Bandung Mawardi
Jelang dan usai pergantian tahun, penjaja kalender
bertebaran di pinggir jalan dan keliling kampung. Toko-toko buku turut
menyediakan dagangan kalender. Bank, koran, perusahaan, koperasi, sekolah, atau
penerbit buku turut mencetak kalender, membagikan sebagai hadiah atau tanda
mata. Bulan Desember menjelma musim kalender. Orang pun melihat kalender
sebagai simbol kehidupan: pergantian hari, kesadaran waktu, eksistensi diri,
atau rutinitas kerja. Antologi kisah kita ada dalam kalender. Mengenangkan
kalender, mengenangkan hidup.
Joko Pinurbo, pujangga asal Jogja, turut memaknai
kalender untuk mengisahkan nasib penjaja kalender dan falsafah waktu bagi
manusia. Satire dan alegori termaktub dalam larik-larik puisi impresif: Lelaki
tua berulang kali menghitung receh di tangan/ barang dagangannya sedikit sekali
terbeli./ “Makin lama waktu makin tidak laku,” ia berkeluh sendiri./ Anaknya
tertidur pulas di atas tumpukan kalender/ yang sudah mereka jajakan
berhari-hari. Kisah sedih pedagang kalender dalam puisi Penjual Kalender
ini adalah interupsi bagi kita untuk merenungkan makna rezeki, luapan ekspresif
perayaan tahun baru, kesadaran waktu, manifestasi nilai-nilai kemanusiaan.
Kalender tidak sekadar lembaran-lembaran kertas bertaburan angka, nama hari dan
bulan, atau gambar. Pedagang kalender pun menjelma representasi kepentingan
kita atas tanda-tanda waktu dan afirmasi lakon-lakon hidup dalam hitungan
waktu.
Pedagang itu sedih, pengharapan rezeki tak sesuai dengan
prediksi. Suara pedagang kalender mungkin mengingatkan kita aras kebermaknaan
waktu. Ia membangunkan si anak sambil mengatakan: Besok kembalikan saja
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu. Ada getir dan sentilan untuk
kita mengingat kembali (sejarah) kesadaran waktu. Simbolisme dan sistematisasi
tanda-tanda waktu dalam kalender adalah konstruksi rasionalitas modern. Kita
mengenali kalender sebagai hasil kerja sains, kultural, dan spiritualitas dari
abad ke abad. Jadi, kalender adalah penemuan modern, edisi sambungan dari
kesadaran waktu manusia saat merancang sistem waktu dalam bentuk jam air, jam
pasir, jam lilin, dan jam mekanik.
Kalender menjadi representasi sejarah pertemuan,
perbenturan, dan persilangan dari pelbagai peradaban, agama, sistem teknologi,
dan imajinasi. Selama sekian abad, kita pun mengenali sistem kalender Mesir
Kuno, Gregorian, Hijriah, Julian, Jawa, atau Saka. Dunia bergerak karena
kepemilikan sistem waktu dalam bentuk kalender. Sistematisasi waktu ala Barat
lalu disebarkan ke pelbagai penjuru dunia dengan kolonialisme, misi agama,
perdagangan, atau globalisasi. Homogenisasi sistem waktu kentara dengan
perayaan tahun baru ala Masehi di pelbagai negara tanpa membedakan agama,
etnis, ideologi, atau jenis kelamin.
Sejak kapan kita mengenal dan menerima sistem waktu dalam
bentuk jam dan kalender? Pertanyaan ini susah menemukan jawaban paripurna.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) menemukan jejak
kesadaran waktu karena jam dalam sebuah artikel berjudul Djam. Artikel
ini kemungkinan ditulis oleh seorang perempuan tanpa menyebut nama dan dimuat
di Soenting Melajoe: Soerat Chabar Perempoean di Alam Minang, 24
September 1915. Kesadaran waktu tampak dalam kutipan ini: Djika kita
hati-hatikan benar ada lagi iang diteriakkan djam itoe; dengarkanlah olehmoe:
‘Kerdja! Kerdja! Kerdja!’ Konsep waktu kita sudah diintervensi oleh nalar
hidup Barat.
Paham waktu adalah kerja, waktu adalah uang,
merepresentasikan penerimaan konsep dan sistem waktu (jam dan kalender)
bersumber dari kolonial. Sejarah jam di Nusantara juga bisa ditelisik dari niat
dan efek pendirian Jam Gadang (Sumatera Barat) pada 1926. Konon, Jam Gadang ini
merupakan hadiah dari Ratu Belanda pada Controleur Bukittinggi. Masyarakat di
Jawa juga dikenalkan jam secara komersial melalui almanak dan iklan-iklan di
majalah pada 1930-an. Pengetahuan tentang waktu modern dalam bentuk jam ada
dalam Volks Almanak Djawi, Kadjawen, dan Panji Pustaka.
Iklan jam adalah model edukasi waktu ala Barat.
Perihal sejarah kalender belum ada jejak-jejak eksplisit.
Kita justru mengenali dan melihat kalender dalam kelaziman tanpa ada curiga
untuk menelisik aspek historis, ideologis, atau teologis. Kalender cetak biasa
memuat tanda-tanda dari pelbagai peradaban dan agama. Kita bisa temukan unsur
Islam dalam angka dan nama-nama hari, unsur Barat dalam nama-nama bulan dan
nama hari Minggu, unsur Jawa dalam nama-nama hari pasaran. Penanda dalam bentuk
gambar, ilustrasi, foto kadang juga menyeret dalam pembacaan pelbagai pamrih
dan makna kalender bagi kita. Kalender tak sekadar bicara waktu karena ilmu
pengetahuan, biografi kultural, dan imajinasi turut dialirkan dalam tatapan
mata dan renungan.
Perayaan pergantian tahun adalah perayaan waktu.
Kebiasaan mengganti kalender lama dengan kalender baru merupakan ritus dalam
jejaring pengetahuan. Kita mungkin kerap alpa dan tidak memiliki ikatan
referensial atas kalender. Kondisi ini lazim karena kita lengah dalam kesadaran
waktu untuk menapaki titian sejarah diri, identitas, nalar kultural, imajinasi,
spiritualitas, atau teknologi. Pergantian kalender adalah tanda seru untuk kita
merenungi kembali makna waktu. Kalender bersama jam menjelma simbol dari
antologi kisah kita: kenangan masa lalu dan pengharapan masa depan.
Kalender dan jam adalah urusan waktu. Kita bakal
mengalami itu dalam puisi Yang Fana
adalah Waktu garapan Sapardi Djoko Damono. Kita dan waktu dikisahkan dalam
perbedaan nasib dan makna. Simaklah: Yang fana adalah waktu. Kita abadi:/
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga/ sampai pada suatu hari/
kita lupa untuk apa./ “Tapi,/ yang fana adalah waktu, bukan?”/ tanyamu. Kita
abadi. Puisi menyulut kesadaran waktu dalam otoritas manusia. Waktu dialami
dalam diri manusia. Perayaan waktu muncul dalam ritus hidup keseharian.
Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar