Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Ilusi Jawa

Bandung Mawardi

Bahasa menjadi penentu Jawa. Mantra kekuasaan kolonial membuat Jawa terbuka untuk dibongkar-dibentuk. Jawa sebagai pengetahuan juga memungkinan para Javanalog mengurusi Jawa dalam intimitas dengan politik kolonial. Jawa mirip adonan ganjil dari ulah “tuan” dan “tukang masak” dalam geliat modernitas abad XX dan utopia mendikte nostalgia. Kisah pelik ini kerap terlupakan oleh klaim-klaim kultural dan afirmasi identitas eksklusif.
Solo merupakan ruang fenomenal untuk membentuk Jawa. Kekuasaan tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik. Raja merasa memiliki otoritas secara simbolis dan riil untuk mengantarkan rakyat mencapai utopia. Pemerintah kolonial Belanda melalui agen dan institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa, sastra, seni, ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, pakaian, ekonomi, dan gaya hidup. Gerbang keraton pun terbuka untuk mengonsumsi dan membentuk diri dalam imperatif kolonial. Rakyat menggeliat mengubah diri lahir-batin karena sumber kekuasaan tradisional tampak lekat dengan kekuasaan kolonial. Jawa bergerak menempuhi dua jalan untuk bertemu di ujung gelisah.
Gelagat perubahan dikisahkan dengan apik oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997). Intervensi kolonial tampak dari pembentukan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) sejak abad XIX. Lembaga ini bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas Leiden (Belanda). Bahasa Jawa model Solo pun menjadi ukuran baku. Kesusastraan Jawa moncer dan disemai di keraton dengan bayang-bayang kolonial. Keraton merasa memiliki legitimasi politik dan kultural dalam restu Belanda. Kondisi ini merupakan lakon Jawa menjelang modernitas dan lupa jalan pulang.

Ironi
Pengakuan atas bahasa dan sastra itu masih kentara sampai hari ini karena perayaan primodialisme. Solo adalah pusat Jawa. Legitimasi ini terkesan absolut karena disesaki oleh simbol-simbol tradisional dalam kendali penguasa tradisional. Sejarah Jawa seperti penghuni tua di Solo dengan pelbagai pikat dan kegenitan pemujaan tanpa nalar kritis mengacu pada perselingkuhan politik-kultural kolonial dengan keraton. Solo menyimpan seribu tanya tapi orang jarang memburu jawab untuk membaca ironi dan ilusi Jawa.
Legitimasi kultural oleh Javanalog dari Belanda dan pemerintah kolonial mengakibatkan Jawa abad XX adalah bentukan fenomenal. Shiraishi secara eksplisit memberi konklusi: “Javanalog Belandalah yang ‘menemukan’, ‘mengembalikan’, dan membentuk serta memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.” Konsekuensi dari takdir ini adalah kajian Jawa terpusat di Leiden. Orang Jawa belajar Jawa untuk menemukan “harta karun” justru harus pergi ke sarang Javanalog di Belanda.
Ki Padmasusastra (1843-1926) juga membenarkan ironi kultural itu dengan contoh bahasa. Tokoh ini terlibat dan sadar risiko. Ki Padmasusastra lantang mengungkapkan bahwa telah berlangsung ironi ketika pengelolaan bahasa Jawa dilakukan oleh ahli linguistik Belanda atau elite sarjana di bawah restu politik kolonial. Pembentukan bahasa baku Jawa awal abad XX dan pemberlakuan dalam jagat pendidikan atau agenda kultural kentara jadi kerja ideologis untuk membentuk Jawa. Bahasa sebagai operasionalisasi kekuasaan dan kultural telah luput dari orang Jawa sendiri. Kolonial menjadi tuan. Bahasa bisa digunakan untuk menundukkan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.
Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keraton, priayi, dan elite politik. Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda dengan risiko membenarkan ulah kolonial. Institusi pendidikan, media massa, penerbitan, dan perpustakaan menjadi agen sistematis. Proyek ini mencapai puncak saat ada gelagat penghalusan Jawa dalam ranah politik pada masa revolusi. George D Larson (1990) mengungkapkan bahwa penguasa tradisional di Solo tidak bersimpati dengan revolusi dan tidak sanggup mengambil tindakan progresif atas nama politik-kultural Jawa atau Indonesia.

Agenda
Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka. Ironi menjelma duka karena laju modernitas tak bisa dihentikan atau dilambatkan. Bahasa Jawa tertinggal. Sastra Jawa tanpa sapaan. Tradisi Jawa dalam balutan ilusi kolonial merana. Keprihatinan intensif dilaporkan pada negara dan disodorkan pada publik agar menjadi beban. Ulah ini mengesankan Jawa memerlukan penyelamatan. Kesalahan ditimpakan secara sporadis tapi kesanggupan mengurusi Jawa justru dialamatkan pada pihak-pihak pelupa.
Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkan kembali Jawa digulirkan dengan modal besar, kebijakan politik, dan seruan. Salah satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa tanpa geliat progresif. Agenda ini mirip “perjamuan masalah” tapi menguras modal (uang) melalui restu negara. Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini jarang aplikatif dan mengindikasikan pencerahan. Kesalahan fatal adalah sastra Jawa kerap sekadar dijadikan wacana pinggiran atau catatan kaki. Resistensi pun dilakukan dengan kesanggupan membuat Kongres Sastra Jawa kendati modal kecil dan tampak jauh dari perhatian penguasa. Sastra mungkin sengaja diabsenkan oleh sakit lupa diri dan sesat nalar.
Perhelatan Kongres Bahasa Jawa mungkin sekadar repetisi dari kelungkrahan mengurusi Jawa. Curiga ini pantas diajukan karena nasib bahasa dan sastra Jawa masih sekarat. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tampak setengah hati. Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet. Kejawaaan pun terhimpit oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme. Jawa terkapar tapi terkesan ingin diselamatkan oleh birokrat dan kaum akademisi dengan sorotan suram. Siapa masih mau membentuk Jawa?    

1 komentar: