Oleh MOHAMAD FAUZI
Pada zaman
sekarang tidak ada orang yang senang disebut wong ndesa (kecuali Thukul
Arwana, mungkin). Imajinasi kolektif kita tentang desa tidak jauh dari
kawasan atau daerah terpencil, terisolasi, tak maju, orang-orang yang
tidak terdidik, terbelakang, gelap, sepi, penuh kemelaratan, hidup yang
keras dan berat.
Kalau ada orang yang melakukan tindakan bodoh,
ceroboh, atau tidak tahu perkembangan terkini atau mode baju, teknologi,
bahasa, atau budaya pop terbaru maka langsung dia dicap ndesa katrok,
wagu, tur gilane. Siapa yang berani menjadi wong ndesa?
Desa bukan
hanya sebuah
kawasan, tetapi juga sebuah imajinasi
kebudayaan dan kekuasaan. Pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, desa
memiliki kuasa dan berstatus ”otonom” yang bisa kapan saja memberontak
pada sebuah kerajaan atau paling tidak berpaling pada
kerajaan
yang lain jika raja
bersikap lalim. Gerakan-gerakan sosial
pada abad ke-19 berpusat
di desa dengan tokoh-tokoh
karismatik dan didukung para petani.
Kekuasaan dan otonomi desa
terus digerus pada zaman
pemerintahan kolonial dengan
cultuurstelsel
(tanam paksa) pada tahun 1830-1870. Kekuasaan
dan otonomi
desa terus digerogoti, meskipun pada 1855
dijamin kembali
melalui
Regeeringsreglement op het beleid der Regeering van
Nederlandsch-Indie (Peraturan pemerintah tentang pengelolaan pemerintah
Hindia Belanda) dan semakin
diperjelas dalam Inslandsche
Gemeente-ordonatie
pada tahun 1905.
Peraturan dan ordonansi tersebut menetapkan desa
sebagai badan hukum otonom dengan hak untuk mengelola persoalan sendiri
dan memilih kepala desa sendiri (Aiko Kurasawa, 1993: 436).
Namun,
yang paling parah adalah pada masa pendudukan Jepang. Sumber daya alam
dan manusia dimobilisasi, dikontrol, dan diperas untuk kepentingan
fasisme Jepang. Di bawah kekuasaan Jepang, desa bersentuhan langsung
dengan negara atau pemerintah. Terhentinya perdagangan luar negeri dan
adanya tuntutan militer secara besar-besaran dari pihak Jepang, maka
terjadi perubahan radikal dalam keseimbangan pasokan dan permintaan
(supply and demand) komoditas.
Penduduk desa dikerahkan untuk
meningkatkan produksi pangan. Petani dipaksa menyerahkan hasil panen.
Distribusi komoditas dikontrol. Penduduk desa dipaksa jadi romusha.
Perangkat sosial kelembagaan desa, seperti tonarigumi (rukun tetangga)
dan nagyô kumiai (koperasi desa), dibentuk dan dikontrol. Tokoh-tokoh
kunci desa, seperti kepala desa dan kyai, ”dididik”, dipegang, dan
dikendalikan. Hasilnya: ”kemiskinan kebendaan dan ketidaknyamanan
psikologis”. (Aiko Kurasawa, 1993).
Dikuasai
dan dikalahkan
Sampai masa Orde Baru dan reformasi, desa
masih terus
dikuasai dan dikalahkan. Semua ini membentuk
imajinasi kita tentang desa yang kalah dan
dikalahkan
secara struktural
oleh para penguasa. Namun, kekalahan yang
sekarang dialami desa adalah kekalahan kultural yang paling parah.
Kebudayaan kota mengalahkan kebudayaan desa agraris (juga pantai).
Kota
berkebudayaan (tinggi),
sedangkan desa tidak
berkebudayaan.
Masuknya listrik, televisi, alat transportasi
seperti motor, alat komunikasi seperti handphone bahkan Blackberry yang
sekarang sedang marak terus menguras harta penduduk desa dengan
produktivitas yang sangat dipertanyakan. Buku-buku pelajaran dan cerita
telah menghilangkan imajinasi penduduk desa tentang desa mereka. Melalui
teknologi dan buku tersebut, setiap hari, bahkan setiap jam, penduduk
desa bergelut dan bersentuhan dengan (imajinasi) kota.
Tidak ada
cerita dari kakek-
nenek tentang gerakan sosial-
politik
di desa. Anak-anak lebih tahu jajan yang diiklankan
televisi
daripada jajan pasar.
Para remaja lekas mengidentifikasi
diri sebagai pemuda urban dan mau melanjutkan pendidikan tinggi di kota
bahkan di kota-kota negara maju. Urbanisasi imajinasi tak terelakkan,
dan nalar urban terbentuk, sebelum akhirnya urbanisasi fisik
dilaksanakan. Tidak ada nostalgia, apalagi bagi generasi muda yang sejak
kecil diasuh dengan imajinasi kota.
Sedikit perbandingan, pada
abad ke-19 muncul gerakan politik populisme di Amerika
Serikat
yang mengusung Semangat Populis. Semangat Populis diejawantahkan dalam
seperangkat pengertian yang tampak di dalam apa yang disebut ”kerinduan”
akan perikehidupan agraris. Taman firdaus kaum Populis tidak berada di
masa mendatang, tetapi di masa silam. Menurut mitos agraris mereka,
sehat tidaknya suatu negara tergantung kepada seberapa banyak kekuasaan
dipegang kaum petani. Mereka ingin mengembalikan kondisi-kondisi pra
industrialisasi dan pra komersialisasi pertanian (Richard Hofstadter,
1991: 133-134). Sementara di Indonesia?
Sampai di sini, saya
sering
bertanya-tanya. Apa maksud slogan bali ndesa,
mbangun desa. Seperti apa desa dalam imajinasi penduduk desa tentang
membangun desa mereka. Apakah penduduk desa masih memiliki imajinasi
desa yang gemah ripah loh jinawi, mengingat setiap hari mereka terus
dikalahkan dan berimajinasi menjadi wong kutha?
Di sini, kalaupun
harus membangun, maka itu bukan membangun desa karena penduduk desa
tidak punya imajinasi desa yang visioner. Akan tetapi, yang lebih
realistik dan mungkin anggapan pemerintah, membangun desa yang
diproyeksikan membangun kota (baru), dengan mempertimbangkan segala
kekurangan dan kelebihannya. Karena bukankah tidak mungkin kita
menggunakan kaca spion yang rusak dan terus-menerus dirusak untuk
melihat ke belakang?
Toh yang kembali, kalau memang kembali, bukan
wong ndesa, tetapi wong kutha dengan setumpuk imajinasi kota dan
kepentingannya.
Begitukah?
MOHAMAD FAUZI Bergiat di Bale
Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
KOMPAS, Sabtu, 11 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar