Laman

Senin, 25 April 2011

Kisah Kamar Kita


Kisah Kamar Kita
Sartika Dian Nuraini
Cara kita memandang kamar sebagai ruang privat sudah menjadi baku, sehingga secara tak sadar telah mendekatkan kita pada diskursus nireksistensi. Kamar membahasakan kita dalam pelbagai peristiwa dan waktu. Semua itu bermain-main dalam ikhtiar kita untuk membentuk diri sebagai manusia modern. Sehingga, kita mampir dalam kamar demi menikmati miniatur-miniatur peradaban yang asyik berceloteh tentang imajinasi, pengharapan, identitas, nalar, dan spiritualitas. Celotehan dalam kamar adalah bahasa yang membentuk kita, memaknai kehadiran, eksistensi, sebagai dialektika yang tak paripurna.
Kamar kesepian ketika kita menjalani ritual keseharian dengan melakukan mobilitas di luar kamar. Saat-saat untuk keluar dari kamar seringkali menjadi histeria biografis. Jean-Paul Sartre dalam kumpulan cerita pendek Le Mur (2000) mengungkapkan politik ruang yang terjadi dalam batin seorang perempuan yang bernama Eve. Perempuan itu selalu merasakan ketakutan dan kecemasan tatkala keluar dari kamarnya. Ketakutan-ketakutan dibawa setelah proses isolatif dan alienatif. Ketakutan pun juga dirasakannya saat akan memasuki kamar, saat ia sadar telah membawa biografi lain dalam tubuhnya yang telah tersentuh dunia luar. Eve selalu menandai perbedaan ruang, menyadari pembawaan diri untuk kamar dan dalam kamar.
Sebagai ruang imajinasi, kamar menjadi pengalaman mutlak seseorang dalam relasi konflik dan kontemplasi. Salah seorang pemikir yang menyadari kamar sebagai pertautan ruang imajinasi dan nalar adalah Kartini (1879-1904). Kartini memiliki ruang kamar yang sesuai untuk pamrih ideologis yang akan dituliskannya dalam bahasa modern. Dalam buku Kartini Seratus Tahun (1979), Solichin Salam menghadirkan gambaran tentang kamar kerja Kartini. Di ruang itu, Kartini duduk di sebuah kursi kecil dengan meja kerja di sudut kamar. Ruang dengan tatanan minimalis, sederhana. Lukisan besar menggantung di dinding sisi kiri dan mesin jahit di sebelah kanan kursinya. Kamar itu identik dengan imajinasi kebebasan, belenggu realitas, dan konflik intelektualitas. Tatanan kamar yang terbentuk telah membahasakan Kartini sebagai seorang yang adaptif dengan kultur modern.
Pengalaman kamar Kartini dapat kita bandingkan dengan pandangan feminisme Barat. Virginia Woolf mengungkapkan bahwa perempuan, ruang, dan fiksi akan terus mengalami keserasian. Dalam sebuah ruangan, tubuh perempuan dan imajinasi melayang tanpa ambang batas. Saat itulah, pikiran dan jiwa dibebaskan dari semua fakta. Melalui cara pandang itu, maka kamar kerja Kartini turut membentuk kedudukan dan martabat keintelektualannya melalui sastra dan korespondensi surat.
Kamar identik dengan ruang yang kecil, yang bisa memberikan kehangatan dan kenyamanan pada kita. Kamar turut memberi kontribusi dalam pengembangan diri dan potensi kita. Maka, tak jarang kita seringkali melakukan perlakuan yang alienatif untuk pergaulan yang remeh-temeh di luar kamar. Kamar juga dapat berbicara tentang aib dan dosa. Kamar telah menjelmakan keberagaman atas misteri dan kepribadian seseorang. Manusia menyusun biografinya dalam kamar, dengan melakukan kegiatan artifisial maupun subversif.
Joko Pinurbo pernah mengisahkan kamar dalam puisi Di Tengah Perjalanan. Kita baca kutipannya, “Jangan ke kamar mandi. Di sana tubuhmu akan dikuliti. Ikutlah aku pulang ke kamar tidur. Sakitmu akan kuhabisi”. Penggalan puisi itu agaknya telah mengeluarkan aroma mitos kamar. Kamar mandi sebagai tempat yang selalu menelanjangi kita, kamar mandi sebagai mata yang melihat bagian “dalam” kita. Sedangkan, kamar tidur adalah tempat membuang rasa “sakit”. Saat kita sadar pengalaman keruangan itu, kita mulai melucuti diri di hadapan kamar. Kita mulai menikmati bersendiri di kamar dan menyantap hiburan-hiburan yang bisa dinikmati. Akhirnya, kita melupakan atau mengunci diri dari aksioma yang universal dalam kehidupan.
Kamar telah membawa serta kontradiksi, inkonsistensi, dan kontroversi diri kita terhadap individu-individu lain. Kamar yang membawa kita pada narasi-narasi histeria dan melankolia. Toto Sudarto Bachtiar menjelaskan dalam puisinya yang berjudul Kamar (2001). Di dalam kamar terdapat siksaan-siksaan atas cinta dan kesenduan. Hanya kamar mampu merahasiakan kesedihan-kesedihan yang mendera. Makhluk individual juga mendamba kamar sebagai tempat pelarian diri dari berbagai macam konflik ekonomi, politik, dan sosial.
Kemudian, bagaimanakah kita menyusun biografi diri dalam kamar? Saat kita tahu negara kita ini bagaikan kamar hotel dengan kelas rendahan. Di situ singgah banyak tokoh dengan skandal yang berbeda-beda, menyuguhkan konflik yang sungguh-sungguh murahan. Kesadaran kamar seolah dipakai para politikus untuk simpatisan dengan tujuan pragmatis. Mereka menjadikan kamar simpatisan sebagai laku distribusi kuasa atau reproduksi janji-imaji semu, yang pelan-pelan akan tergerus waktu. Kamar belum punya otoritas untuk mengembuskan karma bagi para pelaku dan penguasa yang kotor dan culas. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar