Laman

Senin, 25 April 2011

PETAKA KELUARGA


Sartika Dian Nuraini 

Keluarga menunjukkan satu unit interaksi dan seluruh sistem dimana seluruh tatanan sosial bermuara. Dan, apabila kita bermuara pada titik yang memanifestasikan pembacaan kita terhadap keluarga masa kini, dengan analisa yang konkret dan tradisional, maka kita akan sadar bahwa sebuah keluarga adalah juga sebagai konstruksi ruang yang tak bisa lepas dari terbentuknya identitas kultur individu dan sosial. Sedangkan, bila kita membaca keluarga dengan kacamata yang dekonstruktif, maka risalah keluarga juga merupakan petaka, kematian, ketersenjangan, konflik, dan alienasi sejarah diri. Risalah keluarga adalah masalah religiositas.  


Kesadaran identitas dalam keluarga adalah sumber kebahagiaan. Tetapi, ketika keluarga diterpa embus angin kemodernan, momentum sebuah keluarga tak dapat dinikmati seutuh-utuhnya. Keluarga tradisional seringkali kebingungan ruang dan melupakan tabiat kekeluargaan. Bahkan, seperti yang telah ditulis oleh Berger dan Luckman (1991), serta Geertz (1973), keluarga akan mengalami perubahan sistem tatanan dan alienasi sebagai faktor dari pencarian makna dalam kelompok dan komunitasnya. Sehingga,  jika sistem dalam keluarga berubah, sistem dalam masyarakat pun akan berubah. Dan, perubahan-perubahan inilah yang disebut sebagai kematian (Geertz, 1973). 

Kuburan Keluarga 

Keluarga dalam risalah modernitas tentu akrab dengan kata kuburan yang tak pantas dikenang. Wujud asali keluarga dapat kemudian dianggap sebagai masa lalu karena telah terkubur. Jika keluarga dalam pengertian tradisional telah hilang, lalu apa sejatinya makna keluarga yang tereproduksi dalam realitas kita? Keluarga menjelma sebagai family labour: sebuah perayaan kapitalistik. Siapa pemimpin keluarganya? Kepala keluarga adalah sang pemilik modal yang dengan kekuasaan hampir tak terbatas mengatur sikap dan tindakan ideal yang harus dilakukan oleh anggota keluarganya yang lain. Anggota keluarga yang lain akan senantiasa menjalankan perintah karena sebelum itu telah terjadi tawar-menawar yang telah disepakati.

Keluarga yang ekonomistis mengajarkan untuk selalu membentuk jejaring yang kuat dan solidaritas yang kuat. Supaya perputaran perekonomian itu tidak berlari jauh dari kantongnya. Semua elemen keluarga harus membentuk sistem relasi yang kuat. Sederhananya, relasi itu terbentuk dari elemen-elemen state, market, dan society. Basis ideologi yang dibangun antar ketiga elemen inilah yang disebut keluarga kapitalistik. 

Irwan Abdullah (2006) mengidentifikasi keluarga sebagai lokasi konsumsi dan praktek sosial pasar. Program KB yang diselenggarakan pemerintah dapat menjadi contoh. Program KB melibatkan seluruh keluarga untuk menjadi pelaku serta objek pasar ideologi. Walaupun demikian, tetap ada pilihan-pilihan lain yang ditawarkan untuk keluarga dan negosiasi pun terus terjadi. Contoh lain adalah model pakaian yang disediakan pasar bisa menggempur dinding-dinding etika dan norma kesopanan yang ditanamkan oleh keluarga. 

Orang tua dalam keluarga kehilangan laku otoritatif. Dari waktu ke waktu, laku ini mengakibatkan melemahnya ritme kehidupan tradisional dan dehumanisasi.  Pasar yang bekerja dalam keluarga telah menghadirkan kebutuhan-kebutuhan simbolis yang mengarah pada pembentukan status dan pendefinisian identitas dalam keluarga, bahkan pembangkangan terhadap praktek-praktek tradisional. Praktik tradisional yang mulai lenyap itu tergempur habis oleh perkembangan teknologi yang mengintervensi keluarga. Foucault dalam “The Death of the Subject” telah mendefinisikan keluarga bahwa keluarga hilang seiring dengan kehadiran teknologi. Sebagai contoh, ada seorang istri yang sedang menjalani persalinan. Ketika itu suaminya tak dapat menghadiri persalinan itu. Handphone telah menggantikan keberadaan sang suami. Subjek seolah-olah ada tetapi tiada. Begitulah hal ikhwal tentang teknologi, menggantikan subjek dan sekaligus menyihir realitas kita. Konsep Tonnies mengidentifikasikannya sebagai Gemeinschaaft yang berarti membunuh substansi.  

Dekonstruksi Sosial Keluarga 

Fakta tentang perubahan masyarakat dan implikasinya terhadap keluarga telah menjadi bagian dari persoalan jangka panjang. Pemerintah mendefinisikan keluarga melalui konsep NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) dan konsep prasejahtera. Di situ terbaca bagaimana konstruksi keluarga era pembangunanisme ala Orde Baru yang dilandasi kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Pemerintah punya kuasa atas keluarga dalam mengatur jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan alat kontrasepsi yang dipakai. 


Ritme yang begitu cepat atas arus modernisasi dan tekanan tatanan masyarakat yang begitu kompleks membuat keluarga kehilangan laku otoritatif dalam menjalankan tugas konvensionalnya. Anggotanya tercabik satu persatu dalam arus modernitas sampai pada akhirnya mengalami kematian yang tragis. Kita perlu merancang dan mengenali keluarga dan tak segera mematikan diri dalam arus dan buai modernitas. Tidak perlu menghadirkan dewa penolong bagi keluarga kita, ketika kesadaran akan keluarga telah mengurapi pikiran kita, maka kitalah sejatinya dewa penolong itu. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar