Laman

Sabtu, 06 November 2010

Sumpah Pemuda dan Catatan Kaki Sejarah

Bandung Mawardi


Perjalanan panjang Sumpah Pemuda selalu menunjukkan kontroversi atas politisasi dan ideologisasi dari penguasa. Sumpah Pemuda dalam fragmen-fragmen politik Indonesia selalu menjadi momentum politis. Keith Foulcher (2008) menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda terus ditahbiskan sebagai ikhtiar untuk mendukung agenda dan pamrih (interest) politik mutakhir. Penahbisan Sumpah Pemuda tampak dalam ideologisasi-politisasi sejak masa kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Ideologisasi-politisasi itu merupakan manifestasi dari pamrih revolusi, integrasi, nasionalisme, pembangunan, atau reformasi.
Perubahan kentara dari Sumpah Pemuda terletak dalam publikasi teks. Perubahan teks mungkin kesengajaan atau kealpaan dalam arus sejarah Indonesia modern. Perubahan fatal terjadi pada kalimat urutan tiga. Teks Sumpah Pemuda 1928: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Teks itu kerap mengalami perubahan menjadi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Perubahan itu melahirkan implikasi politik dan kultural. dalam konteks menjadi Indonesia. Kalimat ketiga dalam Sumpah Pemuda 1928 kentara menunjukkan spirit pluralitas tanpa ada represi politis untuk membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sentralistik. Konsensus itu mengacu pada pluralitas bahasa etnis dan kuasa bahasa Belanda pada kaum muda tahun 1920-an. Perubahan kalimat itu mereprsentasikan tipologi kekuasaan dan lakon politik sesuai dengan desain penguasa secara sistemik dan ideologis.
Formula keliru “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” muncul sebagai alat ideologi oleh rezim Orde Lama untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme, revolusi, dan integrasi. Soekarno melakukan pengeramatan Sumpah Pemuda untuk membasmi separatisme dan gerakan-gerakan kontra-revolusi. Sakralitas itu sebagai strategi politik untuk membuat klaim Sumpah Pemuda sebagai simbol kunci secara historis dan empiris. Simbol dikonstruksi dengan otoritas kekuasaan untuk menjadi indoktrinasi dan alat kontrol politis.
Rezim Orde Lama cenderung memakai Sumpah Pemuda sebagai legitimasi untuk laku politik secara eksplisit. Politisasi itu memuncak pada tahun 1960-an dengan menjadikan Sumpah Pemuda sebagai simbol untuk kampanye-kampanye politis atas nama revolusi dan nasionalisme. Soekarno memang memiliki otoritas untuk memunculkan tafsir politik terhadap Sumpah Pemuda sesuai dengan perhitungan dalil dan pamrih. Soekarno menjadi sosok penting untuk cerita perubahan Sumpah Pemuda sebagai simbol politik.
Rezim Orde Baru turut melanggengkan formula “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” dalam desain politik sistemik. Bahasa mulai menemukan pemaknaan politik dan ideologi mumpuni. Pemahaman kalimat ketiga Sumpah Pemuda menjadi acuan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan politik bahasa dengan perangkat aturan, struktur, dan institusi. Bahasa Indonesia pun menjadi simbol politik oleh Orde Baru atas pamrih stabilitas politik dan pembangunan.
Imperatif dari penguasa Orde Baru melahirkan fenomena-fenomena politis dengan peringatan Sumpah Pemuda sebagai peringatan sejarah dan kontekstualisasi misi-visi pembangunan. Soeharto dengan struktur birokrasi mumpuni membuat agenda-agenda strategis: publikasi buku-buku tentang Sumpah Pemuda, sakralisasi politis Sumpah Pemuda dalam ritual resmi, agenda Bulan Bahasa, atau intervensi dalam agenda Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru adalah perkara menentukan untuk otoritas penguasa dan realisasi penundukkan terhadap rakyat. Doktirin-doktrin dan jargon-jargon bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia untuk kesuksesan pembangunan, atau bahasa adalah simbol persatuan dan kesatuan menjadi indoktrinasi secara efektif dan efisien. Laku politik Orde Baru itu merupakan pelepasan simbol dari sejarah politik menuju politisasi sejarah dan kontekstualisasi politik pragmatis.
Keith Foulcher (2008) dengan kritis menilai Sumpah Pemuda adalah catatan kaki terhadap sejarah. Peran sebagai catatan kaki itu rentan dengan intervensi, manipulasi, atau distorsi. Rezim Orde Lama dan Orde Baru dengan genit dan sistemik melakukan politisasi Sumpah Pemuda untuk pencapaian pamrih. Intervensi penguasa jadi penentu penerimaan dan pemakluman perubahan teks Sumpah Pemuda.
Intervensi penguasa cenderung memusat pada pamrih politik dan konstruksi politik bahasa. Apakah Sumpah Pemuda sebagai simbol nasionalisme dalam alur sejarah Indonesia masih pantas (sekadar) menjadi catatan kaki terhadap sejarah? Peringatan 82 tahun Sumpah Pemuda (1928-2010) adalah titik kritis untuk membaca dan menafsirkan ulang kisah pemuda dalam konstruksi menjadi Indonesia. Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa kaum muda masih memiliki jejak referensial untuk masuk dalam panggung politik sebagai ekspresi dan konsekuensi. Kaum muda tahun 1920-an memiliki kesadaran politik untuk perlawanan kolonialisme. Kesadaran politik itu terus mengalami transformasi sampai hari ini dengan orientasi berbeda.
Kesadaran politik kaum muda sekarang cenderung memakai label perubahan dengan pelbagai dalil-dalil politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Indonesia pun ramai dengan wacana dan praksis untuk lakon kaum muda dalam panggung politik mutakhir. Kaum muda dengan sekian komitmen mulai melakukan pembuktian untuk meneriman amanat politik dalam partai politik, legislatif, dan eksekutif.
Sentralisasi wacana dan praksis kaum muda dalam politik terkadang menimbulkan bias dan ambiguitas. Polemik mengenai kompetensi dan kapasitas kaum muda dalam politik kerap memicu tegangan optimisme dan pesimisme. Optimisme muncul dari elan vital dan pertaruhan diri atas nama perubahan nasib Indonesia. Pesimisme muncul dengan acuan kondisi politik Indonesia tidak karuan dan perubahan membutuhkan pengalaman. Pesimisme ini merupakan kontradiksi dari antusiasme kaum muda untuk memikirkan dan terlibat dalam agenda-agenda perubahan di Indonesia. Begitu.

Radar Surabaya (31 Oktober 2010)

Mitos (Rapuh) Pemuda

Bandung Mawardi


Mitos tentang pemuda pernah dikabarkan dengan gelegar oleh Soekarno, mitos untuk mendefinisikan bangsa dan menggerakkan perubahan dengan tumpuan kaum muda. Mikrofon politik jadi alat bagi Soekarno mengalirkan idealisme, revolusi, dan kultur perubahan. Mitos itu digulirkan, membuahkan keajaiban-keajaiban dalam kerapuhan konsep, juga menjadikan pemuda sebagai anutan geliat mencurigai kemapanan. Periode itu berlalu, zaman berganti, mitos pemuda pun mengalami pasang surut oleh godaan kekuasaan, arogansi rezim politik, kegenitan sistem sosial-kultural, dan kebangkrutan kultur literasi-keintelektualan.
Peringatan keras agar kaum muda tak larut dalam mitos, luluh dalam narasi-narasi fantastis, atau hilang dalam sihir makna, pernah diwartakan oleh Mohammad Hatta dalam sebuah tulisan kecil berjudul “Pemuda dalam Krisis” di Daulat Rakjat, No 77, 30 Oktober 1933. Hatta seolah “menyumpahi” pemuda karena mereka dilanda krisis, saat “zaman meleset” (malaise)  dan gairah pergerakan politik dan proyek intelektual mulai kena masuk angin. Hatta menarik tamsil dari referensi-referensi dunia dan lokal, menuturkan biografi pemuda, untuk memberi suntikan atas kelesuan, krisis. Gejala itu memabukkan, menidurkan, mengalpakan. Hatta ingin kaum muda membuat jalan pembaharuan, perubahan, menggerakkan diri bersama rakyat demi “mencipta” Indonesia. Suntikan ini adalah provokasi dari episode “kegirangan” saat Sumpah Pemuda (1928) melahirkan mitos-mitos rapuh, tak permanen.
Hatta, intelektual berpendidikan Eropa dan lulusan dari universitas di Belanda, mengingatkan kaum muda: “Kalau pemuda Indonesia yang mendapat pendidikan Barat tahu mencari jalan pulang ke dalam masyarakat sendiri, ia akan terlepas dari krisis yang mahahebat dan mahasedih, yang menggoncangkan penghidupan jiwanya di waktu sekarang ini.” Kaum muda saat itu bingung dalam memaknai garis politik dan intelektual dalam remang modernitas dan represi kolonialisme. Ikhtiar lolos dari krisis multidimensional adalah kerja berat, heroik, dan pembuktian sumpah. Mitos pemuda dalam kondisi ini memang rentan pecah, rusak, atau berganti.  
Hatta mengajukan diri sebagai biografi pemuda Indonesia. Kitab Memoir (1979) memberi keterangan-keterangan tentang resah dan ambisi pemuda Hatta. Publik pun menghormati Hatta, sanjungan atas pengucapan sumpah bahwa ia tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah diri ini tak bisa diartikan kecil, sumpah ini ada dalam bingkai politik, sejarah, sosial, dan agama. Orang bisa mengambil contoh mitos kecil dari Hatta. Kita juga bisa membandingkan dengan mitos pemuda Soekarno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, atau Amir Sjarifuddin. Mereka menerima spirit Sumpah Pemuda, tapi mereka ikut memberi, melahirkan, sumpah-sumpah lanjutan untuk pemaknaan keindonesiaan. Lahirlah lingkaran-lingkaran politik-intelektual di sekitar mereka, meruntuhkan mitos usang, melahirkan mitos progresif, dan bimbang dalam pemitosan diri sendiri.

Tamsil
Mitos dari garis politik ini memang kerap jadi acuan kendati bisa jatuh dalam klise. Kita bisa meletakkan mitos-mitos itu dalam jejaring kisah kaum muda di dunia, tamsil dari sastra dan sejarah dunia. Johann Wolfgang von Goethe, pujangga agung dari Jerman, menuliskan novel Die Leiden De Jungen Werther (Penderitaan Pemuda Werther). Mitos pemuda dalam novel klasik ini mengesankan pemujaan cinta, penganut aliran romantik, menampik optimisme rasionalistik, dan penghancuran diri. Sumpah dilafalkan atas nama menikmati hidup dalam gelimang cinta. Kisah tokoh Werther pun jadi tamsil bagi Eropa, abad ke-18, tentang konsep dan pendefinisian pemuda pada zaman itu, mereka adalah makhluk-makhluk dalam masa resah dan gelisah. Masa itu Eropa lesu, perubahan berjalan lamban. Petaka dan keruntuhan mitos pemuda hadir sebagai ketidaksanggupan menemukan dan mengejawantahkan roh zaman.
Kita bisa menarik mitos pemuda ala Goethe sebagai tamsil untuk menilik ulang peran kaum muda usai generasi 1928, 1945, 1966, 1998. Mitos pemuda kita jadi rapuh, mitos tampak berubah arah. Mereka hampir tiruan-tiruan dari Werther. Ideologi untuk mengusung hidup dalam gelimang hiburan, penggampangan, puja hedonistik, fanatisme cinta,. atau pecandu snobisme membuat kita menundukkan kepala. Pemuda telah memitoskan diri dengan sumpah serapah tentang penampikan hidup dalam risiko, digantikan dengan sumpah (senang) hidup. Kisah-kisah tentang pertaruhan diri, kesadaran politik, pencerahan kultural, perubahan sosial tertutupi oleh kegirangan dalam hidup artifisial, luberan manipulasi ideologis, dan kehampaan orientasi intelektual-spiritual-kultural. Mereka seolah ikut mengucap dan memegang sumpah tentang mitos globalisasi dalam sorotan kenikmatan-kenikmatan tanpa kerja nalar dan imajinasi, konstruski biografi diri, serta  misi profetik.
Mitos pemuda melahirkan nihilisme terjadi dalam novel Fathers and Sons garapan Ivan S Turgenev. Novel ini mengisahkan tentang konfrontasi kaum tua dan kaum muda-intelektual di Rusia pada abad ke-19. Pemuda-pemuda desa bergerak ke kota, menghirup aroma dan roh kemodernan, menempuh studi untuk pemartabatan diri dan negeri. Sumpah untuk perubahan dengan risiko bentrokan ideologis membuat kaum muda jadi tersangka pengidap nihilisme. Tuduhan ini ada karena tokoh-tokoh Turgenev tidak sanggup mencari titik temu, mengubah arah, dan kalah oleh nalar sendiri untuk menemukan kiblat perubahan. Sandaran ideologis rapuh, mitos diri dalam kemodernan tersesat dalam khayal zaman. Nihilisme pun merebak di Eropa, kaum muda menjadi sebab dan mereka hampir terpental dalam lingkaran sejarah dunia. Kaum muda Rusia ingin perubahan radikal, tapi lelah melawan kekolotan kaum tua. Mereka, kaum muda, justru disumpahi atas kebobrokan dan kehampaan nilai-nilai kehidupan.

Rapuh
Mitos dalam novel-novel dunia itu bisa mengingatkan kita tentang disorientasi dan kehampaan kaum muda hari ini di Indonesia. Mitos ideologis memang terabaikan, kaum muda justru membuat simplifikasi untuk membaca dunia dalam banalitas sumpah. Gairah untuk belajar susut, ambisi menjadi politikus karbitan jadi memabukan, menggulirkan ide-ide perubahan malah terpasung formalitas, mendefinisikan dan menyusun biografi diri larut dalam serbuan globalisasi atas nama “pemuda dunia”, pemuda tanpa tanah air. Kabar-kabar ini menggelisahkan karena kaum muda hidup dalam mitos-mitos tak terbayangkan dalam arus sejarah keindonesiaan atau kelokalan.
Mitos (rapuh) pemuda disajikan pada kita saat konstruksi keindonesiaan dalam fondasi politik, ekonomi, sosial, pendidikan,  dan kultural mengalami guncangan-guncangan besar. Sejarah tentang heroisme pemuda seolah raib oleh lembaran-lembaran mitos globalisasi. “Pemitosan” pemuda dalam sejarah revolusi Indonesia oleh Benedict Anderson mungkin tamat dini. Biografi-biografi masa muda Ranggawarsito, Soekarno, Chairil Anwar, atau Ahmad Wahib mungkin enggan terbaca. Mitos-mitos mereka sekadar mendekam dalam buku-buku tebal, di rak-rak sepi perpustakaan, di gudang senyap. Kaum muda hari ini tampak memerlukan biografi artis, atlit, atau mencari mitos-mitos pemuda ke pelbagai penjuru negeri dengan dalih kosmopolitanisme.
Kondisi ini lazim terjadi kendati mengharukan. Kita jadi, sadar urusan pemuda adalah urusan dalam keajaiban, ketakterdugaan, dan ketkajuban. Jadi, keberadaan kementerian pemuda seolah absen dari arus mitos pemuda dan gagal dalam memberi asupan untuk penciptaan sumpah-sumpah progresif dalam proyek memartabatkan kaum muda. Kita justru kerap muntah dengan sumpah (serapah) para elite muda tentang gagasan dan ide tak bening, tak mencerahkan, tak kritis, dan tak menggerakkan perubahan. Begitu. 

Koran Tempo (31 Oktober 2010)          

Politik Bahasa Totalitarianisme

Bandung Mawardi


Negara memiliki ritual politis atas bahasa. Bulan Oktober disahkan sebagai bulan bahasa dan sastra. Kebijakan ini merupakan bukti politik perhatian untuk menggerakkan bahasa sebagai representasi kekuasaan dalam konstruksi historis, identitas, dan nasionalisme. Kebersejarahan bahasa hendak dijadikan sihir untuk membuat agenda kepatuhan dalam bahasa. Sejarah bahasa Indonesia masih luput dan penjelasan tak rampung atas kepentingan kepemilikan dan produksi makna-makna politik, ekonomi, sosial, agama, pendidikan, seni, teknologi, dan kultural.
Politik bahasa di Indonesia merupakan sambungan dari kekisruhan sejarah masa kolonial. Bahasa sebagai representasi kepatuhan pernah diusahakan oleh pemerintah kolonial kendati gagal. Slamet Muljana dalam Politik Bahasa Nasional (1959) mengisahkan tentang signifikansi bahasa Belanda dalam pamrih melanggengkan kekuasaan. Usaha ini dimotori oleh G J Nieuwenhuis dengan ancangan tiga jalan: (1) menjauhkan para pelajar bumiputera dari bahasa Melayu dan memupuk pertumbuhan bahasa daerah dengan kedok kepentingan pendidikan; (2) membuka perspektif kehidupan yang luas da menguntungkan bagi bumiputera yang pandai bahasa Belanda; (3) menyebarkan bahasa Belanda seluas-luasnya.
Politik bahasa kolonial ini tidak memberi hasil maksimal alias mendapati resistensi dari bumiputera dengan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa politik, pengetahuan, dan kultural. Bahasa Indonesia justru diakui sebagai bahasa bersama dalam Kongres Pemuda II (1928) sebagai antitesis bahasa Belanda alias kolonial. Politik bahasa nasional pun mulai dirumuskan dan mencari bentuk sebagai mekanisme menata kehidupan kolektif dalam multikulturalisme di Indonesia. Konklusi dari jejak historis ini adalah bahasa nasional merupakan urusan negara dan politik menjadi penentu primer.

Politik
Aplikasi dari politik bahasa nasional termaktub dalam UUD 1945. Pelaksanaan kongres bahasa pun dijadikan sebagai format untuk  menemukan legitimasi dan membesarkan misi bahasa dalam anutan politik-kultural. Agenda-agenda kebahasaan dijadikan sebagai prosedur untuk membuat konsensus politis melalui pembakuan dan sebaran sistematis. Bahasa Indonesia menelusup dalam dunia pendidikan, ekonomi, seni, teknologi, dan politik. Semua sektor kehidupan di Indonesia diusahakan dalam terang bahasa Indonesia secara ideologis dan massif.
Catatan fenomenal muncul dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (28 Oktober – 2 November 1954). Aksentuasi atas peristiwa besar ini diwujudkan dalam penerbitan buku bertitel Kongres Bahasa Indonesia di Medan: Peristiwa yang Tiada Bandingnya (1955) diterbitkan oleh Djambatan. Ungkapan “Peristiwa yang Tiada Bandingnya” ini seolah memberi impresi atas kebermaknaan politik bahasa nasional dalam daftar panjang agenda perpolitikan Indonesia. Bahasa Indonesia diharapakan berperan sebagai fondasi atas pertumbuhan nasionalisme dan pemartabatan bangsa dalam jerat seribu satu perbedaan.
Pelbagai institusi dijadikan agen ideologis untuk sebaran bahasa Indonesia dengan pelbagai pamrih. Pembebasan dan kepatuhan seolah tendensi kontradiksi dari kepemilikan dan produksi bahasa dalam pelbagai aspek kehidupan. Bahasa Indonesia tampil sebagai sumber identifikasi nasional dan resistensi atas kesekaratan bahasa daerah jadi tanda seru. Kondisi politik bahasa pun menemukan godaan dengan sebaran bahasa asing sebagai medium mencapai konsensus global. Politik bahasa nasional dihadapkan pada dilema, resistensi, dan kebangkrutan.
Perkembangan situasi genting memerlukan tanggapan politis. Tanggapan ini mengambil bentuk agenda menyusun kerangka dasar politik bahasa nasional (29 – 31 Oktober 1974). Usaha ambisus ini bisa disimak kembali dalam buku Politik Bahasa Nasional (1989). Pelbagai pandangan dari tokoh-tokoh kondang (Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat, Goenawan Mohamad, Harimurti Kridalaksana, Hasja W Bachtiar, Ajip Rosidi) untuk memberi kontribusi demi konstruksi politik bahasa nasional. Rentetan peristiwa kebahasaan ini menandai ada ambisi dan kegelisahan untuk pencapaian hasil maksimal di antara kelengahan dan kesalahan.

Pembakuan
Bahasa pun identik dengan kekuasaan. Operasionalisasi politik bahasa nasional membuat bahasa rentang dengan intervensi kekuasaan untuk pelbagai pamrih. Bahasa mengalami manipulasi kendati ditampilkan dengan bentuk pembakuan. Bahasa dalam imperatif kekuasaan ini mengakibatkan adopsi kolonialistik. Risiko getir adalah politik bahasa nasional menciptakan kepatuhan melalui instruksi, imperatif, dan represi. Kekuasaan lekas terpahami sebagai sumber dari pelanggengan rezim dan ideologisasi sistematis untuk menghapus kebebasan dan perayaan perbedaan. Ariel Heryanto (1996) menyebut lakon ini sebagai aplikasi totalitarianisme bersumber dari pembakuan bahasa. Mekanisme ini justru menunjukkan negara melakukan “pelecehan” bahasa karena dianggap sekadar sebagai alat atau instrumen.
Pembakuan bahasa dalam paket politik bahasa nasional dilangsungkan sejak lama. Sekian titik penting bisa ditelusuri pada masa permulaan rezim Orde Baru. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1966 melakukan pembaharuan ejaan dan mendapati legitimasi politis oleh Presiden Soeharto pada 1972. Agenda pembakuan melalui sistem ejaan dimaksudkan untuk “menyelamatkan bahasa Indonesia” (Harimurti Kridalaksana, “Pembaharuan Ejaan 1972: Tahap dalam Proses Pembakuan Bahasa Indonesia”, 1974). Konklusi dari kebersejarahan pembakuan bahasa ini adalah “kemenangan” penguasa untuk melakukan pendisiplinan dan kontrol terhadap rakyat melalui bahasa Indonesia. 
Publik mendapati hadiah menakjubkan: ejaan yang disempurnakan. Bahasa Indonesia mengalami pembakuan dengan label baik dan benar. Publik pun dibayangi oleh represi politis atas bahasa jika tidak mampu mengafirmasi dan memproduksi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Petaka bahasa di balik agenda kekuasaan membuat bahasa Indonesia kerap mengalami kemacetan dan kerapuhan saat dibandingkan dengan dinamisasi pelbagai bahasa di dunia. Politik bahasa Indonesia menjadi lakon dilematis atas sekian situasi amburadul dan kebangkrutan pemaknaan atas Indonesia adalam acuan multikulturalisme. Bahasa Indonesia seolah gagal dijadikan sebagai pilihan produktif untuk mengonstruksi Indonesia secara bermartabat seperti episode Sumpah Pemuda 1928. Begitu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Lampung Post (27 Oktober 2010)

Teks yang Berubah

Bandung Mawardi

Sejarah Indonesia masih memiliki sekian misteri terkait dengan teks-teks penting dalam konteks politik dan sosial-kultural (Sumpah Pemuda, Pancasila, Piagam Jakarta, Proklamasi, Supersemar). Teks adalah tanda legitimasi suatu keputusan, resolusi, dekrit, konstitusi, petisi, maklumat, undang-undang, piagam, atau pengumuman. Perubahan itu mungkin adalah bukti bangsa Indonesia yang pelupa atau abai sejarah.
Sumpah Pemuda versi Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia 1928: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami Poetra dan poetri Indonesia mengaku berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Perubahan justru muncul dalam buku Sumpah Indonesia Raja (1955) garapan Muhammad Yamin yang dulu merumuskan teks Sumpah Pemuda 1928. Teks Sumpah Pemuda mengalami perubahan urutan, ejaan, dan pemakaian kata: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa jang satu, Bangsa Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertanah air jang satu, Tumpah Darah Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mendjundjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.  
Perubahan juga terjadi pada berita di harian Merdeka (28 Oktober 1958) tentang peringatan Sumpah Pemuda dalam masa Soekarno. Teks itu mengalami perubahan: Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu tanah air, tanah air Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui sastu bangsa, bangsa Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.
Perubahan-prubahan teks Sumpah Pemuda itu memang tidak menimbulkan polemik atau kontroversi pada masa itu. Teks itu mungkin dipahami oleh penguasa dan publik secara substantif tanpa harus memerkarakan teks yang otentik atau teks yang berubah. Konsekuensi dari pemahaman itu adalah kemunculan formula: “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.” Formula itu mengandung kesalahan dan subversi. Istilah “satu bahasa” tidak sesuai dengan teks otentik 1928 dengan aksentuasi “menjunjung bahasa persatuan” bukan “mengaku(i) satu bahasa”.
Perubahan teks terus berlangsung pada masa Orde Baru. Penerbitan buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (1978) masih memuat formula “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Sudiro dalam prawacana buku itu sebanarnya sudah mengutip isi sumpah ketiga versi 1928 dengan tafsiran bahwa kalimat itu tidak berarti bahasa-bahasa daerah harus dilenyapkan. Kutipan dan tafsiran itu terselip dalam pemahaman umum “mengaku(i) satu bahasa.” Hal itu pun mendapatkan pengaruh kuat dari pengutipan Sumpah pemuda versi Soeharto (1978): “mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Teks Sumpah Pemuda yang berubah dalam pelbagai versi terus menyebar di masyarakat melalui publikasi buku-buku pelajaran dan buku-buku sejarah. Buku-buku pelajaran menjadi faktor penting untuk penerimaan teks yang berubah dengan pemakluman atau ketidaktahuan. Buku A History of Modern Indonesia (1981) garapan M.C. Ricklefs masih memakai formula “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Teks yang berubah itu adalah representasi dari keteledoran atau efek bangsa pelupa. Teks Sumpah Pemuda memang tidak harus disakralkan tapi kebenaran versi otentik perlu mendapatkan perhatian dengan acuan fakta historis.
Koreksi terhadap perubahan itu muncul dari Ajip Rosidi dalam esai Sumpah Pemuda yang Berubah (1977). Koreksi itu untuk kebenaran sejarah dan fakta politis masa lalu. Isi Sumpah Pemuda urutan ketiga mengenai bahasa mendapatkan tafsiran kritis dari Ajip Rosidi: “Rumusan menjunjung bahasa persatuan merupakan keputusan bijaksanan dan demokratis ketimbang mengaku berbahasa satu yang memiliki potensi disintegrasi terkait dengan pluralitas bahasa dan budaya di Indonesia.” Ikhtiar koreksi dari sekian tokoh dan lembaga menemukan hasil sejak tahun 1990-an dengan pemuatan teks otentik 1928 dalam beberapa buku pelajaran di sekolah.
Ariel Heryanto dalam esai Sumpah Plesetan (1995) masih menemukan teks yang berubah dalam publikasi buku dan media massa pada tahun 1990-an. Fakta itu membuat Ariel Heryanto memberikan peringatan dan ingatan bahwa teks otentik 1928 merupakan keputusan dalam peristiwa sejarah-politik. Ariel Heryanto curiga bahwa perubahan isi teks itu cenderung terkait dengan motif linguisitik untuk menemukan paralelisme ketimbang motif politik.
Keith Foulcher tampil dengan analisis kritis mengenai perubahan-perubahan isi teks Sumpah Pemuda sejak tahun 1930-an sampai akhri 1990-an dengan buku Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (2008). Buku itu menjadi peringatan atas keteledoran atau pelupaan bangsa Indonesia terhadap sejarah teks. Keith Foulcher menilai perubahan-perubahan teks itu merepresentasikan akibat-akibat signifikan dalam konteks sejarah, politik, bahasa, dan kebudayaan. Sumpah Pemuda dalam perspektif Keith Foulcher adalah “cerita mengenai perubahan”. Sumpah Pemuda adalah (sekadar) catatan kaki sejarah Indonesia?

Suara Merdeka (24 Oktober 2010)