Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Narasi (Ideologis) Liburan

Bandung Mawardi


Kita mungkin susah menemukan lembaran-lembaran di buku sejarah mengenai liburan. Pertanyaan-pertanyaan bakal menghadapi kebisuan, masuk dalam ruang senyap karena catatan-catatan historis tentang liburan tercecer, foto dan gambar orang liburan pada masa lalu juga masih membutuhkan narasi. Liburan menjadi bab ganjil dari kebiasaan kita melupakan sejarah, menganggap itu kelaziman tanpa pantas dicurigai atau ditelisik terkait kultur kolonialistik, identitas, sirkulasi modal-kapitalisme, etos kerja, manifestasi religiusitas, dan imperatif politik.
Narasi liburan bisa dipelajari dari nukilan naskah Liburan Seniman (1944) garapan Usmar Ismail. Naskah ini mengisahkan kehidupan kaum seniman, konflik keluarga, beban kerja, dan politik. Situasi kerja, interaksi keluarga, dan kondisi politik membuat orang rentan depresi, kehilangan gairah hidup, dan mati oleh rutinitas. Liburan diangankan sebagai prosedur untuk melepas penat, menghibur diri, mengembalikan energi hidup, dan rekonsiliasi sosial. Liburan adalah jeda, akibat, risiko, dan argumentasi. Narasi liburan dalam naskah itu gamblang diucapkan oleh tokoh Kajiman: “... seniman berlibur kalau ia bisa kerja. Ia cuma manusia biasa, tapi bedanya ialah: Seniman baru merasa berlibur kalau ia kerja mati-matian, lupa yang lain sama sekali.” Kerja dan liburan seolah ada dalam kausalitas. Konsep ini kentara mengandung aroma pikiran Barat karena memahami waktu sebagai kerja, liburan sebagai mekanisme kapitalistik, dan liburan adalah urusan dari jejaring politik-ekonomi.
Jejak narasi liburan ala Liburan Seniman adalah sambungan dari kultur liburan bagi pribumi pada awal abad XX. Narasi lama itu bisa disimak novel Student Hidjo (1919) garapan Mas Marco Kartodikromo. Konsep liburan atau plesir ala Barat sudah merasuki kaum pribumi. Latar kota, kelas sosial, jalan dan transportasi, industri hiburan, dan politik kolonial menjadi aksentuasi tentang makna liburan. Tokoh Hidjo dan Biroe dikisahkan plesir ke Sriwedari (Solo) untuk melihat keramaian dan menghibur diri. Deskripsi liburan orang-orang di Solo seolah merepresentasikan kultur kota modern: “Orang-orang yang ada di situ sudah berkumpul sesuai dengan selera masing-masing. Ada yang melihat wayang, ada yang melihat bioskop dan ada yang duduk-duduk di restoran sambil omong-omong satu dengan yang lainnya.” Liburan identik dengan hiburan, tempat wisata, kerumunan orang, dan laku konsumsi.

Liburan
Kultur manusia kota ini diimbuhi dengan laku liburan ala penguasa Jawa. Para raja di Keraton Solo memiliki masa dan model liburan dalam adonan referensi tradisional dan paham kemodernan. Paku Buwana VII, Paku Buwana IX, dan Paku Buwana X memiliki kebiasaan liburan untuk hiburan, pamer kekuasaan, dan modernisasi kultur keraton. Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (1989) mencatat bahwa masing-masing raja memiliki kebiasaan membangun pasanggrahan sebagai bukti kultur liburan penguasa. Liburan mengandung makna politis, kultural, estetis, dan ekonomis. Liburan raja menjelma pusat perhatian pemerintah kolonial dan rakyat.
Liburan itu memerlukan perhitungan makna melalui pakaian, kereta, kuda, rute, pengiring, jenis permainan, dan waktu. Serat Natacangkrama mencatat perjalanan raja dan kerabat keraton menuju pasanggrahan Langenharja dengan menunggang kuda. Narasi liburan ini menggerakkan kekuasaan, menjadi permainan simbolik, dan menebar kontrol politik-kultural. Liburan sebagai ekspresi simbolik politik-kultural tampil pada sosok Paku Buwana X. Raja Jawa ini lihai dalam mengolah makna liburan sebagai pernyataan kekuasaan di mata pemerintah kolonial dan rakyat.
          Paku Buwana X memilki kebiasaan liburan ke pasanggrahan Karangpandan di kaki Gunung Lawu. Peserta liburan adalah orang-orang pilihan. Dana besar digelontorkan untuk menopang segala keperluan demi kepuasan dan makna liburan. Perjalanan dari Solo ke Karangpandan menggunakan kereta dan mobil. Rakyat memerlukan diri untuk jongkok, menyembah, memberi hormat setiap melihat rombongan raja saat melewati rute perjalanan. Desa Karangpandan menjadi ramai dan sibuk. Keperluan makanan dan hiburan jadi urusan penting untuk turut memaknai liburan raja dan kerabat keraton. Beban itu kadang ditimpakan pada penguasa lokal dan rakyat setempat.
Liburan adalah urusan kompleks mengenai politik, seni, konsumsi, modernisasi, spiritualitas, dan kultural. Suparto Brata dalam novel Generasi yang Hilang (1981) memberi pesan kritis bahwa kultur liburan penguasa ala Paku Buwana X merepresentasikan perubahan tata kehidupan Jawa tradisional. Tata kehidupan baru (kemodernan) muncul dan ditafsirkan oleh raja sebagai medium manifestasi kekuasaan. Narasi liburan bisa terpahami sebagai narasi kekuasaan dan modernisasi di Jawa. Liburan pun jadi pengesahan dari pembentukan kultur kota.  Djoko Soekiman (2000) mengartikan kultur kota itu imbas dari penetrasi kultur Indis di Solo. Liburan adalah bagian dari konstruksi gaya hidup kota, representasi modernitas, dan geliat politik-ekonomi kota.

Makna
Pemaknaan liburan itu lekas memendar melalui institusi sekolah, buku, dan pers. Monopoli makna liburan ala penguasa, priyayi, masyarakat kolonial, dan kalangan menengah-atas perlahan terserap pada kalangan umum. Liburan masuk sebagai bacaan di buku pelajaran, sekolah memiliki jadwal liburan, dan buku-buku bacaan mengenalkan publik pada kultur liburan. Imajinasi dan praksis liburan milik semua orang karena pelbagai argumentasi dan pamrih.
Pengenalan liburan dalam makna-makna modernitas menyusup dengan gampang dan ajaib dalam diri kita melalui sekolah. Narasi liburan kita pun menjelma misi konsumsi, hiburan, edukasi, spiritualitas, atau politik. Narasi liburan dalam buku Titian (1960) susunan R. M. Djamain, bacaan murid sekolah rendah, bisa jadi indikasi pemaknaan liburan adalah kota, belanja, dan hiburan. Tokoh Ali dikisahkan liburan ke kota naik kereta api. Ali mengenakan pakaian bagus untuk menandai mau pergi ke kota. Ali melihat rumah-rumah bagus, jalan besar, mobil, bendi, toko. Realitas ajaib kota membuat Ali takjub karena hal-hal itu tak ada di desa. Ali ingin membeli pelbagai barang tapi uang tak mencukupi. Ali merasa senang dan terhibur saat bisa pergi ke pasar malam melihat pertunjukan sulap. Liburan adalah keajaiban! Ali memaknai liburan dalam olahan pelbagai kepentingan keluarga, sekolah, pasar, dan negara.
Ilustrasi-ilustrasi di atas sekadar ajakan untuk mengingat proses ideologisasi liburan dalam kehidupan kita. Makna liburan sekarang tentu semakin mengentalkan imperatif negara, rezim konsumsi, kuasa kapitalisme, dan pameran identitas. Liburan jadi urusan besar untuk menteri pariwisata, pengelola sekolah, pengusaha perhotelan, pengelola tempat wisata, bupati, gubernur, agen perjalanan, televisi, mal, pemandu wisata, konsultan wisata, tukang becak, dan pedagang kaki lima. Liburan menjadi narasi ideologis! Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar