Laman

Sabtu, 01 Januari 2011

Kekalahan Imajinasi Desa


Oleh MOHAMAD FAUZI

Pada zaman sekarang tidak ada orang yang senang disebut wong ndesa (kecuali Thukul Arwana, mungkin). Imajinasi kolektif kita tentang desa tidak jauh dari kawasan atau daerah terpencil, terisolasi, tak maju, orang-orang yang tidak terdidik, terbelakang, gelap, sepi, penuh kemelaratan, hidup yang keras dan berat.

Kalau ada orang yang melakukan tindakan bodoh, ceroboh, atau tidak tahu perkembangan terkini atau mode baju, teknologi, bahasa, atau budaya pop terbaru maka langsung dia dicap ndesa katrok, wagu, tur gilane. Siapa yang berani menjadi wong ndesa?

Desa bukan hanya sebuah kawasan, tetapi juga sebuah imajinasi kebudayaan dan kekuasaan. Pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, desa memiliki kuasa dan berstatus ”otonom” yang bisa kapan saja memberontak pada sebuah kerajaan atau paling tidak berpaling pada kerajaan yang lain jika raja bersikap lalim. Gerakan-gerakan sosial pada abad ke-19 berpusat di desa dengan tokoh-tokoh karismatik dan didukung para petani.

Kekuasaan dan otonomi desa terus digerus pada zaman pemerintahan kolonial dengan cultuurstelsel (tanam paksa) pada tahun 1830-1870. Kekuasaan dan otonomi desa terus digerogoti, meskipun pada 1855 dijamin kembali melalui Regeeringsreglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch-Indie (Peraturan pemerintah tentang pengelolaan pemerintah Hindia Belanda) dan semakin diperjelas dalam Inslandsche Gemeente-ordonatie pada tahun 1905.

Peraturan dan ordonansi tersebut menetapkan desa sebagai badan hukum otonom dengan hak untuk mengelola persoalan sendiri dan memilih kepala desa sendiri (Aiko Kurasawa, 1993: 436).
Namun, yang paling parah adalah pada masa pendudukan Jepang. Sumber daya alam dan manusia dimobilisasi, dikontrol, dan diperas untuk kepentingan fasisme Jepang. Di bawah kekuasaan Jepang, desa bersentuhan langsung dengan negara atau pemerintah. Terhentinya perdagangan luar negeri dan adanya tuntutan militer secara besar-besaran dari pihak Jepang, maka terjadi perubahan radikal dalam keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand) komoditas.

Penduduk desa dikerahkan untuk meningkatkan produksi pangan. Petani dipaksa menyerahkan hasil panen. Distribusi komoditas dikontrol. Penduduk desa dipaksa jadi romusha. Perangkat sosial kelembagaan desa, seperti tonarigumi (rukun tetangga) dan nagyô kumiai (koperasi desa), dibentuk dan dikontrol. Tokoh-tokoh kunci desa, seperti kepala desa dan kyai, ”dididik”, dipegang, dan dikendalikan. Hasilnya: ”kemiskinan kebendaan dan ketidaknyamanan psikologis”. (Aiko Kurasawa, 1993).

Dikuasai dan dikalahkan
Sampai masa Orde Baru dan reformasi, desa masih terus dikuasai dan dikalahkan. Semua ini membentuk imajinasi kita tentang desa yang kalah dan dikalahkan secara struktural oleh para penguasa. Namun, kekalahan yang sekarang dialami desa adalah kekalahan kultural yang paling parah. Kebudayaan kota mengalahkan kebudayaan desa agraris (juga pantai). Kota berkebudayaan (tinggi), sedangkan desa tidak berkebudayaan.

Masuknya listrik, televisi, alat transportasi seperti motor, alat komunikasi seperti handphone bahkan Blackberry yang sekarang sedang marak terus menguras harta penduduk desa dengan produktivitas yang sangat dipertanyakan. Buku-buku pelajaran dan cerita telah menghilangkan imajinasi penduduk desa tentang desa mereka. Melalui teknologi dan buku tersebut, setiap hari, bahkan setiap jam, penduduk desa bergelut dan bersentuhan dengan (imajinasi) kota.

Tidak ada cerita dari kakek- nenek tentang gerakan sosial- politik di desa. Anak-anak lebih tahu jajan yang diiklankan televisi daripada jajan pasar. Para remaja lekas mengidentifikasi diri sebagai pemuda urban dan mau melanjutkan pendidikan tinggi di kota bahkan di kota-kota negara maju. Urbanisasi imajinasi tak terelakkan, dan nalar urban terbentuk, sebelum akhirnya urbanisasi fisik dilaksanakan. Tidak ada nostalgia, apalagi bagi generasi muda yang sejak kecil diasuh dengan imajinasi kota.

Sedikit perbandingan, pada abad ke-19 muncul gerakan politik populisme di Amerika Serikat yang mengusung Semangat Populis. Semangat Populis diejawantahkan dalam seperangkat pengertian yang tampak di dalam apa yang disebut ”kerinduan” akan perikehidupan agraris. Taman firdaus kaum Populis tidak berada di masa mendatang, tetapi di masa silam. Menurut mitos agraris mereka, sehat tidaknya suatu negara tergantung kepada seberapa banyak kekuasaan dipegang kaum petani. Mereka ingin mengembalikan kondisi-kondisi pra industrialisasi dan pra komersialisasi pertanian (Richard Hofstadter, 1991: 133-134). Sementara di Indonesia?

Sampai di sini, saya sering bertanya-tanya. Apa maksud slogan bali ndesa, mbangun desa. Seperti apa desa dalam imajinasi penduduk desa tentang membangun desa mereka. Apakah penduduk desa masih memiliki imajinasi desa yang gemah ripah loh jinawi, mengingat setiap hari mereka terus dikalahkan dan berimajinasi menjadi wong kutha?

Di sini, kalaupun harus membangun, maka itu bukan membangun desa karena penduduk desa tidak punya imajinasi desa yang visioner. Akan tetapi, yang lebih realistik dan mungkin anggapan pemerintah, membangun desa yang diproyeksikan membangun kota (baru), dengan mempertimbangkan segala kekurangan dan kelebihannya. Karena bukankah tidak mungkin kita menggunakan kaca spion yang rusak dan terus-menerus dirusak untuk melihat ke belakang?

Toh yang kembali, kalau memang kembali, bukan wong ndesa, tetapi wong kutha dengan setumpuk imajinasi kota dan kepentingannya. Begitukah?

MOHAMAD FAUZI Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
KOMPAS,  Sabtu, 11 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar