranah pemikiran dan kebudayaan, membangun gerakan berbasis epistemologis-ideologis. Dari sini, akan lahir cita-cita bersama, katakanlah seperti “Indonesia yang Kita Cita-citakan” yang pernah dilakukan oleh gerakan mahasiswa Kelompok Cipayung pada 19-22 Januari 1972 (KOMPAS, 10/12/2008).
Basis pemikiran  itu harus solid secara intern dan kuat secara ekstern. Solid secara intern dan kuat secara ekstern berarti pemikiran itu komprehensif dan tahan terhadap gempuran kritik dari luar. Dalam hal ini kita ingat kembali alasan menteri pendidikan dan kebudayaan yang pernah “membredel” gerakan mahasiswa, Daoed Yoesoef, dengan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Daoed Yoesoef memberikan definisi mahasiswa yang sekaligus sebagai alasan kebijakannya, “Mahasiswa pada hakikatnya, bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting), tetapi manusia penganalisa bukan semata pemburu ijazah, tetapi seharusnya penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan yaitu goerdend denken… hakikat kemahasiswaannya, adalah kekuatan penalaran dan pikiran individual.”(Jalaluddin Rakhmat, 2002).
Dalam konteks masa itu (80-an), ide seperti ini memang tampak tidak relevan dengan tuntutan zaman dan cenderung mengebiri. Gerakan mahasiswa (organsisasi ekstra kampus) dikeluarkan dari kampus yang berbuntut kurang solidnya gerakan mahasiswa. Pemikiran  Daoed Yoesoef itu juga cenderung hanya menempatkan mahasiswa sebagai penganalisa, bukan, seharusnya, manusia yang memahami dirinya dan lingkungannya secara menyeluruh.
Namun, pada saat ini, ide seperti itu menjadi sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dengan gerakan berbasis aksi yang cenderung negatif (dengan tidak bermaksud mengeneralkan). Maka inilah celah bagi gerakan mahasiswa untuk mengedepankan gagasan dan pemikiran.
Hasilnya kemudian disalurkan melalui media massa baik konvensional ataupun yang mutakhir, katakanlah blog, yang akan menjangkau berbagai lapisan masyarakat, yang akan membentuk pemahaman, kesadaran, dan pada akhirnya terbentuk opini publik. Pemahaman, kesadaran, dan opini publik akan menjadi modal gerakan dan kerangka berpikir mahasiswa pada khususnya dan publik pada umumnya dalam merespon atau mengkritisi isu, kejadian, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Inilah yang akan membentuk arus gerakan mahasiswa didukung sepenuhnya oleh masyarakat sebagaimana terjadi pada 1998. Sayangnya model ini sepertinya tidak digarap lagi oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.
Selain itu, cita-cita bersama itu bisa (bahkan seharusnya) diajukan dalam proses legislasi pada dewan perwakilan masyarakat, selain pada masyarakat Indonesia sendiri. Proses legislasi tentu saja memerlukan para pemikir dan penulis untuk membentuk semacam rancangan undang-undang bagi kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa.
Tahapan terakhir adalah memastikan bahwa isu, kejadian, kebijakan, dan sebagainya yang terjadi berjalan untuk kepentingan bangsa. Di sinilah proses advokasi dan aksi sebenarnya harus ditempatkan. Advokasi dan aksi dijalankan dalam bentuk demonstrasi, unjuk rasa, dan pengerahan massa, dan sebagainya yang berbasis pengetahuan, analisis, dan data yang lengkap, yang akan membumi di hati publik. Tanpa itu, aksi yang selama ini dilakukan oleh mahasiswa akan cepat tersapu angin jalanan dan deru kendaraan. Tak berbekas. Bahkan, bisa dikatakan sekadar ulah, bukan gerakan.
Terakhir, harus diakui bahwa gerakan mahasiswa tidak lepas dari konteks perkembangan pemikiran yang sedang marak pada masanya. Gerakan mahasiswa 60-an dan 70-an tidak bisa lepas dari sosialisme (versus kapitalisme) dengan berbagai variannya yang melanda Indonesia, dan 98-an tidak lepas dari menangnya liberalisme seperti dikatakan Francis Fukyama. Maka, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, basis pemikiran seperti apa yang hendak diusung oleh gerakan mahasiswa setelah liberalisme hanya menampakan ilusi-ilusinya?
(Dimuat di Suara Merdeka, 03 April 2010)

Jumat, 20 Agustus 2010

Etos Nasionalisme

Bandung Mawardi

Nasionalisme mengalami kebangkrutan di Indonesia. Ekspresi nasionalisme sekadar jadi ornamentasi politik-ekonomi. Perdebatan untuk mengoreksi atau menguatkan nasionalisme tidak memikat politisi, akademisi, pengarang, aktivis, atau pengusaha. Nasionalisme lekas jadi ikon nostalgia dari riwayat pergerakan kebangsaan dan efek pembentukan komunitas politik dalam melawan kolonialisme. Pendangkalan tafsir historis ini pun dipaketkan dalam pembelajaran sejarah dan permainan simbol-simbol nasionalisme secara parsial. Nostalgia nasionalisme kerap ciptakan haru karena ritual peringatan hari kemerdekaan. Peristiwa ini bakal menarik publik pada perayaan simbolik atas nama nasionalisme. Imaji atas nasionalisme masa lampau biasa mengacu pada darah, bedil, bambu runcing, bendera, rapat, air mata, atau kelaparan. Tafsiran atas pernik-pernik itu tampil sebagai modal menyemai nasionalisme dengan proses perubahan zaman. Kerja penafsiran jadi macet saat sakralisasi nasionalisme mulai runtuh dengan politisasi segala aspek kehidupan. Pembakuan nasionalisme ini mengesankan sebagai modal persaingan politik dan perebutan klaim untuk ada di tampuk kekuasaan. Parakitri T Simbolon dalam Menjadi Indonesia: Akar-akar Kebangsaan Indonesia (1995) mengingatkan bahwa konstruksi nasionalisme terbentuk dalam waktu lama. Lambaran dari penyadaran nasionalisme memerlukan referensi kultural, politik, ekonomi, sosial, dan agama. Prosedur pembentukan nasionalisme dipengaruhi oleh modal bahasa, spiritual, etnisitas, dan identitas. Simbolon menjelaskan bahwa agenda menjelang nasionalisme pada awal abad XX ditentukan oleh kesatuan ekonomi, kesatuan administrasi politik, dan kesatuan budaya. Pemahaman atas jejak-jejak ini pantas jadi acuan untuk perayaan nasionalisme dengan produktif pada hari ini. 

Nasionalisme itu tidak sekadar kisah, memori, jargon, bendera, pidato, lagu, film, upacara, konser, lomba, atau seragam. Nasionalisme adalah ekspresi produktif dari tafsiran kesejarahan dan kematangan merumuskan masa depan. Etos Pewacanaan nasionalisme memang kurang tampil memikat karena “dihabisi” oleh produksi isu-isu panas politik-ekonomi, afirmasi atas globalisasi, gosip artis, atau kerapuhan sistem pendidikan. Semua itu cenderung mengarah pada pembakuan dan standarisasi untuk sederajat dengan ukuran global tapi abai dengan pengakaran diri atas nama nasionalisme. Labelitas dan ornamentasi justru membuat wacana nasionalisme difungsikan untuk promosi demi penumpukan modal dan kekuasaan. Wacana nasionalisme mengalami surut pada masa agenda-agenda besar di Indonesia kehilangan akar-kultural dan kiblat-pemikiran. Kondisi ini membuat Indonesia rentan dengan kenestapaan karena mengalami kemiskinan etos nasionalisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia bersumber pada etos. Etos ini terekspresikan dengan kepemilikan mental, pandangan dunia, dan perilaku. Etos nasionalisme pada masa pergerakan kentara memudar pada masa pasca-revolusi. Pemahaman atas nama kepentingan bangsa teralihkan menjadi kepentingan materialistis, hedonistis, konsumeristis, dan permisif. 

Kepudaran ini masih berlangsung sampai hari ini dengan ekpslisitas memerkarakan negara-bangsa dan pasar atas nama trah penguasa, keluarga pemilik modal, dan kuasa rezim korporasi sejagat. Etos sebagai sumber telah terlupakan karena antusiasme memasok modul-modul asing untuk pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, atau teknologi. Kesadaran atas biografi kultural dan identitas dalam pluralitas-etnisitas tergantikan oleh standarisasi global. Sistem ini memicu kerapuhan dalam memahami keindonesia atau menjadi manusia Indonesia. Kerapuhan ini tentu susah untuk dilanjutkan dengan pembentukan manusia pasca-Indonesia ala Y B Mangunwijaya karena ketiadaan afirmasi atas nasionalisme. Pendangkalan nasionalisme sebagai ornamentasi malah menjadi penentu dari reduksi keindonesiaan. Kehilangan Nasionalisme sebagai dalil pertama dari rumusan Pancasila ala Soekarno pada 1 Juni 1945 hampir terpinggirkan oleh proyek-proyek politik pragmatis.

Franz Magnis-Suseno (2006) mengartikan dalil nasionalisme itu sebagai proyek penyadaran dan pembebasan. Nasionalisme bagi Soekarno diterjemahkan untuk sadar sebagai manusia Indonesia dan kemauan bebas dari kolonialisme. Nasionalisme adalah ideologi dan etos untuk merayakan Indonesia. Episode itu telah rampung sebagai data sejarah tanpa pembacaan produktif pada hari ini. Nasionalisme memang kerap terpahamkan sebagai ideologi. Pandangan ini justru membuat perayaan identik dengan hasrat politik. Praktik ini memang ikut menentukan geliat nasionalisme pada masa kolonialisme kendati tidak mutlak. Hasrat politik membuat persemaian nasionalisme mandek pada tataran simbolik. Etos dalam kondisi ini jadi keharusan untuk mengembalikan kesadaran asali dan lolos dari dominasi politik. Etos mesti dirayakan dengan naluri kemanusiaan tanpa harus dipaketkan dalam kebijakan politik atau kurikulum pendidikan. Etos bukan komoditi untuk disistemkan dan didiktekan secara sentralistik. Etos pada masa lalu disemaikan karena konsekuensi kehadiran kolonialisme. Etos sebagai dalil resistensi itu signifikan untuk menanggapi deprivasi, diskriminasi, rasialistik, dan segregasi. Etos membuncah untuk memartabatkan manusia sebagai manusia dan kesadaran peran sebagai warga. Pertanyaan Sartono Kartodirdjo pantas jadi refleksi kritis: “Mengapa etos menghilang setelah revolusi selesai?” Pertanyaan ini hampir menjelma sebagai catatan kaki dari kesemrawutan Indonesia. Etos kepimpinan runtuh. Etos kerja rendah. Etos politik amburadul. Etos sosial pudar. Etos kultural bangkrut. Peringatan hari kemerdekaan selama ini identik dengan penambahan angka tahun. Usia menua tidak memberi jaminan ada aksentuasi atas persemaian kualitatif atas nasionalisme. Ritual politik justru mengental untuk menjadikan nasionalisme sebagai modal persaingan kekuasaan. Model ini pun disempurnakan oleh kultur-publik merayakan nasionalisme sebagai kesadaran temporal. Etos nasionalisme memang terbukti menghilang tanpa ada proses mencari-menemukan untuk penafsiran ulang dan pemaknaan produktif pada hari ini. Perayaan kehilangan etos nasionalisme ini adalah ironi untuk pemartabatan Indonesia dan keindonesiaan. Begitu. 

Solopos (18 Agustus 2010)

Melagukan Indonesia

Bandung Mawardi

Bulan Agustus menjadi bulan sakral untuk Indonesia. Ritus peringatan kemerdekaan diadakan dengan ikthiar mengekspresikan nasionalisme. Bendera merah putih dikibarkan sebagai simbol untuk mengenang sejarah dalam tafsir keberanian dan kesucian. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan dalam upacara sebagai tanda dari penghormatan terhadap tanah air Indonesia. Hari kemerdekaan jadi bukti persenyawaan bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya untuk menyemaikan nasionalisme. Publik tentu sudah mengenal sosok pencipta lagu Indonesia Raya. Tokoh ini memiliki nama Wage Rudolf Supratman. Lahir di Jatinegara (atau Purworejo?) pada 9 Maret 1903 dan meninggal pada 17 Agustus 1938 di Surabaya. Tanggal 17 Agustus memiliki arti penting dalam peringatan hari kemerdekaan dan hari kematian pencipta lagu kebangsaan. Pengetahuan publik tentang tokoh ini mungkin terbatas karena jarang ada publikasi tentang biografi W.R. Supratman atau sejarah lagu Indonesia Raya. W.R. Supratman pada tahun 1920-an dikenal sebagai wartawan dan komponis. Kerja jurnalistik mengantarkan W.R. Supratman pada pelbagai liputan acara penting dan terlibat dalam gerakan-gerakan nasionalisme. Beliau ikut meliput Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda II (27 - 28 Oktober 1928).

Pada acara terakhir ini terciptalah sejarah fenomenal dengan sajian lagu Indonesia Raya di hadapan peserta kongres dengan permainan biola W.R. Supratman. Efek Lagu itu mendapat tanggapan antusias dari publik dan tokoh pergerakan kebangsaan. Indonesia Raya menyebar dan dilagukan dalam pelbagai acara. Lagu telah menjelma ekspresi nasionalisme untuk mencapai pembebasan negeri dari kuasa nasionalisme. Pemerintah kolonial menjadi curiga dan mulai represif atas efek lagu Indonesia Raya. Kesadaran terhadap tanah air dan kemerdekaan tumbuh dengan subur. Fakta itu membuat kolonial resah lalu memutuskan lagu Indonesia Raya dilarang untuk dinyanyikan karena dianggap subversif alias mengganggu keamanan dan ketertiban (ST Sularto, 1983). W.R Supratman ditangani karena pencantuman kata merdeka dalam lagu Indonesia Raya. Lagu sebagai alat perjuangan justru jadi teror untuk politik kolonial. W.R Supratman menanggung risiko dengan interogasi dan dan pengawasan dari aparat kolonial. Reaksi atas pelarangan itu dilakukan dengan riuh melalui surat kabar dan majalah. Para pemimpin pergerakan kebangsaan pun melakukan resistensi sampai ke Volksraad. Reaksi keras membuat kolonial kelimpungan dan membuat keputusan lunak bahwa lagu itu boleh dikumandangkan asal hanya di ruang tertutup. 

Lagu telah berhasil jadi subversi untuk nasionalisme! Antusiasme atas Indonesia Raya terus mendapati legitimasi pada Kongres Rakyat Indonesia pada 1 Oktober 1939 (Sagimun M.D dan Sumaryo L.E., 1982: 40). Kongres ini menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Sejarah lagu Indonesia Raya terus melaju dengan pelbagai tanggapan dan perubahan sesuai iklim politik dan olah estetika musik. W.R. Supratman melakukan revisi atau penyempurnaan atas versi 1928 pada tahun 1944. Perubahan terjadi pada lirik dan irama. Versi 1928 memakai irama 6/8 dirubah menjadi irama 4/4. Lirik untuk versi 1944 dinyanyikan sampai sekarang tapi hanya untuk kuplet 1 dan 2. Kuplet 2 dan 3 tidak dinyanyikan dan jarang publik tahu tentang lirik tersebut. Penghormatan Perubahan itu dilakukan dalam kerja Panitia Lagu Kebangsaan (1944) beranggotakan Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Akhiar, Bintang Sudibyo, Darmajaya, Kusbini, Mas Mansur, Mohammad Yamin, Sastromulyono, Sanoesi Pane, Cornel Simanjuntak, Darmadwidjaya, A. Soebardjo, dan Utojo. Lagu Indonesia Raya semakin sakral dalam peristiwa Proklamasi 1945 untuk mengiringi pengibaran bendera merah putih. Pada 1945 - 1948 lagu Indonesia Raya masih dinyanyikan dengan pelbagai versi. 

Kerja keras dilakukan untuk membuat penyeragaman dengan pembentukan Panitia Indonesia Raya (16 November 1948). Pada 26 Juni 1958 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Lembaran No. 27 Tahun 1958 memuat Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958. Pelbagai keputusan itu menjadi bukti penghormatan atas kontribusi W.R. Supratman dengan ciptaan lagu Indonesia Raya. Beberapa pengamat menduga lagu itu dipengaruhi oleh lagu kebangsaan Prancis La Marseilles ciptaan Rouget de L'isle. W.R Supratman juga menciptakan lagu Bendera Kita, Ibu Kita Kartini, Indonesia Hai Ibuku, Matahari Terbit, dan lain-lain. W.R. Supratman membuktikan bahwa lagu telah memberi spirit dalam pergerakan nasionalisme Indonesia. Pemerintah Indonesia pun menganugerahi Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Utama Kelas II sesuai SK presiden RI No. 016/TK/1971. Penghormatan atas W.R Supratman dan lagu Indonesia Raya juga dipersembahkan oleh Umar Nur Zain dengan penulisan novel Namaku Wage: Novel Perjuangan Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia (1983). Novel ini merupakan ikhtiar mengenalkan sosok W.R. Supratman dengan olahan estetika sastra. Pasang surut atau suka duka dikisahkan dengan apik dan sugestif. Peristiwa dramatis terasakan pada saat menjelang ajal. W.R. Supratman sebelum menghembuskan nafas terkahir telah meninggalkan lagu perpisahan dengan lirik menyentuh: Marilah kita mendoa/ Indonesia bahagia// Marilah kita berjanji/ Indonesia abadi// Hiduplah Indonesia Raya/ Selamat tinggal untuk selama-lamanya. Begitu. 

Lampung Post (15 Agustus 2010)

Pidato

Bandung Mawardi

Sejarah Indonesia adalah deretan panjang pidato dari Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, H.O.S Cokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Aidit, Mohamad Natsir, Chairil Anwar, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Soeharto, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan lain-lain. Pidato-pidato itu merupakan dokumen sejarah untuk penemuan kisah-kisah lama Indonesia dan impian dalam rajutan kata-politik pemaknaan. Pidato adalah dunia aksara, suara, tubuh, panggung, massa, waktu, dan ruang. Indonesia adalah kumpulan pidato. Soekarno pernah memberi pidato kontroversial saat peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959. Pidato ini dinamai Penemuan Kembali Revolusi Kita. Isi pidato ini menentukan nasib dan wajah sejarah. Soekarno membuat membuat uraian memikat tentang perjalanan revolusi: impian, kemacetan, kegagalan, penyelewengan, keimanan, dan kesalahan. Pidato itu menandai kelinglungan politik, ekonomi, pendidikan, dan kultural Indonesia pada model konflik dan dilema. Demokrasi ada dalam batas tipis geliat dan sekarat. Masa itu Indonesia mendapati seruan dari Soekarno untuk menggerakkan revolusi tanpa bimbang dan menciptakan masa depan dalam optimisme. Pidato itu merekam zaman kendati tak persis dengan lakon-lakon miris di Indonesia masa 1950-an. Pidato seolah identik dengan Soekarno. 

Dunia pun mengakui bahwa pidato Soekarno membakar, menggeliat, memikat, dan menyentak. Pidato adalah tanda dari kematangan kerja politik untuk melakukan komunikasi intensif, intim, dan provokatif. Soekarno menorehkan nama untuk membuat Indonesia memiliki martabat dalam produksi pidato dan pembentukan efek multidimensional. Indonesia mungkin lahir karena pidato dan Soekarno jadi ikon fenomenal. Suara Indonesia menggelegar dan membuat para pemimpin dunia takjub saat menonton-menikmati pidato Soekarno di markas PBB (New York) pada 30 September 1960. Soekarno menampilkan diri sebagai “sosok Indonesia”, “melantunkan Indonesia”, “menyuguhkan jagat Indonesia.” Pidato dengan titel Membangun Dunia Kembali jadi milik dan kenangan dunia. Soekarno memberi kata pada dunia: “Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnyadan menggerogoti fondamen-fondamennya; ya, kemangan kemerdekaan dan nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi – dan camkanlah kata saya ini – imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam rimba raya tropik.” Para ahli mengakui bahwa pidato Soekarno memiliki derajat literer. 

Soekarno sadar untuk menghidupkan kata. Pidato pun telah jadi tanda kebesaran Soekarno dan Indonesia. Jejak historis itu digantikan oleh Soeharto dengan pidato-pidato tanpa api membara, gairah, ledakan, kejutan, atau pikat. Pidato-pidato Soeharto selama Orde Baru mirip “pembaca tertib.” Hafalan dan improvisasi hampir tak ada dalam diri Soeharto. A Teeuw dalam Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994) mengajukan penilaian-tanya: “Bukankah Presiden Soeharto membacakan pidato dari teks tertulis tanpa menyimpang sepatah kata dari tulisan itu?” Soeharto adalah “pembaca taat.” Kesadaran panggung dan penguasaan massa hampir tak tampak. Segala hal seolah ditanggungkan pada tulisan untuk sekadar dibacakan dengan “santun”, pelan, dan membosankan. Soeharto menjadi ikon tentang pidato Indonesia dalam kelungkrahan dan keangkeran. Bahasa dalam pidato mirip dengan ulah politik menjinakkan dengan “kehalusan.” Indonesia hampir beku dalam pidato-pidato Soeharto selama 32 tahun. Indonesia kehilangan biografi diri karena tidak memiliki sosok dan suara lantang. Pidato malah jadi tamsil dari kemauan kekuasaan untuk membisukan dan menguasai massa dengan tertib dan terpusat. Soeharto tampil dalam pidato mirip raja lawas dalam penghormatan mutlak.

Pidato adalah himpunan sabda untuk meminta keimanan politik secara kolektif. Masa kebekuan dan kekakuan Soeharto membuat Indonesia jadi trauma. Keberakhiran kekuasaan Orde Baru belum bisa melahirkan lagi pidato-pidato fenomenal. Penguasa hari ini malah kerap mendapati julukan suka “curhat” dalam pidato resmi atau improvisasi saat memberi keterangan pada pers. Pudato masih jadi ritual politik tapi kehilangan “api membara.” Pidato tak memiliki acuan dalam biografi diri dalam anutan tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Indonesia tampak membisu meski menyuarakan diri. Pidato-pidato di Indonesia hari ini adalah lirih dalam kehampaan kata dan kebangkrutan makna. Sejarah Indonesia adalah sejarah pidato. Sejarah ini mungkin bakal lekas berhenti saat kemalasan melanda Indonesia. Pergumulan dengan kata dan permainan tafsir telah dijinakkan oleh imperatif kekuasaan dan teknologi. Suara diri adalah suara artifisial atas nama negara dan pasar. Pidato pun menjelma catatan kaki. Orang tak memuliakan pidato dan merasa hilang dalam serbuan kata tak bermakna. Zaman pidato telah berakhir dan tergantikan oleh lirih-sentimentil atau nyanyi sunyi Indonesia. Begitu. 

Suara Merdeka (15 Agustus 2010)

Mistisisme Nasionalisme

Bandung Mawardi

Indonesia dari zaman ke zaman bisa terpahami sebagai ruang-geografis, imajinasi politik, atau hantu kekuasaan. Biografi itu terbentuk karena ada partisipasi, menegasi atau mengafirmasi. Jadi, Indonesia memiliki biografi ramai, tapi mengesankan ada permainan dominasi politik, dominasi yang mirip takdir kolonialistik. Rumusan-rumusan dituliskan, dilisankan, atau dipanggungkan. Dominasi politik akhirnya memikat meskipun kadang mengandung muslihat. Sejak itulah, komunitas politik terbentuk, agenda perubahan-perlawanan dijalankan, identitas diusulkan, dan ideologi disebarkan. Pikat ini melahirkan nasionalisme.

Konon, orang mengakui nasionalisme Indonesia itu lahir dari akar sendiri. Pengakuan ini bisa batal karena nasionalisme itu dipungut, diolah, diformulasikan, didandani dari negeri seberang. Intelektual-intelektual kita yang khusyuk dengan jagat-Barat mengusung nasionalisme itu saat studi di lembaga pendidikan kolonial, kuliah di Belanda, kerja di birokrasi kolonial, atau mengonsumsi kepustakaan yang dijadikan berkah dari mesin cetak dan paket modernitas pada peralihan abad XIX dan XX. Kita sengaja “melahirkan” nasionalisme, meskipun ada dalih nasionalisme itu datang sendiri ke negeri ini. Jadi, mirip keajaiban atas kemauan zaman. Nasionalisme pun ramai tafsiran, rumusan bisa bertentangan, pertarungan argumentasi disemaikan, dan pencirian kepribumian dijadikan agenda suci. Kajian sejarah sering sibuk dalam penjelasan dominan bahwa nasionalisme identik dengan politik, nasionalisme adalah kehendak emansipatif atas kolonialisme dengan jurus politik. 

Klaim ini mendapati interupsi dari Sartono Kartodirdjo saat mengusung gerakan-gerakan messianistik sebagai lakon kunci saat perlawanan di tingkat lokal. Paham Ratu Adil dan mistik-politik di pelbagai komunitas pribumi ikut memberi andil untuk perumusan nasionalisme. Elite Prolog ini adalah biografi (Indonesia) kita dalam alur mistisisme nasionalisme. Kaum elite politik di Jawa kentara kental dengan mistisime dalam pergerakan politik dan kultural. Politik mungkin jadi pagelaran kasat mata, tapi mistisisme justru legitimasi dari nalar-imajinasi tradisional, meski rasionalitas Barat telah memikat dalam represi atau sugesti. Ilmu politik modern bisa mengakui, elite hadir dan terakui karena kharisma. Ilmu ini bakal terlampaui karena nasionalisme kita justru dilambari, dibingkai, dan disebarkan dengan mistisisme. Elite kita menimba ilmu dari mistisisme wayang, mitos kekuasaan tradisional, kejawen, atau mengacukan diri pada mistik Hindu dan Islam. Penobatan tokoh politik, agama, atau kultural sebagai Ratu Adil atau Sang Juru Selamat adalah konsekuensi dari pembesaran mistisisme nasionalisme. 

Kemodernan politik memang digulirkan, tapi biografi kita tak bisa mengelak dari mistisisme. Elite kita secara terbuka untuk luluh dalam mistisisme. Jadi, mistisisme bisa saja menaikkan derajat politik, menimbulkan jarak dari politik praktis, atau malah jalan perlawanan simbolik. Kita bisa menilik mistisisme nasionalisme ini dari biografi para elite. Mereka masih mereferensikan diri dalam wayang. Epos Mahabharata dan Ramayana diuraikan untuk kepentingan mendefinisikan peran bumiputera dalam zaman kolonial. Simbol-simbol tradisional disuguhkan demi menarik minat massa atau membentuk relasi mistis. Ritual menandingi rapat politik. Seni tradisional dimaknai dalam naluri mistik. Persemaian mistisisme nasionalisme ini juga menggunakan instrumen kemodernan. Kaum elite, intelektual, pujangga biasa membaca, menerjemahkan, atau menulis buku dalam anutan mistisisme. Perkumpulan mistik pun subur sebagai pilihan atas zaman kolonialisme. Sebaran buku dan majalah pada awal abad XX juga riuh oleh tema-tema mistisisme. 

Mengapa mistisisme intim dengan nasionalisme? Soekarno adalah sebuah jawaban. Sosok ini identik dengan biografi mistisisme dan kematangan mengusung nasionalisme di publik. Nalar kemodernan dalam agenda politik tak bisa hadir telanjang, Soekarno memerlukan tarikan atas mistisisme sebagai jaminan atau konsensus untuk gerakan massa. Model ini kelak jadi pengetahuan umum, kaum elite bakal mengumumkan diri masih silsilah penguasa, tokoh suci, atau pujangga pada masa Majapahit, Demak, atau Mataram. Jadi, nasionalisme itu dihadirkan dengan ritual, imajinasi, dan kesakralan. Otokritik Jawaban atas intimitas mistisisme dan nasionalisme masih melimpah. Kita bisa menengok juga pada sosok S K Trimurti. Perempuan ini kondang sebagai tokoh pergerakan politik pada masa kolonial, wartawan mumpuni, tokoh organisasi perempuan, dan tokoh kebatinan. Keberakhiran riwayat kolonial masih menampilkan intimitas antara nasionalisme dan nasionalisme. Kekuasaan tampak memberi restu. Kita malah mengagendakan seminar dan kongres kebatinan pada 1950-an. Masa itulah nasionalisme disemaikan, revolusi didengungkan. Nasionalisme kita belum utuh modern atau meniru mutlak dari nasionalisme ala Barat. 

Orde Baru masih melanjutkan intimitas ini, sekarang pun mungkin nasionalisme belum bisa dipisahkan dari mistisisme, meski wacana dan lakon politik fluktuatif. Trimurti mengakhiri karier politik saat disingkirkan dari Gerwani. Politik tidak memungkinkan diri hadir dalam kekisruhan, persaingan, pertentangan, dan konflik. Politik tidak ditampik, tapi dijauhi karena zaman belum lekas terang. Trimurti memilih jalan kebatinan, mistisisme disemaikan dengan merawat nasionalisme, tanpa harus ekstase politik. Sejak itulah, Trimurti identik dengan majalah Mawas Diri, majalah kebantinan yang ikut memberi arti pada biografi Indonesia dan persemaian nasionalisme usai kolonialisme. Percikan permenungan Trimurti (Tempo, 21 April 1990) pantas jadi acuan: “Raga kita sudah banyak diatur oleh dogma, undang-undang, pemerintah, dan norma-norma. Jadi, biarkanlah batin kita melayang ke mana ia suka.” Pengakuan ini muncul saat Orde Baru menggelar lakon politik dominasi. Mistisisme memberi jalan kebebasan dari belenggu kolonial, revolusi, dan pembangunanisme. Kita mungkin rikuh untuk mengakui nasionalisme kita adalah mistisime kita. Pengakuan tak mutlak diberikan, tapi otokritik atas nasib nasionalisme kita adalah keharusan agar pertanyaan-pertanyaan atas perubahan tidak macet di lembaga-lembaga politik, undang-undang, universitas, pabrik, buku, atau televisi. Begitu. 

Koran Tempo (8 Agustus 2010)

Selebritas, Novel, dan Publik

Bandung Mawardi

Negeri ini sedang kikuk dan ekstase gara-gara transaksi politik-uang, aib korupsi, demam film horor, candu musik cinta picisan, atau perayaan seksual “selebritas”. Ekstase ini pantas disinonimkan dengan istilah “seni merayu massa” ala Garin Nugroho (2006). “Seni merayu massa” sedang dioperasionalkan oleh politisi, mafia hukum, selebritas, atau menteri. Mereka menyapa publik melalui internet, televisi, radio, ponsel, koran, tabloid, dan majalah. Semua ingin “menjajakan diri” untuk mendapati pujian dan legitimasi publik demi permainan hasrat dan pamrih. Intensitas merayu kadang bisa memuncak menjadi berkah kendati tak bebas dari mala. Peredaran berita dan adegan seks sekarang susah terbendung gara-gara publik melunaskan penasaran dalam aroma selebritas. Ekstase hari ini mirip dengan satire dari Ignatius Haryanto (2006): “aku selebritas maka aku penting.” Kredo ini plesetan dari percik permenungan Descartes untuk merepresentasikan pemusatan imaji dan aura dalam sosok selebritas. 

Selebritas menjadi lakon puncak ketimbang publik menekuni ulah politisi “meminta” uang atas nama rakyat, kegenitan para mafia hukum, atau keraguan mendapati “aktor” pembasmi korupsi. Hari-hari ini milik selebritas dengan produksi prasangka: skandal seks, pornografi, hukum, kriminal, atau etika jagat maya. Televisi, koran, tabloid, atau website sibuk mencari berita dalam seribu satu versi untuk dijadikan repetisi pada publik agar “memamah” sebagai materi penting. Repetisi ini masuk ke siapa saja dengan embel-embel investigasi, kilas balik, diskusi, atau debat. Nalar dan imajinasi publik ingin diperangkap dalam repetisi demi mengurusi selebritas. Model ini justru melegitimasi selebritas dalam pertarungan citra. Penyelamatan diri dan siksa-karma dalam aktivitas selebritas pun sanggup melenakan acara-cara berita di televisi untuk menaikkan porsi pemberitaan dengan dalih atas nama kepentingan publik. Garapan tentang selebritas di negeri ini masih didominasi dalam acara gosip atau infotainment. Menu tambahan adalah penghadiran selebritas dalam kuis, acara kuliner, obrolan kesehatan, sinetron. atau ajang pencarian bakat. 

Diskursus selebritas memang mengesankan “kehausan” tapi jarang masuk dalam tafsiran dan proyek argumentasi multiperspektif. Selebritas jadi pusat tanpa topangan wacana. Makna kehadiran selebritas rentan karena “paket eksploitasi” dan mengesankan ada karena “puja penonton.” Fanatisme terbentuk oleh godaan parsialitas untuk pengesahan hiburan. Publik memerlukan hiburan sebagai taktik “melupakan” deretan panjang masalah hidup. Konsumsi hiburan menjelma kesibukan prestisius. Novel Garapan kritis tentang jagat selebritas ditampilkan oleh Veven Sp Wardhana dalam novel Stamboel Selebritas (2004). Novel ini diacukan pada dalil: “Kita memang lebih jago membongkar aib selebritas ketimbang menguliti pejabat publik.” Veven memilih bentuk novel untuk menghadirkan jagat selebritas dalam keterpanaan imajinasi dan gosip. Publik dalam “mangsa gosip” mungkin terseret dalam prasangka dan apologi tanpa sadar atas otoritas merumuskan argumentasi. Novel memerlukan waktu, argumentasi, refleksi, dan sangsi. Naluri pembacaan inilah modal mengurusi selebritas secara kritis. Sinis mungkin ada tapi tak sekadar sebagai ocehan amis. Novel tebal ini mungkin prolog dari sastra sebagai kemungkinan penyadaran atas rezim selebritas. Pemakaian judul Stamboel Selebritas sengaja dijadikan proyek kritik untuk “menampar” kemabukan publik terhadap jagat selebritas. Veven menjelaskan: “Barangkali ada benarnya, jika mereka (kaum selebritas) tak ubahnya para nyai zaman silam yang mendengarkan dan mendendangkan dengen sukacita musik stambul utuk menunjukkan bahwa mereka di atas masyarakat inlander. Karena itu, terus terang, meskipun saya coba menyelami dunia batin para selebritas, novel ini jauh dari niatan mengkultuskan mereka....” Stamboel Selebritas tak sekadar “novel” karena si penulis merupakan praktikus media.

Produksi buku-buku tentang budaya massa, televisi, dan gaya hidup garapan Veven menjadi pembuktian mengenai novel sebagai pilihan sadar untuk menelisik sisi luar dan sisi dalam selebritas dalam pikat imajinasi atau “olahan gosip.” Novel mungkin sekadar jadi bacaan untuk segelintir orang ketimbang pilihan publik untuk menikmati lakon selebritas melalui televisi, internet, koran, atau tabloid. Novel ada tapi “miskin umat” karena konsumsi lakon selebritas menepikan literasi. Novel Stamboel Selebritas tak gentar oleh puja publik dalam prosedur menonton. Kondisi ini mirip kodrat “picisan.” Neil Postman pun lantang mengejek bahwa pecandu televisi menginginkan proyek tragis: “menghibur diri sampai mati di depan televisi.” Durasi panjang selebritas di televisi telah menentukan lakon hidup penonton. Gosip perceraian, skandal, pernikahan, atau liburan selebritas mirip “ayat-ayat suci” untuk bisa merasai hidup dalam gelimang dusta dan petaka. Novel mungkin tak pantas sekadar dijadikan “catatan kaki” bagi pecandu televisi. Veven pun tak ingin luluh oleh puja televisi. Novel Stamboel Selebritas justru sanggup mengisahkan karut-marut kehidupan kaum selebritas. Artis, penyanyi, model, atau bintang iklan dalam model “penelanjangan” oleh media massa mungkin melenakan publik. Novel hadir untuk refleksi dan memarodikan lakon hidup dalam buaian narasi-narasi wagu ala selebritas. Novel ini mengingatkan kendati diabaikan oleh “umat televisi.” Selebritas Sastra di negeri ini memang belum intim dengan selebritas. Produksi buku sastra dari kalangan selebritas mungkin sekadar penanda dari “jalan lain” godaan popularitas.

Publik pembaca awam pun lekas terkesima tapi tak memerlukan diri untuk menikmati sastra sebagai prosedur mengenali manusia (selebritas).Penghormatan memang pantas diberikan ketimbang membuang seribu kalimat untuk “menyerbu” ulah selebritas. Kalimat tak mempan dan curiga kerap mental. Kesadaran relasional antara sastra dan selebritas itu kalah tanding dengan geliat publik untuk mengonsumsi aib selebritas. Lakon “persenggamaan hangat” justru menggairahkan publik suntuk memikirkan dengan sekian pamrih: mengecam, membela, prihatin, atau kasihan. Nilai kebenaran jadi kabur kendati televisi secara intensif mengabarkan prosedur menggapai “kebenaran” dalam persaingan sengit untuk mutu jurnalistik atau gosip. Pengaburan itu kentara saat berita tentang “persenggamaan hangat” memasuki ranah berita dan diskusi karena ditautkan dengan hukum, undang-undang, atau etika publik. Selebritas mungkin kerasan tinggal dalam geliat gosip dan “sekarat nalar.” Produksi sastra oleh selebritas hampir jadi menu lekas terlupakan gara-gara produksi gosip dan repetisi merebut perhatian pecandu televisi. Kerja sastra untuk mengungkap lakon selebritas melalui novel pun memerlukan “keajaiban” untuk penyadaran publik. Selebritas memang penting karena diperhatikan dan dieksploitasi? Begitu? 

Seputar Indonesia (25 Juli 2010)

Proyek “Menemukan” Manusia Indonesia

Bandung Mawardi

Pelacakan tentang siapa yang “menemukan” manusia Indonesia, memerlukan ketekunan membuka lembaran-lembaran dokumen atau buku. Pelacakan itu juga minta legitimasi, melalui ingatan atas pewarisan cerita lisan, dari mulut ke mulut. Pekerjaan ini melelahkan, tapi menggairahkan, karena mengarah pada pembukaan tabir rahasia. Manusia Indonesia mungkin rahasia, karena tidak mungkin diartikan sampai pada pengertian paripurna. Siapa “menemukan” manusia Indonesia? Pertanyaan ini mengandung tendensi untuk mencari tahu siapa “perumus” atas sosok manusia Indonesia. Indonesia dalam kepentingan pelacakan ini kerap dilekatkan sebagai ruang politis, geografis, ekonomis, dan kultural. Para pengembara pada masa silam memiliki pelbagai catatan untuk mengenali sosok-sosok manusia di negeri ini. 

Pengamatan dan perbedaan konstruksi pencitraan, membuat pengabaran tentang manusia Indonesia di negeri-negeri lain kerap mengandung bias. Pengembara “menemukan” manusia Indonesia, lalu dituliskan dalam catatan atau berita. Manusia Indonesia terekam dalam lembaran-lembaran kata, gambar, atau foto. Penemuan manusia Indonesia terus bertambah dengan kerja politik, antropologi, ekonomi, kesenian, pariwisata, atau agama. Gambaran menarik tersimpan rapi, narasi berbau “kolonial” termaktub dalam catatan-catatan antropologi. Mereka, antropolog asing, tekun mengamati sosok manusia-manusia, dibedakan-diklasifikasikan dengan sekian ciri unik. Pendefinisian dilakukan, meskipun sekadar mencari persamaan dan perbedaan, saat dibandingkan dengan manusia-manusia di negeri lain. Kerja ini terasa kompleks, tapi telah membuka pintu besar untuk “menemukan” manusia Indonesia. Antropolog adalah “penemu”, meski kerap salah dan gagal menetapkan definisi resmi manusia Indonesia. Kehadiran para pedagang, penyebar agama, ilmuwan, dan kaum kolonial juga meninggalkan jejak-jejak ikhtiar mereka untuk mengenali manusia-manusia di negeri ini. Mereka mungkin tidak merasa “menemukan” manusia Indonesia, tapi rintisan melalui definisi yang menerangkan postur tubuh, kulit, bahasa, gaya hidup, pakaian, atau ritus menjadi prolog proyek pembakuan. Penemuan manusia Indonesia memang tampak ganjil, seolah manusia Indonesia itu ada, dan bisa dikatakan hadir karena otoritas orang dari negeri seberang dalam melakukan pencatatan dan pengisahan. 

Cara pikir ini mungkin ironis dan meremehkan. Bagaimana kesahihan ikhtiar menemukan manusia Indonesia dari perspektif orang luar? Manusia-manusia Indonesia dalam sekian abad memang membutuhkan sejenis “pengenalan resmi”, meski tidak permanent, untuk memberi batasan-batasan normatif. Pekerjaan para pengembara, penyebar agama, pedagang, antropolog, diplomat politik, juru warta, fotografer, atau seniman telah memberi kontribusi besar dalam proyek “menemukan” manusia Indonesia dengan sekian salah dan revisi. Warisan-warisan dari kerja keras mereka memang bakal aneh ketika dibaca dengan kesadaran politis dan kultural hari ini. Manusia Indonesia seperti makhluk inferior karena harus dijelaskan dari pandangan luar dan rentan dalam intervensi diri. Manusia Indonesia seperti tak bisa mengatakan diri melalui tulisan, gambar, atau kisah lisan. Efek inferiorisasi ini adalah pemicu keinsafan menemukan diri sendiri dengan tumpukan kesalahan dan kebenaran dari para pemula kendati mereka orang-orang asing. Manusia Indonesia menemukan diri sendiri, tentu saja merupakan idealitas dari kepemilikan identitas. Proyek ambisius ini susah direalisasikan, saat manusia-manusia di negeri ini tidak mengenali mekanisme dan medium. Dunia sendiri mungkin bias dirasakan dan diafirmasi, tapi bakal tak memberi apa-apa pada orang lain, ketika ingin menyapa dan mengenali dengan jagat pikir modern. 

Jejak-jejak dari pengenalan terhadap manusia Indonesia meski belum kental ada kemauan mengenali diri hadir dalam buku Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006) dengan editor Bernard Dorleans. Buku ini memunculkan citra manusia Indonesia oleh “mata” Prancis dalam pelbagai sisi kehidupan. Tulisan tentu menjadi pintu masuk modern untuk membaca kronologi proyek menemukan manusia Indonesia. Kabar terang begitu terasakan pada awal abad XX ketika manusia-manusia di negeri ini memiliki kompetensi menulis diri. Kesanggupan mengolah bahasa membuat mereka mafhum, bahwa tulisan bisa jadi cara mendefinisikan diri kendari masih harus ada dalam bayang-bayang kolonial. Usaha menemukan manusia Indonesia mulai bisa dikenali melalui sosok dan tulisan Hoesein Djajadiningrat, Noto Soeroto, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adhi Soerjo, Mohammad Hatta, Marah Rusli, Abdoel Moes, Soekarno, Muhammad Yamin, Amir Hamzah, dan lain-lain. Abad XX telah melahirkan kesadaran menemukan diri sendiri dengan klaim-klaim politik, sosial, ekonomi, agama, seni, dan kultural untuk disahkan sebagai manusia Indonesia. Babak menggegerkan terjadi ketika pada tahun 1970-an, ketika Mochtar Lubis mengeluarkan risalah kritis dan satir: Manusia Indonesia. Publik tersentak dan lekas menilik kembali sejarah diri, dalam bingkai dan labelitas Indonesia. Ikhtiar lain dilakukan oleh A. Teeuw dengan publikasi buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997). Buku ini menjadi babak lanjutan dari proyek “menemukan” manusia Indonesia dalam pembacaan diri pengarang dan tokoh-tokoh dalam teks sastra. Proyek “menemukan” manusia Indonesia telah dibebani dengan pengesahan afirmasi atas nilai-nilai kemodernan, sebagai cara untuk membedakan dengan masa lalu dalam sorotan tradisional. 

Manusia Indonesia belum selesai ditemukan dan dirumuskan. Pendefinisian ulang atau revisi ternyata masih memerlukan otoritas orang asing, sebab ikhtiar menjelaskan diri memiliki keterbatasan, gara-gara perangkat ilmu pengetahuan dan operasionalisasi bahasa. Kerja keras untuk memunculkan kesadaran kritis dalam ikhtiar menemukan dan merumuskan diri dilakukan oleh Radhar Panca Dahana dengan publikasi buku Menjadi Manusia Indonesia (2001) dan Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2007). Radhar Panca Dahana mengingatkan, tulisan sanggup menjadi prosedur menemukan diri, ketimbang dipecundangi sikap konsumtif terhadap pelbagai sihir modernitas. Siapa mau melanjutkan proyek “menemukan” atau menjadi manusia Indonesia?

Koran Tempo (18 Juli 2010)

Rezim Aksara Latin

Bandung Mawardi

Konon, negeri ini dikenalkan dengan pemakaian aksara Latin, secara resmi, sejak abad XVI. Alif Danya Munsyi (2005) menandai dengan pendirian sekolah pertama di Ambon, 1536, oleh penguasa Portugis, Antonio Galvao. Aksara Latin datang dari negeri seberang karena perdagangan, petualangan, misi agama, dan hasrat kolonialisme. Jadi, rezim aksara Latin itu sudah “mengutuki” kita sekian abad silam, tapi tanpa resistensi kultural? Kekalahan dan “ketaatan” kita atas aksara Latin, mungkin saja, terbentuk karena lengah dalam basis kultural dan politik. Hari ini, siapa mau mengurusi kesejarahan kita dan biografi etnik di Nusantara dengan penelisikan aksara. Kita telah terbuai oleh aksara Latin, sehingga proses dan kondisi literasi saat ini susah menantang curiga ideologis. Keseharian kita, menghidupi dan dihidupi dengan aksara Latin, sebab dalam tatapan dan tindakan apa pun, aksara Latin bertaburan di buku, koran, poster, spanduk, televisi, atau pembungkus makanan. Aksara Latin itu ada dalam diri kita, tapi mungkinkah merepresentasikan ironi kesejarahan identitas kultural-politik di Nusantara? Sejarah bisa lenyap, saat memori kolektif atas aksara Pallawa, Kawi, Jawi, Batak, Jawa, Sunda, atau Bali, tinggal jadi rosokan di museum atau perpustakaan. Kita susah memiliki modal untuk membaca aksara-aksara itu, apalagi merasa menginternalisasi dengan tindakan produktif, menulis atau menerjemahkan dengan aksara etnik. 

Aksara-aksara etnik memang masih ada, tetapi mulai terdefinisikan sebagai sesuatu yang “asing”, “usang”, atau “eksotis.” Kita seperti tak melihat diri atau menemukan diri dalam aksara-aksara etnik. Kita hilang dalam aksara etnik? Kita merasa tidak menjadi apa atau siapa dalam aksara Latin? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak pernah memburu kita atau memunculkan mimpi buruk saat melihat zaman mengabsenkan sejarah diri dan etnik. Nasib Kesadaran terhadap makna aksara telah mengalami desakralisasi. Pemakaian aksara Latin, dalam satire picisan, mirip dengan cara kita makan dan mengenakan pakaian, tapi menanggalkan sejarah dan jejak identitas diri. Aksara Latin sebagai aksara global, menyerap kita ke dalam, merebut akar lokalitas, untuk pencapaian tataran komunikasi terstandarisasi. Penerimaan ini dalam acuan kultural, tidak sekadar merayakan konsensus komunikasi global, melainkan mencakup homogenisasi lewat operasionalisasi ideologis yang menelusup dan bergerak melalui aksara. Curiga kultural dan kemauan menyingkap laten ideologis dalam aksara mungkin saja merepotkan kita. Namun, kesanggupan memerkarakan aksara bakal membukakan kita pada sejarah kekalahan dan kematian “identitas-etnik.” Aksara dalam komunitas etnik tidak sekadar materi huruf. Di dalam aksara itu mengandung sejarah, legenda, mitos, filsafat, sastra, estetika-kaligrafi, teologi, dan simbol. Aksara juga menunjukkan otoritas kekuasaan, intelektualitas, keagamaan, dan kultural. 

Aksara menjadi juru bicara dari tipologi kultural suatu komunitas etnik. Aksara sama dengan identitas. Sakralitas ada dan merasuk dalam aksara, sehingga memberi aksentuasi keberimanan sosial-kultural untuk merayakan hidup. Kisah aksara ini telah ditepikan dan dilenyapkan oleh kita dan mereka. Ranah kekuasaan mungkin pihak paling bersalah. Pelbagai sumber sejarah mencatat, tradisi surat menyurat kalangan penguasa kerajaan lokal di Nusantara pada abad XVI kerap memakai bahasa Melayu, kendati dituliskan dengan aksara-aksara lokal. Tradisi ini berubah saat kolonial “memaksa” penggunaan aksara Latin dalam korespondensi demi kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan. Merak mengerti bahasa Melayu, tetapi susah mempelajari aksara-aksara etnik. Mereka juga merasa perlu menantang dominasi pengaruh penggunaan aksara Arab atau modifikasi aksara Arab-Jawa dalam praktik politik, pendidikan, hukum, dan pola sebaran agama di Nusantara. Aksara Latin pun dimunculkan untuk menciptakan hegemoni. Para penguasa takluk. Aksara Latin menjelma medium penjinakkan, meski ada embel-embel untuk pemberadaban. 

Aksara-aksara etnik sekarat. Sekian aksara malah dilenyapkan untuk memupus resistensi. Kebiadaban tercipta gara-gara politik aksara. Pelacakan terhadap nasib aksara-aksara etnik di Nusantara juga bisa kita temukan dalam sejarah penerjemahan Alkitab. J L Swellengrebel dalam Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara (2006) menerangkan, proyek perjemahan Alkitab ke bahasa lokal (Jawa, Dayak Ngaju, Batak, Makasar, Bugis, Melayu, Sunda, dan Nias) menggeliat secara fenomenal pada abad XIX. Pola penerjemahan dengan misi agama ini tentu melibatkan praktik transaksi bahasa, estetika, politik, kultural, dan teologi. Nasib aksara lokal dan godaan aksara Latin dipertaruhkan dalam kerja besar itu. Jejak masih ada dan efek masih kita rasakan sampai hari ini, kendati memori melemah karena intimitas terhadap aksara Latin lebih mengena ketimbang aksara-aksara etnik. Legitimasi Abad XIX dan XX merupakan zaman gemilang untuk dominasi aksara Latin. Pendirian lembaga pendidikan, kerja birokrasi kolonial, lakon keraton, dan revolusi mesin cetak di Nusantara identik dengan rezim aksara Latin. Aksara ini memang memberi pengaruh laju modernitas dan menyadarkan kalangan pribumi atas sejarah kekalahan. Aksara Latin sebagai simbol penjinakkan, juga dijadikan senjata perlawanan oleh kita, melalui pemakaian dalam tulisan-tulisan menantang ulah kolonial. Kaum intelektual, pergerakan, wartawan, dan pujangga kita memakai aksara Latin, tapi menaruh spirit resistensi agar tak kalah telak. Pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris menjadi pelaku untuk merayakan aksara Latin di Nusantara. 

Konon, masa pemerintahan singkat oleh Inggris pada abad XIX, malah ikut “merestui” sebaran aksara Latin. Mereka memaksakan diri agar segala bentuk edara produksi pemerintah memakai aksara Latin, sehingga penguasa lokal pun harus menurut untuk partispasi dalam lingkaran kekuasaan mereka. Aksara Latin juga eksplisit dijadikan penantang agar pengaruh pemakaian aksara Arab, pengaruh masa Islam, tidak memberi identitas bagi Nusantara. Pertarungan aksara terjadi, tapi takdir kekalahan mesti kita terima. Legitimasi aksara Latin kentara dalam garapan tata bahasa Melayu (1901) oleh C A van Ophuijsen. Pembakuan bahasa Melayu dilakukan oleh pihak penguasa kolonial. Ejaaan-ejaan memakai aksara Latin. Inilah kekalahan sistematis, sebab buku itu dijadikan standar dalam pengajaran di Hindia Belanda. Efek dari rezim aksara Latin ini adalah nalar, imajinasi, perasaan, atau mimpi kita “terbentuk” dalam dunia asing, tapi dipaksakan untuk dipribumikan melalui perangkat politik, hukum, sastra, atau pendidikan. Konsekuensi kultural tidak pernah rampung diselesaikan pada zaman itu karena lengah atau repot. Efek aksara Latin pun juga menentukan rintisan pemunculan gagasan atau imajinasi “nasionalisme” melalui revolusi mesin cetak. Aksara Latin memberi kutukan dan berkah. Kita kerap kalah, tapi enggan melacak kesejarahan identitas diri melalui aksara. Begitu. 

Koran Tempo (4 Juli 2010)

Rabu, 11 Agustus 2010

Solo (Ekstase) Festival

Oleh Bandung Mawardi

Solo menjelma jadi kota festival. Agenda festival sepanjang 2010 menjadi bukti kemauan Solo mewartakan diri sebagai kota yang hendak memikat dunia. Ambisi ini mungkin memang mengandaikan proyek kultural kendati ada pamrih menjadikan Solo sebagai lahan investasi atau kota pelancongan. Nalar ekonomi dan pariwisata masuk dalam konstruksi Solo sebagai kota festival. Penentuan jadwal, materi, visi, atau misi dari sekian festival kentara mengolah adonan pelbagai kepentingan ekonomi, seni, politik, pariwisata, pendidikan, dan kultural.

Catatan atas pencapaian dan kelemahan festival-festival di Solo menandakan ada kesamaran dalam pemahaman konsep dan aplikasi. Pencapaian tampak dari pemartabatan tradisi lokal, kampung, dan etnik. Kelemahan pun tampak dalam pembuatan desain dan kesadaran dalam pembentukan jejaring dengan festival di kota atau negara lain. Ambisi Solo menjadi kota festival sedang ingin dibuktikan. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo optimistis, rangkaian festival bakal menjadi investasi untuk meningkatkan reputasi kota (Kompas, 24 Juli 2010).

Publik memang terkesima dengan rangkaian festival bertaraf lokal, nasional, atau internasional selama 2010. Sebut misalnya Solo International Ethnic Music (SIEM), Solo Menari, Festival Seni Kampung Solo, Solo Culinary Festival, Solo International Performing Art (SIPA), Solo Keroncong Festival, Festival Teater SMA, Festival Kethoprak Remaja, dan Festival Dalang Anak. Penamaan dan pemaknaan festival itu patut dipertanyakan ulang. Pemakaian bahasa pun bisa menjadi indikasi dari orientasi proyek festival di Solo.

Festival

Istilah festival dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah atau pesta rakyat. Definisi ini sudah mengesankan bahwa agenda festival di Solo memang cenderung untuk menjelma sebagai pesta rakyat. Pembuktian ini tampak dari pilihan tempat, tema, tiket gratis, dan antusiasme partisipasi publik. Pembenaran ini juga menyisakan tanya dalam urusan pilihan sajian, seniman, atau format.

Festival-festival dengan taraf internasional kadang kurang membumi alias sekadar menghadirkan tontonan dalam keterasingan mengacu pada kesadaran lokalitas. Klaim atas etnik atau tradisi lokal kerap terkooptasi oleh garapan-garapan modern atau kontemporer. Dua istilah ini mungkin rancu tapi bisa memberi indikasi tentang kepentingan sekadar menjadikan tradisi atau lokalitas sebagai tempelan atau dekorasi dalam sajian festival.

Muatan kultural dalam sekian festival memang kental sebagai pengabar dari identitas kota. Misi ini kadang kurang terpahami publik karena lemah dalam komunikasi pesan dan penguraian tema dalam bahasa kelokalan. Pilihan kata festival saja sudah membuat orang curiga karena istilah merepresentasikan kemauan dari acara. Istilah ini laris dijadikan sebagai label acara di pelbagai kota tapi kadang abai dengan tarikan untuk memaknai secara lokal-membumi. Festival memang istilah asing (Latin) kendati rangkaian acara seni-kultural mirip festival telah ada di Nusantara ini sejak lama. Penamaan jadi urusan penting untuk menilik batas sadar, peka kultural, dan penggapaian utopia.

Pemaknaan festival pada masa sekarang secara substansial mengarah pada pemenuhan ekspresi spiritual, seni, ekonomi, pendidikan, identitas, dan pariwisata. Persaingan kepentingan rentan terjadi jika terdapat pemisahan atau hierarki pamrih. St Sunardi (2005) mengingatkan, kegandrungan mengadakan festival di Indonesia malah menimbulkan tanya pelik. Festival semula mengacu pada ritual. Kondisi ini berubah dalam tatanan modern. Festival mulai identik dengan kekuasaan. Pemaknaan festival sebagai pesta rakyat telah terkendalikan oleh sistem kekuasaan. Penyelenggaraan festival membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan butuh ritual sehingga perlu membuat festival. Apakah ini bakal jadi doktrin? Sunardi malah memberi kritik pedas: "Festival akan melemah dan mati sejauh festival hanya menjadi ritus kekuasaan." Kritik
Kritik ini bisa jadi acuan untuk mengomentari ekstase festival di Solo. Pemerintah kota memang identik dengan sekian festival dan memiliki peran penting. Perhatian ini bisa diartikan sebagai bentuk kemauan kekuasaan untuk memberi restu, modal, dan aturan. Konsekuensi dari andil ini adalah kemunculan efek kompleks dalam nalar ekonomi, kultural, politik, atau pendidikan. Festival-festival di Solo memang kerap melibatkan pemerintah kota tapi batas dari intervensi tampak samar karena berkelindan dengan partisipasi dari pelbagai kalangan: pengusaha, tokoh partai, tokoh agama, intelektual, atau budayawan. Kepentingan diolah bareng untuk diatasnamakan sebagai "kemauan" atau "pengharapan" dari publik.

Kegandrungan membuat festival kentara dipengaruhi oleh efek dari sekian festival pada tahun-tahun lalu. Antusiasme publik secara kuantitatif dan kualitatif ikut membuat kota jadi moncer. Kehadiran seniman-seniman dari pelbagai kota dan negara menjadikan Solo sebagai taman pertemuan kultural. Pelaksanaan agenda-agenda internasional di Solo pun dijadikan sebagai target mendapati apresiasi. Efek ekonomi dalam investasi atau pariwisata adalah indikasi logis dari peran festival. Promosi dan penyadaran kolektif tentang lokalitas atau tradisi mungkin jadi argumen menantang.

Ekstase festival ikut mengubah dan memberi pengaruh dari pertumbuhan kota. Persemaian tradisi menemukan jalan terang dan agenda modernitas pun melenggang dengan girang. Proyek Solo sebagai kota festival memang ambisius karena memerlukan modal dan politik. Kota tekun didandani untuk molek. Publik disuguhi pola identifikasi diri dalam kesanggupan melakukan aktivitas hidup di kota gara-gara festival.
Perubahan-perubahan ini perlu dijadikan sebagai dalil untuk melakukan penilaian kritis dan progresif agar kota festival tidak sekadar jadi lahan permainan nalar ekonomistik, pariwisataisme, atau arogansi kekuasaan. Festival sebagai ritual atau pesta rakyat patut diamini tapi penamaan dan pamrih memerlukan kesadaran bahasa agar pergulatan identitas tidak sekadar jadi catatan kaki.