Laman

Rabu, 09 Februari 2011

Labirin Kebohongan

Bandung Mawardi


Hari ini serbuan informasi mungkin melampaui kapasitas otak, sebab produksi informasi tidak mengenal hari libur. Kita bisa menerima atau menolak informasi tapi kerap saja  lengah dalam mekanisme sensor atau kurasi. Muatan kebenaran atau kebohongan mulai mengabur. Serbuan informasi pun kerap membuat kita ragu kendati paksaan untuk percaya selalu terbentuk melalui kelihaian aktor dan sistem.
Parade informasi tentang politik, selebritas, hukum, teknologi, pajak, atau pendidikan tak luput dari operasionalisasi kebohongan. Praktik kebohongan ini mulai vulgar dan melampaui nalar. Batas kebohongan dan kebenaran telah dicairkan dengan memakai intervensi imajinasi dan represi opini publik. Kita sadar bahwa informasi bergerak menjadi fiksi memikat. Kondisi ini membuat kita lelah untuk mengonfirmasi kebenaran karena terjerat dalam labirin kebohongan.
Deretan informasi mutakhir kerap membuat kita kaget. Kasus-kasus panas muncul dan lekas tersebar sebagai berita atau gosip dalam tendensi kebohongan. Reaksi publik membuat kasus itu memecah jadi sekian versi oleh ulah pelbagai pihak. Model ini membuat kita curiga. Kebohongan bakal lekas menyelimuti kasus-kasus itu melalui jumpa pers, testimoni, pledoi, atau apologi. Kita dihadapkan pada pengemasan kebohongan yang rapi dan elok. Konfirmasi tidak untuk mengurusi bentuk dan kualitas kebenaran tapi mengungkap pernik-pernik kebohongan.
Kebohongan telah mewabah sejak masa lampau dalam menentukan peradaban. Kebohongan tersimpan rapi dari mitologi sampai praktik demokrasi modern. J A Barnes dalam A Pack of Lies (2005) mengatakan: “Kebohongan adalah salah satu potensi alamiah manusia yang perlu diwaspadai dan dikendalikan.” Bohong berarti niscaya ada tapi menjelma masalah saat kita merasa ada kejanggalan. Kebohongan yang digulirkan bakal menciptakan kerepotan untuk proses menemukan kebenaran.
Kita memahami makna kebohongan dalam durasi lama. Ingatan kita terhadap proyek demokrasi selalu mengingatkan pada kebohongan penguasa. Suguhan kasus korupsi kerap membuat kita sadar ada permainan kebohongan. Kasus mafia hukum pun diliputi penciptaan kebohongan. Kebohongan dalam politik sudah membuat kita muak tapi antologi kebohongan terus diproduksi.
Kebohongan mirip kodrat yang membuat permainan politik jadi seru. Gelagat kebohongan biasa terasakan dalam sosialisasi suatu kebijakan. Kita kadang diajak untuk mengimajinasikan perubahan dengan dalih demi kepentingan negara. Kebijakan memang ingin lekas digulirkan tapi pewacanaan seolah memerlukan kebohongan untuk menjinakkan resistensi. Produksi kebohongan yang indah dan memabukkan identik dengan kepentingan menginferiorisasi publik.
Naguib Mahfouz dalam novel Sugar Street mengungkapkan: “Politik bukanlah idealisme puitis, tetapi kebijakan realis.” Politik kita memang tak peka dengan penghormatan atas idealisme dan peran signifikan imajinasi. Politik terkesan sekadar mengurusi segala yang terejawantah tapi ditentukan melalui prosedur kebohongan. Kebijakan realis kerap diterjemahkan sebagai usaha untuk finalisasi tanpa mengurusi proses pengungkapan makna kebenaran. Hal ini membuat politik kebohongan tumbuh subur dalam institusi-institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembohongan publik pun terlembagakan.
Kebohongan ala politik seperti menafikkan kemampuan imajinasi kita untuk melakukan deteksi antara kebohongan dan kebenaran. Konsekuensi dari kebohongan adalah usaha meraih legitimasi. Kita dikondisikan untuk menerima segala bentuk kebijakan. Padahal itu merupakan tumpukan kebohongan yang harus disingkap lapisan demi lapisan. Kebohongan itu bukanlah fenomena mutakhir karena kita sudah menerima politik-bohong dari akar sejarah dan tradisi.
Wayang bisa dijadikan refleksi tentang makna kebohongan dan kekuasaan. Perang Bharatayuda merupakan puncak dari politik kebohongan antara Pandawa dan Kurawa. Kebohongan itu demi mencapai kekuasaan meskipun lemah dalam urusan legitimasi. Sejarah kita juga diliputi kebohongan karena peralihan Orde Lama ke Orde Baru identik dengan produksi politik kebohongan. Model ini membenarkan kepentingan, tapi mengabaikan prosedur dalam tataran etika politik. Kita masih terus merawat pelbagai hasil kebohongan dalam politik. Barangkali kita belum berani mengatakan itu aib karena produksi kebohongan masih terus diciptakan di gelanggang politik.
Fiksi kebohongan politis juga bisa kita temukan melalui kisah ala bocah bertajuk Pakaian Raja garapan H C Andersen. Raja angkuh sanggup dikalahkan oleh dua orang pembohong dengan godaan membuat pakaian paling indah di dunia. Raja terpikat dan menggelontorkan dana besar demi proyek pakaian. Para pejabat curiga dengan ulah dua pembohong alias pernacang dan penjahit pakaian raja. Situasi kebohongan ini tidak tercium oleh raja. Hari yang dinantikan tiba. Raja tidak melihat selembar kain atau seutas benang. Dua pembohong memang tidak melakukan kerja apa-apa tapi mereka malah membuat kebohongan fantastis. Mereka menjelaskan bahwa pakaian itu cuma bisa dipandang oleh mata orang ampuh. Mereka berlagak memeragakan seolah memegang baju dan siap dikenakan pada raja yang sudah telanjang.
Raja pun merasa mengenakan pakaian paling indah. Raja turun ke kota menyapa rakyat dalam kondisi seolah berpakaian tapi telanjang. Para pejabat dan rakyat tak mau menegur dan justru menunjukkan raut muka terpukau agar lolos dari hukuman raja jika dianggap melecehkan. Narasi kebohongan ini lekas terungkap oleh celotehan bocah naif: “Lihat, Raja telanjang!” Kebenaran ini berhadapan dengan konstruksi politik, otoritas raja, hukum, dan pembakuan nalar-imajinasi.  
Narasi kebohongan tidak gampang diselesaikan melalui ocehan, opini, pengadilan, atau demonstrasi kendati negara ini ingin merayakan supremasi hukum. Kebohongan juga tidak rampung dalam kerja imajinatif dan produksi nalar publik. Tindakan paling gampang adalah menutup kebohongan dengan kebohongan-kebohongan. Alternatif manjur dengan membuat proyek lupa melalui indoktrinasi di sekolah, penerbitan, media massa, film, penyuluhan, atau sastra. Kebohongan seolah kodrat dalam politik. Kita pun hidup dalam labirin politik kebohongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar