Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Perayaan Waktu


Bandung Mawardi


Jelang dan usai pergantian tahun, penjaja kalender bertebaran di pinggir jalan dan keliling kampung. Toko-toko buku turut menyediakan dagangan kalender. Bank, koran, perusahaan, koperasi, sekolah, atau penerbit buku turut mencetak kalender, membagikan sebagai hadiah atau tanda mata. Bulan Desember menjelma musim kalender. Orang pun melihat kalender sebagai simbol kehidupan: pergantian hari, kesadaran waktu, eksistensi diri, atau rutinitas kerja. Antologi kisah kita ada dalam kalender. Mengenangkan kalender, mengenangkan hidup.
Joko Pinurbo, pujangga asal Jogja, turut memaknai kalender untuk mengisahkan nasib penjaja kalender dan falsafah waktu bagi manusia. Satire dan alegori termaktub dalam larik-larik puisi impresif: Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan/ barang dagangannya sedikit sekali terbeli./ “Makin lama waktu makin tidak laku,” ia berkeluh sendiri./ Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender/ yang sudah mereka jajakan berhari-hari. Kisah sedih pedagang kalender dalam puisi Penjual Kalender ini adalah interupsi bagi kita untuk merenungkan makna rezeki, luapan ekspresif perayaan tahun baru, kesadaran waktu, manifestasi nilai-nilai kemanusiaan. Kalender tidak sekadar lembaran-lembaran kertas bertaburan angka, nama hari dan bulan, atau gambar. Pedagang kalender pun menjelma representasi kepentingan kita atas tanda-tanda waktu dan afirmasi lakon-lakon hidup dalam hitungan waktu.
Pedagang itu sedih, pengharapan rezeki tak sesuai dengan prediksi. Suara pedagang kalender mungkin mengingatkan kita aras kebermaknaan waktu. Ia membangunkan si anak sambil mengatakan: Besok kembalikan saja kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu. Ada getir dan sentilan untuk kita mengingat kembali (sejarah) kesadaran waktu. Simbolisme dan sistematisasi tanda-tanda waktu dalam kalender adalah konstruksi rasionalitas modern. Kita mengenali kalender sebagai hasil kerja sains, kultural, dan spiritualitas dari abad ke abad. Jadi, kalender adalah penemuan modern, edisi sambungan dari kesadaran waktu manusia saat merancang sistem waktu dalam bentuk jam air, jam pasir, jam lilin, dan jam mekanik.
Kalender menjadi representasi sejarah pertemuan, perbenturan, dan persilangan dari pelbagai peradaban, agama, sistem teknologi, dan imajinasi. Selama sekian abad, kita pun mengenali sistem kalender Mesir Kuno, Gregorian, Hijriah, Julian, Jawa, atau Saka. Dunia bergerak karena kepemilikan sistem waktu dalam bentuk kalender. Sistematisasi waktu ala Barat lalu disebarkan ke pelbagai penjuru dunia dengan kolonialisme, misi agama, perdagangan, atau globalisasi. Homogenisasi sistem waktu kentara dengan perayaan tahun baru ala Masehi di pelbagai negara tanpa membedakan agama, etnis, ideologi, atau jenis kelamin.
Sejak kapan kita mengenal dan menerima sistem waktu dalam bentuk jam dan kalender? Pertanyaan ini susah menemukan jawaban paripurna. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) menemukan jejak kesadaran waktu karena jam dalam sebuah artikel berjudul Djam. Artikel ini kemungkinan ditulis oleh seorang perempuan tanpa menyebut nama dan dimuat di Soenting Melajoe: Soerat Chabar Perempoean di Alam Minang, 24 September 1915. Kesadaran waktu tampak dalam kutipan ini: Djika kita hati-hatikan benar ada lagi iang diteriakkan djam itoe; dengarkanlah olehmoe: ‘Kerdja! Kerdja! Kerdja!’ Konsep waktu kita sudah diintervensi oleh nalar hidup Barat.
Paham waktu adalah kerja, waktu adalah uang, merepresentasikan penerimaan konsep dan sistem waktu (jam dan kalender) bersumber dari kolonial. Sejarah jam di Nusantara juga bisa ditelisik dari niat dan efek pendirian Jam Gadang (Sumatera Barat) pada 1926. Konon, Jam Gadang ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda pada Controleur Bukittinggi. Masyarakat di Jawa juga dikenalkan jam secara komersial melalui almanak dan iklan-iklan di majalah pada 1930-an. Pengetahuan tentang waktu modern dalam bentuk jam ada dalam Volks Almanak Djawi, Kadjawen, dan Panji Pustaka. Iklan jam adalah model edukasi waktu ala Barat.     
Perihal sejarah kalender belum ada jejak-jejak eksplisit. Kita justru mengenali dan melihat kalender dalam kelaziman tanpa ada curiga untuk menelisik aspek historis, ideologis, atau teologis. Kalender cetak biasa memuat tanda-tanda dari pelbagai peradaban dan agama. Kita bisa temukan unsur Islam dalam angka dan nama-nama hari, unsur Barat dalam nama-nama bulan dan nama hari Minggu, unsur Jawa dalam nama-nama hari pasaran. Penanda dalam bentuk gambar, ilustrasi, foto kadang juga menyeret dalam pembacaan pelbagai pamrih dan makna kalender bagi kita. Kalender tak sekadar bicara waktu karena ilmu pengetahuan, biografi kultural, dan imajinasi turut dialirkan dalam tatapan mata dan renungan.
Perayaan pergantian tahun adalah perayaan waktu. Kebiasaan mengganti kalender lama dengan kalender baru merupakan ritus dalam jejaring pengetahuan. Kita mungkin kerap alpa dan tidak memiliki ikatan referensial atas kalender. Kondisi ini lazim karena kita lengah dalam kesadaran waktu untuk menapaki titian sejarah diri, identitas, nalar kultural, imajinasi, spiritualitas, atau teknologi. Pergantian kalender adalah tanda seru untuk kita merenungi kembali makna waktu. Kalender bersama jam menjelma simbol dari antologi kisah kita: kenangan masa lalu dan pengharapan masa depan.
Kalender dan jam adalah urusan waktu. Kita bakal mengalami itu dalam  puisi Yang Fana adalah Waktu garapan Sapardi Djoko Damono. Kita dan waktu dikisahkan dalam perbedaan nasib dan makna. Simaklah: Yang fana adalah waktu. Kita abadi:/ memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga/ sampai pada suatu hari/ kita lupa untuk apa./ “Tapi,/ yang fana adalah waktu, bukan?”/ tanyamu. Kita abadi. Puisi menyulut kesadaran waktu dalam otoritas manusia. Waktu dialami dalam diri manusia. Perayaan waktu muncul dalam ritus hidup keseharian. Begitu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar