Laman

Kamis, 23 September 2010

Foto Mengisahkan Manusia


Bandung Mawardi

Cara mengenali pengarang kerap mengacu pada kata. Pengakuan diri atau segala hal dengan acuan diri dituliskan dan diberikan pada pembaca untuk dinikmati sebagai pintu masuk membaca dan menilia manusia. kehadiran teks-teks sastra merepresentasikan kekuatan kreatif pengarang tapi tak bisa utuh mengisahkan diri pengarang. Pelacakan atas segala hal diri pengarang biasa dibeberkan dalam buku biografi atau otobiografi.
Jean-Paul Sartre dalam Les Mots, Orhan Pamuk dalam Istanbul, dan Edward W. Said dalam Out of Place mengisahkan diri dengan timbunan kata. Bab-bab dalam buku mereka sama-sama memberi perhatian atas makna kehadiran foto sebagai kunci mengisahkan diri dan keluarga. Foto mengantarkan mereka pada imajinasi masa lalu untuk tahu silsilah, situasi zaman, dan karakter manusia. Foto pada kehidupan si pengarang adalah tanda dalam pengelanaan masa lalu dan energi penciptaan imajinasi masa depan.
Sartre dalam kalimat-kalimat keras mengisahkan diri melalui profil kakek. Sartre menganggap si kakek merupakan korban dari penemuan mutakhir: fotografi dan seni menjadi kakek. Fotografi telah ikut menentukan perubahan dan kemapanan karakter kakek sebagai lelaki dengan sekian ambisi. Narasi Sartre bisa jadi sejenis nostalgia satire: “... dia suka berpose dan menyusun tablo hidup; apa saja dijadikannya dalih untuk mendadak mengambangkan suatu gerak, membeku di dalam sikap indah tertentu, seolah-olah membatu.”
Sartre memang tak mengalami saat-saat si kakek merasai nikmat dan kecanduan dengan penemuan fotografi. Sartre sekadar membuat pembayangan melalui perantaraan pose-pose dan ekspresi wajah si kakek. Bahasa foto itu telah membuncahkan sekian tafsir dan konklusi: “Dia sangat keranjingan saat-saat pendek yang melestarikan dirinya itu, saat ketika dia menyulap diri menjadi patung dirinya sendiri.” Kesuntukkan membuka dan membaca foto-foto kakek mengantarkan Sartre melihat foto diri sendiri ketika usia lima tahun. Foto bersama kakek itu telah mengabarkan masa lalu Sartre dalam kegenitan dan kasih kakek. Sartre menemukan diri melalui foto. Sartre menemukan diri dalam narasi panjang silsilah keluarga melalui adegan-adegan di foto.
Nostalgia keluarga pun dikisahkan dengan apik oleh Said melalui foto ayah. Said mendapati kisah bahwa ibu menyimpan dua foto si ayah ketika mengenakan seragam militer. Dua foto itu memberi legitimasi mengenai karakter ayah dan otoritas ayah terhadap keluarga dan bangsa. Said jadi penasaran dengan kisah ayah ketika perang. Jawaban-jawaban diberikan tapi pelit dan membuat Said susah menembus selubung biografi ayah dan orang-orang terdekat sezaman dengan ayah. Foto telah menyimpan misteri.
Misteri lumayan tersibak ketika Said memandangi foto keluarga dalam pelbagai poses dan beda waktu. Said kecil tampak menikmati diri ketika difoto dan menampilkan diri dalam wajah sumringah. Said kecil seperti telah menyimpan optimisme untuk menjalani hidup dengan suka cita kendati sejak kecil telah diliputi misteri dan identitas paradoks. Said mafhum dengan misteri pelik ini tapi kehadiran diri di foto seperti jadi penggalan-penggalan untuk bisa menemukan ikatan-ikatan dengan masa lalu terkait keluarga, bangsa, kondisi zaman, dan karakterisasi diri.
Nasib apes dialami Said gara-gara foto ketika ia sudah dikenal sebagai intelektual papan atas di dunia. Kisah pedih ini diungkapkan Said dalam esai kecil “Freud, Zionis, dan Wina.” Said suatu hari melakukan kunjungan ke Lebanon untuk mengingat jejak-jejak perang Israel-Lebanon pada tahun 1980-an. Said tidak tahu pada momen ia melempar batu-batu kecil di daerah perbatasan bersama sekian anak muda sebagai suatu “keisengan.” Adegan ini berhasil dijepret oleh fotografer dan disebarkan ke pelbagai koran di Israel dan dunia dengan narasi fitnah. Said dalam foto itu dikatakan sebagai “teroris penyambit batu” dan “pria gila kekrasan”. Foto telah menghancurkan reputasi Said dan kebohongan tersiar dengan mudah untuk dipercayai siapa saja. Ironis!
Pengalaman historis dan puitis atas foto justru dialami Pamuk ketika mengisahkan diri melalui kegemaran keluarga mendokumentasikan diri dalam foto. Pajangan foto selalu menghiasi rumah keluarga Pamuk. Tata letak foto menggambarkan posisi dan peran sesorang dalam sejarah keluarga. Kesadaran atas makna foto tampak dari tata ruang rumah dan kehadiran foto-foto anggota keluarga ketika masih keil sampai menjadi tua. Pamuk  mengungkapkan: “Setelah mengamati foto-foto ini, saya jadi menghargai pentingnya melestarikan saat-saat tertentu untuk generasi yang akan datang, dan seiring waktu berlalu saya pun menyadari betapa kuatnya pengaruh gambar-gambar di dalam bingkai ini terhadap kami tatkala kami menjalani kehidupan sehari-hari.”
Kesadaran itu juga diselipi dengan keinginan naif: “... betapa jauh lebih menyenangkannya kehidupan di luar bingkai foto.” Pamuk ingin bahwa pengalaman hidup tidak harus terjepret dan menjadi foto sebagai pamrih mengabadikan. Momentum untuk mengalami peristiwa jadi penting dinikmati tanpa harus terganggu oleh poses-pose tak alami dan kerap berlebihan demi kesempurnaan hasil jepretan.  Foto menjadi dilema atas peristiwa dan makna kehadiran manusia.
Pamuk dalam Istanbul memang dominan memakai kekuatan kata untuk mengisahkan kota dan diri. Pengisahan ini menjadi utuh dan intim karena Pamuk menampilkan pelbagai foto dari masa-masa berbeda mengenai kota. Foto hadir dengan bahasa visual dan pemicu imajinasi untuk mengantarkan pembaca pada pengenalan tanda-tanda kota Istanbul. Kota itu tampil dengan wajah-wajah tidak stabil dan mengesankan karena harus selalu bisa menyelesaikan pertemuan pengaruh dari Timur dan Barat. Istanbul menerjemahkan diri dari dua sumber besar. Kondisi ini membuat manusia-manusia di Istanbul pun harus sadar identitas. Pamuk bergulat dengan sekian persoalan pelik untuk sampai pada pemahaman identitas kultural dan petualangan sastra-intelektual.
Sartre, Said, dan Pamuk telah mengisahkan diri dengan foto. Foto-foto dalam kehidupan mereka juga telah mengisahkan pelbagai hal tentang manusia dan sejarah dunia. Foto mengungkap misteri tapi juga memiliki selubung-slubung misteri untuk selalu ditafsirkan. Foto sebagai proyek nostalgia kerap membuat orang sadar diri dengan masa lalu. Kesadaran mengabadikan diri dengan difoto pun mengisyaratkan ada ikhtiar menciptakan kisah masa depan. Foto hadir dengan serpihan-serpihan makna esksitensialis ketika manusia sadar melihat diri di lembarang atau bingkai foto.
Foto sebagai tanda telah memberi pintu masuk pada siapa saja menemukan diri atau malah menghilangkan diri ketika susah membedakan kenikmatan mengalami dalam peristiwa atau menunda pemberian makna dengan foto. Zaman visual telah memerangkap manusia pada kesadaran-kesadaran artifisial. Otentisitas diri mulai kabur karena segala hal mesti terbahasakan dengan foto. Pemaknaan atas foto mengalami bias karena represi dari motif-motif untuk pencitraan berlebihan. Citra telah jadi candu. Foto dipaksa untuk cerewet. Foto pun mulai mengisahkan manusia sampai lelah. Begitu.
      
Majalah Gong No 119/XI/2010

Teknologisasi Kehidupan

 
Bandung Mawardi

Masa depan kerap lahir dari fiksi. Imajinasi menjelma ramalan terhadap perubahan dunia. Konstruksi masa depan tak melulu dilambari nalar. Orang memerlukan imajinasi untuk bisa “mengecilkan” dunia dengan telepon, radio, mobil, pesawat, televisi, atau internet. Dunia fiksionalitas ditafsirkan melalui sains dan teknologi untuk membuktikan tentang kuasa imajinasi dalam membentuk dunia.
Teknologisasi kehidupan pada masa lalu mungkin termasuk dalam bid’ah karena harus mencari legitimasi alot dari anutan agama, adat istiadat, atau konservatisisme politik. Sangkalan diajukan dengan keras memakai argumen-argumen kolot: teknologi merusak naluri hidup alamiah,  teknologi memperhamba manusia pada setan, teknologi menodai kesucian agama, atau teknologi membunuh fantasi-imajinasi sakral. Teknologi pada suatu hari adalah “musuh bebuyutan” untuk kelak menjadi idaman.
Kisah penemuan telepon bisa dijadikan acuan reflektif. Publik menganggap telepon adalah alat ke dunia entah berantah. Peristiwa orang berkomunikasi dengan telepon dianggap terkena ilusi setan. Orang-orang kadang menjuluki itu praktik mistik dan menebar wabah kegilaan. Institusi agama juga cemas karena telepon sebagai realisasi nalar-imajinasi seolah mengantarkan manusia pada ketidakmasukakalan normatif dalam formalitas kehidupan.
Masa kelam itu telah usai. Kesadaran atas teknologisasi kehidupan perlahan membuat manusia mafhum tentang progresivitas hidup dengan penemuan dan kehilangan. Konsekuensi teknologi mengajarkan pada manusia tentang kesanggupan manusia mendandani dunia dengan optimistik. Segala tentangan lekas menemukan jawaban dan argumentasi rasional. Dunia pun mengalami keajaiban. Orang bisa melakukan komunikasi beda tempat tanpa harus melakukan mobilitas tubuh. Telepon menjadi berkah dari gelisah manusia untuk “mempertemukan” diri dalam “pengecilan” dunia. Makna ruang berubah dan pemampatan jarak memicu redefinisi diri.

Refleksi
Refleksi teknologis pantas dijadikan orientasi untuk memerkarakan masa lalu dan mengangankan masa depan. Jacques Ellul (1964) mengisahkan  bahwa terbitan l’Express (Paris) edisi 1960 pernah menyuguhkan tulisan-tulisan “ramalan” tentang teknologisasi kehidupan pada tahun 2000. Tulisan-tulisan dari para wartawan, pengarang, ilmuwan, dan ahli teknologi itu melampaui science fiction.  Ramalan memukau untuk kondisi dunia tahun 2000: “Perjalanan ke bulan menjadi hal lumrah.” Ramalan itu memang terbukti. Hari ini orang bisa melancong ke luar angkasa. Teknologi telah membuat manusia sadar dengan nalar-teknologis. Ellul malah mengartikan realisasi teknologi pada abad XX dan XXI melampaui utopia-utopia filosofis. 
Teknologisasi kehidupan pun menjadi kodrat karena pelbagai proyek negara, universitas, atau institusi sains menjadi penopang dari perayaan teknologi. Publik mengalami “kecanduan teknologi” mengacu pada progresivitas hidup dalam kalkulasi kuantitatif dan kualitatif. Hari ini teknologisasi kehidupan malah jadi “nafas keseharian.” Orang rindu dan menantikan kehadiran model teknologi terbaru dari telepon genggam, televisi, mobil, internet, atau komputer. Kemanjaan hidup terbentuk dengan pemberian harga fantastis: “eksistensi diri dan martabat kemanusiaan.”
Kondisi dan konsekuensi teknologisasi kehidupan mesti direfleksikan secara kritis. Filsafat teknologi hadir untuk memberi referensi. M Sastrapratedja menjelaskan bahwa filsafat teknologi hari ini memiliki tiga pendekatan: (1) epistemologis; (2) antropologi; (3) metafisik atau ontologis. Semua pendekatan ini mengurai segala masalah relasi manusia dengan teknologi. Risiko eksistensial pun dijelaskan dengan memerkarakan struktur, kondisi, dan kesahihan teknologi. Teknologi memiliki ciri life-centered (berpusat-pada-kehidupan). Ciri ini menentukan kodrat antropologis untuk menjadikan manusia sebagai manusia tanpa harus menghambakan diri terhadap teknologi. Ranah ontologis menghendaki manusia sadar diri membuat kontruksi-orientatif untuk pemakaian teknologi. Manusia adalah pemilik otoritas dari makna eksistensi dir di hadapan teknologi.

Distansi
Teknologisasi kehidupan hari ini mungkin membuat orang miris karena manusia hampir tak bisa mengelak dari kehadiran teknologi. Fungsionalisasi teknologi kadang membuat manusia lupa dalam urusan materialisasi dan nilai dari kebermaknaan diri. Ketergantungan dan kecanduan membuat manusia kehilangan tautan diri dalam sumber-sumber pemaknaan eksistensialis. Hidup dalam pemanjaan teknologi justru membuat manusia hampir hilang arti karena dunia dikerumuni oleh hasil-hasil teknologi melimpah. Populasi teknologi mungkin kelak bakal menggusur manusia dari kesadaran ruang hidup.
Uraian filsafat dari Don Ihde mengenai relasi manusia-teknologi pantas dijadikan refrensi kesadaran hari ini. Ihde menjelaskan bahwa teknologi memang menjadi fenomena global tapi mesti total. Fakta tentang orang “mengalami dunia” karena teknologi adalah kelumarahan. Ihde justru menghendaki manusia mesti memiliki distansi terhadap teknologi (Francis Lim, 2008: 164165). Distansi ini bakal mengingatkan manusia pada kodrat diri untuk tidak luluh dalam kuasa teknologi. Distansi terbentuk karena dialektika.
Teknologisasi kehidupan mirip takdir. Manusia ada dalam keremangan sebagai subjek atau korban. Kenikmatan dan ekstase teknologi mungkin telah membuat manusia alpa dengan pertaruhan eksistensi diri. Keseharian telah membuat manusia mengikatkan diri dengan teknologi dalam pelbagai agenda hidup: mandi, makan, sekolah, tidur, senggama, atau ibadah. Nasib manusia mungkin bakal ditentukan oleh keberlimpahan teknologi dan persaingan ontologis  dalam pemberian makna eksistensialis. Begitu.              

Suara Merdeka (23 Agustus 2010)

Imajinasi Indonesia


Bandung Mawardi

Benedict Anderson pernah mengeluh karena publik susah mencari novel ganjil dengan judul Indonesia dalem Api dan Bara (1947). Novel ini mengisahkan tentang geliat revolusi dan resah rasistik dengan latar di Surabaya dan Malang. Latar waktu pada masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Anderson menganggap novel ini pantas jadi acuan reflektif untuk mengimajinasikan Indonesia dan mencari letak dalam historiografi politik Indonesia. Novel garapan Tjamboek Berdoeri ini eksplisit memakai judul dengan memakai kata Indonesia. Judul memang terkesan provokatif dan lekas membuai pembaca dengan pemunculan imajinasi tentang Indonesia. 
Indonesia dalem Api dan Bara jadi suguhan ke publik usai Anderson menemukan novel itu di Jakarta (1962). Inilah celotehan Anderson (2009) mengenai kehebatan Tjamboek Berdoeri: “Jang sungguh2 menakdjubkan adalah keunggulan serta keanekaragaman gaja prosanja, jang oleh Pramoedya Ananta Toer sulit ditandingi.” Tjamboek Berdoeri juga dilimpahi pujian: “Dia seperti mengarang dalam suatu bahasa indah tanpa nama.”
Penilaian ini mungkin hiperbolik ala “pembaca Indonesia” dengan gairah petualangan dalam hutan “rimbun-kata”. Anderson dalam urusan ini memiliki peran untuk mengingatkan kembali pada mekanisme imajinasi pembaca atas Indonesia. Pembacaan novel mungkin bakal menggairahkan ketimbang suntuk dengan sekian jilid buku sejarah standar: Sejarah Nasional Indonesia. Novel memiliki hak untuk menempati lahan sejarah tanpa harus dicurigai sebagai pemutar-balik atau perusak narasi sejarah Indonesia. Imajinasi memerlukan penghormatan untuk memberi arti atas persaingan klaim kesejarahan atas nama kekuasaan atau korban.
Nama asli Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjing. Penulis ini lolos dari pendataan dan pembicaraan dalam sejarah sastra modern di Indonesia. Pengarang sejak mula telah tersingkir dan terabaikan. Penulis secara ekplisit memberi pesan dalam kata pengantar: “... ini boekoe sekedar sebagi tjatetan-tjatetan peringetan bagi anak-tjoetjoenja, soepaja marika itoe poen mengetahoein apa jang perna dalamken oleh orang-orang jang hidoep di zaman pantjaroba.” Pesan ini mengabur dalam kelam perubahan zaman dan pelupaan akut oleh pembaca-pembaca sastra atau sejarah.

Produksi
Imajinasi Indonesia sebelum novel Indonesia dalem Api dan Bara telah disemaikan dalam novel Spionage-Dienst: Pacar Merah Indonesia (1938) garapan Matu Mona (Hasbullah Parindurie). Novel ini oleh “pembaca Indonesia” dan “ahli Tan Malaka” mendapati tempat terhormat sebagai teks untuk mengimajinasikan Indonesia. Harry A Poeze menilai novel ini merupakan novel petualangan memikat dengan pengisahan spionase, politik, dan romantika. Indonesia dalam novel ini membuat pembaca mutakhir bisa mengenangkan tentang geliat ideologi komunis dan impian Indonesia oleh para tokoh pergerakan. Tan Malaka, Alimin, Muso, Darsono, dan Semaun menjadi ikon dari pengimajinasian Indonesia dalam novel ala picisan ini.
Dua novel itu telah memberi jejak historis untuk orang bisa mengenangkan Indonesia masa lampau. Imajinasi mengantarkan pada pergulatan-pengalaman mendefinisikan tentang Indonesia dalam masa kolonial dan kemerdekaan. Indonesia ada dalam novel-novel itu kendati hadir dalam produksi imajinasi. Puluhan tahun novel-novel itu diam tanpa pembaca dan tafsiran. Hari ini novel Indonesia dalem Api dan Bara dan Pacar Merah Indonesia seolah jadi pemantik untuk proyek mengimajinasikan Indonesia dengan gairah bahasa dan tak terjinakkan oleh pembakuan sejarah. Imajinasi mungkin membuat Indonesia tumbuh dengan subur.
Pelacakan atas imajinasi Indonesia diperlukan untuk merefleksikan tentang pasang surut pemaknaan Indonesia dalam cengekraman politik dan ekonomi. Novel mungkin menyelamatkan kepemilikan dan pengalaman atas Indonesia. Kondisi ini mirip dengan penjelasan-penjelasan kritis oleh Simon Philpot dalam Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism, and Identity (2000). Philpot menerangkan bahwa ada sekian teks hegemonik tentang pembacaan Indonesia. Teks-teks itu memiliki kuasa pemaknaan dan kerap menjadi rezim dari prosedur merekonstruksi Indonesia. Kehadiran teks-teks hegemonik membuat imajinasi Indonesia tersingkirkan dengan tangisan dan luka.

Teks
Imajinasi Indonesia memang kalah dengan dominasi pembacaan akedemik dan produksi teks tentang pelbagai hal dalam sorotan kolonial atau historiografi indonesiasentris. Sastra hampir tak mendapati ruang dalam pembacaan. Imajinasi menguap oleh fakta-fakta melimpah dengan persaingan tafsir dan klaim kesahihan. Indonesia pun menjelma “laboratorium teori dan konklusi.” Kemiskinan imajinasi membuat Indonesia kehilangan darah dan gairah untuk membuat orang merasa memiliki atau mengalami. Ironi ini kentara bukan jadi urusan genting oleh negara.
Sastra sebagai rumah imajinasi untuk pengolahan-pertumbuhan bahasa mengalami diskriminasi. Indonesia seolah lahir karena produksi teks dari rumah sejarah, politik, ekonomi, atau  pendidikan. Imajinasi Indonesia seperti ambisi mengembalikan diri pada pencairan atas pembakuan oleh konstitusi, institusi politik, dan rezim kekuasaan. Imajinasi memberi jalan pembebasan tanpa harus tunduk pada rumusan-rumusan formal demi pemartabatan Indonesia.
R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia (2008) mengingatkan: “Sebelum abad XX, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada.” Pernyataan ini memaksa orang untuk menelisik proses proyek membetuk Indonesia dan kelahiran manusia Indonesia. Legitimasi politis tentang pembentukan Indonesia sebagai negara pada 1945 tidak mencukupi kepentingan orang mengalami Indonesia dan merasai-menjadi Indonesia. Indonesia sebagai gagasan ditelususi oleh Elson melalui teks-teks antropologi, geografi, politik, ekonomi, dan sejarah. Imajinasi masih mengering dan mampat. Sastra sebagai ruang persemaian untuk imajinasi Indonesia terasingkan dan terlupakan. Kondisi ini membuat Indonesia hampir jadi “teks tertutup” tanpa gelimang imajinasi dan gairah tafsiran. Begitu.

Radar Surabaya (22 Agustus 2010)

Sejarah (Politik) Indonesia = Sejarah Buku


Bandung Mawardi

Soekarno moncer sebagai pembaca, penulis, dan orator. Buku dan olah kata identik dengan penguasa Orde Lama ini. Ia meninggalkan setumpuk buku, ia pencatat biografi diri dan Indonesia. Para ahli tak bisa menampik, membaca sejarah (politik) Indonesia adalah membaca tulisan-tulisan Soekarno. Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sarinah, atau Indonesia Menggugat mirip lembaran-lembaran kehidupan manusia dan negeri Indonesia, dari zaman ke zaman, dengan pengekalan bahasa.
Kematian Soekarno bukan kematian buku. Para pembaca yang  fanatik, akademik, atau awam masih menekuni buku-buku Soekarno, jumlah pun bertambah. Sosok dan buku-buku Soekarno juga menginspirasi orang untuk menulis-menerbitkan buku: biografi, memoar, catatan kesaksian, esai obituari, buku persembahan 100 tahun, atau disertasi. Soekarno identik dengan Indonesia, identik dengan buku. Jadi,  Indonesia identik dengan buku.

Buku
Indonesia sebagai negeri buku dijadikan argumentasi bagi Simon Philip (2003) yang menggarap tafsir (sejarah) politik Indonesia melalui buku-buku produksi para ahli Indonesia. Mereka membaca Indonesia, memakai buku-buku tentang Indonesia, tulisan dari orang Indonesia atau pengamat. Garapan ini yang membuat buku-buku Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Muhamad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, atau Mohamad Natsir menjadi sumber-sumber memikat. Philip membuat sebutan atas pembacaan Indonesia oleh para Indonesianis sebagai “teks-teks hegemonik.” Indonesia termaktub dalam buku mereka, seolah mengalihkan dunia politik ala tokoh-tokoh kita dalam buku-buku babon kajian Indonesia, buku yang lahir dari proyek penelitian asing.
Kerja penelitian Philip adalah contoh ironi. Indonesia lahir, berubah, mati dalam buku. Semua ini jadi penanda zaman. Buku-buku warisan tokoh-tokoh kita jadi bukti visioner atas kemauan membayangkan Indonesia masa depan. Indonesia sebagai tema mendekam di buku, mengalir ke bilik-bilik kajian politik, ekonomi, sosial, seni, pendidikan, dan kultural ke penjuru dunia melalui buku. Indonesia adalah dunia buku.
Soekarno sebagai penguasa dan penulis buku seperti meramalkan diri, Indonesia menemukan eksistensi dari olahan kata, hadir dalam format buku. Peran penguasa Orde Lama itu tak tergantikan oleh penguasa Orde Baru. Buku masih jadi medium politik, meski Soeharto bukan pecandu buku atau penulis. Orde Baru malah menempatkan buku sebagai strategi konstruksi politik otoritarianisme. Buku dihadirkan dengan kesemuan demokrasi, sebaran ideologis, penjinakkan massif. Indonesia masih negeri buku, negeri bergelimang pertarungan gagasan dan ideologi. Hegemoni buku jadi modal kekuasaan Orde Baru.

Hegemoni
Krishna Sen dan David K Hill (2001) memakai “argumentasi buku” dalam membaca dan menilai relasi media, budaya, dan politik di Indonesia. Mereka mengungkapkan: “... dunia penerbitan buku merupakan lokus yang signifikan dari globalisasi kehidupan kebudayaa Indonesia selama Orde Baru.” Argumentasi ini jadi pembuka tafsiran atas intervensi politik Orde Baru melalui buku. Pelarangan buku-buku subversif menjadi taktik-politik-licik, memberi akses untuk buku-buku penopang rezim adalah ritual politik, melakukan kontrol dan sensor adalah kegenitan politik. Buku dijadikan seteru dan sekutu oleh Orde Baru melalui kebijakan-kebijakan otoriter. Lakon ini membuat pembacaan Indonesia kerap mengalami kerancuan ketimbang pada masa Orde Lama.
  Produksi buku-buku studi Indonesia kerepotan mencari referensi. Buku melimpah di pasaran. Pilihan susah ditentukan karena ideologi Orde Baru bersemayam dan bertebaran dalam buku. Pembaca masuk dunia abu-abu, menampik atau mengamini, tunduk atau melawan. Buku mirip senjata politis. Efek mungkin melampaui peluru atau bom. Buku bisa endemik untuk mengubah pikiran, imajinasi, dan tubuh. Indonesia pada masa Orde Baru kentara mengalami hegemonisasi buku.
Lakon politik atau sejarah politik Indonesia gampang mengaburkan sumber-sumber referensi alternatif. Representasi dari represi atas buku dan bentuk-bentuk perlawanan terbuka ata tersembunyi bisa ditilik dalam buku Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi (1982) suntingan William H Frederick dan Soeri Soeroto. Buku ini merangkum sekian materi buku tentang Indonesia, membagikan penggalan-penggalan sejarah, dan menelusupkan perlawanan atas hegemonisasi buku oleh Orde Baru. Buku ini ensiklopedik, membuat mozaik pembacaan sejarah (politik) melalui jagat kata-buku. Sejarah (politik) Indonesia adalah sejarah buku.

Melimpah
Nasip apes buku pada masa Orde Baru lekas tergantikan dengan iklim (lumayan) kondusif usai 1998. Produksi buku melimpah. Agenda merevisi sejarah (politik) Indonesia dirayakan dengan gairah. Buku-buku yang mati suri atau dibungkam Orde Baru bisa terbit dan diedarkan kembali. Kondisi ini membuat nalar dan imajinasi atas sejarah (politik) Indonesia mengalami “pusing.” Bibliografi Indonesia mirip air bah, pembaca kelimpungan. Indonesia memang (masih) negeri buku. Buku memang sejarah kita, sejarah dengan pertarungan ideologis. Manipulasi, gugatan, revisi, pelurusan dilakukan atas nama pertaruhan menghidupi dan mematikan Indonesia.   
Hegemonisasi buku ala Orde Baru masih meninggalkan trauma. Kelimpahan buku di hari ini berkah dalam petaka? Penyadaran atas kemajemukan versi sejarah (politik) Indonesia menjadi perayaan atas kebebasan. Perayaan ini kadang menimbulkan “sakit” karena pembaca disuguhi menu berkelimpahan. Sejarah (politik) Indonesia mungkin bisa jadi amburadul atau semu. Indonesia tetap negeri buku, kendati buku-buku bisa memberi kutukan, menyesatkan pembaca dalam ruang-ruang perseteruan tafsir atas sejarah (politik) Indonesia. Begitu.

Koran Tempo (22 Agustus 2010)

Sastra Jawa Modern dan Sastra Dunia

Bandung Mawardi

Orang Jawa ternyata sudah memiliki pergaulan intim dengan sastra dunia sejak abad XIX. Ada sebuah teks sastra saduran dari Barat yang dipublikasikan di Jawa. Novel legendaris Robinson Crusoe anggitan Daniel Defoe disadur ke dalam bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Tenaya dengan judul Lelampahanipoen Robinson Groesoe terbit tahun 1881. Kehadiran novel saduran ini membuktikan bahwa bahasa Jawa memungkinkan menjadi medium untuk mengenalkan orang Jawa pada kisah petualangan di negeri-negeri lain.
Sastra menjadi perantaraan hubungan orang Jawa dengan dunia internasional. Kesadaran untuk membaca sastra menjadi indikasi keterbukaan orang Jawa untuk menyerap pengetahuan dan hikmah dari negeri lain. Pilihan saduran Robinson Crusoe ke bahasa Jawa juga menguatkan dugaan bahwa proses pembentukan sastra Jawa modern ditentukan oleh relasi kebahasaan, ilmu pengetahuan, estetika Barat, dan politik kebudayaan kolonial. Publikasi Lelampahinpoen Robinson Groeso pada abad XIX merupakan sisi lain dari model saduran dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf Von de Wall dan bahasa Sunda dengan judul Robinson Crusoe (1879) oleh Karta Winata (Jedamski, 2006: 29).
Model saduran merupakan modal awal dalam pembentukan sastra Jawa modern karena memiliki kelonggaran pilihan bahasa dan estetika. Cerita petualangan dipilih mungkin didasarkan pada semangat zaman saat itu ketika kolonialisme mengajarkan ada interaksi pelbagai negeri dengan perbedaan dan keunikan. Novel Robinson Crusoe adalah cerita filosofis mengenai manusia yang terdampar di sebuah pulau. Tokoh ini mesti hidup dengan segala keterbatasan dan pemakaian akal agar tidak mati. Pencarian makna hidup dilakukan melalui kesadaran terhadap alam dan kekuasaan adikodrati. Novel ini kentara memerkarakan eksistensi manusia di dunia. Saduran ke dalam bahasa Jawa merupakan kejutan meski lebih mengambil tendensi pada sisi petualangan.
Masa awal pembentukan sastra Jawa modern pada awal abad XX dijelaskan oleh George Quinn (1992: 1) dalam enam kategori: pakem atau ringkasan prosa cerita wayang kulit, terbitan ilmiah teks berbahasa Jawa, terjemahan-terjemahan misionaris, traktat-traktat, buku-buku ajar, koran, dan sastra novelistik berbahasa Belanda, Cina, dan Melayu. Sastra saduran masuk dalam kriteria terakhir tapi jelas menentukan kecenderungan orientasi sastra Jawa modern karena memiliki relasi kuat dengan pertumbuhan sastra Melayu, Cina Peranakan, dan Sunda pada peralihan abad XIX ke abad XX. 
Sejarah sastra Jawa modern patut diperiksa kembali sebelum fakta-fakta historis terlupakan oleh perdebatan tentang nasib sastra Jawa mutakhir atau keruntuhan sastra-sastra Jawa klasik. Buku Telaaah Sastra Jawa Modern (1975) susunan Suripan Sadi Hutomo belum menjelaskan secara detail mengenai proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa modern. Suripan secara ringkas cuma menginformasikan bahwa sastra Jawa modern tumbuh bebarengan dengan laju pertumbuhan pers di Jawa, pembentukan institusi budaya dan penerbitan oleh kolonial, dan hubungan-hubungan antara pengarang Jawa dengan para ahli Jawa dari Belanda secara literer dan bahasa atau administrasi kolonial.
Memeriksa ulang sejarah sastra Jawa modern bakal mengingatkan publik mengenai otentisitas sastra Jawa dan proses pendakuan pada publik Jawa bahwa sastra itu menunjukkan identitas atau sastra itu adiluhung. Bias kolonial dan pertemuan peradaban Barat-Timur pada abad XIX jelas menjadi argumentasi kuat bahwa sastra Jawa modern itu lentur dan gampang melakukan penyesuaian mengacu pada jiwa zaman dan tingkat pengetahuan estetika kalangan pembaca. Sastra Jawa modern memiliki topangan kuat pada kemunculan kelas elite intelektual dan proyek pendidikan oleh kolonial.
Peran pers dan Balai Pustaka sering dijadikan parameter dalam gairah pertumbuhan sastra Jawa. Pemahaman ini memang normatif tapi terkadang melupakan jalur-jalur alternatif dalam penulisan dan publikasi sastra Jawa modern di luar garis pemerintah kolonial. Pelacakan mengenai teks-teks sastra Jawa modern membutuhkan ketekunan sebab dokumentasi pada masa itu masih belum memadai. Para ahli Jawa pun terus mengalami kesulitan untuk membuat kronologi sastra Jawa modern mengacu pada pelbagai sumber dan fakta historis.
Perhatian Balai Pustaka pada tahun 1920-an dan 1930-an memang besar dalam mengurusi sastra Jawa. Perhatian itu mungkin tendesius ketimbang perhatian pada sastra Sunda dan sastra Melayu (Indonesia). Penerbitan sastra Jawa modern secara kuantitas cukup besar dan mendapati antusiasme dari kalangan pembaca di pulau Jawa sebagai pusat pembentukan masyarakat literasi. Novel-novel saduran atau terjemahan pada tahun 1930-an masih jadi andalan dan melengkapi khzanah penerbitan teks-teks sastra anggitan pengarang Jawa.
Publikasi terjemahan novel Kantjing Lawang (1932) anggitan J.B.P. Moliere ke dalam bahasa Jawa oleh Soewignja menunjukkan intensitas hubungan sastra Jawa dengan sastra dunia. Novel ini secara implisit direstui oleh pemerintah kolonial karena diterbitakan oleh Balai Pustaka. Novel dari pengarang Prancis itu mengandung satire zaman dan memberi pengetahuan kritis terhadap dunia nilai di Eropa. Penerjemahan memungkinkan publik pembaca Jawa sadar terhadap karakter sastra dunia dan lakon kehidupan di negeri-negeri Eropa. Pertautan dunia nilai juga menjadi medium reflektif bagi pembaca Jawa mengenai tranformasi peradaban di Timur dalam proyek modernitas dalam bayang-bayang kuasa kolonialisme. Sastra dalam proyek modernitas menempati posisi penting karena menjadi representasi lakon manusia dan kehidupan di dunia modern.
Agenda menyusun sejarah sastra Jawa modern memang membutuhkan kerja keras dan komitmen besar. Informasi tentang kelahiran dan pertumbuhan novel Jawa modern harus juga dilengkapi dengan kasus cerpen dan puisi Jawa modern. Jakob Soemardjo (2004: 104) menganjurkan bahwa diperlukan pelacakan terhadap cerpen dalam kaitan dengan pertumbuhan dunia pers di Jawa. Novel saduran atau terjemahan cenderung terbit sebagai buku tapi cerpen dan puisi mayoritas terbit di koran dan majalah. Embrio dari pemunculan cerpen Jawa modern terdapat dalam publikasi majalah Sri Poestaka pada tahun 1923. Informasi ini pantas dijadikan modal untuk memikirkan sastra Jawa modern agar tidak terus ada dalam keminderan dan pesimisme sebab sastra Jawa modern sejak mula telah intim dalam pergaulan dengan sastra dunia. Begitu.

Solopos (22 Agustus 2010)

Jumat, 17 September 2010

Kepentingan di Balik Hipokrasi


Oleh Fanny Chotimah

            Setelah Nazriel ‘Ariel’ Ilham mendekam di penjara, publik dibuat menunggu keputusan akan penetapan status jadi tersangka atau tidaknya Luna Maya dan Cut Tari. Melihat masyarakat kita dan kebanyakan media yang bermain di wilayah dangkal, saya tidak heran jika kasus ini menjadi sangat kontoversial. Fokus media tampaknya lebih mementingkan nilai jual objek beritanya daripada kepentingan membela hak-hak sipil masyarakat. Menurut Peter Dahlgren (1992) kunci dari pemberitaan sebuah informasi yang bisa diterima oleh publik ada dua, yaitu: The analytic mode yang ditandai oleh referensial informasi dan kelogisan. Dan Storytelling mode ditandai adanya susunan narasi yang koheren yang membuat suatu plot cerita. The analytic mode merupakan prinsip jurnalisme namun pada prakteknya Storytelling mode yang lebih banyak digunakan. Terbukti jika Storytelling mode cepat sekali diterima diproduksi berulang-ulang tanpa dikritisi oleh publik. Bagi media tak perlu bukti atau referensi cukup penyajian yang meyakinkan dibumbui sedikit imajenasipun tak masalah. Sebuah berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepentingannya sudah tentu tak memberi pencerahan bagi publik. Sehingga reaksi publik pun menjadi tak masuk akal. Bahkan banyak pihak yang tak ada kaitannya dengan kasus pun turut menghakimi.
            Saya melihat aksi-aksi dibalik kelompok dan individu yang gemar berbicara tentang moral justru patut dipertanyakan motifnya. Bahkan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok ini mengingatkan saya akan Parabolani sebuah perkumpulan pemuda kristen di abad ke-4, selain bertugas sebagai relawan yang mengurus orang renta/ sakit dan menguburkan orang mati. Mereka pun bertugas sebagai bodyguard untuk uskup yang berkuasa. Parabolani bersenjatakan batu-batu dalam aksi melakukan kekerasan pada musuhnya. Mereka mengintimidasi hukum, prajurit keamanan kerajaan dan Dewan pemerintah. Tak jarang mereka melakukan aksi sepihak dalam menghakimi. Dalam film Agora (2009) tergambarkan betapa Parabolani yang mempercayai diri mereka sebagai pasukan kristus melakukan tindakan yang sangat tidak religius. Melakukan serangan dengan melempari batu pada kaum yahudi yang sedang melakukan perayaan hari Sabat di sebuah arena terbuka. Lalu menyerang kaum Pagan, menghancurkan Perpustakaan Besar Alexandria yang kala itu merupakan pusat ilmu pengetahuan yang menyimpan manuskrip ilmu pengetahuan selama 6 abad. Intimadasi terus dilakukan terhadap Dewan pemerintah terutama memaksa sang Prefect (sebutan untuk Gubernur) untuk mengikuti apapun perintah Uskup membelokkan firman Tuhan dalam kitab suci. Kala itu agama dijadikan semacam pembenaran untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan. Di sini peran negara untuk melindungi warganya tereduksi. Salah satu Pasal dalam UU Pornografi tentang adanya partisipasi masyarakat, sangat potensial menjadi sebuah payung hukum untuk pembenaran melakukan tindakan main hakim sendiri oleh kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya.
Menyaksikan Luna Maya dan Cut Tari yang harus mengenakan kerudung untuk datang saat pemeriksaan, saya merasakan ketakutan seorang perempuan dalam menghadapi preman-preman yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembela Islam, yang mengancam pihak berwajib untuk segera menangkap mereka dengan ancaman amuk masa. Saya merasakan ketidakmampuan aparat hukum dalam menegakkan keadilan dalam proses hukum. Saya merasa seperti berada kembali di jaman Agora pada abad ke-4 tahun 412. Masa ketika manusia masih menyangka bumi terletak di pusat semesta. (*)

1 Juli 2010

Minggu, 05 September 2010

Perempuan-perempuan Jokpin: Tubuh, Luka, dan Kuasa



Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.
 (Joko Pinurbo, “Penyanyi yang Pulang Dinihari”, 1991/2007)              

Oleh M. Fauzi Bodoh


1/ mukjizat

DALAM sejarah manusia, perempuan memiliki mukjizat yang datang dari bumi, bukan dari langit: dari tulang-belulang yang dibungkus daging, dari anggitan buas kekuasaan manusia, dari luka yang menggairahkan tragedi, di atas bumi makhluk manusia. Mukjizat ini tidak menjadikan perempuan nabi atau rasul, tapi sering menjadi aktor sekaligus korban tragedi dalam sejarah peradaban manusia. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi mukjizat dalam arti yang sebaliknya: menggugah tapi digugat.

Mukjizat perempuan itu terus-menerus menemani perjalanan manusia, khususnya perempuan, dalam mengalami tubuh, mengalami ingatan, mengalami pergolakan, mengalami kekuasaan, mengalami waktu: mengalami sejarah manusia. Sejarah itu perempuan: selalu bertumpu pada tubuh dalam luka, yang hendak dikuasai dan menguasai manusia.

Dan sastrawan-penyair, sepertinya, adalah yang selalu mendapatkan wahyu untuk menuliskannya. Atau, paling tidak, orang yang selalu beredekatan, bersinggungan, dan bersitegang dengan perempuan-perempuan zamannya. Lalu, mewartakan kepada segenap manusia. Sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul, seperti yang dialami Musa di tanah gunung Sinai, seperti yang dialami Muhammad di gua Hira, dan bahkan seperti seperti manusia-manusia yang beberapa saat yang lalu menyebut diri nabi-nabi: selalu dirundung protes, penentangan, pertikaian, peperangan, pengabaian, pengucilan, pengebirian, dan sebagainya, tapi hampir selalu menggairahkan: membentuk spektrum.

Spektrum mukjizat perempuan yang datang dari bumi itu selalu menggairahkan sastrawan-penyair untuk mewarnai karya-karya mereka. Ada yang datang membawa ketakjuban; ada yang datang membawa pentungan agama; ada yang membawa kerajaan dan negara; ada yang datang membawa simbolisme; ada yang datang membawa gairah; ada juga yang membawa tawa yang tragis penuh luka; juga ada yang membawa protes.

Untuk saat ini dan di Indonesia, berdasarkan pengalamanan dan pengetahuanku yang ceroboh dan bodoh, wahyu kenabian itu datang kepada Joko Pinurbo (Jokpin). Hampir sepertiga puisi-puisi Jokpin mengenai perempuan, terutama sebagai tokohnya, yang terhimpun dalam Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007.  Jokpin datang membawa nubuwat, kisah, luka, gairah, kenaifan, melankoli, protes, pengakuan, kesadaran, dan sebagainya, yang diwartakan-disampaikan dalam bait-bait tubuh perempuan.

2/tubuh

BAGI Jokpin, sepertinya tidak ada kitab suci yang pantas untuk diwartakan selain kitab tubuh. Dan tubuh, sebagaimana terwahyukan dari bumi, adalah perempuan, manusia yang paling intens mengalami bertubuh. Perempuan adalah tubuh; tubuh adalah perempuan, demikian wahyu bumi mengatakan kepada kita melalui Jokpin.

Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, menjadi kisah, tema, pokok, dan sekaligus, meminjam istilah Ignas Kleden, “tubuh sebagai suatu alat ucap”. Tubuh perempuan menjadi serangkaian huruf, yang membentuk kata dan kalimat, untuk menggapai isi dan makna. Pada akhirnya, membentuk kitab tubuh perempuan.

Siapakah dan apakah tubuh dalam kitab tubuh Jokpin? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Tanya saja pada penyairnya sendiri jika Anda ingin jawaban pasti. Tapi aku menduga, sekali lagi menduga, Jokpin memang mengisahkan kitab tubuh perempuan sebagai “penjara/makam jiwa” seperti dikatakan Platon, bahwa ada dualisme tubuh-jiwa, yang membedakan antara yang materi dan ide, dan yang memposisikan nilai tubuh lebih rendah di bawah ide. Namun, lebih jauh, Jokpin lebih pas kalau dikatakan mengikuti pemikiran Aristoteles, muridnya Platon, yang menolak dualisme Platon tersebut. Aristoteles menggambarkan ketakterpisahan antara tubuh dan jiwa (ide) seperti lilin dan bentuknya lilin (Synnott: 2002, 14-15).

Yang menarik, Jokpin sepertinya lebih banyak menggambarkan dan bergolak tentang lilin itu sendiri. Ya, tubuh perempuan sebagai lilin yang bisa membakar diri sendiri, menerangi orang lain, pemicu kebakaran, dan selalu bermasalah. Tubuh lilin: metafor, pokok, dan makna. Dengan cara ini, Jokpin bebas memainkan tubuh dalam puisi-puisinya dengan elegan, estetis, tragis, melankolis, dan terkadang naif yang menantang. Dan dengan cara itu, Jokpin memasuki tubuh tidak hanya sebagai “bait Roh Kudus” seperti yang dikatakan Santo Paulus (dalam puisi Jokpin tubuh bahkan bisa tidak kudus), tapi juga memasuki wilayah eksistensialisme tubuh seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre, “Tubuh adalah saya…Saya adalah tubuh” (Synnott: 2002, 11).



ADA beberapa perempuan yang laik dicatat dalam esai aneh dan jelek ini. Yang pertama adalah perempuan yang sudah termaktub dalam sejarah masa lalu: Kartini dan Maria Magdalena. Yang kedua adalah perempuan-perempuan kontemporer di sudut-sudut perkotaan seperti para penyanyi kelas bawah, PSK, dan sebagainya. 

Perempuan yang termasuk dalam kategori yang pertama bisa kita lihatlah pada puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Puisi ini dengan baik menangkap kegelisan, harapan, dan keputusasaan RA Kartini. Juga mampu menangkap suasana zaman dengan pernik-perniknya seperti kereta api, sawah-sawah, perempuan-perempuan tangguh, kebaya, batik, pabrik-pabrik gula, dan perahu layer. Tapi, dalam puisi ini, Jokpin tidak begitu intens menggunakan kepiawaiannya mengolah tubuh baik sebagai metafor, pokok masalah, atau alat ucap. Bisa dibilang, Jokpin gagal kalau kita mengaitkan dengan keintimanan dan kepiawaian Jokpin menggunakan tubuh perempuan. Padahal, kita tahu, kisah kasus RA Kartini sangat erat kaitannya dengan status dan identitas keperempuanan (femininitas) RA Kartini yang terkait dengan tubuh.

Berikutnya, penggambaran tubuh, pergolakan, dan pemberontakan perempuan bisa kita baca dalam Minggu Pagi di Sebuah Puisi. Puisi ini menggambarkan permasalahan seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang dan Maria Magdalena:

“Ibu hendak kemana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan mencari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjuk potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga  para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.”

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
            pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
            pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
            pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

(Joko Pinurbo, “Minggun Pagi di Sebuah Puisi”, 1998/2007)

Dalam puisi ini, yang profan dan sakral, yang kudus dan yang kotor, yang lemah dan yang kuat, memiliki eksistensinya sendiri dalam persentuhan dengan bagian-bagian tubuh: bibir, jari, dan vagina. Kedua perempuan itu sama-sama kehilangan; yang satu kehilangan anaknya yang pernah bertemu dengan Magdalena; Magdalena kehilangan eksistensinya yang telah dijarah oleh agama dan senjata. Jopkpin menggunakan tokoh-tokoh sejarah dengan membuat puisi-cerita yang memukau, padat, dan penuh protes kalau tidak mau mengatakan mendekonstruksi pemahaman.

Sayang, saya tidak begitu banyak tahu tentang Magdalena. Yang aku tahu dia, konon, adalah seorang pelacur. Ada juga yang mengatakan bahwa dia termasuk santo perempuan pada zaman dahulu ketika perempuan masih memiliki kekuasaan dalam gereja.

Yang menarik, pada akhir puisi ini, Jokpin memberikan gebrakan pertanyaan mistis-filosofis, bukan sekadar salam, “dan dua perempuan/mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?” Ada pemberontakan dan gugatan dalam puisi ini. Penutup puisi ini menggugat dan memprotes dengan sopan dan satiris. Perempuan dan agama dalam puisi Jokpin, sangat kental dengan aroma pemberontakan dan perlawanan terhadap pemahaman yang selama ini menghinggapi benak masyarakat. Selain itu, penggambaran bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap tabu untuk diucapkan malah digambarkan dengan muram, sedih, dan tragis, tapi tidak pornografis.

Berikutnya adalah perempuan-perempuan Jokpin kontemporer. Eksistensi tubuh perempuan menjadi tema reflektif yang memukau dalam puisi Di Salon Kecantikan. Pergolakan, pertentangan, keinginanan, hasrat muda, penundaan kekalahan, dan gugatan dalam tanya-tanya filosofis, masuk ke dalam kehidupan perempuan melalui tarikan tubuh yang termanifestasikan dalam konsep kecantikan. Kecantikan merasuki kehidupan perempuan untuk dibawa ke alam cemas, gundah, gelisah, was-was, dan kesadaran yang kalah dan tak berarti lagi di hadapan hasrat cantik. Eksistensi tubuh perempuan seakan mau tidak mau harus ditautkan dengan kecantikan: konsep yang terus-menerus berubah oleh kehendak zaman dan kepastian usia.

Semua itu bisa kita baca pada penggalan puisi Di Salon Kecantikan: “Mata, kau bukan lagi bulan binal/yang menyimpan birahi dan misteri”//”Rambut, kau bukan lagi padang rumput/yang dikagumi para pemburu.”// “Dada, kau bukan lagi pengunungan indah/yang dijelajahi para pendaki.”

Tentu sudah banyak yang membahas dan menulis tentang kecantikan. Tapi yang menulis puisi seintens, sedalam, dan sefilosofis Jokpin dengan menggunakan tubuh, aku belum menemukan bahkan dari para pemikir feminis. Apalagi yang menggunakan tubuh sebagai tema pokok dan alat pengucapan, aku belum pernah membacanya. Saat membacanya, aku bertanya-tanya: apakah Jokpin seorang perempuan? Apakah Jokpin sedang berada di salon berhari-hari untuk mengamati gejolak hati seorang perempuan?

Kalau dalam Di Salon Kecantikan kita membaca kecemasan yang tak terelakan, kita tidak menemukan kecemasan serupa dalam Gambar Porno di Tembok Kota. Kita dihadapkan pada perempuan tegar menghadapi kegetiran hidup yang termanifestasikan dalam tubuh-tubuh penuh luka. Bahkan, perempuan dalam puisi ini tampak cuek dengan permasalahan yang dihadapinya.

Dalam Gambar Porno di Tembok Kota (juga dalam Perempuan Jakarta, Di Sebuah Vagina, dan Perempuan Senja, dan Mei, meski tidak begitu intens penggunaan tubuhnya)  kita dihadapkan pada bagian-bagian tubuh perempuan dalam suasana muram penderitaan yang disimpan. Tubuh perempuan ditempatkan dan digambarkan dalam situasi-kondisi paradoks, antara kegairahan pesona tubuh dengan penderitaan. Tubuh, dalam puisi ini, menjadi alat ucap yang estetis tragis yang tersimpan dalam tubuh perempuan.

Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang  menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
…..

“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tidak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”                                                                           

“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”

(Joko Pinurbo, “Gambar Porno di Tembok Kota”, 1996/2007)

Jokpin mengembangkan konsep metafor tubuh menjadi alam semesta pada Kisah Semalam. Kita seakan dihadapakan dengan tubuh perempuan selaiknya kita berhadapan dengan alam. Tapi, kalau nuansa naturalisme bisa membuat kita merasa teduh, damai, dan tentram, kita malah dihadapkan pada tubuh dengan nuansa yang mengerikan, seperti saat kita menonton film 2012.

Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
            kota tua yang porak poranda pada wajah
                        yang mulai kumal dan kusam;
            langit kusut pada mata yang memancarkan
                        cahaya redup kunang-kunang;
            hutan pinus yang meranggas pada rambut
                        yang mulai pudar hitamnya;
            pada rumput kering pada ketiak
                        yang kacau baunya;
            bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
                        susut kenyalnya;
            pegunungan tandus pada pingul dan pantat
                        yang mulai lunglai goyangnya;
            dan lembah duka yang menganga antara perut
                        dan paha.

(Joko Pinurbo, “Kisah Semalam”, 1996/2007)
Perempuan-perempuan Jokpin berhadapan dengan kehidupan perkotaan seperti Jakarta. Kehidupan mereka tetap sama dan diceritakan dalam bait-bait tubuh penuh luka. Mereka berhadapan dengan budaya massa yang memperdayai tubuh-tubuh mereka. ”Memang tampak cantik ia/ dengan celana merah menyala// senja berduyun-duyun/mengejar petangmengejar malam// Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan/dengan airmata yang disembunyikan//. Perempuan-perempuan Jokpin tak ubahnya hiasan moral yang di tembok-tembok kota. Mereka menjadi ornamen kota.Mereka menghadirkan kemeriahan penuh luka. ”Kota akan kehilangan dia bila ia tidak lagi di sana,” kata Jokpin pada penutup puisi Perempuan Jakarta.
Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, bukan hanya kulit-daging dan tulang belulang, yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Tubuh perempuan membentuk semacam spektrum warna kelabu, yang membawa aroma tragis-puitis. Spektrum warna itu membentang dari atas kepala sampai dengan organ-organ intim.

3/luka

DARI pembacaan saya terhadap puisi-puisi Jokpin, bisa disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Jokpin merupakan  cerita-puisi yang kelam, penuh dengan luka di sekujur tubuhnya. Organ-organ tubuh perempuan terluka sayatan kekuasaan terutama pada bagian-bagian tubuh yang perlu atau harus menarik, bergairah, menawan, menggiurkan, dan penuh kontroversi seperti rambut, mata, bibir, wajah, buah dada, pinggul, vagina dan sebagainya.

Aku bahkan tidak menemukan satu perempuan pun dengan sedikit suka-cita, bahagia, tanpa derita dalam kehidupan puisi-puisi Jokpin. Jika pun ada, itu adalah perempuan yang hendak mengelak dengan cara cuek dan mengekspresikan kelukaannya dengan kebahagiaan yang perih. Perempuan-perempuan Jokpin adalah perempuan luka pada sekujur tubuhnya tanpa ampun. Perempuan Jokpin adalah perempuan yang berada dalam kondisi ″dukamu abadi″.

4/kuasa

SIAPA yang membubuhkan luka pada sekujur tubuh perempuan, penyairku? Siapa?

Eksplorasi tubuh perempuan dalam puisi-puisi Jokpin selalu bersinggungan dengan berbagai kekuatan eksternal tubuh itu sendiri. Di sini, Jokpin memasuki daerah kekuasaan, apapun itu, dengan membawa tubuh  perempuan untuk bercerita, menjadinya tema, pokok  masalah, dan terkadang menantang pemahaman dan perlakuan kejam terhadap tubuh perempuan.

Kebanyakan kisah, tema, pokok, dan alat ucap tubuh Jokpin adalah perempuan (luka). Kesadaran tubuh perempuan Jokpin ini memang tidak lepas dari pergolakan tubuh (perempuan) dalam sejarah manusia. Tubuh perempuan selalu menjadi masalah, pergolakan, permainan, pelecehan, pelarangan, perebutan, dan sebagainya atas nama kuasa-kuasa pemikiran filosofis, wahyu-wahyu agama, kerajaan-pemerintah, norma-norma tradisional, dan bahkan korporasi yang sekarang banyak menemani kehidupan perempuan.

Tubuh bagi Jokpin adalah “mayat//yang saya pinjam//dari seorang korban tak dikenal// dan tergeletak di pinggir jalan” (“Tubuh Pinjaman” 1999/2007). Puisi ini memang agak aneh jika menempatkan tubuh sebagai korban yang tidak dikenal. Padahal, kalau kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan melihat dengan jelas, korban itu adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah korban, yang sudah menjadi mayat yang dipinjam. Dengan kata lain, tubuh yang tidak bisa lagi dikuasai oleh penggunanya, perempuan. Sekadar pemakai.

Meski demikian, anehnya, akan selalu ada “petugas yang menanyakan status,//ideologi, agama, dan terutama harta kekayaan//.” Petugas itu bisa keluarga, negara, agamawan, politikus, media massa, atau bahkan pacar dan teman kita.

Aneh memang, adakah tubuh berstatus, berideologi, beragama? Pada bagian mana tubuh itu beragama dan berideologi? Bagaimana tulang-belulang dengan segumplan daging dengan aneka warna dan coraknya bisa memiliki semua itu? Bukankah status, ideologi, dan agama, merupakan sebentuk non-materi, bagaimana cara memungkinkan semua itu melekat pada tubuh yang materi?

“Sudah kurambah seluruh//  kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya labirin yang kutemukan.”

(Joko Pinurbo, “Perburuan”, 1999/2007)

Kalau melihat secara kronologis, petikan dua larik puisi ini mewakili puisi-puisi Jokpin yang paling terbaru sedangkan yang menggambarkan pergolakan tubuh perempuan kebanyakan ditulis pada tahun 1991 sampai tahun 1999. Itu artinya dalam permenungan Jokpin tentang tubuh perempuan ternyata hanya menemukan labirin. Jokpin mendapati jawaban jalan tak ada ujung tentang kuasa terhadap tubuh perempaun. Labirin, menurut pengamatanku terhadap puisi-puisi Jokpin, mengandaikan perjalanan derita dan luka yang tidak pernah selesai. Sepanjang perempuan memiliki tubuh, sepanjang itu pula, sepertinya, jalan tak ada ujung yang harus ditempuh dalam derita dan luka.

Akan selalu ada kuasa pada tubuh-tubuh perempuan. Dan tubuh itu, memang, satu-satunya yang bisa didera, dipenjara, dibuat derita, dan dikuasai. Dalam puisi Jokpin, itu tidak sepenuhnya terpenuhi, bahkan setelah orang-orang menyerukan revolusi dan revolusi beberapa kali melanda dunia. Perempuan-perempuan Jokpin masih berada dalam kondisi setengah bebas dan setengah menderita. “Tingallah airmata yang menetes pelan/ ke dalam segelas bir yang menempel pada dada/ yang setengah terbuka, setengah merdeka.”// (Joko Pinurbo, “Perempuan Pulang Pagi”, 1997/2007).

Terakhir, beruntunglah, Jokpin mulai mengurangi penulisan puisi tentang perempuan pada tahun-tahun belakangan, sejak tahun 2000-an. Aku berharap, tubuh-tubuh perempuan Jokpin mulai sembuh. Sehingga mereka bisa menjadi perempuan tanpa luka-derita, sehingga penggalan puisi ini tidak akan pernah kita temukan lagi: “Tak ada yang benar-benar mengenalinya/selain angin yang masih menyebutnya perempuan//. []

(dimuat di Litera edisi Juli-September 2010)

Surakarta, 13 Maret 2010
M. Fauzi, yang lahir di Madura,
 masih berstatus mahasiswa sastra Inggris UNS,
tapi hampir tidak pernah membaca buku sastra
apalagi yang berbahasa Inggris,
dan tidak mengambil kajian sastra atau linguistik.
Dia mengambil Kajian Amerika (American Studies).
Lebih suka menulis catatan tentang dirinya dan teman-temannya.
Tulisan esai ini sekadar kecelakaan.

Mahasiswa Lupa Peran

Mengutip pernyataan Jean-Paul Sartre, bahwasanya eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (l'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih dari hasil kalkulasi komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia. Media kebebasan manusia yang paling nyata adalah menulis sehingga dengan menulis manusia menandai eksistensinya dan menghasilkan sesuatu dari yang telah ditulisnya itu.
Membicarakan tentang tema eksistensi, saya jadi teringat oleh eksistensi sosok manusia yang kritis dan membawa dampak positif bagi lingkungan terdekatnya hingga negaranya. Manusia yang ingin saya bahas disini adalah mahasiswa. Mahasiswa adalah manusia yang paling tidak menjadi motor sebuah gerakan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat, menghasilkan sesuatu. Tulisan tentunya menandai eksistensi mereka sebagai figur intelektual. Tapi, pada kenyataannya mahasiswa yang seharusnya menjadi manusia intelek yang bisa dimintai bantuan soal keilmuan seolah acuh tak acuh mengenai hal tersebut. Mahasiswa sekarang ini lebih berasyik masyuk dengan kegiatan main play station, pacaran, nonton film, futsal, dan lain-lain. Hal yang dilakukan mahasiswa tersebut berbeda sekali dengan mahasiswa pada zaman 1970-an dan 1980-an.
Pada zaman tahun 1970-an, masyarakat Indonesia digegerkan oleh catatan seorang mahasiswa demonstran asal Universitas Indonesia bernama Soe Hok Gie. Gie adalah salah satu sosok mahasiswa yang menandai eksistensinya dengan menulis yang didalamnya berisi hal-hal yang sedang dialaminya. Mungkin secara sekilas membuat catatan adalah hal yang paling remeh dan tidak penting, tapi pada kenyataannya, sebuah catatan bisa menjadi referensi sejarah masa lampau, mengecek kebenaran yang mungkin mulai membengkok. Jika kita membandingkan mahasiswa sekarang dan zaman dulu, maka sungguh bagai ujung rambut dan ujung kaki. Mahasiswa dahulu rajin mengkaji keilmuan mereka dengan diskusi, membaca buku, dan menulis, sedangkan mahasiswa sekarang mungkin belum pernah melakukan hal itu semua, kecuali jika tidak ada tugas mata kuliah yang mewajibkannya. Sungguh ironi yang memedihkan.
Menarik apa yang dilakukan Gie dalam membuat catatannya yang dimulai pada usia 15 tahun, setiap hari. Ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Sedangkan catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya. Catatan tersebut menulis tentang kritik kerasnya tentang rezim Orde Baru dan pemerintahan Soeharto. Gie berjuang melalui tulisan dan catatan-catatannya. Sungguh Gie adalah tokoh yang menginspirasi.
Mahasiswa lain yang berjuang melalui catatannya adalah Ahmad Wahib. Ia adalah mahasiswa angkatan 1980-an yang juga menulis seperti Gie. Ahmad Wahib adalah seorang mahasiswa yang budayawan dan pemikir Islam. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam. Dalam catatannya, Ahmad Wahib berusaha mencatat hal-hal apa saja yang membuat resah, gelisah dan mengganggu alam pikirannya. Wahib menulis hal yang sepele, tapi menjadi sebuah perenungan kita semua. Seperti catatannya yang bertanggal 6 Juni 1969: “Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?” Catatan ini mungkin hal remeh, tapi hal ini adalah refleksi kebebasan manusia yang dimiliki oleh Wahib. Ia dengan kejujuran hati dan kemurnian jiwanya menulis hal-hal sepele yang kadang kala kita tidak pernah memperhatikannya ataupun merenungkannya. Hal yang juga jadi bagian refleksi kemanusiaan dan kekritisannya yang terusik melihat realitas kemiskinan yang menjamur dan tidak jua menemui solusi penyejahteraan. Mereka dalah korban dari janji wakil-wakil kita di DPR maupun di MPR pada masa itu.
Catatan Ahamd Wahib itu merupakan suara hati murni seorang manusia yang tidak tega melihat ketidakadilan di depan matanya. Catatan ini juga hampir senada dengan catatan Soe Hok Gie. Catatan mereka penuh kejujuran mengenai realitas masyarakat yang terjadi pada saat itu sehingga ketika kita membaca kedua catatan tersebut waktu seolah terhenti dan catatan tersebut seperti mencambuk dan menyadarkan kita akan pentingnya kepekaan individu dan keberanian menyuarakan hal-hal yang jujur dan benar.
Lain halnya dengan sebuah catatan yang akhir-akhir ini menjadi best seller di toko-toko buku seluruh Indonesia. Catatan tersebut berjudul Catatan Anak Kos Dodol. Catatan tersebut merupakan catatan dari seorang mahasiswi yang menghuni sebuah kos. Untuk selengkapnya catatan tersebut berkisar tentang gaya hidup mahasiswi masa kini yang sarat akan muatan kehidupan yang sudah teracuni oleh faham kapitalistik. Semuanya berkisah tentang mahasiswi yang ingin cantik dan bergaya trendi, ingin selalu gaul dan menambah wawasan, ingin bertubuh indah dan makan enak-enak tanpa khawatir melar, ingin kencan atawa jalan-jalan, dan lain-lain.
Entah zaman yang sudah berubah atau karakteristik mahasiswanya yang memang sudah sangat berbeda sekali. Karakteristik mahasiswa yang pada tahun 1970-an dan 1980-an sarat dengan kehidupan yang keras karena masa-masa itu memerlukan banyak kritik yang membangun. Mahasiswa pada saat itu menjadi sentra pengawas jalannya pemerintah supaya tidak melenceng. Perjuangan mahasiswa pada masa itu juga tidak sering dimuati oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Sedangkan catatan anak kos dodol yang merupakan salah satu representasi catatan mahasiswa zaman sekarang, serasa sangat jompling,  entah dari isi dan makna. Apakah ini pertanda bahwa mahasiswa sedang mengalami krisis yang parah?

oleh: Asni Furaida