Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Air Mata Yang Hilang

Fanny Chotimah


Pada hari pertempuran terakhir, Rahwana maju ke medan perang sendirian dengan menaiki kereta kencana yang ditarik delapan kuda terpilih. Pada pertempuran itu, Rama menaiki kereta Indra dari surga yang dikemudikan Matali. Setiap Rama mengirimkan senjatanya untuk menghancurkan Rahwana, raksasa tersebut selalu dapat bangkit kembali sehingga membuat Rama kewalahan.

Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kiai Dangu. Senjata tersebut selalu mengikuti ke mana saja Rahwana pergi untuk menyayat kulitnya. Setelah Rahwana tersiksa oleh serangan Kiai Dangu, dalam keadaan sekarat ia pulang ke Istana Alengka menemui istrinya, Banondari. Rahwana menembang sambil meneteskan air mata.

Fragmen ini merupakan kematian Rahwana yang babak akhirnya saya kawinkan dengan tembang Cianjuran berjudul ”Ceurik Rahwana” (Tangis Rahwana). Apakah sebenarnya yang membuat Raja Alengka yang pemberani ini meneteskan air mata? Dalam fragmen tembang ”Ceurik Rahwana”, Banondari —istri Rahwana dalam versi Sunda—terkejut melihat suaminya meneteskan air mata. Raja digdaya yang mahakuat, penakluk tiga dunia, dunia bawah tanah, dunia manusia, dan para dewa, itu ternyata dapat menangis.

 Air mata gajah
”Ceurik Rahwana” merupakan sebuah karya anonim yang bisa disinyalir muncul sekitar abad ke-15. Salah satu indikasinya adanya sebutan Gusti, bisa jadi ini merupakan warisan Hindu, dan juga adanya Pantun Ramayana secara tertulis dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian pada 1518 yang sudah dikenal masyarakat Sunda. Islam baru masuk di tanah Sunda pada abad ke-16 Masehi.
Tembang ini dimainkan dalam petikan kecapi berlaras pelog dengan denting dan alunan yang mistis. Suara bening pesindennya terdengar seperti datang dari masa dan dunia berbeda. Suasana yang menggemakan kembali kata-kata E M Cioran dalam bukunya, Air Mata dan Orang Suci (1937).

Ingatlah kita pada riwayat kehadiran Rahwana—versi Anak Bajang Menggiring Angin (1983) karya Sindhunata—yang diawali dengan rintihan raksasa Warudoyong dan Banaspati yang memohon kepada Batara Guru untuk menggagalkan Sukesi dan Wisrawa yang akan membalikkan dunia dengan Sastra Jendra. Para dewa tak ingin mati, dunia belum siap, dan berjuta manusia masih ingin tidur dalam dosa-dosanya. Sukesi pun berlinang air mata dihukum oleh Batara Guru karena kesombongannya, hati manusia yang lemah.

Dari rahim Sukesi lahirlah Rahwana, makhluk yang konon penuh dosa, dengan tafsir cinta yang celaka. Namun, ia lahir dan pergi bersama air mata. Seperti gajah yang menangisi kematiannya. Ketika seekor gajah mati, gajah-gajah lain dalam kelompoknya akan melingkari mayatnya, berdiam, seperti mengheningkan cipta, lalu meneteskan air mata, hingga akhirnya mereka bisa berdamai dengan rasa kehilangan mereka.

Air mata korban
Air mata bagi manusia merupakan ekspresi dalam menghadapi kematian, juga dalam perjumpaan dengan kehidupan. Tangisanlah yang diteriakkan bayi saat pertama ia menemui hidup. Tangisan pula yang ia gunakan untuk mengomunikasikan kebutuhan dasarnya, haus, lapar, sakit, dan sebagainya.
Bagaimana jika manusia tidak bisa menangis? Seperti Max, salah satu karakter dalam film animasi Mary and Max (2009) yang mengidap aspergies syndrome. Pengidap penyakit ini menderita depresi karena tidak mampu untuk memahami teks secara verbal dan sering kali menderita kepanikan. Ia mengalami kesulitan untuk menenangkan dirinya dan yang sangat menyedihkan, ia tidak bisa meluapkan semua kekecewaannya dengan air mata.
Apakah kita saat ini adalah Max, manusia yang tak mampu lagi berair mata? Jika berbotol-botol air mata korban lumpur panas di Sidoarjo, korban ledakan gas, korban-korban ketidakadilan di negeri ini dikumpulkan, lalu dihadiahkan kepada bapak-bapak wakil rakyat, apa yang akan terjadi?

Rubrik Teroka, Kompas 11 Desember 2010

Feminisme ala Sindhunata

Oleh Sartika Dian Nuraini

Sindhunata telah menemukan kebijaksanaan literatur, kebijaksanaan membentuk perempuan yang berakar pada produksi budaya orisinal Cina dan feminitasnya. Sebagai seorang figur yang merepresentasi laki-laki dan yang Ilahi, dalam penciptaan, kekuasaan, pemberi keadilan, sekaligus sebagai penentu keputusan. Novel Putri Cina (2007) adalah bentuk eksposisi yang menelanjangi konstruksi hierarkis atas rezim kekuasaan dalam masyarakat dan budaya Jawa. Laki-laki direpresentasi telah melupa, meminggirkan, menenggelamkan perempuan dari kuasa bersuara dan kehidupan. Perempuan mengalami marginalisasi dan acapkali dirundung kesedihan karena tak mampu menunjukkan identitas diri dan tanggung jawab mengembangkan konsep keilahian.
Sindhunata memakai perempuan Cina sebagai suara identitasnya. Fragmen historis dan filosofis membangun ide-ide cerita yang khayali dan mumpuni. Prinsip dasar metodologis yang dipakainya mengacu pada penjatuhan perspektif maskulinitas oleh kekuatan tokoh Giok Tien sebagai lakon utama. Secara substansial,  novel yang merupakan garapan ulang pemikiran Jawa ini, mengacu pada ajakan untuk mengafirmasi terbentuknya kekuatan seksualitas dan subjektifitas sebagai perempuan. Feminisme Sindhunata berpuncak pada ketegangan visual pembaca terhadap pelecehan seksual yang dialami Giok Tien sebagai keturunan Jawa dan Cina. Giok Tien sempat marah terhadap kondisi dan situasi yang dihadapinya, tetapi kemudian tak terjerumus dalam kemarahannya dan berjuang memperoleh keadilan melalui kekuatan kata-kata.
Tantangan pencerahan yang terbaca dari misi Sindhunata adalah untuk memurnikan ajaran feminisme, memberikan kembali hak bersuara dari dan untuk perempuan, sejalan dengan pemikiran feminisme awal di Barat yang didalangi Elizabeth Cady Stanton, Lucrettia Mott, Sarah Grimke, Angelina Grimke, dan Lucy Stone. Sindhunata memperluas horison dalam aforisme epistemologis diri keperempuanan. Mengajak perempuan untuk memiliki daya, sementara menjadi perempuan adalah konsekuensi dari biologi juga tak meninggalkan femininitas yang terbentuk oleh masyarakat.
Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex, mengungkapkan “seseorang tidak dilahirkan tetapi lebih menjadi perempuan”. Persoalan eksistensialisme yang rasial dalam Putri Cina dapat terbangun dari posisi apa pun yang dapat diduduki oleh subjek periferal manapun, bisa mereka laki-laki ataupun perempuan. Kali ini, Sindhunata menelusup ruang-ruang feminisme yang membela perempuan dengan tubuh dan penokohan perempuan. Maskulinitas dan femininitas kian bias, sehingga Semar bisa dialih-wujudkan menjadi Sabdopalon-Nayagenggong. Semar atau Dewa Ismaya berubah menjadi sosok perempuan yang menghamba pada Giok Tien.
Dari sifat ekletis postmodern Sindhunata, bisa disinyalir adanya subjektifitas yang terfragmen pada Putri Cina tentang identitasnya sebagai Jawa-Cina. Dalam outprintnya, ia menggunakan tubuh sebagai bentuk simbolik. Dari bodyprint yang eksotik hingga pencitraan prajurit laki-laki yang gemar bertarung dan memperebutkan tahta dan kekuasaan. Bentuk-bentuk ini ia gunakan untuk menciptakan gambaran visual mengenai pertahanan inkorporasi dan marginalisasi dari budaya yang dominan. Sindhunata memulai segala sesuatunya dengan mempertanyakan sejarah rasialisme dalam asumsi-asumsi mengenai tubuh, seks, dan seksualitas. Rekonsiliasi dan dekonstruksi binarisme gender juga dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang populer.
Versi berbeda tapi sama dapat dibaca dalam karya-karya sejenis karangan Ann Petry yang berjudul The Street, yang bercerita tentang gadis berkulit hitam yang mengalami ketidakadilan. Sementara dalam Putri Cina, area konklusi dibatasi sampai pada kekuatan perempuan untuk menemukan diri dan bersuara. Hal yang sulit bahkan tak mungkin dicapai perempuan di jaman itu. Tetapi, fantasi dalam tuturan Sindhunata menandakan genre tertentu atau mengutip perkataan Joanna Russ, “menentang yang riil dan melanggarnya. Fantasi adalah apa yang tidak akan pernah terjadi, apa yang tidak mungkin ada.” Sindhunata menumbuh-suburkan imajinasi, tetapi sekaligus menggagalkan fantasi dalam sastra.
Fragmen Roro Hoyi dan drama Sampek Engtay disampaikan sebagai elusi dan perang akan ideologi yang mendominasi pengalaman hidup dan mati perempuan. Seolah hanya lelaki yang berhak atas nyawa perempuan. Hidup perempuan adalah milik laki-laki. Surat yang ditulis Sampek dan pembunuhan Roro Hoyi oleh kekasihnya sendiri memiliki kekuatan sugesti dalam pengertian yang tiada batas. Hati dan perasaan perempuan diperalat sebagai tragis dan melankolis. Lemah dan tak berdaya upaya, menyerahkan diri seutuh-utuhnya pada laki-laki. Gagasan untuk menggapai kebahagian perempuan juga ada pada kejujuran hati dan kesuciannya.
Sindhunata juga menggunakan pola etnosentris yang sangat kentara pada puisi-puisi dan ajaran T’ao C‘hien. Ini senjata ideologi untuk membentengi diri dari penindasan kehidupan kapitalis karena seringkali orang Cina digeneralisasikan sebagai pecinta harta dan benda sahaja. Ajaran agama orisinal dihadirkan untuk melawan kebiadaban kapitalis. Ajaran tentang kebahagiaan dalam mencapai kemurnian hidup yang seimbang dan tidak timpang.
Drama pemerkosaan bergilir yang dilakukan Prabu Amurco Sabdo dan Joyo Sumengah menunjukkan situasi bahwa seksualitas perempuan rentan menjadi objek. Ini semacam internalisasi dan protes keras yang dilakukan Sindhunata terhadap budaya patriarkhi. Sexual power yang disandang perempuan dilemahkan kembali. Persepsi taktil tak terlihat dan hasrat inses yang terjadi kian transgresif. Tetapi, identitas serta subjektifitas Giok Tien dapat dikenali dari cara dia memandang (baca: pengetahuan yang diperolehnya di saat bertemu Sabdopalon Nayagenggong dan Korsinah, dari orang tuanya, dan dari ajaran T’ao C’hien) serta representasi bahasa yang dipakainya.
Hibriditas perempuan menurut selera laki-laki terinkorporasi dalam nafsu penguasa. Hibriditas fisiognomi Giok tien yang secara “tidak sengaja” menggoda syahwat banyak laki-laki merupakan simbol kuat seksualitas perempuan. Karena, seksualitas perempuan seringkali dipolarisasi dalam oposisi biner yang melemahkan perempuan. Giok Tien menjadi male gaze karena kecantikannya dan kehormatannya hilang sudah. Ia tak berhak memiliki kepribadian yang berharga diri tinggi. Giok Tien dihadirkan untuk diperkosa banyak orang. Ide dasar inilah sebenarnya kritik diri akan perempuan-perempuan pemuja kecantikan.
Karena hasratnya terhadap Giok Tien yang tak tersalurkan, Joyo Sumengah menuduh Giok Tien “pelaku” atau penyebab kesulitan. Viktimisasi perempuan yang terjadi di sini adalah sebuah opresi yang ternaturalkan dan membudaya. Psikologis laki-laki yang tak dipertanggungjawabkan sebenarnya bersifat kriminal dan patologis. Redekonstruksi seksualitas perempuan yang dapat dihadirkan pun tak dapat membendung seksualitas laki-laki. Karena,  Giok Tien cantik, maka ia adalah “penggoda”. Ini sebuah stereotipe yang brutal menghabisi identitas perempuan.
Narasi lain yang bersumber dari ketegangan Sindhunata terhadap sistem patriarkhis terdapat pada puisi “Balada Sebuah Bokong” (Air Kata-kata, 2003). Puisi ini adalah perlawanan terhadap ekspektasi masyarakat dan pemerintah yang “sibuk” mengatur urusan bokong Inul Daratista. Puisi ini cukup mencuri perhatian karena dihadirkan setelah makna filosofis “Pring” dan “Tuhan dan Bir”. Puisi bokong Inul menggegerkan, mencerabut kegelisahan MUI. Institusi agama dan pemerintah ingin menggagalkan misi dangdut dan budaya bergoyang. Rekonsiliasi dan dekonstruksi binarisme gender juga dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang populer dalam puisinya.
Puisi yang berjudul “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri Cina”, “Kerinduan Putri Cina” dan “Kalung Putri Cina” dalam Air Kata-kata (2003) seolah memberi dokumentasi akan ingatan Sindhunata akan diri dan wajah. Bait-bait bersajak: Betapa cantik, lembut dan jelita wajah sebelas tahun lalu itu...menunjukkan betapa sebenarnya Sindhunata pengagum keindahan. Jejak literer ini mungkin berhubungan langsung dengan proses kreatif pembuatan novel kendati ada asumsi bahwa wajah putri Cina itu merupakan representasi diskriminasi dan anatomi kekerasan yang menimpa kaum etnis Cina di Indonesia.
Acapkali Sindhunata memasuki area metafora atas dogma rasial dan keagamaan serta tradisi religius lain, tapi sisi humanisme dan cinta kasih tetap dihadirkan dalam kelembutan atas dedikasi untuk keluarga dan patriotisme terhadap diri sendiri. Ia juga seolah menghimbau pada perempuan untuk teguh dan melawan emosionalisme yang tak terkontrol. Putri Cina diwujudkan untuk meneguhkan perempuan dengan semangat misi keagamaan. Seperti Sindhunata dengan lugas menerangkan, “kita datang ke dunia ini sebagai saudara, tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, yang ternyata hanya memisahkan kita?”
Sedangkan wajah pemikiran feminisme dalam karya Sindhunata adalah wajah feminisme gelombang kedua. Kesesuaian tersebut dapat terlihat dari keberadaan peneorisasian sistem kekuasaan patriarkal yang harus digulingkan guna mencapai pembebasan. Dan, ini adalah perjuangan yang berkelanjutan dengan sistem-sistem yang diskursif serta konstruksi ideologis yang harus dijalankan supaya tidak cenderung menjadi pemikiran yang membatasi diri saat serangkaian tujuan telah tercapai.


Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo 

Semesta Perempuan, Semesta Sindhunata

Oleh Fanny Chotimah


          Putri Cina dikisahkan Sindhunata sebagai simbol perempuan Cina dalam setiap zaman. Suatu masa, ia adalah putri Cina, istri dari Prabu Brawijaya, yang dibuang dalam kondisi hamil lalu diserahkan pada Arya Damar. Suatu masa, ia menjadi Giok Tien, perempuan Cina cantik bintang ketoprak Sekar Kastubo, yang menjadi istri Senopati Gurdo Paksi di Negara Medang Kemulan. L alu, masa kini ia Putri Cina sebagai perempuan yang bernama. Putri Cina bertanya di manakah wajahnya? Dia merasa tak memiliki wajah. Dia tuma tahu, kata orang dia cantik, matanya sipit, hidungnya mungil. Tapi yang dia lihat hanyalah mawar hitam. Apa yang menjadikan Putri Cina sebagai perempuan? Apakah wajahnya yang tampak seperti orang Cina? Atau Cina merupakan tanah kelahirannya? Ataukah darah Cina yang mengalir dalam tubuhnya?
          Putri Cina mempertanyakan wajahnya, sebagai sebuah eksistensi bukankah manusia harus berwajah. Tafsir menjadi cantik pun dipertanyakan kembali. Sindhunata tidak berusaha menggiring imajinasi kita dengan memberikan deskripsi yang detail, bagaimana wajah fisik seorang Putri Cina. Malah sengaja dibuatnya samar tak berwajah. Dalam satu fragmen cerita, Amurko Sabdo menyebut Giok Tien dengan sebutan Putri Cina, lalu Giok Tien bersikukuh bahwa dia adalah Giok Tien, dia bernama. Namun, Amurko Sabdo abai. Baginya dia sama saja, seorang perempuan berwajah Cina,  meski ia bernama apa pun.
“Ruh Wajah Putri Cina” (2000) sudah hadir jauh sebelum novel Putri Cina (2006) lahir. Betapa cantik/ lembut dan jelita wajah sebelas tahun lalu itu/ Secantik, selembut dan sejelita lamunanku akan wajahmu/ Di matanya yang bersinar/ kulihat kepedihanmu yang muram/ Di bibirnya yang tersenyum/ kurasakan penderitaan yang sabar. Penggalan syair puisi “Wajah Putri Cina” dalam buku Air Kata-kata menghadirkan Putri Cina sebagai sosok malankolis, sosok lembut, sosok yang menyimpan luka dan sosok penyabar. Kecantikan yang feminin, figur perempuan seperti ini sangat dekat dengan figur perempuan dalam tradisi Katolik. Figur Bunda Maria atau Maria Magdalena: perempuan suci, penyabar, yang teguh dalam kelemahannya.
Jauh berbeda dari sosok Tulkiyem dalam “Oh Tulkiyem Ayu”. Sindhunata mengisahkan, Oh Tulkiyem ayu/ Arake lemu asale Batu/ Rupane sumeh ngguya-ngguyu/ Oh Tulkiyem lemu/ Numpak dokar jarane telu/ Doyane lontong tahu. Tulkiyem adalah perempuan Jawa bertubuh gendut, bokongnya gede, orangnya lucu. Meski secara fisik ia tampil sebagai sosok tak menarik dipandang, namun Tulkiyem masih istimewa: resik, wangi, atine gak tau mangkel, singset, glegas-gleges. Sosok Tulkiyem hadir kembali dalam puisi “Pergi ke Bulan Naik Dokar”. Tulis Sundhunata, Tulkiyem/ kau bukan dewa/ bukan dewi/ ratu atau raja/kau hanyalah wanita biasa/Tapi karena kau kupuja sebagai dewi keindahan/ubahlah semuanya ini menjadi keindahan pula: lontong, lemper, tempe, tahu, gethuk, slondok, jenang longok, tempe bosok... Kecantikan Tulkiyem merupakan kecantikan kesederhanaan, kecantikan yang membumi. Kecantikan yang timbul karena laku hidup keseharian. Sebuah karakter dan pribadi perempuan Jawa yang ndesa.
Kendati sama-sama perempuan dan memiliki kecantikan nasib, Putri Cina tak seberuntung nasib Theodara tokoh dalam novel sejarah berjudul Wanita karya Paul I. Wellman. Theodora sadar akan kecantikan dirinya dan menggunakan seksualitas sebagai jalan menuju singgasana kekuasaan. Theodora mentransformasikan dirinya dari seorang perempuan pelacur menjadi seorang maharani sebuah kekaisaran Roma di Konstantinopel abad ke-5 Masehi. Tentu latar belakang antropologis maupun sosiologis kedua tokoh ini berbeda. Theodara mungkin tak melakoni persoalan identitas serumit Putri Cina. Sedangkan Putri Cina terus bergulat dengan persoalan identitas untuk menemukan asal usulnya. Putri Cina melakukan ziarah filosofis dengan membaca dan menyelami sajak T’ao Ch’ien, syair Han San, ataupun pepatah K’ung Tzu (bapak agama Kong Hu Cu). Selain itu, ziarah spiritual pun dilakoni, mengunjungi kuburan leluhur dan berdoa di klenteng untuk membaca pertanda takdir melalui djiam-si. Ziarah historis didapatkan Putri Cina melalui dongeng Sabdapalon-Nayagenggong yang tak lain adalah Semar, yang ternyata biang pertikaian anak manusia di Bumi. Melalui proses dialektika intens dengan dirinya, Putri Cina tiba pada satu pencerahan bahwa dia harus menelan nasib pahitnya sebagai bebanten sebagai kambing hitam yang harus dikorbankan.
Mengacu pada teori kekerasan Rene Girard, kecemburuan, kebencian, iri, dan kedengkian sosial merajalela karena dalam kehidupan masyarakat bertahta mimesis (hasrat tiru-meniru tiada berkesudahan). Mimesis mencetuskan lingkaran setan rivalitas. Rivalitas yang meletus menjadi kekerasan memerlukan kambing hitam untuk memulihkan harmoni sosial. Minoritas adalah segmen masyarakat yang ditakdirkan sebagai korban. Mekanisme kambing hitam itu senantiasa membidik dan mengejar kaum minoritas etnis, ras, dan religius. Sindhunata berusaha mengupas teori kambing hitam ini hingga sampai ke akar-akarnya. Data sejarah kekerasan yang menimpa etnis Cina (Putri Cina: 84-85), dimulai sejak tahun 1740, kurang-lebih 10.000 orang Cina di Batavia dibantai Kompeni hingga Ketika tahun 1949, tahanan Kalisosok di Surabaya dilepaskan untuk mendukung gerakan bumi hangus, banyak orang Cina dibunuh tanpa alasan. Kerusuhan Mei 1998 tidak dihadirkan dalam paparan data, namun dimetaforkan terjadi di Negara Medang Kemulan dengan pola kekerasan yang sama; penjarahan, pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan pada etnis Tionghoa. Giok Tien dan kedua saudarinya pun menjadi korban.
Sejarah hanya meminjam rahim perempuan untuk kelangsungan keturunan darah kekuasaan laki-laki, yang pada akhirnya saling bunuh-membunuh dan menggulingkan satu sama lain, tak peduli ayah atau anak seperti Raden Patah dan Prabu Brawijaya, atau kakak beradik seperti Pandawa dan Kurawa. Lalu, perempuan juga yang dijadikan alasan pertumpahan darah. Joyo Sumengah, Panglima Medang Kamulan, yang menaruh hati pada Giok Tien tapi ditolak karena Giok Tien memilih Gurdo Paksi. Menyembunyikan dendam dan kepentingan pribadinya akan Giok Tien atas nama kelanggengan kekuasaan Raja Sabdo Murco: “Mengapa aku harus hidup di negeri yang bisa menjatuhkan aku hanya karena urusan wanita?” ujar Joyo Sumengah. Saya tak menyangka pertanyaan ini muncul dari Joyo Sumangah, seorang antagonis,  seorang lelaki yang menghalalkan apa pun untuk nafsu akan wanita dan juga kekuasaan. Mungkinkah pertanyaan ini merupakan super-ego Joyo Sumangah? Saya melihat pertanyaan ini sebagai gugatan Sindhunata akan falsafah Jawa: harta, tahta, wanita. Falsafah ini memosisikan kaum hawa sebagai godaan. Pertanyaan ini merupakan tamparan bagi laki-laki Jawa. Sehingga pertanyaan ini menjadi sebuah pernyataan yang feminis.
Genderang kritik terhadap phallussentrisme dibunyikan Sindhunata dalam puisi “Rep Kedhep”: Rep kedhep wong sakbuwana/ Jonthok kaya peliku/Nglimpruk kaya kontholku. Pring-pring petung/ Anjang-anjang peli bunthung/ Aja menggok aja noleh/ Ana turuk gomblah-gambleh. Dengan bahasa Jawa luwes dan metafor lucu, Sindhunata memainkan phallus dan vagina sebagai humor. Membuat kita menertawakan diri sendiri, menertawakan yang-hewan yang bersemayam di dalam diri, yaitu nafsu akan seks dan kekuasaan. Lalu kita digiring untuk menelan rapal bunyi: MU/MU/MU... MU!/ Sirna sudah nafsuku/ sudah hilang mau jasadku/ tenang tentram hasrat lelakiku/ pulang dalam damai rumah-Mu. Kita dimandikan dikembalikan pada ruh keilahian bahwa sejatinya menjadi manusia ialah kemampuan untuk melampui nafsu-nafsu tersebut. Dalam patah-patah kata Sindhunata berkata kata-kata, bahasa Indonesia ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua perjumpaan, pengalaman dan perasaannya. Sindhunata menghabiskan masa kecil hingga SMA di kaki Gunung Panderman Malang, tumbuh sebagai peranakan Tionghoa yang lekat dengan kultur Jawa. Sang ayah mati muda, Sindhunata bersama keenam saudaranya dibesarkan sang ibu,  Koo Soen Ling, yang bekerja sebagai penjahit.
          Sosok Giok Tien sesungguhnya adalah llter ego dari Koo Soen Ling, sang ibu, yang menyenangi ketoprak dan legenda Sam Pek Eng Tay. Sosok Putri Cina merupakan cerminan keikhlasan dan ketulusan Bunda Maria. Sedangkan sosok Nyai Gadung Melati, dalam Air Kata-Kata diimajikan berbusana hijau, wangi kembang melati: tunas mati kau hidupi dengan merah lahar Merapi. Larik ini merupakan pencitraan bumi sebagai perempuan, bumi dengan sifat feminis seperti Dewi Kwan Im, simbol kesuburan dan kesejahteraan. Perempuan menjadi yang kosmos sekaligus yang kosmis. Perempuan dalam semesta Sindhunata tidak hanya sebuah representasi kebebasan semata tetapi juga kebudayaan, kemanusiaan, dan keilahian itu sendiri.


Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo 

Imajinasi Mesin dan Perubahan Zaman


 Bandung Mawardi


Zaman bergerak dan mesin mengubah dunia. Sejarah kemodernan di Barat merupakan perayaan teknologi, pemujaan mesin, dan penciptaan nilai-nilai kebaruan. Mesin diakui sebagai manifestasi dari pencanggihan hidup mengacu pada kerja nalar dan kematangan olah imajinasi tentang masa depan manusia. Pelbagai penemuan teknologi dan operasionalisasi mesin adalah penanda dari gairah mengubah nasib manusia. Mesin tampil sebagai aplikasi teknik dan perantaraan manusia untuk melakukan pelbagai agenda hidup.
Kisah mesin dan perubahan zaman ini bisa kita acukan pada sosok Leonardo da Vinci (1452-1519). Seniman dan ahli teknologi ini memiliki biografi unik dalam ikhtiar menanggapi zaman dan meramalkan masa depan umat manusia. Pelbagai rancangan mesin digarap oleh Leonardo da Vinci kendati kerap tidak dirampungkan. Ide-ide itu jadi inspirasi untuk perubahan. Sketsa dan miniatur dari penemuan mesin jadi warisan tak selesai. Publik dunia menerima itu sebagai antusiasme Leanardo da Vinci mengalami zaman mesin dan meramalkan perubahan masa depan.
Penemuan mesin-mesin memang membuat Barat bergairah menapaki hidup dengan keajaiban-keajaiban. Si Leonardo da Vinci sekadar mengingatkan bahwa puja mesin bakal mengakibatkan kerusakan dan kematian. Simaklah catatan puitis dari Leonardo da Vinci ini: “Benda-benda buatan manusia akan menyebabkan kematian mereka.” Mesin untuk memudahkan dan mengentengkan manusia kadang menempati posisi strategis sehingga manusia bergantung pada mesin dalam menjalani hidup. Risiko dari pengabaian eksistensi diri dan penyimpangan dalam fungsionalisasi mesin bakal menghantam balik manusia sebagai pengguna.
Mesin memerlukan imajinasi agar perubahan zaman dan ramalan atas masa depan tidak mutlak rasionalistik. Kepekaan estetis ini tumbuh dalam diri para penyair dan pengarang sebagai bentuk tanggapan zaman. Mesin adalah berkah dan petaka. Pujangga Baudelaire pada 1851 pernah menulis: “Dunia ini akan segera berakhir... Mesin-mesin telah begitu meng-Amerika-kan kita dan kemajuan akan begitu lengkap dan menghentikan pertumbuhan spiritual kita untuk menjadi sia-sia.” Mesin menentukan pengejawantahan ideologi modernisasi dalam proyek peradaban manusia. Konsekuensi kemajuan kerap diikuti dengan dekandensi. Kultur bena (material) dalam dominasi mesin jadi sebab dari kerapuhan dan kehampaan spiritualitas, estetika, dan etika. Peringatan dari Baudelaire itu sekarang terbuktikan dalam kebergantungan manusia terhadap mesin. Candu mesin justru merontokkan martabat dan harga diri manusia karena ketidaksanggupan mengoperasionalisasikan tubuh sebagai kodrat.
Kebersejarahan antara mesin dan kerja sastra disajikan oleh Octavio Paz dalam The Other Voice. Para pujangga agung pada masa lalu tercatat pernah menuliskan puisi-puisi puja mesin sebagai bentuk gairah menapaki zaman kemajuan. Walth Witman pernah menulis puisi persembahan pada sebuah lokomotif. Puisi ini mempengaruhi warga Amerika dan Eropa untuk memakai sarana transportasi kereta api. Valery Larbaud pernah menulis puisi persembahan untuk kereta api bagi kaum miliuner bernama The Orient Express. Kaum Futuris membuat puisi-nyanyian untuk memuja otomobil, kapal terbang, kapal selam, dan kendaraan-kendaraan modern.
Sejarah intimitas mesin dengan sastra di Eropa dan Amerika seolah memberi klaim-klaim tentang kebermaknaan mesin dan manusia kencaduan mesib. Kondisi berbeda justru dialami di Jawa saat industrialisasi dan kapitalisme diusung oleh pemerintah kolonial Belanda dan para pengusaha Eropa. pujangga Ranggawarsito menganggap peradaban mesin bakal jadi petaka. Pandangan sinis dan kritis ini jadi alasan kemunculan zaman edan pada abad XIX di Jawa. Ranggawarsita membaca perubahan di Vorsten Landen mengacu pada ramalan Jayabaya: Mbesuk yen ana kreta lumaku tanpa turangga, tanah Jawa kalungan wesi, perahu lumaku ing ndhuwur awang-awang, kali gedhe ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange, hiya iku pertandhane tekane zaman, kababare jangka Jayabaya wus amrepeki (Kelak bila ada kereta tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi, perahu berjalan di angkasa, sungai besar hilang lubuk, pasar kehilangan gaung, itulah tanda tiba zaman saat ramalan Jayabaya mendekati kenyataan). 
Mesin menimbulkan keajaiban dan menguak aib kegagalan manusia dalam memaknai diri. Populasi mesin terus meningkat dan manusia mengundurkan diri untuk melakukan sesuatu dengan mesin. Pemahaman tubuh, nalar, dan imajinasi tereduksi oleh kemampuan mesin kendati membuat manusia terdikte dan terkuasai. Catatan-catatan dari para pujangga untuk memuja dan mengritisi peradaban mesin bisa jadi acuan untuk merefleksikan ulang hubungan manusia dengan mesin. Peradaban mesin telah membuat jalanan macet, polusi melimpah, limbah meracuni manusia, dan manusia mencacatkan tubuh karena malas menggerakan diri. Tanggapan kritis penting diajukan untuk mengondisikan diri tetap sebagai manusia bermartabat dan sadar dengan kebermaknaan hidup. Begitu.  


Suara Merdeka (29 November 2010)

Gugatan (Sejarah) Sastra dan Ranggawarsita

Bandung Mawardi


Pemerintah Republik Indonesia tahun ini memberi Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera untuk Ranggawarsita. Penenetapan ini membuktikan pengakuan negara atas peran Ranggawarsita dalam sejarah melalui kerja kultural-politik sebagai pujangga. Ranggawarsita oleh negara sudah memiliki makna signifikan tapi bagi publik sastra modern di Indonesia? Tulisan kecil ini ingin mengajukan jawab atas pertanyaan lazim kendati kerap luput dari pembacaaan sejarah sastra modern di Indonesia.  
Penulisan sejarah politik atau sejarah kekuasaan di negeri ini kerap mendapati kritik dan serangan karena perbedaan perspektif dan argumentasi. Pembengkokan, pemalsuan, atau manipulasi sejarah menjadi momok dari kadar “keimanan” orang atas pamrih dari ikhtiar sekian penulis atau institusi untuk mengusung “kebenaran” atau merebut opini publik. Sejarah Majapahit, sejarah revolusi, atau sejarah 1965 masih menyisakan rahasia-rahasia susah terungkap dan tumpukan kontradiksi gara-gara publikasi tulisan dari pelbagai pihak untuk mendapati klaim paling sahih atau mendekati kebenaran. Pertarungan tafsir sejarah pun terjadi dengan muatan-muatan ideologis atau politis. 
Kepelikan menemukan pandangan sejarah dalam orientasi pewartaan kebenaran juga menimpa sastra. Penulisan sejarah sastra di Indonesia sudah tidak menggebu seperti antusiasme Bakrie Siregar, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, A. Teeuw, Jakob Soemardjo, atau Sapardi Djoko Damono. Gairah atas proyek penulisan sejarah sastra mulai redup karena ketiadaan “api pembakar” dan “pertarungan kebenaran” dalam ikhtiar menemukan terang untuk menghidupi sastra dengan kesadaran historis. Sastra hari ini mungkin ada dan tumbuh dengan “kecacatan” karena abai dengan penghormatan atas sejarah.

Sejarah
Pencatatan babak-babak penting dalam sejarah dan pertumbuhan sastra hari ini memang membutuhkan “keringat deras” dan “kematangan” untuk memberi tempat pada pengarang, teks sastra, pembaca, latar politik, spirit kultural, dan gelagat zaman dalam bingkai sejarah sastra. Pembakuan sejarah sastra terus saja diajarkan dan terwariskan melalui institusi pendidikan dan sebaran sekian buku sejarah sastra edisi ringkas atau pengulangan “paket sejarah resmi.” Pengetahuan dan nalar kritis untuk membaca ulang atau melakukan revisi atas sejarah sastra tampak susah dilakukan karena pola “indoktrinasi” telah melekat dan merasuk.
Kritik atas pembakuan sejarah sastra di Indonesia pernah dilakukan oleh sekian tokoh tapi “mengabur” dan “terlupakan” tanpa perdebatan panjang dan pencapaian konklusi. Usulan untuk merunut sejarah sastra pada masa kesuburan sastra Cina Peranakan atau publikasi novel-novel di luar Balai Pustaka mungkin memancing rasa penasaran sejarah. Pembukaan tabir mesti dilakukan dengan argumentasi dan pembuktian meski mengandung potensi untuk meruntuhkan sejarah resmi. Studi dari Claudine Salmon tentang Sastra Cina Peranakan Tionghoa dalam Bahasa Melayu pantas jadi lecutan untuk memikirkan ulang penulisan sejarah sastra di Indonesia tanpa rasa sungkan atau kekakuan sentimen politis-ideologis-kultural.
Provokasi panas pernah dilontarkan Willem Vladimir Sikorsky. Ahli sastra dari Uni Soviet ini dalam disertasi Pembentukan Sastra Modern Indonesia mengemukakan: “Badan penerbit tak bisa dijadikan patokan lahirnya sebuah tradisi sastra” (Tempo, 13 April 1991). Pembakuan sejarah sastra mengacu pada kelahiran dan peran Balai Pustaka merupakan kesalahan mendasar. Sikorsky ingin mengubah persepsi ini dengan pengajuan embrio sastra Indonesia dalam sorotan kritis.
Patokan penting dalam pembukaan tabir sejarah sastra mesti memakai patokan “pencerahan.” Patokan ini mengenai isi dan mengabaikan stereotipe bahasa Melayu (Indonesia). Pencerahan merupakan pemunculan pemikiran-pemikiran baru di luar konvensi. Contoh untuk menangkal “sejarah sastra resmi” adalah teks-teks sastra dari Ranggawarsita. Pemilihan ini mengejutkan karena selama ini pujangga dari Solo ini kerap dimasukkan dalam urusan sejarah sastra dan kebudayaan Jawa. Contoh dari Sikorsky bukan kelakar murahan tapi usulan kritis atas pamrih mencari terang sejarah.

Pujangga
Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (1985)  menjelaskan bahwa sosok dan teks-teks sastra dari Ranggawarsita telah meresap dan menjadi spirit besar dalam lakon negeri ini. Ranggawarsita adalah “pujangga rakyat” dan juru bicara zaman karena sanggup melakukan analisis kritis dan matang dalam meramalkan zaman. Pujangga ini pun dikenal sebagai “pencetus zaman edan” karena ketekunan melakukan pembacaan atas perubahan zaman di akhir abad XIX. Teks-teks fenomenal anggitan Ranggawarsita: Kalatidha, Jaka Lodhang, Sabdajati, Cemporet, Hidayat Jati, Wedharaga, Sabdatama, dan lain-lain.   
Kandungan estetika, intelektualitas, filsafat, dan spiritualitas dalam teks-teks Ranggawarsita adalah adonan pengaruh Jawa, Islam, dan Barat. Misi pencerahan terasakan karena Ranggawarsita melakukan perhitungan njlimet dalam olah bahasa dan keeleganan melontarkan ajaran atau kritik dalam pelbagai hal. Ranggawarsita tampil sebagai pendobrak. Puncak olah sastra ini kerap menimbulkan anggapan bahwa Ranggawarsita adalah “pujangga terakhir” dalam kesusastraan Jawa dalam konteks keraton.
Sikorsky justru meletakkan Ranggawarsita dalam kepentingan memerkarakan sejarah sastra di Indonesia. Pemakaian bahasa Jawa tidak bisa dijadikan alasan penguguran kalau teks-teks Ranggawarsita masuk dalam embrio sastra Indonesia. Ranggawarsita merupakan bagian penting dari proses panjang pembentukan sastra modern di Indonesia. Ranggawarsita dalam manifestasi sastra berhasil memerkarakan dan mendedahkan masalah universal manusia Indonesia: kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, kritik atas pangreh praja (kekuasaan). Intensitas dan konsentrasi ini menjadi bukti pencerahan terhadap masyarakat Indonesia.

Sindiran
Kritik atas pembakuan sejarah sastra pun dilancarkan oleh Sikorsky terhadap kepercayaan publik untuk menentukan babak awal sastra Indonesia pada karya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, atau novel-novel produksi Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Sikorsky menilai kandungan dalam novel Sitti Nurbaya cuma memerkarakan adat dan jauh dari diskursus persoalan-persoalan manusia universal Indonesia. Konklusi keras: “Novel Sitti Nurbaya tak pantas dimasukkan dalam khasanah sastra Indonesia.” Argumentasi dan konklusi dari Sikorsky adalah sindiran keras untuk “umat” sastra di Indonesia ketika sudah tak menggubris sejarah sendiri dan melakukan pembacaan kritis atas kejanggalan-kejanggalan pembakuan sejarah sastra.
Pekerjaan berat hari ini adalah mencari titik mula sastra Indonesia dengan orientasi inklusif agar ada model kesadaran merawat sejarah dan melakukan progresivitas atas nilai sastra. Pembatasan sastra Indonesia adalah sastra dengan bahasa Indonesia atau embel-embel sastra daerah gara-gara memakai bahasa Jawa, Sunda, Bali, atau Batak telah melenakan pemikiran kritis dengan tendensi sektarian tanpa argumentasi matang. Pembedaan mesti mulai dicairkan tanpa harus kenes dan malu-malu tapi mesti sadar terhadap nilai atau kontribusi sastra. Perubahan patokan mungkin meski tidak harus absolut untuk bersandar pada sekadar isi atau bahasa. Sejarah sastra jangan dibiarkan sekarat tanpa darah dan gairah. Begitu.           

Suara Merdeka (21 November 2010)

Ziarah Suci dan Politik Haji

Bandung Mawardi


Haji adalah peristiwa akbar dan sakral. Peziarahan ke tanah suci, laku melawat ke rumah Tuhan, agenda memenuhi seruan ibadah melahirkan pelbagai tafsir dan pemaknaan. Ritual untuk umat Islam ini jadi lakon dunia. Joseph Conrad mengabadikan kisah petaka perjalanan haji dalam novel Lord Jim. Hamka memberi arti ritual haji dengan balutan kisah cinta dan spiritualitas dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939). Romo Mangunwijaya pun menjadikan adegan kecelakaan saat si tokoh menempuh perjalanan ziarah ke rumah Tuhan menjadi epilog impresif dalam novel Burung-Burung Manyar (1981).
Haji menjadi pengetahuan dunia. Snouck Hurgronje, penasehat kolonial di Hindia Belanda, memerlukan berganti nama menjadi Abdul Gaffar dan tinggal di Mekah, selama lima bulan, untuk mempelajari ritual haji. Catatan-catatan pengetahuan dan petualangan politis melengkapi garapan disertasi di bawah bimbingan Goeje, 1880. Buku Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekah) menjadi persembahan untuk menebar pengetahuan haji dalam pandangan kaum orientalis. Hurgronje menjelaskan bahwa proses penggarapan disertasi itu dipengaruhi oleh catatan-catatan para petualang dunia dan studi-studi etnografi dari kalangan sarjana Barat.
 Sekian informasi dan analisis tentang ritual haji seolah membuat sosok Hurgronje adalah sosok otoritatif dalam pengetahuan Islam. Segala kritik dan bantahan atas bias dalam Het Mekkaansche Feest ditamengi dengan ungkapan: “Ketimbang meminta maaf atas kekhilafan dan kekurangan dalam hasil kerja ini, saya mendingan menunjuk bagi mereka, pihak penuntut kesalahan saya pada firman Allah.” Hurgronje mengutip sebuah firman: “... dari siapa pun tidak boleh dituntut lebih daripada kemampuannya.” Pernyataan ini kentara menunjukkan intimitas politik, orientalisme, dan kolonialisme dalam suguhan teks ilmiah. Kita menerima warisan buku itu sebagai catatan atas antusiasme kajian haji pada akhir abad XIX.
Kerja penelitian Hurgronje itu mengingatkan suatu dalil lama, haji memiliki implikasi dalam stabilitas pemerintahan kolonial di Hindia Belanda dalam urusan agama, politik, ekonomi, dan kultural. Kolonialis merasa cemas, ritual haji telah mempengaruhi dan ikut mendefinisikan agenda pergerakan nasionalisme, Pan Islamisme, resistensi politik pribumi, dan transformasi sosial-kultural. Ritual haji dipolitisasi karena pemerintah kolonial memahami haji dalam sorotan politik. Argumentasi agama diintervensi dengan politik-curiga atas kebangkitan Islam di Nusantara dan gelombang resistensi kaum muslim. Hurgronje, si tokoh kontroversial, menjadi sosok menentukan dalam kebijakan politik haji di Nusantara.
Haji pada masa itu menjadi urusan pelik. Uang, kondisi raga dan batin, atau ketersediaan alat transportasi belum menjamin orang bisa melakukan perjalanan naik haji ke tanah suci. Politik menjadi pintu terakhir atas nama stabilitas, keamanan, dan pendapatan ekonomi oleh pemerintah kolonial. Sejarah perjalanan haji di Nusantara tercatat sejak abad XV tapi intervensi politik kolonial pada abad XIX dan XX membuat proses peziarahan suci itu menjadi sejenis subversi di mata politik kolonialisme. Konon, ritual haji oleh pribumi ditentukan oleh model sebaran Islam di Nusantara melalui perdagangan dan pelayaran.
Agenda suci identik dengan misi spiritual, perilaku ekonomi, gelagat politik, pamrih meraup ilmu, pembentukan jaringan ulama, dan perjumpaan kultural. Azyumardi Azra (2008) dalam ungkapan puitis menjelaskan: “Naik haji dari Indonesia pada masa kolonialisme diliputi keharuan, kesyahduan, dan pengorbanan.” Semua memusat dalam simbol dan makna haji. Heroisme tentu ada dalam ritual haji itu sebagai konsekuensi politis ketika melihat negeri masih terjajah. Heroisme muncul dalam dunia pendidikan, olah estetika, sebaran ajaran sufistik, atau pergerakan politik-kultural. 
Hasrat perjalanan haji dan model pencarian ilmu ada dalam sosok Syaikh Yusuf dari Makassar. Abu Hamid (1994) mencatat bahwa Syaikh Yusuf melakukan ibadah haji pada abad XVII. Tokoh kharismatik ini menempuh studi agama di Mekah dan Madinah. Dunia pun kelak mengenal Syaikh Yusuf sebagai penyebar agama Islam di pelbagai negeri kendati ia mesti menanggung hukuman dari pemerintah kolonial Belanda. Aktivitas agama dan subversi politik dijadikan alasan untuk mengasingkan Syekh Yusuf ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Sosok ini menjelma tema pelik dalam sejarah haji di Nusantara.
Politik haji jadi bentuk kecemasan kolonial. Efek politik haji bagi pribumi justru menjadi benih-benih pemerdekaan. M Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) mencatat tiga tipe politik haji: (1) para ulama sepakat menganggap pemerintah kolonial adalah pemerintah kafir: (2) pemerintah pribumi tapi kolaborator Belanda juga dianggap kafir; (3) para ulama memakai simbol-simbol agama untuk konsolidasi melakukan perlawanan. Jejak sejarah ini pun memiliki sambungan dalam politik haji pada masa sekarang tapi dengan motif dan orientasi berbeda. Pemerintah berkepentingan dalam urusan haji kendati susah menanggulangi percaloan dan korupsi.
Menelisik sejarah haji adalah menelisik sejarah politik, ekonomi, ilmu, sastra, sosial, pendidikan, seni, dan kultural di Nusantara. Haji tak sekadar perjalanan untuk ritual. Perjalanan ini jadi penentu dari proses perubahan dan pencerahan dalam intervensi pemerintah kolonial dan sekian rezim politik di Indonesia. Begitu.     

Koran Tempo (21 November 2010)

Sastra Nyai dan Sejarah Nusantara

Bandung Mawardi


Judul            : Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis         : Reggie Baay
Penerjemah  : Siti Hertini Adiwoso
Penerbit       : Komunitas Bambu, Depok
Cetakan       : 2010
Tebal           : xx + 300 halaman 

Hindia Belanda adalah negeri nyai dan pergundikan. Pandangan dan realitas ini membuat kehidupan manusia Eropa dan pribumi ada dalam hubungan-hubungan aneh.  Seksualitas seolah jadi kunci dari lakon nyai dan pergundikan kendati model hubungan ini juga menjadi strategi percampuran dan perbenturan kultural. Nyai dan gundik tak sekadar menjadi pemuas seks, pelayan rumah tangga, penghibur duka lara tapi mereka memiliki peran sebagai perantara (mediator) pembelajaran bahasa, pengetahuan, adat, dan tatanan sosial-kultural pribumi bagi manusia-manusia Eropa. 
Reggie Baay memberi suguhan data-data historis memikat untuk pembaca merefleksikan pandangan-pandangan kontradiktif terhadap nyai dan gundik di Hindia Belanda. Penelisikan sejarah nyai memerlukan sekian referensi untuk mengetahui latar belakang ekonomi, kultural, politik, dan sosial. Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan muda atau adik perempuan. Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup di Hindia Belanda.
Pelbagai sebutan dalam bahasa Belanda muncul untuk sosok nyai. Istilah moentji kerap dipergunakan di tangsi-tangsi tentara kolonial. Moetnji merupakan plesetan dari kata mondje (mulut kecil). Produksi istilah terhadap nyai juga bisa disimak melalui buku Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda karangan Tineke Hellwig. Pelbagai istilah untuk nyai dan gundik dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagere, dan meid.  Hellwig juga mengakui sejarah kemunculan nyai memang masih reman-remang. Sebutan-sebutan itu suah untuk menguak kebersejarahan dan identik dengan situasi politis dan kultural. Konklusi dari sejarah nyai dan gundik adalah kaum perempuan pribumi menjadi komoditas bagi lelaki kulit putih.

Sastra
Kisah Nyai Dasima karangan G Francis mungkin lekas mengingatkan publik tentang realitas kehidupan nyai di Hindia Belanda. Francis adalah orang Indo-Eropa. Penulisan kisah itu mengandung tendensi untuk memberi ilustrasi hirarkis antara si tuan, kaum terjajah (pribumi), dan golongan ganjil (Indo). Kisah cinta, politik, kapitalisme, dan sosial-kultural menjadi representasi dari getir dan keajaiban kehidupan kaum nyai. Kisah Nyai Dasima berbeda secara ideologis dengan kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Derita sebagai nyai tidak membuat inferiorisasi absolut karena resitensi dalam penguasaan bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan modern membuat Nyai Ontosoroh memiliki martabat diri.
Buku ini mencuplik dua novel itu untuk merekonstruksi kehidupan orang-orang Eropa dan lakon hidup nyai atau gundik di Hindia Belanda. Reggie Baay menggunakan puluhan sastra Indies (Hindia Belanda) atau Indische Belletrie untuk menguak pelbagai sisi kehidupan nyai dan pergundikan. Khazanah sastra Indies ini memukau untuk menilik ulang sejarah negeri ini pada abad-abad lampau. Kerja riset Baay seolah membenarkan pandangan W V Sykorsky (1980): “Cerita pernyaian adalah satu satu cerita asli dalam kesusastraan (pra) Indonesia.”
Daftar sastra Indies sebagai sumber pembicaraan tentang nyai dan pergundikan dalam kajian Baay: De Stille Kracht (Louis Couperus), Nummer Elf (PA Daum), Het Land van Herkomst (Du Perron), Sonna (Jan Fabricus), Jan Fusilier (S Franke), Nyai Mirdja (J Kleian), Rimboe (L Szekely), Mama (Maroe van Zeggelen), Koeli (MH Szekely-Lulofs), dan lain-lain. sekian novel dalam daftar ini sudah ada terjemahan dalam bahasa Indonesia kendati pembahasan tentang sastra Hindia Belanda belum semarak. Pembaca bisa mencari informasi tambahan tentang pengaruh sastra Indies itu dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983) susunan Subagio Sastrowardoyo. 

Sejarah
Sejarah para nyai muncul sejak awal abad XVII. Pernyaian dan pergundikan ini terbentuk oleh kedatangan para pegawai VOC di Nusantara. Mereka memerlukan perempuan pribumi untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan menjadi ibu bagi anak-anak mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke abad. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, meradang karena kehidupan kumpul kebo (samenleven) antara lelaki Eropa dengan perempuan pribumi menimbulkan perilaku janggal dan merusak untuk kepentingan kolonial. Penanganan dilakukan dengan mengeluarkan pelbagai aturan larangan kendati lekas mengalami pelbagai perubahan bergantung putusan politik dari negeri Belanda.
Sejarah panjang itu pun memunculkan fakta besar bahwa ribuan manusia Eropa beribukan pribumi. Politik dan hukum kolonial menampik realitas ini dengan penghilangan atau pengurangan hak bagi nyai (ibu pribumi) dalam pernikahan sah atau pengasuhan-kepemilikan anak. Fakta getir pun membuat pelbagai kalangan politisi, pengarang, ahli hukum, atau wartawan berselisihpaham tentang kebaikan dan keburukan sistem pernyaian dan pergundikan.
Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini adalah dokumen penting untuk menelusuri proses perubahan sosial, politik, pendidikan, militer, ekonomi, dan kultural di Nusantara. Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi. Pencitraan buruk atas perilaku nyai memang suatu kelaziman dalam situasi zaman. Peran dalam perjumpaan kultural kadang terabaikan oleh prasangka seksualitas dan hasrat materialistis. Sejarah negeri ini ikut dibentuk oleh nyai dan gundik. Pembacaan dan peletakkan mereka dalam kronik sejarah Nusantara menjadi misi prestisius untuk mencari titik temu dan titik pisah hubungan aneh antara pribumi dengan Eropa. Begitu.
 
Jawa Pos (14 November 2010)

Solo, Novel, dan Refleksi Sejarah

Bandung Mawardi

Kota Solo adalah ruang imajinasi untuk pengarang mengisahkan pelbagai sisi kehidupan manusia dan perubahan-perubahan zaman. Penulisan sastra memungkinkan mewartakan kota dan membuat pembaca memainkan memori atau membayangkan dalam buaian kata dan permainan makna. Solo selama ini memang dominan dikenali publik dalam oleh seni: musik, tari, kethoprak, atau wayang orang. Pengenalan dan pengalaman melalui sastra masih terbatas karena pelbagai alasan. Solo dalam lagu keroncong dan campursari mungkin paling efektif dan massif untuk mengimajinasikan pelbagai hal: Bengawan Solo, Solo di Waktu Malam, Putri Solo, Tirtonadi, Taman Jurug, Stasiun Balapan, Solo Berseri, dan lain-lain.
Pembacaan Solo melalui novel memiliki potensi untuk menelisik babak-babak perubahan kota, dinamisme mentalitas orang kota, dokumentasi peristiwa-peristiwa historis, dan dialektika pergerakan sosial-politik-agama. Ikhtiar mengurusi teks sastra atau novel tentang Solo memang belum menjadi prioritas oleh Pemkot Solo, Perpustakaan Daerah, Dinas Pendidikan, atau pihak-pihak terkait. Dokumentasi ini penting karena ikut menentukan rekonstruksi sejarah dan transformasi sosial-kultural di Kota Solo. Spirit sastra pun sanggup memberi penyadaran atas agenda literasi untuk membaca dan menulis kota.

Pengisahan
Sekian data dalam tulisan ini masih belum lengkap tapi bisa menjadi pembuka jalan untuk program dokumentasi sastra mengenai Kota Solo. Pada tahun 1950 terbit novel Solo Waktu Malam anggitan Kamadjaja. Novel percintaan ini dilatari oleh perkembangan kota dengan sekian jejak-jejak historis dan impian menjadi kota modern. Tokoh dalam novel ini dikisahkan terlibat dalam usaha pergerakan nasionalisme di Kota Solo pada tahun 1940-an ketika revolusi didengungkan di penjuru negeri. Kisah pamor dan nasib batik tulis juga mendapatkan porsi sebagai pengantar pengetahuan tentang kekhasan Kota Solo. Novel dengan latar pada masa penjajahan Jepang ini hadir dengan sekian informasi penting tentang represi politik-ekonomi, perlawanan rakyat, gaya hidup manusia kota, dan lakon hidup para priyayi.
Novel Solo Waktu Malam merupakan dokumentasi kota dalam bentuk sastra tapi belum dijadikan bahan studi untuk rekonstruksi sejarah kota. Novel lebih awal mengenai Solo ditulis oleh Mar Marco Kartodikromo dalam Student Hidjoe (1919). Novel ini dalam fragmen-fragmen awal mengisahkan pergerakan politik di Kota Solo, gaya hidup, keramaian Taman Sriwedari, dan kisah percintaan ala priyayi. Mas Marco Kartodikromo  memang pernah menjadi redaktur Doenia-Bergerak di Kota Solo. Deskrispi dan narasi dari Mas Marco Kartodikromo ini merupakan persembahan dari adonan kompetensi seorang jurnalis dan pengarang. Pembaca bisa menemukan pengisahan kota dalam kekuatan bahasa Melayu ketika direpresi oleh kebijakan politik-kebudayaan dari pemerintah kolonial.
Peristiwa banjir di Solo pada tahu 1966 terekam dengan apik dalam novel Geger Solo (1969) anggitan Kho Ping Ho. Novel dokumentatif ini memberi pemetaan tentang pelbagai kampung korban banjir dan kesusahan para korban. Kho Ping Ho menulis novel berdasarkan pengalaman dan sekian informasi primer. Situasi banjir menimbulkan geger dan menimbulkan korban. Derita tersakan tapi spirit kemanusiaan untuk saling membantu muncul tanpan membedakan perbedaan etnis, agama, atau status sosial. Novel ini pantas dijadikan sebagai jejak fenomenal mengenai biografi Kota Solo.
Novel paling moncer tentang Solo adalah Canting (1986) anggitan Arswendo Atmowiloto. Kisah tentang keluarga pengusaha batik dan kehidupan buruh ini impresif dan menjadi tarikan imajinatif atas keunikan Solo. Narasi tentang perekonomian kota di Pasar Klewer dan dinamisasi gaya hidup manusia kota dikisahkan dengan intim. Pengajuan refleksi nilai-nilai kultural Jawa juga jadi perhatian karena Kota Solo dijuluki sebagai pusat kebudayaan Jawa. Arswendo Atmowiloto memberi persembahan estetis untuk Solo tapi tampak belum ada greget untuk meletakkan novel sebagai sumber pembacaan Solo dari zaman ke zaman.

Refleksi
Pengisahan Kota Solo dalam perspektif historis dilanjutkan dalam penerbitan novel De Winst (2008) garapan Afifah Afra. Novel ini mengisahkan perkembangan industri pabrik gula oleh Mangkunegaran pada masa kolonial. Pergerakan politik menjadi bab penting karena merepresentasikan Kota Solo sebagai pusat pergerakan di Hindia Belanda. Polemik tentang tata nilai kehidupan kaum priyayi di Solo menjadi narasi kritis. Dinamisasi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama dalam novel ini mengesankan paparan sejarah dalam perhitungan fakta dan perayaan imajinasi. Novel De Winst mungkin novel terapik dalam pengolahan bahasa dan imajinasi untuk membuka memori Solo pada masa penjajahan dengan sekian lakon.
Tarikan refleksi historis juga terasakan dalam novel Vorstenlanden  (2008) garapan Totok Prasojo. Pemakaian judul ini sudah mengantarkan pembaca pada imajinasi ruang politik-kultural Solo dan Yogyakarta pada masa kolonialisme. Novel ini merekam aktivitas pergerakan politik, peran kalangan priyayi, dan lakon para saudagar batik. Solo pada saat itu memiliki aura karena kelahiran pertumbuhan Sarekat Islam. Represi kolonial dan feodalisme Jawa membuat situasi kehidupan kota ada dalam ketegangan untuk menentukan karakter. Dilema politik dan kultural menjadi kisah pelik dan menarik dalam novel Vorstenlanden. Novel ini dan novel De Winst merupakan persembahan memukau untuk pengisahan sejarah Kota Solo pada abad XX.
Deretan novel tentang Solo masih ada meski tak mungkin semua menjadi acuan komplet untuk mengisahkan Solo. Novel dan kota memiliki intimitas untuk merekonstruksi sejarah kota dan melahirkan imajinasi tentang kota. Relasi ini mesti menjadi ajakan konstruktif dalam ikhtiar menekuni studi kota melalui dokumentasi sastra. Peminggiran novel sebagai sumber pengisahan kota mungkin dilambari motif ilmiah tapi novel adalah “suara unik” atas pencatatan kehidupan manusia dengan latar Kota Solo. Ikhtiar mewartakan novel-novel tentang Solo pada publik tentu jadi bentuk antusiasme mengenali, membaca, menulis, dan mengalami kota. Ironi mesti dihindari meski sekian orang dan murid-murid di pelbagai sekolah di Kota Solo tidak pernah tahu deretan novel tentang Kota Solo. Misi penyadaran untuk Solo melalui sastra pantas lekas dilakukan dengan gairah tak biasa. Begitu.             

Solopos (14 November 2010)

Obituari Kebudayaan Jawa

Bandung Mawardi

Deru modernitas di Jawa pada awal abad XX melahirkan intelektual-intelektual pribumi dalam dilema. Tubuh-ruh Jawa terpecah karena membongkar dan memasang dalam anutan tradisi atau mengonsumsi dialektika peradaban dengan dominasi simbol-simbol Barat. Resah dan gelisah itu diimbuhi dengan godaan untuk mengonstruksi diri dengan nalar dan imajinasi Barat melalui prosedur pendidikan dan revolusi mesin cetak. Jawa telah menjadi ruang persemaian dengan pola transaksi simbolik-kultural untuk menjauh dari sejarah diri atau cinta mati pada mekanisme kodifikasi Jawa oleh politik-kultural kolonial dan geliat javanalog atas nama proyek ilmu pengetahuan.
Tanda seru dari kisah Jawa dan geliat intelektual pribumi untuk mewacanakan Jawa terjadi dalam Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling atau Kongres Kebudayaan Jawa (1918). Kongres ini tergelar melalui adu otoritas dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi. D. van Hinloopen Laberrton mengusulkan untuk diadakan kongres bahasa Jawa. Usulan ini mendapati restu dari pemerintah kolonial di Batavia. Kalangan intelektual pribumi dalam Budi Utomo di Solo malah menginginkan gelaran Kongres Kebudayaan Jawa dengan argumentasi mencakup pelbagai hal tentang Jawa. Juru bicara dari proyek kultural ini adalah Prangwadono (Mangkunegara VII). Keputusan akhir adalah pemerintah kolonial di Batavia mempersilakan penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Jawa (Supardi, 2003: 29-30). Adu otoritas ini masih dilanjutkan dalam pembuatan format kongres dan pilihan para pemberi materi. Kongres Kebudayaan Jawa justru jadi pertaruhan tentang “kehidupan” atau “kematian” Jawa oleh perbedaan mazhab dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi.

Bergerak
Solo pada masa itu sedang mengalami “zaman bergerak” (1917-1920). Dunia serasa bergerak di Solo. Takashi Shiraisi (1997) menandai dengan persemaian Sarekat Islam dan peran Solo sebagai pusat pergerakan politik-kultural. Solo adalah ruang sengit untuk pertarungan gagasan dan eksperimen politik-kultural dengan efek besar untuk nasib tanah Jawa dan Hindia Belanda. Solo pun saat itu bisa menerima geliat Revolusi di Rusia (1917) melalui suara Marco Kartodikromo dalam stair “Tabeat Apakah?” Syair ini dengan terbuka menyuguhkan kesejajaran peran dan nilai kultural antara Leo Tolsty dengan Ranggawarsita. Pujangga Rusia sejajar dengan pujangga Jawa? Solo adalah bumi subur atau tanah basah untuk pelbagai proyek pengetahuan dan politik-kultural kendati dominasi proyek “Jawa-kolonial” ala Belanda.
Proyek kultural melalui Kongres Kebudayaan Jawa dibarengi dengan proyek politik oleh kalangan intelektual-pergerakan pribumi melalui sosok Tjipto Mangoenkoesoemo, Haji Misbach, Radjiman, atau Mangkunegara VII. Solo memang bergerak tapi mengandung resah dan marah. Pelaksanaan Kongres Kebudayaan Jawa merupakan contoh kontroversial dalam perselingkuhhan kultural dan politik. Pemilihan topik dan materi harus diperdebatkan sengit antara memilih pemihakan dan perspektif Jawa tradisional atau memihak Barat dalam praktik pendidikan di Jawa. debat itu melahirkan jargon tentang proyek untuk kemajuan kebudayaan Jawa.
Komposisi pemberi materi untuk kongres pun imbang sebagai representasi perseteruan memperebutkan otoritas dan “setir” dalam proyek kemajuan kebudayaan Jawa. Daftar pembicara: Dr. Satiman Wirisandjojo, R. M. Soetatmo Soerjokoesoemo, Tjipto Mangunkusumo, Dr. Radjiman, R.A. Notosoedirdjo, D. Van Hinloopen Labberton, A. Muhlenfeld, J. Rottier, dan Z. Stokvis. Beberapa pokok persoalan dalam pembahasan di kongres: (1) Ke arah mana perkembangan bangsa Jawa dan bagaimana bangsa Jawa dapat kembali membangun kembali peradabannya yang tinggi di masa lampau; (2) Apakah peranan peradaban Barat dan kebudayaan Jawa dalam usaha pembangunan kembali bangsa Jawa; (3) Ke mana perkembangan kebudayaan Jawa harus diarahkan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar ke dalam masyarakat Jawa masa kini; dan (4) Sejauh mana mutlak diperlukan untuk mengembangkan masyarakat Jawa atas dasar pendidikan Jawa?

Intervensi dan Kodifikasi
Sekian intelektual terlibat untuk ikut memerkarakan pelbagai materi-materi pelik. Dr. Radjiman mengingatkan: “Jika pribumi dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat di antara dua peradaban (Lombard, 2000: 235). Kebudayaan saat itu mendapati perhatian, keprihatinan, pesimisme, dan impian. Kongres terkesan memberi pemihakan untuk kemajuan kebudayaan Jawa tapi mengandung laten ada “kematian” karena model pengolahan atau pembaruan dalam anutan nalar-imajinasi Barat.
Intervensi kolonial dan intelektual kolonial justru membuat kebudayaan Jawa abad XX rentan alias gampang dikodifikasi. Pemilihan sumber-sumber Jawa pun telah ditentukan dengan pamrih harmonisasi proyek kolonial dan pelaku-pelaku pembaruan kebudayaan Jawa dari kalangan keraton dan intelektual-pergerakan. Pamrih harmonisasi dengan “kematian” kebudayaan Jawa untuk lakon politik di Solo bisa disimak dalam buku Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912 – 1942 (1990) garapan George D. Larson. Politik kolonial dengan lembut dan lihai menjinakkan kebudayaan Jawa melalui restu dan legitimasi pusat kekuasaan tradisional. Simbol-simbol dirayakan tapi energi perubahan dipadamkan demi harmoni.  
Kritik keras diajukan oleh Tjipto Mangunkusomo melalui tulisan De Wayang (1923). Sosok dan pemikiran Tjipto saat itu kontroversial karena menilai Jawa dengan keras. Intelektual aneh ini memahami Jawa melalui kajian Jawa berbahasa Belanda hasil dari kerja intelektual para javanalog asal Belanda. Kejawaan Tjipto memang minor di hadapan tokoh-tokoh lain. Tjipto menganggap manusia dan kebudayaan Jawa telah terjinakkan atau terpatuhkan oleh dominasi kolonial Belanda tanpa resistensi kultural-politik. Suara keras itu telah terdengar dalam Lets over de Javaan (Beberapa Catatan tentang Orang Jawa) pada 1913.
Sejarah itu justru dilanjutkan dengan model pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang (1991) sampai pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya nanti pada 2011. Ambisi menghidupi, merawat, dan memajukan kebudayaan Jawa melalui kongres ala birokrat-akademik justru mengesankan ratapan atas “kematian” kebudayaan Jawa ketimbang kegairahan memerkarakan Jawa secara progresif dan produktif. “Kematian” terjadi karena kesalahan konsep, sistem, dan orientasi. Jawa seperti telah terbakukan tapi lupa diri untuk pembaruan gara-gara “mengimani” kebudayaan Jawa ala bentukan kolonial. Proyek obituari kebudayaan Jawa malah melahirkan apologi-apologi dalam labelitas birokrasi dan akademik. Begitukah? 

    
Seputar Indonesia (7 November 2010)