Oleh Fanny Chotimah
Putri Cina dikisahkan Sindhunata
sebagai simbol perempuan Cina dalam setiap zaman. Suatu masa, ia adalah putri
Cina, istri dari Prabu Brawijaya, yang dibuang dalam
kondisi hamil lalu diserahkan pada Arya Damar. Suatu masa, ia menjadi
Giok Tien, perempuan Cina cantik bintang ketoprak Sekar
Kastubo, yang menjadi istri Senopati Gurdo Paksi di Negara Medang Kemulan.
L alu, masa kini ia Putri Cina sebagai perempuan yang bernama. Putri Cina bertanya di manakah wajahnya? Dia merasa tak memiliki
wajah. Dia tuma tahu, kata orang dia cantik, matanya sipit, hidungnya mungil.
Tapi yang dia lihat hanyalah mawar hitam. Apa yang menjadikan Putri Cina
sebagai perempuan? Apakah wajahnya yang tampak seperti orang Cina? Atau Cina
merupakan tanah kelahirannya? Ataukah darah Cina yang mengalir dalam tubuhnya?
Putri Cina
mempertanyakan wajahnya, sebagai sebuah eksistensi bukankah manusia harus
berwajah. Tafsir menjadi cantik pun dipertanyakan kembali. Sindhunata tidak
berusaha menggiring imajinasi kita dengan memberikan deskripsi yang detail,
bagaimana wajah fisik seorang Putri Cina. Malah sengaja dibuatnya samar tak
berwajah. Dalam satu fragmen cerita, Amurko Sabdo menyebut Giok Tien dengan
sebutan Putri Cina, lalu Giok Tien bersikukuh bahwa dia adalah Giok Tien, dia
bernama. Namun, Amurko Sabdo abai. Baginya dia sama saja, seorang perempuan
berwajah Cina, meski ia bernama apa pun.
“Ruh Wajah Putri Cina” (2000) sudah hadir jauh
sebelum novel Putri Cina (2006) lahir. Betapa cantik/ lembut dan
jelita wajah sebelas tahun lalu itu/ Secantik, selembut dan sejelita
lamunanku akan wajahmu/ Di matanya yang bersinar/ kulihat kepedihanmu
yang muram/ Di bibirnya yang tersenyum/ kurasakan penderitaan yang
sabar. Penggalan syair puisi “Wajah Putri Cina” dalam buku Air Kata-kata
menghadirkan Putri Cina sebagai sosok malankolis, sosok lembut, sosok yang
menyimpan luka dan sosok penyabar. Kecantikan yang feminin, figur perempuan
seperti ini sangat dekat dengan figur perempuan dalam tradisi Katolik. Figur
Bunda Maria atau Maria Magdalena: perempuan suci, penyabar, yang teguh dalam
kelemahannya.
Jauh berbeda dari sosok Tulkiyem dalam “Oh
Tulkiyem Ayu”. Sindhunata mengisahkan, Oh Tulkiyem ayu/ Arake lemu asale
Batu/ Rupane sumeh ngguya-ngguyu/ Oh Tulkiyem lemu/ Numpak dokar jarane
telu/ Doyane lontong tahu. Tulkiyem adalah perempuan Jawa bertubuh gendut,
bokongnya gede, orangnya lucu. Meski secara fisik ia tampil sebagai sosok tak
menarik dipandang, namun Tulkiyem masih istimewa: resik, wangi, atine gak
tau mangkel, singset, glegas-gleges. Sosok Tulkiyem hadir kembali dalam
puisi “Pergi ke Bulan Naik Dokar”. Tulis Sundhunata, Tulkiyem/ kau bukan
dewa/ bukan dewi/ ratu atau raja/kau hanyalah wanita biasa/Tapi karena kau
kupuja sebagai dewi keindahan/ubahlah semuanya ini menjadi keindahan pula:
lontong, lemper, tempe, tahu, gethuk, slondok, jenang longok, tempe bosok...
Kecantikan Tulkiyem merupakan kecantikan kesederhanaan, kecantikan yang
membumi. Kecantikan yang timbul karena laku hidup keseharian. Sebuah karakter
dan pribadi perempuan Jawa yang ndesa.
Kendati sama-sama perempuan dan memiliki
kecantikan nasib, Putri Cina tak seberuntung nasib Theodara tokoh dalam novel
sejarah berjudul Wanita karya Paul I. Wellman. Theodora sadar akan
kecantikan dirinya dan menggunakan seksualitas sebagai jalan menuju singgasana
kekuasaan. Theodora mentransformasikan dirinya dari seorang perempuan pelacur
menjadi seorang maharani sebuah kekaisaran Roma di Konstantinopel abad ke-5
Masehi. Tentu latar belakang antropologis maupun sosiologis kedua tokoh ini
berbeda. Theodara mungkin tak melakoni persoalan identitas serumit Putri Cina.
Sedangkan Putri Cina terus bergulat dengan persoalan identitas untuk menemukan
asal usulnya. Putri Cina melakukan ziarah filosofis dengan membaca dan
menyelami sajak T’ao Ch’ien, syair Han San, ataupun pepatah K’ung Tzu (bapak
agama Kong Hu Cu). Selain itu, ziarah spiritual pun dilakoni, mengunjungi
kuburan leluhur dan berdoa di klenteng untuk membaca pertanda takdir melalui djiam-si.
Ziarah historis didapatkan Putri Cina melalui dongeng Sabdapalon-Nayagenggong
yang tak lain adalah Semar, yang ternyata biang
pertikaian anak manusia di Bumi. Melalui proses dialektika
intens dengan dirinya, Putri Cina tiba pada satu pencerahan bahwa dia harus
menelan nasib pahitnya sebagai bebanten sebagai kambing hitam yang harus
dikorbankan.
Mengacu pada teori kekerasan Rene Girard, kecemburuan, kebencian, iri, dan kedengkian
sosial merajalela karena dalam kehidupan masyarakat bertahta mimesis (hasrat
tiru-meniru tiada berkesudahan). Mimesis mencetuskan lingkaran setan rivalitas.
Rivalitas yang meletus menjadi kekerasan memerlukan kambing hitam untuk
memulihkan harmoni sosial. Minoritas adalah segmen masyarakat yang ditakdirkan
sebagai korban. Mekanisme kambing hitam itu senantiasa membidik dan mengejar
kaum minoritas etnis, ras, dan religius. Sindhunata berusaha mengupas teori
kambing hitam ini hingga sampai ke akar-akarnya. Data sejarah kekerasan yang
menimpa etnis Cina (Putri Cina: 84-85), dimulai sejak tahun 1740,
kurang-lebih 10.000 orang Cina di Batavia dibantai Kompeni hingga Ketika tahun
1949, tahanan Kalisosok di Surabaya dilepaskan untuk mendukung gerakan bumi
hangus, banyak orang Cina dibunuh tanpa alasan. Kerusuhan Mei 1998 tidak
dihadirkan dalam paparan data, namun dimetaforkan terjadi di Negara Medang
Kemulan dengan pola kekerasan yang sama; penjarahan, pembakaran, pemerkosaan
dan pembunuhan pada etnis Tionghoa. Giok Tien dan kedua saudarinya pun menjadi
korban.
Sejarah hanya meminjam rahim perempuan untuk
kelangsungan keturunan darah kekuasaan laki-laki, yang pada akhirnya saling
bunuh-membunuh dan menggulingkan satu sama lain, tak peduli ayah atau anak
seperti Raden Patah dan Prabu Brawijaya, atau kakak beradik seperti Pandawa dan
Kurawa. Lalu, perempuan juga yang dijadikan alasan pertumpahan darah. Joyo
Sumengah, Panglima Medang Kamulan, yang menaruh hati pada Giok Tien tapi
ditolak karena Giok Tien memilih Gurdo Paksi. Menyembunyikan dendam dan
kepentingan pribadinya akan Giok Tien atas nama kelanggengan kekuasaan Raja
Sabdo Murco: “Mengapa aku harus hidup di negeri yang bisa menjatuhkan aku
hanya karena urusan wanita?” ujar Joyo Sumengah. Saya tak menyangka
pertanyaan ini muncul dari Joyo Sumangah, seorang antagonis, seorang lelaki yang menghalalkan apa pun
untuk nafsu akan wanita dan juga kekuasaan. Mungkinkah pertanyaan ini merupakan
super-ego Joyo Sumangah? Saya melihat pertanyaan ini sebagai gugatan Sindhunata
akan falsafah Jawa: harta, tahta, wanita. Falsafah ini memosisikan kaum
hawa sebagai godaan. Pertanyaan ini merupakan tamparan bagi laki-laki Jawa.
Sehingga pertanyaan ini menjadi sebuah pernyataan yang feminis.
Genderang kritik terhadap phallussentrisme
dibunyikan Sindhunata dalam puisi “Rep Kedhep”: Rep kedhep wong sakbuwana/
Jonthok kaya peliku/Nglimpruk kaya kontholku. Pring-pring petung/
Anjang-anjang peli bunthung/ Aja menggok aja noleh/ Ana turuk gomblah-gambleh.
Dengan bahasa Jawa luwes dan metafor lucu, Sindhunata memainkan phallus
dan vagina sebagai humor. Membuat kita menertawakan diri sendiri,
menertawakan yang-hewan yang bersemayam di dalam diri, yaitu nafsu akan seks
dan kekuasaan. Lalu kita digiring untuk menelan rapal bunyi: MU/MU/MU...
MU!/ Sirna sudah nafsuku/ sudah hilang mau jasadku/ tenang tentram hasrat
lelakiku/ pulang dalam damai rumah-Mu. Kita dimandikan dikembalikan pada
ruh keilahian bahwa sejatinya menjadi manusia ialah kemampuan untuk melampui
nafsu-nafsu tersebut. Dalam patah-patah kata Sindhunata berkata kata-kata,
bahasa Indonesia ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua
perjumpaan, pengalaman dan perasaannya. Sindhunata menghabiskan masa kecil
hingga SMA di kaki Gunung Panderman Malang, tumbuh sebagai peranakan Tionghoa
yang lekat dengan kultur Jawa. Sang ayah mati muda, Sindhunata bersama keenam
saudaranya dibesarkan sang ibu, Koo Soen
Ling, yang bekerja sebagai penjahit.
Sosok Giok Tien
sesungguhnya adalah llter ego dari Koo Soen Ling, sang ibu, yang menyenangi
ketoprak dan legenda Sam Pek Eng Tay. Sosok Putri Cina merupakan cerminan
keikhlasan dan ketulusan Bunda Maria. Sedangkan sosok Nyai Gadung Melati, dalam
Air Kata-Kata diimajikan berbusana hijau, wangi kembang melati: tunas
mati kau hidupi dengan merah lahar Merapi. Larik ini merupakan pencitraan
bumi sebagai perempuan, bumi dengan sifat feminis seperti Dewi Kwan Im, simbol
kesuburan dan kesejahteraan. Perempuan menjadi yang kosmos sekaligus yang
kosmis. Perempuan dalam semesta Sindhunata tidak hanya sebuah representasi
kebebasan semata tetapi juga kebudayaan, kemanusiaan, dan keilahian itu
sendiri.
Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada
Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo