Laman

Senin, 25 April 2011

Doa Tak Paripurna

Doa Tak Paripurna
Sartika Dian Nuraini

Ibarat seorang pemahat, doa diukirkan pada kayu-kayu pengharapan dan impian. Saat itu pula, doa diartikan sebagai cercapan untuk menjalani masa depan. Kumpulan doa menangkap gelombang Ilahiah. Doa diucapkan karena impian dan perasaan reflektif. Pengharapan bisa berwujud eksploitatif pada Tuhan dan kehadiran usaha. Dalam doa, manusia meminta dan mengemis. Doa adalah dewa penolong bagi gelisah dan resah menerba kehidupan. Doa memancarkan cahaya penerang bagi balada sendu kehidupan insan.
Doa mewujud dalam kata-kata. Kata yang melantun menjadi doa dapat mengilhami kemslahahatan pikiran dan pencapaian di masa lalu. Doa bukanlah bentuk mutakhir dari ambisi dan kriteria cita-cita. Doa menjadi sandaran tatkala hati sedang gundah gulana, sedih dan bersedu sedan. Sebuah hajat hidup yang didalamnya terkandung ekspresi syukur dan pertaruhan atas keluhan-keluhan yang baik dan buruk. Prasangka terhadap Tuhan, rajukan, dan harapanlah yang membuat doa itu terhidupi sebagai jaminan kebahagiaan. Doa cenderung mengisahkan kelemahan diri, ketidak-mampuan, dan keterbatasan manusia sebagai makhluk eksistensial.
Manusia menyemai doa sejak nafasnya mengalun lembut dan jantungnya masih mau berdetak. Doa bagai air segar bagi manusia yang haus berkah dan spiritualitas. Dalam sebuah syair yang merupakan potret dirinya yang paling menawan, Mawlana Rumi pernah berkata, “Aku telah begitu banyak berdoa sehingga aku berubah menjadi doa –setiap orang yang melihatku meminta doa dariku”. Doa yang diucapkan mempunyai kekuatan realisasi: karena datang dari Tuhan. Pada awalnya ia menjadi sumber semua aktivitas. Tetapi semua jawaban atas doa juga mempunyai kekuatan yang besar. Bangsa kuno dan bangsa modern mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan. Mengucapkan kata bisa menyembuhkan sekaligus menyakiti.
Doa menjelma sebagai pahala spiritual. Ia adalah rahmat tiada tara nilainya. Dalam Fihi Ma Fihi karya Jalaludin Rumi dikisahkan seseorang pernah bertanya padanya, “Adakah cara yang lebih dekat dengan Allah daripada berdoa?” Rumi menjawabnya bahwa ada dua bentuk doa, yaitu luar dan dalam. Bentuk luar dari doa adalah tubuh doa, karena ia memiliki awal dan akhir. Semua kata dan suara memiliki awal dan akhir. Tetapi jiwa ruhaniah doa tidak terkondisi dan tak terbatas. Jiwa tidak memiliki awal maupun akhir. Jiwa manusia itulah yang dihidupi oleh doa. Jiwa yang mendoa bukanlah kata-kata dan bentukan luar itu, melainkan kekhidmatan jiwa bersama Tuhan tanpa batasan ruang dan waktu.
Doa dianulir sebagai aspirasi spiritual dan kepasrahan. Tradisi sufistik merupakan babak penting kisah doa yang sakral. Pendirian moderat dalam tradisi ini merenungkan doa sebagai hal yang menyatu dan manunggal terhadap tubuh. Kunci memahami doa membuka sejarah kembalinya diri pada hal yang kosmik dan mistik. Doa adalah bentukan canggih dan ciri khas iman yang mendalam. Doa dapat diartikan sebagai pembicaraan yang akrab, atau munajat antara manusia dan Tuhan, sebagai pertukaran kata cinta yang menghibur hati duka, meski tidak langsung dijawab. Meminjam istilah Rumi, ia adalah “bahasa kerinduan akan kekasih”.
Bukti bahwa doa berkelindan dalam cinta kasih tersyairkan juga dalam The Heart Of God oleh Rabindranath Tagore. Catatan tentang doa sempat mengantarkannya menjadi salah satu penyair pertama di Asia yang meraih hadiah nobel sastra tahun 1913. Pengaruh doa dalam hidup yang penuh sahaja ini ampuh untuk menyadarkan manusia modern dalam pertalian hati kembali kepada Tuhan.Berikut doa yang ditulisnya, Berilah aku keberanian cinta yang paling agung, inilah doaku –keberanian untuk berbicara, untuk melakukan, untuk menderita atas kehendak-Mu, untuk meninggalkan segala benda atau untuk tertinggal sendirian. Kuatkan aku menahan bahaya, berkahi aku dengan beribu luka, dan bantulah aku mendaki tebing kesukaran yang berkorban setiap hari untuk-Mu.
Kalangan mistik dan sufisme dalam Islam sering diungkapkan dalam bahasa klasik, lex orandi lex credendi. Mereka berpandangan bahwa doa itulah yang terpenting dari segala keyakinan. Al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘ulum ‘ad-din menerangkan tentang doa bebas dalam suatu bab yang panjang. Ia merumuskan atas bantahan bahwa doa tidak sesuai dengan gagasan takdir. Takdir mencakup kemungkinan menolak kejahatan dengan doa. Ia mengibaratkan antara doa dan takdir selayaknya perisai menolak anak panah yang pada saat bersamaan saling melakukan perlawanan. Ia juga menungkapkan kembali gagasan Yahya Ibn Muad tiga abad sebelumnya: “Bila nasib menyerangku dengan kemalangan, aku menyambutnya dengan serangan doa.” Yahyapun mengumandangkan doa dan karunia yang selalu berakhir dengan keyakinan penuh harap akan pengampunan dan pertolongan Tuhan.
Kita bangkit melalui jalan keyakinan. Manusia memenuhi ritual berdoa setiap hari karena dengan itu manusia mengalami keyakinan cinta yang paling agung. Keyakinan yang menjadi milik kehidupan dan kematian. Kemenangan dalam kekalahan, kekuatan tersembunyi dalam keindahan yang terapuh, kehormatan diri dalam luka yang menerima sara namun merasa hina untuk melakukannya. Inilah doa yang takkan pernah paripurna.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar