Laman

Sabtu, 01 Januari 2011

Janji dan Mimpi Perpustakaan Maya



Oleh Mohamad Fauzi

TEKNOLOGI hampir selalu membawa janji dan mimpi. Datangnya teknologi internet telah memperkukuh janji dan mimpi teknologi pada salah satu pilar dunia akademik, yaitu perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat mengarahkan perpustakaan konvesional menjadi perpustakaan maya (online library). Perpustakaan maya memberikan janji dan mimpi kemudahan, kecepatan, keterjangkauan, kemurahan, fleksibilitas, serta kemampuan mengatasi ruang dan waktu.

Pada 1945 atau 30 tahun sebelum penemuan PC (personal computer) dan 50 tahun sebelum lahirnya world wide web, Dr Vannevar Bush dalam salah satu esainya yang terkenal As We May Think memimpikan sebuah desktop personal yang akan mengambil alih semua perpustakaan. Dalam impian yang dia sebut Memex, Bush membayangkan sebuah keyboard dan layar yang memungkinkan penggunanya untuk menghadirkan ilmu pengetahuan umat manusia yang terkumpul menjadi satu. Bush membayangkan sebuah mesin yang akan mencatat lompatan-lompatan individu inspiratif melalui teks yang menjadikan peneliti mengatasi limpahan ilmu pengetahuan. Dalam Libraries of the Future (1965) yang terpengaruh pemikiran Bush, Douglas Engelbart, penemu mouse komputer, dan J.C.R. Licklider membayangkan perpustakaan digital yang dihubungkan dengan sebuah jaringan agar dapat diakses oleh para pengguna yang berlipat ganda.

Melihatnya dari titik sekarang, impian direktur Lembaga Pengembangan dan Penelitian Amerika Serikat (Office of Scientific Research and Development) itu tampak menjadi nyata bahkan di Indonesia. Sekarang ini sedang berkembang pesat perpustakaan maya baik yang dilakukan lembaga pendidikan seperti universitas, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Ribuan teks dan dokumen mulai didigitalisasi dalam berbagai bentuk (umumnya berbentuk portable document format/pdf) dan di-upload di perpustakaan maya.

Di Indonesia, hampir semua universitas sudah mulai melakukan digitalisasi perpustakaan, menjadi dan mengutamakan perpustakaan maya. Tahun ini, untuk menyebut beberapa contoh, unit pelayanan teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggarkan dana Rp 1 miliar untuk berlangganan database jurnal online, sangat jauh lebih banyak dibandingkan dengan anggaran pengadaan koleksi cetak yang ''hanya'' Rp 150 juta. Belum lagi perpustakaan di fakultas. Total anggaran UGM untuk berlangganan jurnal internasional mencapai Rp 5,8 miliar (Balkon Balairung UGM edisi spesial 2010).

Di kampus saya, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, UPT Perpustakaan pusat sudah menghabiskan dana Rp 300 juta per tahun untuk berlangganan jurnal online. Pengadaan perpustakaan maya itu tentu saja harus didukung dengan berlangganan bandwith internet yang biasanya mencapai miliaran rupiah. UNS, sebagai contoh, menghabiskan dana Rp 3 miliar setiap tahun. Hal itu juga terjadi hampir pada seluruh universitas di Indonesia.

Ada semacam kesadaran bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademis dan ilmu pengetahuan sudah mulai technology-minded yang harus diakomodasi. Hampir semua orang punya komputer atau laptop yang memengaruhi dan mengubah kebiasaan mereka dalam belajar-mengajar. Universitas, pemerintah daerah, pusat perbelanjaan, kafe, dan sebagainya menyediakan area hotspot (wifi) dengan berbagai kecepatan akses (bandwith) dan kebanyakan 24 jam penuh. Para operator telepon sudah gencar memasarkan produk dan jasa internet prabayar. Sekarang juga sedang marak dipasarkan teknologi e-book reader yang digagas Apple dengan produk Apple iPad dan situs penjualan online Amazon dengan produknya Amazon Kindle, yang konon akan menjadi tren baru. Semua itu mulai mengukuhkan janji dan mimpi perpustakaan maya di masa depan.

Selain itu, perkembangan perpustakaan maya tidak lepas dari perlombaan berbagai universitas di Indonesia untuk "go internasional", menjadi universitas riset dan world class university. Perlombaan itu tentu saja mengharuskan sebuah universitas untuk memfasilitasi diri dengan perpustakaan maya yang bisa diakses dari seluruh dunia. Maka, dilihat dari segi teknologi serta dari tantangan dan tuntutan masa depan, perpustakaan maya tampak tak terelakkan.

Tapi, seperti dikatakan Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton (2010) dalam buku mereka Para Penjaga Ilmu dari Alexandria Sampai Internet, mengorganisasi dan mengelola sebuah perpustakaan pada akhirnya adalah sebuah tugas besar yang menjemukan, yang memerlukan komitmen serius untuk menjustifikasi faedahnya. Butuh orang-orang yang akan memanfaatkannya. Tapi, sayangnya, yang terjadi di berbagai perpustakaan universitas dan berdasar riset kecil yang saya lakukan, tak banyak mahasiswa atau dosen yang menggunakan perpustakaan maya bahkan sekadar tahu ada perpustakaan maya. Kebanyakan mereka malah asyik dengan Facebook. Di kampus saya, dari total dana Rp 3 miliar per tahun, sekitar 60 persen habis untuk Facebook dan download film serta musik.

Bandingkan dengan yang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat. Mahasiswa di sana mulai beralih pada perpustakaan maya (online library). Menurut hasil survei Thomas and Dorothy di Leavey Library yang berada di University of Southern California (USC), 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan karena mereka sudah terhubung dengan internet dan perpustakaan online. Hanya 36 persen mahasiswa S-1 yang meminjam buku, 12 persen yang datang ke perpustakaan untuk menggunakan jurnal cetakan, dan 61 persen dari pengunjung perpustakaan yang datang untuk menggunakan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer (Gardner & Eng, 2005). Berbeda jauh.

Meski demikian, masa depan ada di sana dan hasrat menglobal universitas kita sepertinya mengharuskan ke sana. Begitukah?

Mohamad Fauzi , mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret (UNS) dan bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo

Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010

Kekalahan Imajinasi Desa


Oleh MOHAMAD FAUZI

Pada zaman sekarang tidak ada orang yang senang disebut wong ndesa (kecuali Thukul Arwana, mungkin). Imajinasi kolektif kita tentang desa tidak jauh dari kawasan atau daerah terpencil, terisolasi, tak maju, orang-orang yang tidak terdidik, terbelakang, gelap, sepi, penuh kemelaratan, hidup yang keras dan berat.

Kalau ada orang yang melakukan tindakan bodoh, ceroboh, atau tidak tahu perkembangan terkini atau mode baju, teknologi, bahasa, atau budaya pop terbaru maka langsung dia dicap ndesa katrok, wagu, tur gilane. Siapa yang berani menjadi wong ndesa?

Desa bukan hanya sebuah kawasan, tetapi juga sebuah imajinasi kebudayaan dan kekuasaan. Pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, desa memiliki kuasa dan berstatus ”otonom” yang bisa kapan saja memberontak pada sebuah kerajaan atau paling tidak berpaling pada kerajaan yang lain jika raja bersikap lalim. Gerakan-gerakan sosial pada abad ke-19 berpusat di desa dengan tokoh-tokoh karismatik dan didukung para petani.

Kekuasaan dan otonomi desa terus digerus pada zaman pemerintahan kolonial dengan cultuurstelsel (tanam paksa) pada tahun 1830-1870. Kekuasaan dan otonomi desa terus digerogoti, meskipun pada 1855 dijamin kembali melalui Regeeringsreglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch-Indie (Peraturan pemerintah tentang pengelolaan pemerintah Hindia Belanda) dan semakin diperjelas dalam Inslandsche Gemeente-ordonatie pada tahun 1905.

Peraturan dan ordonansi tersebut menetapkan desa sebagai badan hukum otonom dengan hak untuk mengelola persoalan sendiri dan memilih kepala desa sendiri (Aiko Kurasawa, 1993: 436).
Namun, yang paling parah adalah pada masa pendudukan Jepang. Sumber daya alam dan manusia dimobilisasi, dikontrol, dan diperas untuk kepentingan fasisme Jepang. Di bawah kekuasaan Jepang, desa bersentuhan langsung dengan negara atau pemerintah. Terhentinya perdagangan luar negeri dan adanya tuntutan militer secara besar-besaran dari pihak Jepang, maka terjadi perubahan radikal dalam keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand) komoditas.

Penduduk desa dikerahkan untuk meningkatkan produksi pangan. Petani dipaksa menyerahkan hasil panen. Distribusi komoditas dikontrol. Penduduk desa dipaksa jadi romusha. Perangkat sosial kelembagaan desa, seperti tonarigumi (rukun tetangga) dan nagyô kumiai (koperasi desa), dibentuk dan dikontrol. Tokoh-tokoh kunci desa, seperti kepala desa dan kyai, ”dididik”, dipegang, dan dikendalikan. Hasilnya: ”kemiskinan kebendaan dan ketidaknyamanan psikologis”. (Aiko Kurasawa, 1993).

Dikuasai dan dikalahkan
Sampai masa Orde Baru dan reformasi, desa masih terus dikuasai dan dikalahkan. Semua ini membentuk imajinasi kita tentang desa yang kalah dan dikalahkan secara struktural oleh para penguasa. Namun, kekalahan yang sekarang dialami desa adalah kekalahan kultural yang paling parah. Kebudayaan kota mengalahkan kebudayaan desa agraris (juga pantai). Kota berkebudayaan (tinggi), sedangkan desa tidak berkebudayaan.

Masuknya listrik, televisi, alat transportasi seperti motor, alat komunikasi seperti handphone bahkan Blackberry yang sekarang sedang marak terus menguras harta penduduk desa dengan produktivitas yang sangat dipertanyakan. Buku-buku pelajaran dan cerita telah menghilangkan imajinasi penduduk desa tentang desa mereka. Melalui teknologi dan buku tersebut, setiap hari, bahkan setiap jam, penduduk desa bergelut dan bersentuhan dengan (imajinasi) kota.

Tidak ada cerita dari kakek- nenek tentang gerakan sosial- politik di desa. Anak-anak lebih tahu jajan yang diiklankan televisi daripada jajan pasar. Para remaja lekas mengidentifikasi diri sebagai pemuda urban dan mau melanjutkan pendidikan tinggi di kota bahkan di kota-kota negara maju. Urbanisasi imajinasi tak terelakkan, dan nalar urban terbentuk, sebelum akhirnya urbanisasi fisik dilaksanakan. Tidak ada nostalgia, apalagi bagi generasi muda yang sejak kecil diasuh dengan imajinasi kota.

Sedikit perbandingan, pada abad ke-19 muncul gerakan politik populisme di Amerika Serikat yang mengusung Semangat Populis. Semangat Populis diejawantahkan dalam seperangkat pengertian yang tampak di dalam apa yang disebut ”kerinduan” akan perikehidupan agraris. Taman firdaus kaum Populis tidak berada di masa mendatang, tetapi di masa silam. Menurut mitos agraris mereka, sehat tidaknya suatu negara tergantung kepada seberapa banyak kekuasaan dipegang kaum petani. Mereka ingin mengembalikan kondisi-kondisi pra industrialisasi dan pra komersialisasi pertanian (Richard Hofstadter, 1991: 133-134). Sementara di Indonesia?

Sampai di sini, saya sering bertanya-tanya. Apa maksud slogan bali ndesa, mbangun desa. Seperti apa desa dalam imajinasi penduduk desa tentang membangun desa mereka. Apakah penduduk desa masih memiliki imajinasi desa yang gemah ripah loh jinawi, mengingat setiap hari mereka terus dikalahkan dan berimajinasi menjadi wong kutha?

Di sini, kalaupun harus membangun, maka itu bukan membangun desa karena penduduk desa tidak punya imajinasi desa yang visioner. Akan tetapi, yang lebih realistik dan mungkin anggapan pemerintah, membangun desa yang diproyeksikan membangun kota (baru), dengan mempertimbangkan segala kekurangan dan kelebihannya. Karena bukankah tidak mungkin kita menggunakan kaca spion yang rusak dan terus-menerus dirusak untuk melihat ke belakang?

Toh yang kembali, kalau memang kembali, bukan wong ndesa, tetapi wong kutha dengan setumpuk imajinasi kota dan kepentingannya. Begitukah?

MOHAMAD FAUZI Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
KOMPAS,  Sabtu, 11 Desember 2010