Bandung Mawardi
Letusan Gunung Merapi melahirkan tanya pelik tentang
nasib Candi Borobudur. Konservasi menjadi urusan genting untuk menjadikan situs
historis ini tegak dan menyapa dunia dalam gelimang kisah. Perlindungan dan
pembersihan abu menandai ada kerawanan atas batu-batu candi. Kerusakan terjadi
sebagai keniscayaan alamiah kendati mekanisme konservasi ditempuhi untuk
minimalisasi. Ikhtiar itu jadi konsekuensi kultural agar Candi Borobudur terus
mengisahkan diri pada dunia. Candi Borobudur pada bulan ini lekas diramaikan
kembali dengan kunjungan turis usai penutupan akibat letusan Gunung
Merapi.
Borobudur merupakan tanda mata peradaban untuk dunia.
Jutaan orang dari pelbagai negeri dari abad ke abad terus menziarahi Candi
Borobudur dengan pelbagai imajinasi dan pencerahan diri. Candi Borobudur belum
usai diziarahi, diimajinasikan, ditafsirkan, dikisahkan, dan dituliskan. Ziarah
peradaban di Candi Borobudur seperti jadi akumulasi ziarah spiritualitas dalam
imajinasi kekekalan dari nostalgia sampai utopia.
Perayaan imajinasi dilakukan oleh para penyair dan
pengarang dari pelbagai negeri pada.
Para penyair melakukan penziarahan lahir-batin untuk intim dengan Candi
Borobudur dan menyuarakan pelbagai pesan kemanusiaan, spiritual, perdamaian,
kultural pada siapa saja. Imajinasi dalam ramuan kata dan makna jadi jalan
untuk merenungkan kembali sejarah peradaban dan kesanggupan manusia meramalkan
diri pada masa depan melalui kesaksian Candi Borobudur. Imajinasi membuat Candi
Borobudur terus mengalami persemaian makna spiritual, historis, dan kultural.
Rabindranath Tagore pernah melakukan kunjungan ke Candi
Borobudur pada 1927. Peziarahan spiritualitas, estetika, dan kultural dari
pujangga India ini terabadikan dalam puisi Borobudur (23 September 1927). Puisi impresif ini menandai
ikatan historis antara India dan Jawa dalam pelbagai manifestasi keagamaan,
sastra, seni, dan kultural. Peraih Nobel Sastra 1913 itu menulis:
Turun-temurun peziarah datang, pencarian suara abadi untuk menyembahnya./
Patung-patung bernyanyi, simfoni besar, isyarat tubuh,/ membawa nama-nama dan
mengganti nama mereka:/ Biarlah Budha jadi pelindungku. Monumen batu telah
tersempurnakan dengan monumen kata dari pujangga dunia. Candi Borobudur seolah
kekal dari zaman ke zaman dengan aura dan jagat makna.
Sejarah
Candi Borobudur dalam narasi sejarah telah lama tak
terjamah dan tak terwatakan pada publik. Sir Thomas Stamford Raffles menjadi
pembuka selubung Candi Borobudur dari kegelapan sejarah pada tahun 1814 melalui
suatu ekspedisi kultural. Raffles ketika itu tidak melihat sendiri keeksotisan
Candi Borobudur tapi mengirimkan utusan untuk melakukan penelitian intensif.
Cornelius jadi utusan karena memiliki pemahaman kuat mengenai percandian di
Jawa. Candi Borobudur sejak itu kembali terwartakan pada dunia.
Raffles mengabadikan Candi Borobudur dalam buku
monumental berjudul History of Java (1817) meski dalam fragmen pendek.
Soekmono (1978) menyebutkan bahwa Raffles pernah memiliki niat untuk menuliskan
dan mengabdikan Candi Borobudur dalam buku tersendiri dalam seri Account of
the Antique of Java tapi proyek ini tak rampung. Abad
XIX menjadi episode untuk menyemaikan kembali makna kesejarahan Candi Borobudur
dalam lakon peradaban manusia di Jawa dengan titik silang pengaruh dari
pelbagai negeri di Timur dan Barat. Candi Borobudur menjelma monumen peradaban
dengan taburan kisah melalui stupa dan narasi relief. Candi Borobudur adalah
catatan panjang peradaban dalam olah spiritualitas, teknologi, dan imajinasi.
Imajinasi adalah kunci penting untuk membaca dan mengkhidmati
Candi Borobudur. Hudaya Kandahjaya dalam The Master Key for Reading
Borobudur Symbolism (1995) menjelaskan bahwa simbolisme di Candi
Borobudur menyimpan rangkaian kisah kompleks mengenai jejak-jejak peradaban
manusia. Pembacaan terhdap simbol-simbol di Candi Borobudur bisa jadi pembuka
pintu misteri mulai dari diskursus penyebaran agama Budha di Nusantara sampai
biografi kekuasaan di Tanah Jawa. Lakon-lakon itu pun terkisahkan melalui
narasi relief. Pembacaan atas relief ini membutuhkan persesuaian dengan bukti
atau data sejarah dan permainan tafsir melalui oleh imajinasi. Candi Borobudur
merangkum imajinasi dari masa lampau dan memberi tanda-tanda untuk mengangankan
masa depan.
Publikasi pelbagai narasi dan tafsir atas relief di Candi
Borobudur merupakan cara mengisahkan Candi Borobudur dalam serapan imajinasi.
Pelbagai kisah itu diedarkan untuk mengekalkan Candi Borobudur dan mengantarkan
pembaca pada imajinasi-imajinasi historis-kultural dan medium mengetahui
biografi Budha. Menziarahi Candi Borobudur tidak selesai jika sekadar
mengunjungi atau menghadirkan diri di candi itu sebab imajinasi juga perlu
untuk menggenapi pengalaman. Ziarah ke Candi Borobudur merupakan ziarah
lahir-batin dan imajinasi menjadi jalan membuka tabir-tabir makna dalam pelbagai
simbolisme dan relief.
Imajinasi
Candi Borobudur tak sekadar diimajinasikan dalam rentetan
sejarah tapi juga termaknai dalam dialektika zaman ini lewat pergumulan kata.
Imajinasi Borobudur menebar pikat untuk mengantarkan orang dalam pengalaman
mistis-estetis. Candi Borobudur jadi sumber dan oase imajinasi. Sitor
Situmorang dalam puisi Mendaki Merapi Menatap Borobudur dengan reflektif
mengajak pembaca dalam oase imajinatif. Peziarahan di Gunung Merapi dan Candi
Borobudur membuat penyair merasakan ekstase atas pengalaman batiniah mengenai
monumen spiritual dan ruang kultural di Jawa.
Candi Borobudur tidak sekadar penanda peradaban tapi
menjelma “rumah imajinasi” untuk mengafirmasi makna-makna kosmologis dan
biografis. Sitor Situmorang menulis Candi Borobudur dalam tendensi
kekhusyukkan: terapung/ di awan/ pulang bersama burung-burung/ menuju
hutan-hutan// masuk bayangan/ dalam kekuasaan dan/ kedalaman// percakapan tanpa
kata-kata// terbalut angin/ dan kebisuan/ kebisuan. Candi Borobudur
memberikan keheningan dan tafakur diri pada lakon peradaban. Imajinasi telah
mewartakan Candi Borobudur dalam tafsiran-tafsiran mumpuni. Puisi juga menandai
jalan mistisime dalam diri penyair. Candi Borobudur telah jadi titik
spiritualitas untuk dimanifestasikan dalam olah kata-imajinasi atas nama
perayaan hidup.
Konstruksi imajinasi dalam olah estetika mengejutkan dan
menantang hadir dalam puisi Afrizal Malna berjudul Borobudur Box. Puisi
panjang ini menarik imajinasi sejarah Candi Borobudur dan pemahaman Magelang
sebagai kota tradisi dalam godaan-godaan modernisasi. Afrizal mengisahkan Candi
Borobudur dan Magelang dengan satire reflektif: Inilah kota yang telah
dibebaskan dari waktu./ Menggunakan batu untuk berbicara denganmu. Tapi/ kamu
tak mengerti. Tak mengerti ciuman batu, tak/ mengerti pelukan batu, tak
mengerti tangan-tangan/ batu yang mengetuk pintumu. Kau anggap semua/ kota sama
seperti baskom yang ada dalam kepalamu./ Karena itu kami memilih untuk
tenggelam, tenggelam/ ke dasar bumi. Satire dalam puisi Afrizal Malna ini
seolah tanda seru bagi pembacaan publik tentang kebermaknaan Candi Borobudur
dalam nalar ekonomistik dan puja situs spiritualitas-kultural.
Linus Suryadi AG juga mengekalkan candi itu dalam puisi Borobudur.
Puisi ini merangkum kepedihan dan pengharapan. Candi Borobudur telah menjelma
komoditas. Borobudur mirip mesin uang. Orang-orang datang untuk memanjakan
hasrat konsumtif. Turis memuaskan diri dalam ketakjuban. Negara mengeruk
untung. Pedagang-pedagang meraup rezeki. Pengusaha menumpuk laba. Spiritualitas
Candi Borobudur mengering dan aura tergantikan pikat modal. Penyair memberi
sindiran: Ada versi lain/ kecuali pusat/ perbelanjaan/ barang kerajinan//
Ada arti lain/ kecuali hakikat/ bangunan suci/ yang diperdagangkan// Tempat
samadi. Ritus kerajaan/ keraton sejati/ ataukah makam?// Warisan ganti/ ajang
penghiburan/ padamlah api/ korban pencucian//
Ada tak terpaut/ dalam timbangan/ kecuali perut/ penghasil income. Candi
Borobudur merana dan manusia enggan mengembalikan kesadaran atas kesucian,
kosmologi, spiritualitas, dan kesejarahan. Candi Borobudur menjelma situs
ekonomistik.
Mengimajinasikan Candi Borobudur dalam puisi adalah
perayaan konstruktif untuk ikut mengurusi Candi Borobudur sebagai suatu
keajaiban peradaban. Agenda wisata dan ziarah spiritual bisa terus dilanjutkan
tapi sebaran pengetahuan mengenai Candi Borobudur melalui publikasi buku
(sastra) perlu dilakukan untuk mengingatkan kesadaran historis-kultural pada
publik. Candi Borobudur adalah persembahan negeri ini untuk dunia. Imajinasi
mungkin menyelamatkan ketimbang realisasi dari pelbagai kebijakan dalam
tendensi kapitalisasi situs historis-kultural demi pemenuhan target agenda
pariwisata. Begitu.