Bandung Mawardi
Kita mungkin susah menemukan lembaran-lembaran di buku
sejarah mengenai liburan. Pertanyaan-pertanyaan bakal menghadapi kebisuan,
masuk dalam ruang senyap karena catatan-catatan historis tentang liburan
tercecer, foto dan gambar orang liburan pada masa lalu juga masih membutuhkan
narasi. Liburan menjadi bab ganjil dari kebiasaan kita melupakan sejarah,
menganggap itu kelaziman tanpa pantas dicurigai atau ditelisik terkait kultur
kolonialistik, identitas, sirkulasi modal-kapitalisme, etos kerja, manifestasi religiusitas,
dan imperatif politik.
Narasi liburan bisa dipelajari dari nukilan naskah Liburan
Seniman (1944) garapan Usmar Ismail. Naskah ini mengisahkan kehidupan kaum
seniman, konflik keluarga, beban kerja, dan politik. Situasi kerja, interaksi
keluarga, dan kondisi politik membuat orang rentan depresi, kehilangan gairah
hidup, dan mati oleh rutinitas. Liburan diangankan sebagai prosedur untuk
melepas penat, menghibur diri, mengembalikan energi hidup, dan rekonsiliasi
sosial. Liburan adalah jeda, akibat, risiko, dan argumentasi. Narasi liburan
dalam naskah itu gamblang diucapkan oleh tokoh Kajiman: “... seniman berlibur
kalau ia bisa kerja. Ia cuma manusia biasa, tapi bedanya ialah: Seniman baru
merasa berlibur kalau ia kerja mati-matian, lupa yang lain sama sekali.” Kerja
dan liburan seolah ada dalam kausalitas. Konsep ini kentara mengandung aroma
pikiran Barat karena memahami waktu sebagai kerja, liburan sebagai mekanisme
kapitalistik, dan liburan adalah urusan dari jejaring politik-ekonomi.
Jejak narasi liburan ala Liburan Seniman adalah
sambungan dari kultur liburan bagi pribumi pada awal abad XX. Narasi lama itu
bisa disimak novel Student Hidjo (1919) garapan Mas Marco Kartodikromo.
Konsep liburan atau plesir ala Barat sudah merasuki kaum pribumi. Latar
kota, kelas sosial, jalan dan transportasi, industri hiburan, dan politik
kolonial menjadi aksentuasi tentang makna liburan. Tokoh Hidjo dan Biroe
dikisahkan plesir ke Sriwedari (Solo) untuk melihat keramaian dan
menghibur diri. Deskripsi liburan orang-orang di Solo seolah merepresentasikan
kultur kota modern: “Orang-orang yang ada di situ sudah berkumpul sesuai dengan
selera masing-masing. Ada yang melihat wayang, ada yang melihat bioskop dan ada
yang duduk-duduk di restoran sambil omong-omong satu dengan yang lainnya.”
Liburan identik dengan hiburan, tempat wisata, kerumunan orang, dan laku
konsumsi.
Liburan
Kultur manusia kota ini diimbuhi dengan laku liburan ala
penguasa Jawa. Para raja di Keraton Solo memiliki masa dan model liburan dalam
adonan referensi tradisional dan paham kemodernan. Paku Buwana VII, Paku Buwana
IX, dan Paku Buwana X memiliki kebiasaan liburan untuk hiburan, pamer
kekuasaan, dan modernisasi kultur keraton. Darsiti Soeratman dalam Kehidupan
Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (1989) mencatat bahwa masing-masing raja
memiliki kebiasaan membangun pasanggrahan sebagai bukti kultur liburan
penguasa. Liburan mengandung makna politis, kultural, estetis, dan ekonomis.
Liburan raja menjelma pusat perhatian pemerintah kolonial dan rakyat.
Liburan itu memerlukan perhitungan makna melalui pakaian,
kereta, kuda, rute, pengiring, jenis permainan, dan waktu. Serat
Natacangkrama mencatat perjalanan raja dan kerabat keraton menuju pasanggrahan
Langenharja dengan menunggang kuda. Narasi liburan ini menggerakkan kekuasaan,
menjadi permainan simbolik, dan menebar kontrol politik-kultural. Liburan
sebagai ekspresi simbolik politik-kultural tampil pada sosok Paku Buwana X.
Raja Jawa ini lihai dalam mengolah makna liburan sebagai pernyataan kekuasaan di
mata pemerintah kolonial dan rakyat.
Paku Buwana X memilki
kebiasaan liburan ke pasanggrahan Karangpandan di kaki Gunung Lawu. Peserta
liburan adalah orang-orang pilihan. Dana besar digelontorkan untuk menopang
segala keperluan demi kepuasan dan makna liburan. Perjalanan dari Solo ke
Karangpandan menggunakan kereta dan mobil. Rakyat memerlukan diri untuk
jongkok, menyembah, memberi hormat setiap melihat rombongan raja saat melewati
rute perjalanan. Desa Karangpandan menjadi ramai dan sibuk. Keperluan makanan
dan hiburan jadi urusan penting untuk turut memaknai liburan raja dan kerabat
keraton. Beban itu kadang ditimpakan pada penguasa lokal dan rakyat setempat.
Liburan adalah urusan kompleks mengenai politik, seni,
konsumsi, modernisasi, spiritualitas, dan kultural. Suparto Brata dalam novel Generasi
yang Hilang (1981) memberi pesan kritis bahwa kultur liburan penguasa ala
Paku Buwana X merepresentasikan perubahan tata kehidupan Jawa tradisional. Tata
kehidupan baru (kemodernan) muncul dan ditafsirkan oleh raja sebagai medium
manifestasi kekuasaan. Narasi liburan bisa terpahami sebagai narasi kekuasaan
dan modernisasi di Jawa. Liburan pun jadi pengesahan dari pembentukan kultur
kota. Djoko Soekiman (2000) mengartikan kultur
kota itu imbas dari penetrasi kultur Indis di Solo. Liburan adalah bagian dari
konstruksi gaya hidup kota, representasi modernitas, dan geliat politik-ekonomi
kota.
Makna
Pemaknaan liburan itu lekas memendar melalui institusi
sekolah, buku, dan pers. Monopoli makna liburan ala penguasa, priyayi,
masyarakat kolonial, dan kalangan menengah-atas perlahan terserap pada kalangan
umum. Liburan masuk sebagai bacaan di buku pelajaran, sekolah memiliki jadwal
liburan, dan buku-buku bacaan mengenalkan publik pada kultur liburan. Imajinasi
dan praksis liburan milik semua orang karena pelbagai argumentasi dan pamrih.
Pengenalan liburan dalam makna-makna modernitas menyusup
dengan gampang dan ajaib dalam diri kita melalui sekolah. Narasi liburan kita
pun menjelma misi konsumsi, hiburan, edukasi, spiritualitas, atau politik.
Narasi liburan dalam buku Titian (1960) susunan R. M. Djamain, bacaan
murid sekolah rendah, bisa jadi indikasi pemaknaan liburan adalah kota,
belanja, dan hiburan. Tokoh Ali dikisahkan liburan ke kota naik kereta api. Ali
mengenakan pakaian bagus untuk menandai mau pergi ke kota. Ali melihat
rumah-rumah bagus, jalan besar, mobil, bendi, toko. Realitas ajaib kota membuat
Ali takjub karena hal-hal itu tak ada di desa. Ali ingin membeli pelbagai
barang tapi uang tak mencukupi. Ali merasa senang dan terhibur saat bisa pergi
ke pasar malam melihat pertunjukan sulap. Liburan adalah keajaiban! Ali
memaknai liburan dalam olahan pelbagai kepentingan keluarga, sekolah, pasar,
dan negara.
Ilustrasi-ilustrasi di atas sekadar ajakan untuk mengingat
proses ideologisasi liburan dalam kehidupan kita. Makna liburan sekarang tentu
semakin mengentalkan imperatif negara, rezim konsumsi, kuasa kapitalisme, dan
pameran identitas. Liburan jadi urusan besar untuk menteri pariwisata,
pengelola sekolah, pengusaha perhotelan, pengelola tempat wisata, bupati,
gubernur, agen perjalanan, televisi, mal, pemandu wisata, konsultan wisata, tukang
becak, dan pedagang kaki lima. Liburan menjadi narasi ideologis! Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar