Bandung Mawardi
Hari ini serbuan informasi mungkin melampaui kapasitas
otak, sebab produksi informasi tidak mengenal hari libur. Kita bisa menerima
atau menolak informasi tapi kerap saja
lengah dalam mekanisme sensor atau kurasi. Muatan kebenaran atau
kebohongan mulai mengabur. Serbuan informasi pun kerap membuat kita ragu
kendati paksaan untuk percaya selalu terbentuk melalui kelihaian aktor dan
sistem.
Parade informasi tentang politik, selebritas, hukum,
teknologi, pajak, atau pendidikan tak luput dari operasionalisasi kebohongan.
Praktik kebohongan ini mulai vulgar dan melampaui nalar. Batas kebohongan dan
kebenaran telah dicairkan dengan memakai intervensi imajinasi dan represi opini
publik. Kita sadar bahwa informasi bergerak menjadi fiksi memikat. Kondisi ini
membuat kita lelah untuk mengonfirmasi kebenaran karena terjerat dalam labirin
kebohongan.
Deretan informasi mutakhir kerap membuat kita kaget.
Kasus-kasus panas muncul dan lekas tersebar sebagai berita atau gosip dalam
tendensi kebohongan. Reaksi publik membuat kasus itu memecah jadi sekian versi
oleh ulah pelbagai pihak. Model ini membuat kita curiga. Kebohongan bakal lekas
menyelimuti kasus-kasus itu melalui jumpa pers, testimoni, pledoi, atau
apologi. Kita dihadapkan pada pengemasan kebohongan yang rapi dan elok.
Konfirmasi tidak untuk mengurusi bentuk dan kualitas kebenaran tapi mengungkap
pernik-pernik kebohongan.
Kebohongan telah mewabah sejak masa lampau dalam
menentukan peradaban. Kebohongan tersimpan rapi dari mitologi sampai praktik
demokrasi modern. J A Barnes dalam A Pack of Lies (2005) mengatakan:
“Kebohongan adalah salah satu potensi alamiah manusia yang perlu diwaspadai dan
dikendalikan.” Bohong berarti niscaya ada tapi menjelma masalah saat kita
merasa ada kejanggalan. Kebohongan yang digulirkan bakal menciptakan kerepotan
untuk proses menemukan kebenaran.
Kita memahami makna kebohongan dalam durasi lama. Ingatan
kita terhadap proyek demokrasi selalu mengingatkan pada kebohongan penguasa.
Suguhan kasus korupsi kerap membuat kita sadar ada permainan kebohongan. Kasus
mafia hukum pun diliputi penciptaan kebohongan. Kebohongan dalam politik sudah
membuat kita muak tapi antologi kebohongan terus diproduksi.
Kebohongan mirip kodrat yang membuat permainan politik
jadi seru. Gelagat kebohongan biasa terasakan dalam sosialisasi suatu
kebijakan. Kita kadang diajak untuk mengimajinasikan perubahan dengan dalih
demi kepentingan negara. Kebijakan memang ingin lekas digulirkan tapi
pewacanaan seolah memerlukan kebohongan untuk menjinakkan resistensi. Produksi
kebohongan yang indah dan memabukkan identik dengan kepentingan
menginferiorisasi publik.
Naguib Mahfouz dalam novel Sugar Street
mengungkapkan: “Politik bukanlah idealisme puitis, tetapi kebijakan realis.”
Politik kita memang tak peka dengan penghormatan atas idealisme dan peran
signifikan imajinasi. Politik terkesan sekadar mengurusi segala yang
terejawantah tapi ditentukan melalui prosedur kebohongan. Kebijakan realis
kerap diterjemahkan sebagai usaha untuk finalisasi tanpa mengurusi proses
pengungkapan makna kebenaran. Hal ini membuat politik kebohongan tumbuh subur
dalam institusi-institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembohongan
publik pun terlembagakan.
Kebohongan ala politik seperti menafikkan kemampuan
imajinasi kita untuk melakukan deteksi antara kebohongan dan kebenaran.
Konsekuensi dari kebohongan adalah usaha meraih legitimasi. Kita dikondisikan
untuk menerima segala bentuk kebijakan. Padahal itu merupakan tumpukan
kebohongan yang harus disingkap lapisan demi lapisan. Kebohongan itu bukanlah
fenomena mutakhir karena kita sudah menerima politik-bohong dari akar sejarah
dan tradisi.
Wayang bisa dijadikan refleksi tentang makna kebohongan
dan kekuasaan. Perang Bharatayuda merupakan puncak dari politik kebohongan
antara Pandawa dan Kurawa. Kebohongan itu demi mencapai kekuasaan meskipun
lemah dalam urusan legitimasi. Sejarah kita juga diliputi kebohongan karena
peralihan Orde Lama ke Orde Baru identik dengan produksi politik kebohongan.
Model ini membenarkan kepentingan, tapi mengabaikan prosedur dalam tataran
etika politik. Kita masih terus merawat pelbagai hasil kebohongan dalam
politik. Barangkali kita belum berani mengatakan itu aib karena produksi
kebohongan masih terus diciptakan di gelanggang politik.
Fiksi kebohongan politis juga bisa kita temukan melalui
kisah ala bocah bertajuk Pakaian Raja garapan H C Andersen. Raja angkuh
sanggup dikalahkan oleh dua orang pembohong dengan godaan membuat pakaian
paling indah di dunia. Raja terpikat dan menggelontorkan dana besar demi proyek
pakaian. Para pejabat curiga dengan ulah dua pembohong alias pernacang dan
penjahit pakaian raja. Situasi kebohongan ini tidak tercium oleh raja. Hari
yang dinantikan tiba. Raja tidak melihat selembar kain atau seutas benang. Dua
pembohong memang tidak melakukan kerja apa-apa tapi mereka malah membuat
kebohongan fantastis. Mereka menjelaskan bahwa pakaian itu cuma bisa dipandang
oleh mata orang ampuh. Mereka berlagak memeragakan seolah memegang baju dan siap
dikenakan pada raja yang sudah telanjang.
Raja pun merasa mengenakan pakaian paling indah. Raja
turun ke kota menyapa rakyat dalam kondisi seolah berpakaian tapi telanjang.
Para pejabat dan rakyat tak mau menegur dan justru menunjukkan raut muka
terpukau agar lolos dari hukuman raja jika dianggap melecehkan. Narasi
kebohongan ini lekas terungkap oleh celotehan bocah naif: “Lihat, Raja
telanjang!” Kebenaran ini berhadapan dengan konstruksi politik, otoritas raja,
hukum, dan pembakuan nalar-imajinasi.
Narasi kebohongan tidak gampang diselesaikan melalui
ocehan, opini, pengadilan, atau demonstrasi kendati negara ini ingin merayakan
supremasi hukum. Kebohongan juga tidak rampung dalam kerja imajinatif dan
produksi nalar publik. Tindakan paling gampang adalah menutup kebohongan dengan
kebohongan-kebohongan. Alternatif manjur dengan membuat proyek lupa melalui
indoktrinasi di sekolah, penerbitan, media massa, film, penyuluhan, atau
sastra. Kebohongan seolah kodrat dalam politik. Kita pun hidup dalam labirin politik
kebohongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar