Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Menghormati Pengabdian Sastra

Bandung Mawardi


Judul            : Rona Budaya: Festschrift untuk Sapardi Djoko Damono
Editor                   : Riris K Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta
Penerbit       : Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan HISKI, Jakarta
Cetakan       : Oktober 2010
Tebal           : 360 halaman

Kerja sastra, pengabdian diri dalam menyemai sastra, dan pergumulan menebar benih-benih sastra menjadikan Sapardi Djoko Damono (SDD) sebagai ikon dalam kesusastraan modern di Indonesia. Puisi, esai, dan cerpen telah dipersembahkan. Hasil penelitian, buku-buku pembelajaran sastra, dan produksi sastra terjemahan turut memberi arti geliat sastra di masyarakat akademik. SDD menekuni diri dalam sastra, menyapa publik untuk merayakan sastra, dan memartabatkan negeri melalui agenda pembentukan kultur literasi.
Gairah sastra SDD selama puluhan tahun menjadi alasan untuk penerbitan buku mencakup pelbagai kajian dari kolega, murid, dan pengagum. Buku Rona Budaya sebagai bentuk buku persembahan ulang tahun ke- 70 tahun SDD (1940-2010) merepresentasikan keuletan dan keluasan perspektif SDD dalam kajian sastra dan kultural di Indonesi. Dua puluh esai dalam buku ini lintas keilmuan: sastra, filsafat, perpustakaan, linguistik, arkeologi, dan sejarah. SDD di mata publik tak sekadar penyair. Sosok ini memberi inspirasi dan penyulut dari persemaian kajian keilmuan di ranah akademik dan masyarakat umum.
Riris K Toha-Sarumpaet dan Melane Budianta (editor) menyebut bahwa publikasi buku ini diniatkan sebagai tanda penghargaan pada “usaha, teladan, dan gaya” SDD dalam kerja sastra. Mereka pun menghendaki SDD terus menyulut “kegembiraan” dalam agenda membangun ilmu sastra di Indonesia. Penghormatan ditunaikan dengan pengumpulan pelbagai tulisan sebagai mozaik antusiasme SDD selama mengabdi sebagai penyair, esais, kritikus, penerjemah, redaktur, peneliti, dan dosen.
Donny Gahral Ardian menyuguhkan esai “Tanah Tak Berjejak Para Penyair.” Esai ini seolah lekat dengan proses kreatif SDD dalam puisi. Ardian menyebut bahwa kesunyian, kehampaan, dan keasingan adalah pengamalan purba. Pembaca lekas bakal mengingat tentang buku puisi SDD: DukMu Abadi (1969). Kitab puisi ini pernah ditahbiskan oleh Goenawan Mohamad sebagai “nyanyi sunyi kedua”, sambungan estetis dan tematis dari kepenyairan Amir Hamzah pada masa 1930-an. Lirisisme SDD menjelma tonggak penting dalam tradisi puisi lirik sejak 1970-an sampai hari ini. Buku itu seolah seruan untuk para penyair di Indonesia melahirkan lirik-lirik kekekalan.
Jejak-jejak kepenyairan SDD menciptakan jalan estetis dalam perpuisian mutakhir. Buku-buku puisi Perahu Kertas, Sihir Hujan, Mata Pisau, Akuarium, Hujan Bulan Juni, Mata Jendela, dan Kolam adalah sodoran memikat bagi publik sastra, tanda mata dari babak-babak kerja kreatif penyair. Kebermaknaan puisi-puisi SDD memberi rekah dalam optimisme menghidupi puisi, antusiasme kerja penelitian (kritik sastra), dan pembesaran-perluasan wacana sastra di media. Sosok penyair kalem ini menuai penghargaan melalui suguhan-suguhan puisi. Puisi seolah adalah manifestasi SDD untuk mengucapkan dan mengekalkan diri dalam olah bahasa dan ramuan imajinasi.
Kepenyairan itu dianggapi oleh M Yoesef dengan mengurai pernyataan dari pihak Freedom Insitute saat memilih SDD sebagai penerima Achmad Bakrie Award 2003. SDD diakui telah menunjukkan “pengabdian untuk bidang (puisi) selama empat puluh tahun.”  Pengabdian ini diimbuhi dengan peran SDD dalam “mengkristalkan dan memperbarui tradisi lirik di Indonesia.” Klaim memuncak dalam pernyataan: “Puisi SDD adalah sebuah puncak pencapaian bahasa Indonesia.” Bentuk penghargaan atas kepenyairan SDD adalah berkah dari keberimanan melahirkan, merawat, dan membesarkan puisi di negeri miskin literasi.
SDD memang identik dengan lirisisme. Hal ini menggugah Fridolin Ukur untuk memerkarakan kerja penerjemahan puisi-puisi kalsik Cina oleh SDD. Lirisisme Cina seolah turut memberi pengaruh dari kepenyairan SDD selama ini. Ketertarikan SDD dibuktikan dengan publikasi Puisi Cina Klasik (1976, hasil terjemahan puisi-puisi liris Cina. Inilah kerja penerjemahan SDD atas puisi Li Bai (701-762) berjudul Jin Ye Si. Simaklah: Kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku./ Barangkali salju lembut telah melayang jatuh?/ Kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit,/ Kemudian tertunduk kembali, merenungi bumi. Khas terjemahan ini juga tampak dari kerja penerjemahan SDD atas sekian puisi, cerpen, drama, dan novel dari George Seferis, Ernest Hemingway, Kalidasa, Eugene O’Neill, Okot p’Bitek, Henry James, John Steinbeck, Naquib Mahfoudz, dan Duong Thu Huong.
Harry Avelling (2010) menyebut bahwa kerja penerjemahan ala SDD adalah cara untuk memahami budaya lain. SDD (1999) justru pernah mengatakan bahwa penerjemahan sastra merupakan “kerja pengarang yang mencipta dalam batasan, kungkungan, dan ikatan yang berasal dari karya yang diterjemahkannya.” Kerja ini memang menegangkan, dilematis, dan berisiko. SDD pun memberi konklusi bahwa penerjemah pada akhirnya harus berkhianat agar bisa kreatif dalam penerjemahan. SDD telah membuktikan dan Avelling mengakui SDD berhasil menunjukkan pada publik tentang terjemahan berguna untuk pelbagai tujuan.
Penghormatan atas pengabdian sastra juga ditunjukkan oleh Wahyu Wibowo. SDD bagi Wahyu Wibowo adalah keniscayaan ontologis. Klaim atas relasi intim SDD dan puisi: “Ibarat melihat hubungan SDD dan sepatu sandalnya, keniscayaan ontologis menjadikan diri SDD dan sajak-sajak liriknya saling bergantung. SDD adalah sajak lirik dan sajak lirik adalah SDD.” Pengakuan ini tidak sekadar pujian hiperbolik. Wahyu Wibowo sejak lama menekuni puisi-puisi SDD, peka atas geliat kepenyairan, dan sadar atas anutan estetika. Esai persembahan ini melengkapi dari hasil penelitian Model Waktu dalam Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono (1991). SDD memang pantas mendapati penghormatan tanpa harus dikultuskan dan “dibakukan.” SDD melalui buku ini seolah tanda mata zaman tak usai didefinisikan dan ditafsirkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar