Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Monumen Batu dan Kata Merekah

Bandung Mawardi


Letusan Gunung Merapi melahirkan tanya pelik tentang nasib Candi Borobudur. Konservasi menjadi urusan genting untuk menjadikan situs historis ini tegak dan menyapa dunia dalam gelimang kisah. Perlindungan dan pembersihan abu menandai ada kerawanan atas batu-batu candi. Kerusakan terjadi sebagai keniscayaan alamiah kendati mekanisme konservasi ditempuhi untuk minimalisasi. Ikhtiar itu jadi konsekuensi kultural agar Candi Borobudur terus mengisahkan diri pada dunia. Candi Borobudur pada bulan ini lekas diramaikan kembali dengan kunjungan turis usai penutupan akibat letusan Gunung Merapi. 
Borobudur merupakan tanda mata peradaban untuk dunia. Jutaan orang dari pelbagai negeri dari abad ke abad terus menziarahi Candi Borobudur dengan pelbagai imajinasi dan pencerahan diri. Candi Borobudur belum usai diziarahi, diimajinasikan, ditafsirkan, dikisahkan, dan dituliskan. Ziarah peradaban di Candi Borobudur seperti jadi akumulasi ziarah spiritualitas dalam imajinasi kekekalan dari nostalgia sampai utopia.
Perayaan imajinasi dilakukan oleh para penyair dan pengarang  dari pelbagai negeri pada. Para penyair melakukan penziarahan lahir-batin untuk intim dengan Candi Borobudur dan menyuarakan pelbagai pesan kemanusiaan, spiritual, perdamaian, kultural pada siapa saja. Imajinasi dalam ramuan kata dan makna jadi jalan untuk merenungkan kembali sejarah peradaban dan kesanggupan manusia meramalkan diri pada masa depan melalui kesaksian Candi Borobudur. Imajinasi membuat Candi Borobudur terus mengalami persemaian makna spiritual, historis, dan kultural.
Rabindranath Tagore pernah melakukan kunjungan ke Candi Borobudur pada 1927. Peziarahan spiritualitas, estetika, dan kultural dari pujangga India ini terabadikan dalam puisi Borobudur  (23 September 1927). Puisi impresif ini menandai ikatan historis antara India dan Jawa dalam pelbagai manifestasi keagamaan, sastra, seni, dan kultural. Peraih Nobel Sastra 1913 itu menulis: Turun-temurun peziarah datang, pencarian suara abadi untuk menyembahnya./ Patung-patung bernyanyi, simfoni besar, isyarat tubuh,/ membawa nama-nama dan mengganti nama mereka:/ Biarlah Budha jadi pelindungku. Monumen batu telah tersempurnakan dengan monumen kata dari pujangga dunia. Candi Borobudur seolah kekal dari zaman ke zaman dengan aura dan jagat makna. 

Sejarah
Candi Borobudur dalam narasi sejarah telah lama tak terjamah dan tak terwatakan pada publik. Sir Thomas Stamford Raffles menjadi pembuka selubung Candi Borobudur dari kegelapan sejarah pada tahun 1814 melalui suatu ekspedisi kultural. Raffles ketika itu tidak melihat sendiri keeksotisan Candi Borobudur tapi mengirimkan utusan untuk melakukan penelitian intensif. Cornelius jadi utusan karena memiliki pemahaman kuat mengenai percandian di Jawa. Candi Borobudur sejak itu kembali terwartakan pada dunia.
Raffles mengabadikan Candi Borobudur dalam buku monumental berjudul History of Java (1817) meski dalam fragmen pendek. Soekmono (1978) menyebutkan bahwa Raffles pernah memiliki niat untuk menuliskan dan mengabdikan Candi Borobudur dalam buku tersendiri dalam seri Account of the Antique of Java tapi proyek ini tak rampung. Abad XIX menjadi episode untuk menyemaikan kembali makna kesejarahan Candi Borobudur dalam lakon peradaban manusia di Jawa dengan titik silang pengaruh dari pelbagai negeri di Timur dan Barat. Candi Borobudur menjelma monumen peradaban dengan taburan kisah melalui stupa dan narasi relief. Candi Borobudur adalah catatan panjang peradaban dalam olah spiritualitas, teknologi, dan imajinasi.
Imajinasi adalah kunci penting untuk membaca dan mengkhidmati Candi Borobudur. Hudaya Kandahjaya dalam The Master Key for Reading Borobudur Symbolism (1995) menjelaskan bahwa simbolisme di Candi Borobudur menyimpan rangkaian kisah kompleks mengenai jejak-jejak peradaban manusia. Pembacaan terhdap simbol-simbol di Candi Borobudur bisa jadi pembuka pintu misteri mulai dari diskursus penyebaran agama Budha di Nusantara sampai biografi kekuasaan di Tanah Jawa. Lakon-lakon itu pun terkisahkan melalui narasi relief. Pembacaan atas relief ini membutuhkan persesuaian dengan bukti atau data sejarah dan permainan tafsir melalui oleh imajinasi. Candi Borobudur merangkum imajinasi dari masa lampau dan memberi tanda-tanda untuk mengangankan masa depan.
Publikasi pelbagai narasi dan tafsir atas relief di Candi Borobudur merupakan cara mengisahkan Candi Borobudur dalam serapan imajinasi. Pelbagai kisah itu diedarkan untuk mengekalkan Candi Borobudur dan mengantarkan pembaca pada imajinasi-imajinasi historis-kultural dan medium mengetahui biografi Budha. Menziarahi Candi Borobudur tidak selesai jika sekadar mengunjungi atau menghadirkan diri di candi itu sebab imajinasi juga perlu untuk menggenapi pengalaman. Ziarah ke Candi Borobudur merupakan ziarah lahir-batin dan imajinasi menjadi jalan membuka tabir-tabir makna dalam pelbagai simbolisme dan relief.

Imajinasi
Candi Borobudur tak sekadar diimajinasikan dalam rentetan sejarah tapi juga termaknai dalam dialektika zaman ini lewat pergumulan kata. Imajinasi Borobudur menebar pikat untuk mengantarkan orang dalam pengalaman mistis-estetis. Candi Borobudur jadi sumber dan oase imajinasi. Sitor Situmorang dalam puisi Mendaki Merapi Menatap Borobudur dengan reflektif mengajak pembaca dalam oase imajinatif. Peziarahan di Gunung Merapi dan Candi Borobudur membuat penyair merasakan ekstase atas pengalaman batiniah mengenai monumen spiritual dan ruang kultural di Jawa.
Candi Borobudur tidak sekadar penanda peradaban tapi menjelma “rumah imajinasi” untuk mengafirmasi makna-makna kosmologis dan biografis. Sitor Situmorang menulis Candi Borobudur dalam tendensi kekhusyukkan: terapung/ di awan/ pulang bersama burung-burung/ menuju hutan-hutan// masuk bayangan/ dalam kekuasaan dan/ kedalaman// percakapan tanpa kata-kata// terbalut angin/ dan kebisuan/ kebisuan. Candi Borobudur memberikan keheningan dan tafakur diri pada lakon peradaban. Imajinasi telah mewartakan Candi Borobudur dalam tafsiran-tafsiran mumpuni. Puisi juga menandai jalan mistisime dalam diri penyair. Candi Borobudur telah jadi titik spiritualitas untuk dimanifestasikan dalam olah kata-imajinasi atas nama perayaan hidup. 
Konstruksi imajinasi dalam olah estetika mengejutkan dan menantang hadir dalam puisi Afrizal Malna berjudul Borobudur Box. Puisi panjang ini menarik imajinasi sejarah Candi Borobudur dan pemahaman Magelang sebagai kota tradisi dalam godaan-godaan modernisasi. Afrizal mengisahkan Candi Borobudur dan Magelang dengan satire reflektif: Inilah kota yang telah dibebaskan dari waktu./ Menggunakan batu untuk berbicara denganmu. Tapi/ kamu tak mengerti. Tak mengerti ciuman batu, tak/ mengerti pelukan batu, tak mengerti tangan-tangan/ batu yang mengetuk pintumu. Kau anggap semua/ kota sama seperti baskom yang ada dalam kepalamu./ Karena itu kami memilih untuk tenggelam, tenggelam/ ke dasar bumi. Satire dalam puisi Afrizal Malna ini seolah tanda seru bagi pembacaan publik tentang kebermaknaan Candi Borobudur dalam nalar ekonomistik dan puja situs spiritualitas-kultural.
Linus Suryadi AG juga mengekalkan candi itu dalam puisi Borobudur. Puisi ini merangkum kepedihan dan pengharapan. Candi Borobudur telah menjelma komoditas. Borobudur mirip mesin uang. Orang-orang datang untuk memanjakan hasrat konsumtif. Turis memuaskan diri dalam ketakjuban. Negara mengeruk untung. Pedagang-pedagang meraup rezeki. Pengusaha menumpuk laba. Spiritualitas Candi Borobudur mengering dan aura tergantikan pikat modal. Penyair memberi sindiran: Ada versi lain/ kecuali pusat/ perbelanjaan/ barang kerajinan// Ada arti lain/ kecuali hakikat/ bangunan suci/ yang diperdagangkan// Tempat samadi. Ritus kerajaan/ keraton sejati/ ataukah makam?// Warisan ganti/ ajang penghiburan/ padamlah api/ korban pencucian//  Ada tak terpaut/ dalam timbangan/ kecuali perut/ penghasil income. Candi Borobudur merana dan manusia enggan mengembalikan kesadaran atas kesucian, kosmologi, spiritualitas, dan kesejarahan. Candi Borobudur menjelma situs ekonomistik.      
Mengimajinasikan Candi Borobudur dalam puisi adalah perayaan konstruktif untuk ikut mengurusi Candi Borobudur sebagai suatu keajaiban peradaban. Agenda wisata dan ziarah spiritual bisa terus dilanjutkan tapi sebaran pengetahuan mengenai Candi Borobudur melalui publikasi buku (sastra) perlu dilakukan untuk mengingatkan kesadaran historis-kultural pada publik. Candi Borobudur adalah persembahan negeri ini untuk dunia. Imajinasi mungkin menyelamatkan ketimbang realisasi dari pelbagai kebijakan dalam tendensi kapitalisasi situs historis-kultural demi pemenuhan target agenda pariwisata. Begitu.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar