Halaman-halaman dalam blog ini sekadar pengesahan kecil dalam bentuk kata (juga gambar) dalam bentuk esai, catatan-catatan, agenda, percakapan, dan lain-lain, yang pernah nampang di media massa atau yang pernah mampir dalam imajinasi kami.
Cara mengenali pengarang kerap mengacu pada
kata. Pengakuan diri atau segala hal dengan acuan diri dituliskan dan diberikan
pada pembaca untuk dinikmati sebagai pintu masuk membaca dan menilia manusia.
kehadiran teks-teks sastra merepresentasikan kekuatan kreatif pengarang tapi
tak bisa utuh mengisahkan diri pengarang. Pelacakan atas segala hal diri
pengarang biasa dibeberkan dalam buku biografi atau otobiografi.
Jean-Paul Sartre dalam LesMots,
Orhan Pamuk dalam Istanbul, dan Edward W. Said dalam Out of Place
mengisahkan diri dengan timbunan kata. Bab-bab dalam buku mereka sama-sama
memberi perhatian atas makna kehadiran foto sebagai kunci mengisahkan diri dan
keluarga. Foto mengantarkan mereka pada imajinasi masa lalu untuk tahu
silsilah, situasi zaman, dan karakter manusia. Foto pada kehidupan si pengarang
adalah tanda dalam pengelanaan masa lalu dan energi penciptaan imajinasi masa
depan.
Sartre dalam kalimat-kalimat keras mengisahkan
diri melalui profil kakek. Sartre menganggap si kakek merupakan korban dari
penemuan mutakhir: fotografi dan seni menjadi kakek. Fotografi telah ikut
menentukan perubahan dan kemapanan karakter kakek sebagai lelaki dengan sekian
ambisi. Narasi Sartre bisa jadi sejenis nostalgia satire: “... dia suka berpose
dan menyusun tablo hidup; apa saja dijadikannya dalih untuk mendadak
mengambangkan suatu gerak, membeku di dalam sikap indah tertentu, seolah-olah
membatu.”
Sartre memang tak mengalami saat-saat si kakek
merasai nikmat dan kecanduan dengan penemuan fotografi. Sartre sekadar membuat
pembayangan melalui perantaraan pose-pose dan ekspresi wajah si kakek. Bahasa
foto itu telah membuncahkan sekian tafsir dan konklusi: “Dia sangat keranjingan
saat-saat pendek yang melestarikan dirinya itu, saat ketika dia menyulap diri
menjadi patung dirinya sendiri.” Kesuntukkan membuka dan membaca foto-foto
kakek mengantarkan Sartre melihat foto diri sendiri ketika usia lima tahun.
Foto bersama kakek itu telah mengabarkan masa lalu Sartre dalam kegenitan dan
kasih kakek. Sartre menemukan diri melalui foto. Sartre menemukan diri dalam
narasi panjang silsilah keluarga melalui adegan-adegan di foto.
Nostalgia keluarga pun dikisahkan dengan apik
oleh Said melalui foto ayah. Said mendapati kisah bahwa ibu menyimpan dua foto
si ayah ketika mengenakan seragam militer. Dua foto itu memberi legitimasi
mengenai karakter ayah dan otoritas ayah terhadap keluarga dan bangsa. Said
jadi penasaran dengan kisah ayah ketika perang. Jawaban-jawaban diberikan tapi
pelit dan membuat Said susah menembus selubung biografi ayah dan orang-orang
terdekat sezaman dengan ayah. Foto telah menyimpan misteri.
Misteri lumayan tersibak ketika Said memandangi
foto keluarga dalam pelbagai poses dan beda waktu. Said kecil tampak menikmati
diri ketika difoto dan menampilkan diri dalam wajah sumringah. Said kecil
seperti telah menyimpan optimisme untuk menjalani hidup dengan suka cita
kendati sejak kecil telah diliputi misteri dan identitas paradoks. Said mafhum
dengan misteri pelik ini tapi kehadiran diri di foto seperti jadi
penggalan-penggalan untuk bisa menemukan ikatan-ikatan dengan masa lalu terkait
keluarga, bangsa, kondisi zaman, dan karakterisasi diri.
Nasib apes dialami Said gara-gara foto ketika ia
sudah dikenal sebagai intelektual papan atas di dunia. Kisah pedih ini
diungkapkan Said dalam esai kecil “Freud, Zionis, dan Wina.” Said suatu hari
melakukan kunjungan ke Lebanon untuk mengingat jejak-jejak perang
Israel-Lebanon pada tahun 1980-an. Said tidak tahu pada momen ia melempar
batu-batu kecil di daerah perbatasan bersama sekian anak muda sebagai suatu
“keisengan.” Adegan ini berhasil dijepret oleh fotografer dan disebarkan ke
pelbagai koran di Israel dan dunia dengan narasi fitnah. Said dalam foto itu
dikatakan sebagai “teroris penyambit batu” dan “pria gila kekrasan”. Foto telah
menghancurkan reputasi Said dan kebohongan tersiar dengan mudah untuk
dipercayai siapa saja. Ironis!
Pengalaman historis dan puitis atas foto justru
dialami Pamuk ketika mengisahkan diri melalui kegemaran keluarga
mendokumentasikan diri dalam foto. Pajangan foto selalu menghiasi rumah
keluarga Pamuk. Tata letak foto menggambarkan posisi dan peran sesorang dalam
sejarah keluarga. Kesadaran atas makna foto tampak dari tata ruang rumah dan
kehadiran foto-foto anggota keluarga ketika masih keil sampai menjadi tua.
Pamuk mengungkapkan: “Setelah mengamati
foto-foto ini, saya jadi menghargai pentingnya melestarikan saat-saat tertentu
untuk generasi yang akan datang, dan seiring waktu berlalu saya pun menyadari
betapa kuatnya pengaruh gambar-gambar di dalam bingkai ini terhadap kami
tatkala kami menjalani kehidupan sehari-hari.”
Kesadaran itu juga diselipi dengan keinginan
naif: “... betapa jauh lebih menyenangkannya kehidupan di luar bingkai foto.”
Pamuk ingin bahwa pengalaman hidup tidak harus terjepret dan menjadi foto
sebagai pamrih mengabadikan. Momentum untuk mengalami peristiwa jadi penting
dinikmati tanpa harus terganggu oleh poses-pose tak alami dan kerap berlebihan
demi kesempurnaan hasil jepretan. Foto
menjadi dilema atas peristiwa dan makna kehadiran manusia.
Pamuk dalam Istanbul memang dominan memakai
kekuatan kata untuk mengisahkan kota dan diri. Pengisahan ini menjadi utuh dan
intim karena Pamuk menampilkan pelbagai foto dari masa-masa berbeda mengenai
kota. Foto hadir dengan bahasa visual dan pemicu imajinasi untuk mengantarkan
pembaca pada pengenalan tanda-tanda kota Istanbul. Kota itu tampil dengan
wajah-wajah tidak stabil dan mengesankan karena harus selalu bisa menyelesaikan
pertemuan pengaruh dari Timur dan Barat. Istanbul menerjemahkan diri dari dua
sumber besar. Kondisi ini membuat manusia-manusia di Istanbul pun harus sadar
identitas. Pamuk bergulat dengan sekian persoalan pelik untuk sampai pada pemahaman
identitas kultural dan petualangan sastra-intelektual.
Sartre, Said, dan Pamuk telah mengisahkan diri
dengan foto. Foto-foto dalam kehidupan mereka juga telah mengisahkan pelbagai
hal tentang manusia dan sejarah dunia. Foto mengungkap misteri tapi juga
memiliki selubung-slubung misteri untuk selalu ditafsirkan. Foto sebagai proyek
nostalgia kerap membuat orang sadar diri dengan masa lalu. Kesadaran
mengabadikan diri dengan difoto pun mengisyaratkan ada ikhtiar menciptakan
kisah masa depan. Foto hadir dengan serpihan-serpihan makna esksitensialis
ketika manusia sadar melihat diri di lembarang atau bingkai foto.
Foto sebagai tanda telah memberi pintu masuk
pada siapa saja menemukan diri atau malah menghilangkan diri ketika susah
membedakan kenikmatan mengalami dalam peristiwa atau menunda pemberian makna
dengan foto. Zaman visual telah memerangkap manusia pada kesadaran-kesadaran
artifisial. Otentisitas diri mulai kabur karena segala hal mesti terbahasakan
dengan foto. Pemaknaan atas foto mengalami bias karena represi dari motif-motif
untuk pencitraan berlebihan. Citra telah jadi candu. Foto dipaksa untuk
cerewet. Foto pun mulai mengisahkan manusia sampai lelah. Begitu.
Masa depan kerap lahir dari fiksi. Imajinasi
menjelma ramalan terhadap perubahan dunia. Konstruksi masa depan tak melulu
dilambari nalar. Orang memerlukan imajinasi untuk bisa “mengecilkan” dunia
dengan telepon, radio, mobil, pesawat, televisi, atau internet. Dunia
fiksionalitas ditafsirkan melalui sains dan teknologi untuk membuktikan tentang
kuasa imajinasi dalam membentuk dunia.
Teknologisasi kehidupan pada masa lalu mungkin
termasuk dalam bid’ah karena harus mencari legitimasi alot dari anutan agama,
adat istiadat, atau konservatisisme politik. Sangkalan diajukan dengan keras
memakai argumen-argumen kolot: teknologi merusak naluri hidup alamiah, teknologi memperhamba manusia pada setan,
teknologi menodai kesucian agama, atau teknologi membunuh fantasi-imajinasi
sakral. Teknologi pada suatu hari adalah “musuh bebuyutan” untuk kelak menjadi
idaman.
Kisah penemuan telepon bisa dijadikan acuan
reflektif. Publik menganggap telepon adalah alat ke dunia entah berantah.
Peristiwa orang berkomunikasi dengan telepon dianggap terkena ilusi setan.
Orang-orang kadang menjuluki itu praktik mistik dan menebar wabah kegilaan.
Institusi agama juga cemas karena telepon sebagai realisasi nalar-imajinasi
seolah mengantarkan manusia pada ketidakmasukakalan normatif dalam formalitas
kehidupan.
Masa kelam itu telah usai. Kesadaran atas
teknologisasi kehidupan perlahan membuat manusia mafhum tentang progresivitas
hidup dengan penemuan dan kehilangan. Konsekuensi teknologi mengajarkan pada
manusia tentang kesanggupan manusia mendandani dunia dengan optimistik. Segala
tentangan lekas menemukan jawaban dan argumentasi rasional. Dunia pun mengalami
keajaiban. Orang bisa melakukan komunikasi beda tempat tanpa harus melakukan
mobilitas tubuh. Telepon menjadi berkah dari gelisah manusia untuk
“mempertemukan” diri dalam “pengecilan” dunia. Makna ruang berubah dan
pemampatan jarak memicu redefinisi diri.
Refleksi
Refleksi teknologis pantas dijadikan orientasi
untuk memerkarakan masa lalu dan mengangankan masa depan. Jacques Ellul (1964)
mengisahkan bahwa terbitan l’Express
(Paris) edisi 1960 pernah menyuguhkan tulisan-tulisan “ramalan” tentang
teknologisasi kehidupan pada tahun 2000. Tulisan-tulisan dari para wartawan,
pengarang, ilmuwan, dan ahli teknologi itu melampaui science fiction. Ramalan memukau untuk kondisi dunia tahun
2000: “Perjalanan ke bulan menjadi hal lumrah.” Ramalan itu memang terbukti.
Hari ini orang bisa melancong ke luar angkasa. Teknologi telah membuat manusia
sadar dengan nalar-teknologis. Ellul malah mengartikan realisasi teknologi pada
abad XX dan XXI melampaui utopia-utopia filosofis.
Teknologisasi kehidupan pun menjadi kodrat
karena pelbagai proyek negara, universitas, atau institusi sains menjadi
penopang dari perayaan teknologi. Publik mengalami “kecanduan teknologi”
mengacu pada progresivitas hidup dalam kalkulasi kuantitatif dan kualitatif.
Hari ini teknologisasi kehidupan malah jadi “nafas keseharian.” Orang rindu dan
menantikan kehadiran model teknologi terbaru dari telepon genggam, televisi,
mobil, internet, atau komputer. Kemanjaan hidup terbentuk dengan pemberian
harga fantastis: “eksistensi diri dan martabat kemanusiaan.”
Kondisi dan konsekuensi teknologisasi kehidupan
mesti direfleksikan secara kritis. Filsafat teknologi hadir untuk memberi
referensi. M Sastrapratedja menjelaskan bahwa filsafat teknologi hari ini
memiliki tiga pendekatan: (1) epistemologis; (2) antropologi; (3) metafisik
atau ontologis. Semua pendekatan ini mengurai segala masalah relasi manusia
dengan teknologi. Risiko eksistensial pun dijelaskan dengan memerkarakan
struktur, kondisi, dan kesahihan teknologi. Teknologi memiliki ciri life-centered
(berpusat-pada-kehidupan). Ciri ini menentukan kodrat antropologis untuk
menjadikan manusia sebagai manusia tanpa harus menghambakan diri terhadap
teknologi. Ranah ontologis menghendaki manusia sadar diri membuat
kontruksi-orientatif untuk pemakaian teknologi. Manusia adalah pemilik otoritas
dari makna eksistensi dir di hadapan teknologi.
Distansi
Teknologisasi kehidupan hari ini mungkin membuat
orang miris karena manusia hampir tak bisa mengelak dari kehadiran teknologi.
Fungsionalisasi teknologi kadang membuat manusia lupa dalam urusan
materialisasi dan nilai dari kebermaknaan diri. Ketergantungan dan kecanduan
membuat manusia kehilangan tautan diri dalam sumber-sumber pemaknaan
eksistensialis. Hidup dalam pemanjaan teknologi justru membuat manusia hampir hilang
arti karena dunia dikerumuni oleh hasil-hasil teknologi melimpah. Populasi
teknologi mungkin kelak bakal menggusur manusia dari kesadaran ruang hidup.
Uraian filsafat dari Don Ihde mengenai relasi
manusia-teknologi pantas dijadikan refrensi kesadaran hari ini. Ihde
menjelaskan bahwa teknologi memang menjadi fenomena global tapi mesti total.
Fakta tentang orang “mengalami dunia” karena teknologi adalah kelumarahan. Ihde
justru menghendaki manusia mesti memiliki distansi terhadap teknologi (Francis
Lim, 2008: 164165). Distansi ini bakal mengingatkan manusia pada kodrat diri
untuk tidak luluh dalam kuasa teknologi. Distansi terbentuk karena dialektika.
Teknologisasi kehidupan mirip takdir. Manusia
ada dalam keremangan sebagai subjek atau korban. Kenikmatan dan ekstase
teknologi mungkin telah membuat manusia alpa dengan pertaruhan eksistensi diri.
Keseharian telah membuat manusia mengikatkan diri dengan teknologi dalam
pelbagai agenda hidup: mandi, makan, sekolah, tidur, senggama, atau ibadah.
Nasib manusia mungkin bakal ditentukan oleh keberlimpahan teknologi dan
persaingan ontologis dalam pemberian
makna eksistensialis. Begitu.
Benedict Anderson pernah mengeluh karena publik
susah mencari novel ganjil dengan judul Indonesia dalem Api dan Bara
(1947). Novel ini mengisahkan tentang geliat revolusi dan resah rasistik dengan
latar di Surabaya dan Malang. Latar waktu pada masa akhir pemerintahan kolonial
Belanda. Anderson menganggap novel ini pantas jadi acuan reflektif untuk
mengimajinasikan Indonesia dan mencari letak dalam historiografi politik
Indonesia. Novel garapan Tjamboek Berdoeri ini eksplisit memakai judul dengan
memakai kata Indonesia. Judul memang terkesan provokatif dan lekas membuai
pembaca dengan pemunculan imajinasi tentang Indonesia.
Indonesia dalem Api dan Bara jadi suguhan ke publik usai Anderson menemukan
novel itu di Jakarta (1962). Inilah celotehan Anderson (2009) mengenai
kehebatan Tjamboek Berdoeri: “Jang sungguh2 menakdjubkan adalah keunggulan
serta keanekaragaman gaja prosanja, jang oleh Pramoedya Ananta Toer sulit
ditandingi.” Tjamboek Berdoeri juga dilimpahi pujian: “Dia seperti mengarang
dalam suatu bahasa indah tanpa nama.”
Penilaian ini mungkin hiperbolik ala “pembaca
Indonesia” dengan gairah petualangan dalam hutan “rimbun-kata”. Anderson dalam
urusan ini memiliki peran untuk mengingatkan kembali pada mekanisme imajinasi
pembaca atas Indonesia. Pembacaan novel mungkin bakal menggairahkan ketimbang
suntuk dengan sekian jilid buku sejarah standar: Sejarah Nasional Indonesia.
Novel memiliki hak untuk menempati lahan sejarah tanpa harus dicurigai sebagai
pemutar-balik atau perusak narasi sejarah Indonesia. Imajinasi memerlukan
penghormatan untuk memberi arti atas persaingan klaim kesejarahan atas nama
kekuasaan atau korban.
Nama asli Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam
Tjing. Penulis ini lolos dari pendataan dan pembicaraan dalam sejarah sastra
modern di Indonesia. Pengarang sejak mula telah tersingkir dan terabaikan.
Penulis secara ekplisit memberi pesan dalam kata pengantar: “... ini boekoe
sekedar sebagi tjatetan-tjatetan peringetan bagi anak-tjoetjoenja, soepaja
marika itoe poen mengetahoein apa jang perna dalamken oleh orang-orang jang
hidoep di zaman pantjaroba.” Pesan ini mengabur dalam kelam perubahan zaman dan
pelupaan akut oleh pembaca-pembaca sastra atau sejarah.
Produksi
Imajinasi Indonesia sebelum novel Indonesia
dalem Api dan Bara telah disemaikan dalam novel Spionage-Dienst: Pacar
Merah Indonesia (1938) garapan Matu Mona (Hasbullah Parindurie). Novel ini
oleh “pembaca Indonesia” dan “ahli Tan Malaka” mendapati tempat terhormat
sebagai teks untuk mengimajinasikan Indonesia. Harry A Poeze menilai novel ini
merupakan novel petualangan memikat dengan pengisahan spionase, politik, dan
romantika. Indonesia dalam novel ini membuat pembaca mutakhir bisa mengenangkan
tentang geliat ideologi komunis dan impian Indonesia oleh para tokoh
pergerakan. Tan Malaka, Alimin, Muso, Darsono, dan Semaun menjadi ikon dari
pengimajinasian Indonesia dalam novel ala picisan ini.
Dua novel itu telah memberi jejak historis untuk
orang bisa mengenangkan Indonesia masa lampau. Imajinasi mengantarkan pada
pergulatan-pengalaman mendefinisikan tentang Indonesia dalam masa kolonial dan
kemerdekaan. Indonesia ada dalam novel-novel itu kendati hadir dalam produksi
imajinasi. Puluhan tahun novel-novel itu diam tanpa pembaca dan tafsiran. Hari
ini novel Indonesia dalem Api dan Bara dan Pacar Merah Indonesia seolah
jadi pemantik untuk proyek mengimajinasikan Indonesia dengan gairah bahasa dan
tak terjinakkan oleh pembakuan sejarah. Imajinasi mungkin membuat Indonesia tumbuh
dengan subur.
Pelacakan atas imajinasi Indonesia diperlukan
untuk merefleksikan tentang pasang surut pemaknaan Indonesia dalam cengekraman
politik dan ekonomi. Novel mungkin menyelamatkan kepemilikan dan pengalaman
atas Indonesia. Kondisi ini mirip dengan penjelasan-penjelasan kritis oleh
Simon Philpot dalam Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory,
Authoritarianism, and Identity (2000). Philpot menerangkan bahwa ada sekian
teks hegemonik tentang pembacaan Indonesia. Teks-teks itu memiliki kuasa pemaknaan
dan kerap menjadi rezim dari prosedur merekonstruksi Indonesia. Kehadiran
teks-teks hegemonik membuat imajinasi Indonesia tersingkirkan dengan tangisan
dan luka.
Teks
Imajinasi Indonesia memang kalah dengan dominasi
pembacaan akedemik dan produksi teks tentang pelbagai hal dalam sorotan
kolonial atau historiografi indonesiasentris. Sastra hampir tak mendapati ruang
dalam pembacaan. Imajinasi menguap oleh fakta-fakta melimpah dengan persaingan
tafsir dan klaim kesahihan. Indonesia pun menjelma “laboratorium teori dan
konklusi.” Kemiskinan imajinasi membuat Indonesia kehilangan darah dan gairah
untuk membuat orang merasa memiliki atau mengalami. Ironi ini kentara bukan
jadi urusan genting oleh negara.
Sastra sebagai rumah imajinasi untuk
pengolahan-pertumbuhan bahasa mengalami diskriminasi. Indonesia seolah lahir
karena produksi teks dari rumah sejarah, politik, ekonomi, atau pendidikan. Imajinasi Indonesia seperti
ambisi mengembalikan diri pada pencairan atas pembakuan oleh konstitusi,
institusi politik, dan rezim kekuasaan. Imajinasi memberi jalan pembebasan
tanpa harus tunduk pada rumusan-rumusan formal demi pemartabatan Indonesia.
R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia (2008)
mengingatkan: “Sebelum abad XX, Indonesia belum ada, dan karena itu orang
Indonesia pun belum ada.” Pernyataan ini memaksa orang untuk menelisik proses
proyek membetuk Indonesia dan kelahiran manusia Indonesia. Legitimasi politis
tentang pembentukan Indonesia sebagai negara pada 1945 tidak mencukupi
kepentingan orang mengalami Indonesia dan merasai-menjadi Indonesia. Indonesia
sebagai gagasan ditelususi oleh Elson melalui teks-teks antropologi, geografi,
politik, ekonomi, dan sejarah. Imajinasi masih mengering dan mampat. Sastra
sebagai ruang persemaian untuk imajinasi Indonesia terasingkan dan terlupakan.
Kondisi ini membuat Indonesia hampir jadi “teks tertutup” tanpa gelimang
imajinasi dan gairah tafsiran. Begitu.
Soekarno moncer sebagai pembaca, penulis, dan
orator. Buku dan olah kata identik dengan penguasa Orde Lama ini. Ia
meninggalkan setumpuk buku, ia pencatat biografi diri dan Indonesia. Para ahli
tak bisa menampik, membaca sejarah (politik) Indonesia adalah membaca
tulisan-tulisan Soekarno. Buku DiBawah Bendera Revolusi, Sarinah,
atau Indonesia Menggugat mirip lembaran-lembaran kehidupan manusia dan
negeri Indonesia, dari zaman ke zaman, dengan pengekalan bahasa.
Kematian Soekarno bukan kematian buku. Para
pembaca yang fanatik, akademik, atau
awam masih menekuni buku-buku Soekarno, jumlah pun bertambah. Sosok dan buku-buku
Soekarno juga menginspirasi orang untuk menulis-menerbitkan buku: biografi,
memoar, catatan kesaksian, esai obituari, buku persembahan 100 tahun, atau
disertasi. Soekarno identik dengan Indonesia, identik dengan buku. Jadi, Indonesia identik dengan buku.
Buku
Indonesia sebagai negeri buku dijadikan
argumentasi bagi Simon Philip (2003) yang menggarap tafsir (sejarah) politik
Indonesia melalui buku-buku produksi para ahli Indonesia. Mereka membaca
Indonesia, memakai buku-buku tentang Indonesia, tulisan dari orang Indonesia
atau pengamat. Garapan ini yang membuat buku-buku Soekarno, Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, Muhamad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, atau
Mohamad Natsir menjadi sumber-sumber memikat. Philip membuat sebutan atas pembacaan
Indonesia oleh para Indonesianis sebagai “teks-teks hegemonik.” Indonesia
termaktub dalam buku mereka, seolah mengalihkan dunia politik ala tokoh-tokoh
kita dalam buku-buku babon kajian Indonesia, buku yang lahir dari proyek
penelitian asing.
Kerja penelitian Philip adalah contoh ironi.
Indonesia lahir, berubah, mati dalam buku. Semua ini jadi penanda zaman.
Buku-buku warisan tokoh-tokoh kita jadi bukti visioner atas kemauan
membayangkan Indonesia masa depan. Indonesia sebagai tema mendekam di buku, mengalir
ke bilik-bilik kajian politik, ekonomi, sosial, seni, pendidikan, dan kultural
ke penjuru dunia melalui buku. Indonesia adalah dunia buku.
Soekarno sebagai penguasa dan penulis buku
seperti meramalkan diri, Indonesia menemukan eksistensi dari olahan kata, hadir
dalam format buku. Peran penguasa Orde Lama itu tak tergantikan oleh penguasa
Orde Baru. Buku masih jadi medium politik, meski Soeharto bukan pecandu buku
atau penulis. Orde Baru malah menempatkan buku sebagai strategi konstruksi
politik otoritarianisme. Buku dihadirkan dengan kesemuan demokrasi, sebaran
ideologis, penjinakkan massif. Indonesia masih negeri buku, negeri bergelimang
pertarungan gagasan dan ideologi. Hegemoni buku jadi modal kekuasaan Orde Baru.
Hegemoni
Krishna Sen dan David K Hill (2001) memakai
“argumentasi buku” dalam membaca dan menilai relasi media, budaya, dan politik
di Indonesia. Mereka mengungkapkan: “... dunia penerbitan buku merupakan lokus
yang signifikan dari globalisasi kehidupan kebudayaa Indonesia selama Orde Baru.”
Argumentasi ini jadi pembuka tafsiran atas intervensi politik Orde Baru melalui
buku. Pelarangan buku-buku subversif menjadi taktik-politik-licik, memberi
akses untuk buku-buku penopang rezim adalah ritual politik, melakukan kontrol
dan sensor adalah kegenitan politik. Buku dijadikan seteru dan sekutu oleh Orde
Baru melalui kebijakan-kebijakan otoriter. Lakon ini membuat pembacaan
Indonesia kerap mengalami kerancuan ketimbang pada masa Orde Lama.
Produksi
buku-buku studi Indonesia kerepotan mencari referensi. Buku melimpah di
pasaran. Pilihan susah ditentukan karena ideologi Orde Baru bersemayam dan
bertebaran dalam buku. Pembaca masuk dunia abu-abu, menampik atau mengamini,
tunduk atau melawan. Buku mirip senjata politis. Efek mungkin melampaui peluru
atau bom. Buku bisa endemik untuk mengubah pikiran, imajinasi, dan tubuh.
Indonesia pada masa Orde Baru kentara mengalami hegemonisasi buku.
Lakon politik atau sejarah politik Indonesia
gampang mengaburkan sumber-sumber referensi alternatif. Representasi dari
represi atas buku dan bentuk-bentuk perlawanan terbuka ata tersembunyi bisa
ditilik dalam buku Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi
(1982) suntingan William H Frederick dan Soeri Soeroto. Buku ini merangkum
sekian materi buku tentang Indonesia, membagikan penggalan-penggalan sejarah,
dan menelusupkan perlawanan atas hegemonisasi buku oleh Orde Baru. Buku ini
ensiklopedik, membuat mozaik pembacaan sejarah (politik) melalui jagat
kata-buku. Sejarah (politik) Indonesia adalah sejarah buku.
Melimpah
Nasip apes buku pada masa Orde Baru lekas
tergantikan dengan iklim (lumayan) kondusif usai 1998. Produksi buku melimpah.
Agenda merevisi sejarah (politik) Indonesia dirayakan dengan gairah. Buku-buku
yang mati suri atau dibungkam Orde Baru bisa terbit dan diedarkan kembali.
Kondisi ini membuat nalar dan imajinasi atas sejarah (politik) Indonesia
mengalami “pusing.” Bibliografi Indonesia mirip air bah, pembaca kelimpungan.
Indonesia memang (masih) negeri buku. Buku memang sejarah kita, sejarah dengan
pertarungan ideologis. Manipulasi, gugatan, revisi, pelurusan dilakukan atas
nama pertaruhan menghidupi dan mematikan Indonesia.
Hegemonisasi buku ala Orde Baru masih meninggalkan trauma. Kelimpahan buku
di hari ini berkah dalam petaka? Penyadaran atas kemajemukan versi sejarah
(politik) Indonesia menjadi perayaan atas kebebasan. Perayaan ini kadang
menimbulkan “sakit” karena pembaca disuguhi menu berkelimpahan. Sejarah
(politik) Indonesia mungkin bisa jadi amburadul atau semu. Indonesia tetap
negeri buku, kendati buku-buku bisa memberi kutukan, menyesatkan pembaca dalam
ruang-ruang perseteruan tafsir atas sejarah (politik) Indonesia. Begitu.
Orang Jawa ternyata sudah memiliki pergaulan
intim dengan sastra dunia sejak abad XIX. Ada sebuah teks sastra saduran dari
Barat yang dipublikasikan di Jawa. Novel legendaris RobinsonCrusoe
anggitan Daniel Defoe disadur ke dalam bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Tenaya
dengan judul Lelampahanipoen Robinson Groesoe terbit tahun 1881.
Kehadiran novel saduran ini membuktikan bahwa bahasa Jawa memungkinkan menjadi
medium untuk mengenalkan orang Jawa pada kisah petualangan di negeri-negeri
lain.
Sastra menjadi perantaraan hubungan orang Jawa
dengan dunia internasional. Kesadaran untuk membaca sastra menjadi indikasi
keterbukaan orang Jawa untuk menyerap pengetahuan dan hikmah dari negeri lain.
Pilihan saduran Robinson Crusoe ke bahasa Jawa juga menguatkan dugaan
bahwa proses pembentukan sastra Jawa modern ditentukan oleh relasi kebahasaan,
ilmu pengetahuan, estetika Barat, dan politik kebudayaan kolonial. Publikasi Lelampahinpoen
Robinson Groeso pada abad XIX merupakan sisi lain dari model saduran dalam
bahasa Melayu dengan judul Hikayat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf Von
de Wall dan bahasa Sunda dengan judul Robinson Crusoe (1879) oleh Karta
Winata (Jedamski, 2006: 29).
Model saduran merupakan modal awal dalam
pembentukan sastra Jawa modern karena memiliki kelonggaran pilihan bahasa dan
estetika. Cerita petualangan dipilih mungkin didasarkan pada semangat zaman
saat itu ketika kolonialisme mengajarkan ada interaksi pelbagai negeri dengan
perbedaan dan keunikan. Novel Robinson Crusoe adalah cerita filosofis
mengenai manusia yang terdampar di sebuah pulau. Tokoh ini mesti hidup dengan
segala keterbatasan dan pemakaian akal agar tidak mati. Pencarian makna hidup
dilakukan melalui kesadaran terhadap alam dan kekuasaan adikodrati. Novel ini
kentara memerkarakan eksistensi manusia di dunia. Saduran ke dalam bahasa Jawa
merupakan kejutan meski lebih mengambil tendensi pada sisi petualangan.
Masa awal pembentukan sastra Jawa modern pada
awal abad XX dijelaskan oleh George Quinn (1992: 1) dalam enam kategori: pakem
atau ringkasan prosa cerita wayang kulit, terbitan ilmiah teks berbahasa Jawa,
terjemahan-terjemahan misionaris, traktat-traktat, buku-buku ajar, koran, dan
sastra novelistik berbahasa Belanda, Cina, dan Melayu. Sastra saduran masuk
dalam kriteria terakhir tapi jelas menentukan kecenderungan orientasi sastra
Jawa modern karena memiliki relasi kuat dengan pertumbuhan sastra Melayu, Cina
Peranakan, dan Sunda pada peralihan abad XIX ke abad XX.
Sejarah sastra Jawa modern patut diperiksa
kembali sebelum fakta-fakta historis terlupakan oleh perdebatan tentang nasib
sastra Jawa mutakhir atau keruntuhan sastra-sastra Jawa klasik. Buku Telaaah
Sastra Jawa Modern (1975) susunan Suripan Sadi Hutomo belum menjelaskan
secara detail mengenai proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa modern.
Suripan secara ringkas cuma menginformasikan bahwa sastra Jawa modern tumbuh
bebarengan dengan laju pertumbuhan pers di Jawa, pembentukan institusi budaya
dan penerbitan oleh kolonial, dan hubungan-hubungan antara pengarang Jawa
dengan para ahli Jawa dari Belanda secara literer dan bahasa atau administrasi
kolonial.
Memeriksa ulang sejarah sastra Jawa modern bakal
mengingatkan publik mengenai otentisitas sastra Jawa dan proses pendakuan pada
publik Jawa bahwa sastra itu menunjukkan identitas atau sastra itu adiluhung.
Bias kolonial dan pertemuan peradaban Barat-Timur pada abad XIX jelas menjadi
argumentasi kuat bahwa sastra Jawa modern itu lentur dan gampang melakukan
penyesuaian mengacu pada jiwa zaman dan tingkat pengetahuan estetika kalangan
pembaca. Sastra Jawa modern memiliki topangan kuat pada kemunculan kelas elite
intelektual dan proyek pendidikan oleh kolonial.
Peran pers dan Balai Pustaka sering dijadikan
parameter dalam gairah pertumbuhan sastra Jawa. Pemahaman ini memang normatif tapi
terkadang melupakan jalur-jalur alternatif dalam penulisan dan publikasi sastra
Jawa modern di luar garis pemerintah kolonial. Pelacakan mengenai teks-teks
sastra Jawa modern membutuhkan ketekunan sebab dokumentasi pada masa itu masih
belum memadai. Para ahli Jawa pun terus mengalami kesulitan untuk membuat
kronologi sastra Jawa modern mengacu pada pelbagai sumber dan fakta historis.
Perhatian Balai Pustaka pada tahun 1920-an dan
1930-an memang besar dalam mengurusi sastra Jawa. Perhatian itu mungkin tendesius
ketimbang perhatian pada sastra Sunda dan sastra Melayu (Indonesia). Penerbitan
sastra Jawa modern secara kuantitas cukup besar dan mendapati antusiasme dari
kalangan pembaca di pulau Jawa sebagai pusat pembentukan masyarakat literasi.
Novel-novel saduran atau terjemahan pada tahun 1930-an masih jadi andalan dan
melengkapi khzanah penerbitan teks-teks sastra anggitan pengarang Jawa.
Publikasi terjemahan novel Kantjing Lawang
(1932) anggitan J.B.P. Moliere ke dalam bahasa Jawa oleh Soewignja menunjukkan
intensitas hubungan sastra Jawa dengan sastra dunia. Novel ini secara implisit
direstui oleh pemerintah kolonial karena diterbitakan oleh Balai Pustaka. Novel
dari pengarang Prancis itu mengandung satire zaman dan memberi pengetahuan
kritis terhadap dunia nilai di Eropa. Penerjemahan memungkinkan publik pembaca
Jawa sadar terhadap karakter sastra dunia dan lakon kehidupan di negeri-negeri
Eropa. Pertautan dunia nilai juga menjadi medium reflektif bagi pembaca Jawa
mengenai tranformasi peradaban di Timur dalam proyek modernitas dalam
bayang-bayang kuasa kolonialisme. Sastra dalam proyek modernitas menempati
posisi penting karena menjadi representasi lakon manusia dan kehidupan di dunia
modern.
Agenda menyusun sejarah sastra Jawa modern
memang membutuhkan kerja keras dan komitmen besar. Informasi tentang kelahiran
dan pertumbuhan novel Jawa modern harus juga dilengkapi dengan kasus cerpen dan
puisi Jawa modern. Jakob Soemardjo (2004: 104) menganjurkan bahwa diperlukan
pelacakan terhadap cerpen dalam kaitan dengan pertumbuhan dunia pers di Jawa.
Novel saduran atau terjemahan cenderung terbit sebagai buku tapi cerpen dan
puisi mayoritas terbit di koran dan majalah. Embrio dari pemunculan cerpen Jawa
modern terdapat dalam publikasi majalah SriPoestaka pada tahun
1923. Informasi ini pantas dijadikan modal untuk memikirkan sastra Jawa modern
agar tidak terus ada dalam keminderan dan pesimisme sebab sastra Jawa modern
sejak mula telah intim dalam pergaulan dengan sastra dunia. Begitu.
Setelah Nazriel ‘Ariel’ Ilham mendekam di penjara, publik dibuat menunggu
keputusan akan penetapan status jadi tersangka atau tidaknya Luna Maya dan Cut
Tari. Melihat masyarakat kita dan kebanyakan media yang bermain di wilayah
dangkal, saya tidak heran jika kasus ini menjadi sangat kontoversial. Fokus
media tampaknya lebih mementingkan nilai jual objek beritanya daripada
kepentingan membela hak-hak sipil masyarakat. Menurut Peter Dahlgren (1992)
kunci dari pemberitaan sebuah informasi yang bisa diterima oleh publik ada dua,
yaitu: The analytic mode yang ditandai oleh referensial informasi dan
kelogisan. Dan Storytellingmode ditandai adanya susunan narasi
yang koheren yang membuat suatu plot cerita. The analytic mode merupakan
prinsip jurnalisme namun pada prakteknya Storytellingmode yang
lebih banyak digunakan. Terbukti jika Storytelling mode cepat sekali
diterima diproduksi berulang-ulang tanpa dikritisi oleh publik. Bagi media tak
perlu bukti atau referensi cukup penyajian yang meyakinkan dibumbui sedikit
imajenasipun tak masalah. Sebuah berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
kepentingannya sudah tentu tak memberi pencerahan bagi publik. Sehingga reaksi
publik pun menjadi tak masuk akal. Bahkan banyak pihak yang tak ada kaitannya
dengan kasus pun turut menghakimi.
Saya melihat aksi-aksi dibalik kelompok dan individu yang gemar berbicara
tentang moral justru patut dipertanyakan motifnya. Bahkan aksi kekerasan yang
dilakukan kelompok ini mengingatkan saya akan Parabolani sebuah
perkumpulan pemuda kristen di abad ke-4, selain bertugas sebagai relawan yang
mengurus orang renta/ sakit dan menguburkan orang mati. Mereka pun bertugas
sebagai bodyguard untuk uskup yang berkuasa. Parabolani
bersenjatakan batu-batu dalam aksi melakukan kekerasan pada musuhnya. Mereka
mengintimidasi hukum, prajurit keamanan kerajaan dan Dewan pemerintah. Tak
jarang mereka melakukan aksi sepihak dalam menghakimi. Dalam film Agora
(2009) tergambarkan betapa Parabolani yang mempercayai diri mereka
sebagai pasukan kristus melakukan tindakan yang sangat tidak religius.
Melakukan serangan dengan melempari batu pada kaum yahudi yang sedang melakukan
perayaan hari Sabat di sebuah arena terbuka. Lalu menyerang kaum Pagan,
menghancurkan Perpustakaan Besar Alexandria yang kala itu merupakan pusat ilmu
pengetahuan yang menyimpan manuskrip ilmu pengetahuan selama 6 abad. Intimadasi
terus dilakukan terhadap Dewan pemerintah terutama memaksa sang Prefect
(sebutan untuk Gubernur) untuk mengikuti apapun perintah Uskup membelokkan
firman Tuhan dalam kitab suci. Kala itu agama dijadikan semacam pembenaran
untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan. Di sini peran negara untuk melindungi
warganya tereduksi. Salah satu Pasal dalam UU Pornografi tentang adanya
partisipasi masyarakat, sangat potensial menjadi sebuah payung hukum untuk
pembenaran melakukan tindakan main hakim sendiri oleh kelompok tertentu demi
kepentingan kelompoknya.
Menyaksikan Luna Maya dan Cut Tari yang
harus mengenakan kerudung untuk datang saat pemeriksaan, saya merasakan
ketakutan seorang perempuan dalam menghadapi preman-preman yang mengatasnamakan
diri mereka sebagai pembela Islam, yang mengancam pihak berwajib untuk segera
menangkap mereka dengan ancaman amuk masa. Saya merasakan ketidakmampuan aparat
hukum dalam menegakkan keadilan dalam proses hukum. Saya merasa seperti berada
kembali di jaman Agora pada abad ke-4 tahun 412. Masa ketika manusia
masih menyangka bumi terletak di pusat semesta. (*)
(Joko Pinurbo, “Penyanyi yang Pulang
Dinihari”, 1991/2007)
Oleh M. Fauzi
Bodoh
1/ mukjizat
DALAM sejarah
manusia, perempuan memiliki mukjizat yang datang dari bumi, bukan dari langit:
dari tulang-belulang yang dibungkus daging, dari
anggitan buas kekuasaan manusia, dari luka yang menggairahkan tragedi, di atas
bumi makhluk manusia. Mukjizat ini tidak menjadikan perempuan
nabi atau rasul, tapi sering menjadi aktor sekaligus korban tragedi dalam
sejarah peradaban manusia. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi mukjizat
dalam arti yang sebaliknya: menggugah tapi digugat.
Mukjizat
perempuan itu terus-menerus menemani perjalanan manusia, khususnya perempuan,
dalam mengalami tubuh, mengalami ingatan, mengalami pergolakan, mengalami
kekuasaan, mengalami waktu: mengalami sejarah manusia. Sejarah itu perempuan:
selalu bertumpu pada tubuh dalam luka, yang hendak dikuasai dan menguasai
manusia.
Dan
sastrawan-penyair, sepertinya, adalah yang selalu mendapatkan wahyu untuk
menuliskannya. Atau, paling tidak, orang yang selalu beredekatan,
bersinggungan, dan bersitegang dengan perempuan-perempuan zamannya. Lalu,
mewartakan kepada segenap manusia. Sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul,
seperti yang dialami Musa di tanah gunung Sinai, seperti yang dialami
Muhammad di gua Hira, dan bahkan seperti seperti manusia-manusia yang beberapa
saat yang lalu menyebut diri nabi-nabi: selalu dirundung protes, penentangan, pertikaian,
peperangan, pengabaian, pengucilan, pengebirian, dan sebagainya, tapi hampir
selalu menggairahkan: membentuk spektrum.
Spektrum mukjizat perempuan yang datang dari bumi itu
selalu menggairahkan sastrawan-penyair untuk mewarnai karya-karya mereka. Ada yang datang membawa
ketakjuban; ada yang datang membawa pentungan agama; ada yang membawa kerajaan
dan negara; ada yang datang membawa simbolisme; ada yang datang membawa gairah;
ada juga yang membawa tawa yang tragis penuh luka; juga ada yang membawa
protes.
Untuk saat ini dan di Indonesia, berdasarkan pengalamanan
dan pengetahuanku yang ceroboh dan bodoh, wahyu kenabian itu datang kepada Joko
Pinurbo (Jokpin). Hampir sepertiga puisi-puisi Jokpin mengenai perempuan,
terutama sebagai tokohnya, yang terhimpun dalam Celana Pacarkecilku di Bawah
Kibaran Sarung yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Jokpin datang membawa nubuwat, kisah, luka,
gairah, kenaifan, melankoli, protes, pengakuan, kesadaran, dan sebagainya, yang
diwartakan-disampaikan dalam bait-bait tubuh perempuan.
2/tubuh
BAGI Jokpin, sepertinya tidak ada kitab suci yang pantas
untuk diwartakan selain kitab tubuh. Dan tubuh, sebagaimana terwahyukan dari
bumi, adalah perempuan, manusia yang paling intens mengalami bertubuh.
Perempuan adalah tubuh; tubuh adalah perempuan, demikian wahyu bumi mengatakan
kepada kita melalui Jokpin.
Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, menjadi kisah,
tema, pokok, dan sekaligus, meminjam istilah Ignas Kleden, “tubuh sebagai suatu
alat ucap”. Tubuh perempuan menjadi serangkaian huruf, yang membentuk kata dan
kalimat, untuk menggapai isi dan makna. Pada akhirnya, membentuk
kitab tubuh perempuan.
Siapakah dan apakah tubuh dalam kitab tubuh Jokpin? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti.
Tanya saja pada penyairnya sendiri jika Anda ingin jawaban pasti. Tapi aku
menduga, sekali lagi menduga, Jokpin memang mengisahkan kitab tubuh perempuan
sebagai “penjara/makam jiwa” seperti dikatakan Platon, bahwa ada dualisme
tubuh-jiwa, yang membedakan antara yang materi dan ide, dan yang memposisikan
nilai tubuh lebih rendah di bawah ide. Namun, lebih jauh, Jokpin lebih pas
kalau dikatakan mengikuti pemikiran Aristoteles, muridnya Platon, yang menolak
dualisme Platon tersebut. Aristoteles menggambarkan ketakterpisahan antara
tubuh dan jiwa (ide) seperti lilin dan bentuknya lilin (Synnott: 2002, 14-15).
Yang menarik, Jokpin sepertinya lebih banyak menggambarkan
dan bergolak tentang lilin itu sendiri. Ya, tubuh perempuan sebagai lilin yang
bisa membakar diri sendiri, menerangi orang lain, pemicu kebakaran, dan selalu
bermasalah. Tubuh lilin: metafor, pokok, dan makna. Dengan cara ini, Jokpin
bebas memainkan tubuh dalam puisi-puisinya dengan elegan, estetis, tragis, melankolis, dan terkadang naif
yang menantang. Dan dengan cara itu, Jokpin memasuki tubuh tidak hanya sebagai
“bait Roh Kudus” seperti yang dikatakan Santo Paulus (dalam puisi Jokpin tubuh
bahkan bisa tidak kudus), tapi juga memasuki wilayah eksistensialisme tubuh
seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre, “Tubuh adalah saya…Saya adalah tubuh”
(Synnott: 2002, 11).
ADA
beberapa perempuan yang laik dicatat dalam esai aneh dan jelek ini. Yang
pertama adalah perempuan yang sudah termaktub dalam sejarah masa lalu: Kartini
dan Maria Magdalena. Yang kedua adalah perempuan-perempuan kontemporer di
sudut-sudut perkotaan seperti para penyanyi kelas bawah, PSK, dan sebagainya.
Perempuan yang
termasuk dalam kategori yang pertama bisa kita lihatlah pada puisi Dari
Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Puisi ini dengan baik
menangkap kegelisan, harapan, dan keputusasaan RA Kartini. Juga mampu menangkap
suasana zaman dengan pernik-perniknya seperti kereta api, sawah-sawah,
perempuan-perempuan tangguh, kebaya, batik, pabrik-pabrik gula, dan perahu
layer. Tapi, dalam puisi ini, Jokpin tidak begitu intens menggunakan
kepiawaiannya mengolah tubuh baik sebagai metafor, pokok masalah, atau alat
ucap. Bisa dibilang, Jokpin gagal kalau kita mengaitkan dengan keintimanan dan
kepiawaian Jokpin menggunakan tubuh perempuan. Padahal, kita tahu, kisah kasus
RA Kartini sangat erat kaitannya dengan status dan identitas keperempuanan
(femininitas) RA Kartini yang terkait dengan tubuh.
Berikutnya,
penggambaran tubuh, pergolakan, dan pemberontakan perempuan bisa kita baca
dalam Minggu Pagi di Sebuah Puisi. Puisi ini menggambarkan permasalahan
seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang dan Maria Magdalena:
“Ibu hendak
kemana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan
mencari dia di Golgota, yang artinya:
tempat
penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjuk
potret anaknya.
“Ibu, saya
habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil
bersimpuh.
Gadis itu Maria
Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya:
“Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang
eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan
senjata telah menjarah
perempuan lemah
ini.”
Sungguh Ia
telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap
vagina;
pada dinding gua yang retak-retak,
yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang
remuk.”
(Joko Pinurbo,
“Minggun Pagi di Sebuah Puisi”, 1998/2007)
Dalam puisi
ini, yang profan dan sakral, yang kudus dan yang kotor, yang lemah dan yang
kuat, memiliki eksistensinya sendiri dalam persentuhan dengan bagian-bagian
tubuh: bibir, jari, dan vagina. Kedua perempuan itu sama-sama kehilangan; yang
satu kehilangan anaknya yang pernah bertemu dengan Magdalena; Magdalena
kehilangan eksistensinya yang telah dijarah oleh agama dan senjata. Jopkpin
menggunakan tokoh-tokoh sejarah dengan membuat puisi-cerita yang memukau,
padat, dan penuh protes kalau tidak mau mengatakan mendekonstruksi pemahaman.
Sayang, saya tidak begitu banyak tahu tentang Magdalena. Yang
aku tahu dia, konon, adalah seorang pelacur. Ada juga yang mengatakan bahwa dia
termasuk santo perempuan pada zaman dahulu ketika perempuan masih memiliki
kekuasaan dalam gereja.
Yang menarik,
pada akhir puisi ini, Jokpin memberikan gebrakan pertanyaan mistis-filosofis,
bukan sekadar salam, “dan dua perempuan/mengucapkan salam: Siapa masih berani
menemani Tuhan?” Ada pemberontakan dan gugatan dalam puisi ini. Penutup puisi
ini menggugat dan memprotes dengan sopan dan satiris. Perempuan dan agama dalam
puisi Jokpin, sangat kental dengan aroma pemberontakan dan perlawanan terhadap
pemahaman yang selama ini menghinggapi benak masyarakat. Selain itu,
penggambaran bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap tabu untuk diucapkan
malah digambarkan dengan muram, sedih, dan tragis, tapi tidak pornografis.
Berikutnya
adalah perempuan-perempuan Jokpin kontemporer. Eksistensi tubuh perempuan menjadi tema reflektif
yang memukau dalam puisi Di Salon Kecantikan. Pergolakan, pertentangan,
keinginanan, hasrat muda, penundaan kekalahan, dan gugatan dalam tanya-tanya
filosofis, masuk ke dalam kehidupan perempuan melalui tarikan tubuh yang
termanifestasikan dalam konsep kecantikan. Kecantikan merasuki kehidupan
perempuan untuk dibawa ke alam cemas, gundah, gelisah, was-was, dan kesadaran
yang kalah dan tak berarti lagi di hadapan hasrat cantik. Eksistensi tubuh
perempuan seakan mau tidak mau harus ditautkan dengan kecantikan: konsep yang
terus-menerus berubah oleh kehendak zaman dan kepastian usia.
Semua itu bisa
kita baca pada penggalan puisi Di Salon Kecantikan: “Mata, kau bukan
lagi bulan binal/yang menyimpan birahi dan misteri”//”Rambut, kau bukan lagi
padang rumput/yang dikagumi para pemburu.”// “Dada, kau bukan lagi pengunungan
indah/yang dijelajahi para pendaki.”
Tentu sudah
banyak yang membahas dan menulis tentang kecantikan. Tapi yang menulis puisi
seintens, sedalam, dan sefilosofis Jokpin dengan menggunakan tubuh, aku belum
menemukan bahkan dari para pemikir feminis. Apalagi yang menggunakan tubuh
sebagai tema pokok dan alat pengucapan, aku belum pernah membacanya. Saat
membacanya, aku bertanya-tanya: apakah Jokpin seorang perempuan? Apakah Jokpin
sedang berada di salon berhari-hari untuk mengamati gejolak hati seorang
perempuan?
Kalau dalam Di
Salon Kecantikan kita membaca kecemasan yang tak terelakan, kita tidak
menemukan kecemasan serupa dalam Gambar Porno di Tembok Kota. Kita
dihadapkan pada perempuan tegar menghadapi kegetiran hidup yang
termanifestasikan dalam tubuh-tubuh penuh luka. Bahkan, perempuan dalam puisi
ini tampak cuek dengan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam Gambar
Porno di Tembok Kota (juga dalam Perempuan Jakarta, Di Sebuah
Vagina, dan Perempuan Senja, dan Mei, meski tidak begitu
intens penggunaan tubuhnya) kita
dihadapkan pada bagian-bagian tubuh perempuan dalam suasana muram penderitaan
yang disimpan. Tubuh perempuan ditempatkan dan digambarkan dalam
situasi-kondisi paradoks, antara kegairahan pesona tubuh dengan penderitaan.
Tubuh, dalam puisi ini, menjadi alat ucap yang estetis tragis yang tersimpan
dalam tubuh perempuan.
Tubuhnya kuyup
diguyur hujan.
Rambutnya
awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin
memamerkan kecantikan:
wajah
ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang
menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
…..
“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri
kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak
risau. Maaf, aku tidak punya banyak waktu
buat bercinta.
Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan
iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika
cuma untuk jadi penghibur
di negeri
orang-orang kesepian?”
“Terima kasih,
gadisku.”
“Peduli amat,
penyairku.”
(Joko Pinurbo, “Gambar Porno di Tembok Kota”, 1996/2007)
Jokpin
mengembangkan konsep metafor tubuh menjadi alam semesta pada Kisah Semalam.
Kita seakan dihadapakan dengan tubuh perempuan selaiknya kita berhadapan dengan
alam. Tapi, kalau nuansa naturalisme bisa membuat kita merasa teduh, damai, dan
tentram, kita malah dihadapkan pada tubuh dengan nuansa yang mengerikan,
seperti saat kita menonton film 2012.
Dan suntuklah
ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak
poranda pada wajah
yang
mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup
kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada
rambut
yang mulai pudar
hitamnya;
pada rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara
yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pingul dan
pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara
perut
dan paha.
(Joko Pinurbo,
“Kisah Semalam”, 1996/2007)
Perempuan-perempuan
Jokpin berhadapan dengan kehidupan perkotaan seperti Jakarta. Kehidupan mereka
tetap sama dan diceritakan dalam bait-bait tubuh penuh luka. Mereka berhadapan
dengan budaya massa yang memperdayai tubuh-tubuh mereka. ”Memang tampak cantik
ia/ dengan celana merah menyala// senja berduyun-duyun/mengejar petangmengejar
malam// Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan/dengan airmata yang
disembunyikan//. Perempuan-perempuan Jokpin tak ubahnya hiasan moral yang di
tembok-tembok kota. Mereka menjadi ornamen kota.Mereka menghadirkan kemeriahan
penuh luka. ”Kota akan kehilangan dia bila ia tidak lagi di sana,” kata Jokpin
pada penutup puisi Perempuan Jakarta.
Tubuh
perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, bukan hanya kulit-daging dan tulang
belulang, yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Tubuh perempuan membentuk
semacam spektrum warna kelabu, yang membawa aroma tragis-puitis. Spektrum warna
itu membentang dari atas kepala sampai dengan organ-organ intim.
3/luka
DARI pembacaan saya terhadap puisi-puisi Jokpin, bisa
disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Jokpin merupakan cerita-puisi yang kelam, penuh dengan luka di
sekujur tubuhnya. Organ-organ tubuh perempuan terluka sayatan kekuasaan
terutama pada bagian-bagian tubuh yang perlu atau harus menarik, bergairah,
menawan, menggiurkan, dan penuh kontroversi seperti rambut, mata, bibir, wajah,
buah dada, pinggul, vagina dan sebagainya.
Aku bahkan
tidak menemukan satu perempuan pun dengan sedikit suka-cita, bahagia, tanpa
derita dalam kehidupan puisi-puisi Jokpin. Jika pun ada, itu adalah perempuan
yang hendak mengelak dengan cara cuek dan mengekspresikan kelukaannya dengan
kebahagiaan yang perih. Perempuan-perempuan Jokpin adalah perempuan luka pada
sekujur tubuhnya tanpa ampun. Perempuan Jokpin adalah perempuan yang berada
dalam kondisi ″dukamu abadi″.
4/kuasa
SIAPA yang
membubuhkan luka pada sekujur tubuh perempuan, penyairku? Siapa?
Eksplorasi
tubuh perempuan dalam puisi-puisi Jokpin selalu bersinggungan dengan berbagai
kekuatan eksternal tubuh itu sendiri. Di sini, Jokpin memasuki daerah
kekuasaan, apapun itu, dengan membawa tubuh
perempuan untuk bercerita, menjadinya tema, pokok masalah, dan terkadang menantang pemahaman
dan perlakuan kejam terhadap tubuh perempuan.
Kebanyakan
kisah, tema, pokok, dan alat ucap tubuh Jokpin adalah perempuan (luka).
Kesadaran tubuh perempuan Jokpin ini memang tidak lepas dari pergolakan tubuh
(perempuan) dalam sejarah manusia. Tubuh perempuan selalu menjadi masalah,
pergolakan, permainan, pelecehan, pelarangan, perebutan, dan sebagainya atas
nama kuasa-kuasa pemikiran filosofis, wahyu-wahyu agama, kerajaan-pemerintah,
norma-norma tradisional, dan bahkan korporasi yang sekarang banyak menemani
kehidupan perempuan.
Tubuh bagi Jokpin adalah “mayat//yang saya pinjam//dari
seorang korban tak dikenal// dan tergeletak di pinggir jalan” (“Tubuh Pinjaman”
1999/2007). Puisi ini memang agak aneh jika menempatkan tubuh sebagai korban
yang tidak dikenal. Padahal, kalau
kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan melihat dengan jelas, korban itu
adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah korban, yang sudah menjadi mayat
yang dipinjam. Dengan kata lain, tubuh yang tidak bisa lagi dikuasai oleh
penggunanya, perempuan. Sekadar pemakai.
Meski demikian,
anehnya, akan selalu ada “petugas yang menanyakan status,//ideologi, agama, dan
terutama harta kekayaan//.” Petugas itu bisa keluarga, negara, agamawan,
politikus, media massa, atau bahkan pacar dan teman kita.
Aneh memang, adakah tubuh berstatus, berideologi,
beragama? Pada bagian mana tubuh itu beragama dan berideologi? Bagaimana
tulang-belulang dengan segumplan daging dengan aneka warna dan coraknya bisa
memiliki semua itu? Bukankah status,
ideologi, dan agama, merupakan sebentuk non-materi, bagaimana cara memungkinkan
semua itu melekat pada tubuh yang materi?
“Sudah kurambah
seluruh// kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya
labirin yang kutemukan.”
(Joko Pinurbo,
“Perburuan”, 1999/2007)
Kalau melihat
secara kronologis, petikan dua larik puisi ini mewakili puisi-puisi Jokpin yang
paling terbaru sedangkan yang menggambarkan pergolakan tubuh perempuan
kebanyakan ditulis pada tahun 1991 sampai tahun 1999. Itu artinya dalam
permenungan Jokpin tentang tubuh perempuan ternyata hanya menemukan labirin. Jokpin mendapati jawaban jalan tak ada
ujung tentang kuasa terhadap tubuh perempaun. Labirin, menurut
pengamatanku terhadap puisi-puisi Jokpin, mengandaikan perjalanan derita dan
luka yang tidak pernah selesai. Sepanjang perempuan memiliki tubuh, sepanjang
itu pula, sepertinya, jalan tak ada ujung yang harus ditempuh dalam derita dan
luka.
Akan selalu ada kuasa pada tubuh-tubuh perempuan. Dan
tubuh itu, memang, satu-satunya yang bisa didera, dipenjara, dibuat derita, dan
dikuasai. Dalam puisi Jokpin, itu tidak sepenuhnya terpenuhi, bahkan setelah
orang-orang menyerukan revolusi dan revolusi beberapa kali melanda dunia.
Perempuan-perempuan Jokpin masih berada dalam kondisi setengah bebas dan
setengah menderita. “Tingallah airmata yang menetes pelan/ ke dalam segelas bir
yang menempel pada dada/ yang setengah terbuka, setengah merdeka.”// (Joko
Pinurbo, “Perempuan Pulang Pagi”, 1997/2007).
Terakhir, beruntunglah, Jokpin mulai mengurangi penulisan
puisi tentang perempuan pada tahun-tahun belakangan, sejak tahun 2000-an. Aku
berharap, tubuh-tubuh perempuan Jokpin mulai sembuh. Sehingga mereka bisa
menjadi perempuan tanpa luka-derita, sehingga penggalan puisi ini tidak akan
pernah kita temukan lagi: “Tak ada yang benar-benar mengenalinya/selain angin yang masih menyebutnya perempuan//.
[]
(dimuat di
Litera edisi Juli-September 2010)
Surakarta, 13 Maret 2010
M. Fauzi, yang lahir di Madura,
masih berstatus mahasiswa sastra
Inggris UNS,
tapi hampir tidak pernah membaca buku sastra
apalagi yang berbahasa Inggris,
dan tidak mengambil kajian sastra atau linguistik.
Dia mengambil Kajian Amerika (American Studies).
Lebih suka menulis catatan tentang dirinya dan teman-temannya.
Mengutip
pernyataan Jean-Paul Sartre, bahwasanya eksistensi lebih dulu ada dibanding
esensi (l'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa
saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih dari hasil kalkulasi
komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu-satunya
landasan nilai adalah kebebasan manusia. Media kebebasan manusia yang paling
nyata adalah menulis sehingga dengan menulis manusia menandai eksistensinya dan
menghasilkan sesuatu dari yang telah ditulisnya itu.
Membicarakan
tentang tema eksistensi, saya jadi teringat oleh eksistensi sosok manusia yang
kritis dan membawa dampak positif bagi lingkungan terdekatnya hingga negaranya.
Manusia yang ingin saya bahas disini adalah mahasiswa. Mahasiswa adalah manusia
yang paling tidak menjadi motor sebuah gerakan yang membawa kemaslahatan bagi
masyarakat, menghasilkan sesuatu. Tulisan tentunya menandai eksistensi mereka
sebagai figur intelektual. Tapi, pada kenyataannya mahasiswa yang seharusnya
menjadi manusia intelek yang bisa dimintai bantuan soal keilmuan seolah acuh
tak acuh mengenai hal tersebut. Mahasiswa sekarang ini lebih berasyik masyuk
dengan kegiatan main play station, pacaran, nonton film, futsal, dan
lain-lain. Hal yang dilakukan mahasiswa tersebut berbeda sekali dengan
mahasiswa pada zaman 1970-an dan 1980-an.
Pada
zaman tahun 1970-an, masyarakat Indonesia digegerkan oleh catatan seorang
mahasiswa demonstran asal Universitas Indonesia bernama Soe Hok Gie. Gie adalah
salah satu sosok mahasiswa yang menandai eksistensinya dengan menulis yang
didalamnya berisi hal-hal yang sedang dialaminya. Mungkin secara sekilas
membuat catatan adalah hal yang paling remeh dan tidak penting, tapi pada
kenyataannya, sebuah catatan bisa menjadi referensi sejarah masa lampau, mengecek
kebenaran yang mungkin mulai membengkok. Jika kita membandingkan mahasiswa
sekarang dan zaman dulu, maka sungguh bagai ujung rambut dan ujung kaki.
Mahasiswa dahulu rajin mengkaji keilmuan mereka dengan diskusi, membaca buku,
dan menulis, sedangkan mahasiswa sekarang mungkin belum pernah melakukan hal
itu semua, kecuali jika tidak ada tugas mata kuliah yang mewajibkannya. Sungguh
ironi yang memedihkan.
Menarik
apa yang dilakukan Gie dalam membuat catatannya yang dimulai pada usia 15
tahun, setiap hari. Ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian
pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada.
Sedangkan catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum
kematiannya. Catatan tersebut menulis tentang kritik kerasnya tentang rezim Orde
Baru dan pemerintahan Soeharto. Gie berjuang melalui tulisan dan
catatan-catatannya. Sungguh Gie adalah tokoh yang menginspirasi.
Mahasiswa
lain yang berjuang melalui catatannya adalah Ahmad Wahib. Ia adalah mahasiswa
angkatan 1980-an yang juga menulis seperti Gie. Ahmad Wahib adalah seorang
mahasiswa yang budayawan dan pemikir Islam. Semasa hidupnya
yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam
Pergolakan Pemikiran Islam. Dalam catatannya, Ahmad Wahib berusaha
mencatat hal-hal apa saja yang membuat resah, gelisah dan mengganggu alam
pikirannya. Wahib menulis hal yang sepele, tapi menjadi sebuah perenungan kita
semua. Seperti catatannya yang bertanggal 6 Juni 1969: “Aku tidak mengerti
keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang
becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah
20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja.
Bagaimana ini?” Catatan ini mungkin hal remeh, tapi hal ini adalah refleksi
kebebasan manusia yang dimiliki oleh Wahib. Ia dengan kejujuran hati dan
kemurnian jiwanya menulis hal-hal sepele yang kadang kala kita tidak pernah
memperhatikannya ataupun merenungkannya. Hal yang juga jadi bagian refleksi
kemanusiaan dan kekritisannya yang terusik melihat realitas kemiskinan yang
menjamur dan tidak jua menemui solusi penyejahteraan. Mereka dalah korban dari
janji wakil-wakil kita di DPR maupun di MPR pada masa itu.
Catatan
Ahamd Wahib itu merupakan suara hati murni seorang manusia yang tidak tega
melihat ketidakadilan di depan matanya. Catatan ini juga hampir senada dengan
catatan Soe Hok Gie. Catatan mereka penuh kejujuran mengenai realitas
masyarakat yang terjadi pada saat itu sehingga ketika kita membaca kedua
catatan tersebut waktu seolah terhenti dan catatan tersebut seperti mencambuk
dan menyadarkan kita akan pentingnya kepekaan individu dan keberanian
menyuarakan hal-hal yang jujur dan benar.
Lain
halnya dengan sebuah catatan yang akhir-akhir ini menjadi best seller di
toko-toko buku seluruh Indonesia. Catatan tersebut berjudul Catatan Anak Kos
Dodol. Catatan tersebut merupakan catatan dari seorang mahasiswi yang
menghuni sebuah kos. Untuk selengkapnya catatan tersebut berkisar tentang gaya
hidup mahasiswi masa kini yang sarat akan muatan kehidupan yang sudah teracuni
oleh faham kapitalistik. Semuanya berkisah tentang mahasiswi yang ingin cantik
dan bergaya trendi, ingin selalu gaul dan menambah wawasan, ingin bertubuh
indah dan makan enak-enak tanpa khawatir melar, ingin kencan atawa jalan-jalan,
dan lain-lain.
Entah
zaman yang sudah berubah atau karakteristik mahasiswanya yang memang sudah sangat
berbeda sekali. Karakteristik mahasiswa yang pada tahun 1970-an dan 1980-an
sarat dengan kehidupan yang keras karena masa-masa itu memerlukan banyak kritik
yang membangun. Mahasiswa pada saat itu menjadi sentra pengawas jalannya
pemerintah supaya tidak melenceng. Perjuangan mahasiswa pada masa itu juga
tidak sering dimuati oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Sedangkan
catatan anak kos dodol yang merupakan salah satu representasi catatan mahasiswa
zaman sekarang, serasa sangat jompling, entah dari isi dan makna. Apakah ini
pertanda bahwa mahasiswa sedang mengalami krisis yang parah?