Laman

Senin, 25 April 2011

Memikir Ulang Mitos Keperawanan

Sartika Dian Nuraini

Operasi hymenoplasty (pemulihan selaput dara) di beberapa negara besar seperti Jepang dan Amerika adalah bukti kuat bahwa keperawanan bagi para perempuan modern masih sangat penting. Operasi semacam itu berawal pada tahun yang sama saat feminisme berkembang di Barat, yaitu tahun 1960-an. Entah demi harga diri, ataukah demi mentalitas pemenuhan ekspektasi kaum maskulin di sana, perempuan rela mengeluarkan uang yang banyak untuk mengembalikan selaput dara mereka. Di sini dapat terbaca, ada ketimpangan gender yang membuat perempuan merasa penting mengembalikan lagi selaput daranya.


Di Mesir, keperawanan sangat sakral di mata perempuan. Robeknya selaput dara benar-benar menjadi tolok ukur harga diri wanita Arab. Sehingga tak heran, jika banyak mempelai wanita yang diceraikan setelah malam pertama. Yang lebih menyedihkan lagi, perempuan yang diceraikan karena tak perawan juga harus mengembalikan seluruh mahar bagi mempelai pria. Tradisi seperti ini juga berlaku di Tunisia dan Syria. Perempuan mengemban tugas berat menjaga keperawanannya sebagai bentuk kesadaran religiositas dan etika. Harga keperawanan bagi mereka adalah setara dengan nyawanya. Ketika perempuan sudah tak perawan lagi, bukan hanya cemoohan yang harus dia tanggung, tetapi lebih tragis lagi, nasibnya bisa saja berujung kematian di tangan keluarganya sendiri dengan dalih untuk membuang malu dan memulihkan kehormatan keluarga.


Bangsa Yahudi bahkan memperlakukan perempuan sebagai properti. Pernikahan bagi bangsa Yahudi adalah proses jual beli. Mempelai perempuan dianggap sebagai harta milik lelaki yang dibeli dari ayahnya, sehingga suami seringkali dianggap majikan oleh istri. Dan, jika perempuan teridentifikasi tidak perawan lagi, perempuan akan diceraikan dan dibuang tanpa memperoleh harta kekayaan apapun dari pernikahannya.

Mitos atau realitas?


Keperawanan adalah sebuah mitos dan realitas yang mendunia. Siapa yang tak bicara masalah ini? Sebuah istilah sakral yang dibawa dan diperbincangkan oleh seluruh agama samawi. Tradisi Jawa, Madura, Minangkabau, Batak, adat orang Afrika, kebudayaan Barat yang sekuler, semuanya seolah memandang keperawanan sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Keperawanan diartikan sangat luas. Bahkan, istilah keperawanan terjebak dan rela diboncengi oleh ideologi global kapitalisme yang sengaja mencipta design untuk perempuan dan keperawanannya. Sebagaimana Naomi Wolf (2004) mengungkapkannya dalam Mitos Kecantikan, abad modern sengaja melahirkan mitos yang tidak rasional, klenik, dan mistis untuk mengkomodifikasi perempuan di ruang iklan dan dunia industri yang serba palsu dan fatamorgana.

Nama yang melegenda


Selama berabad- abad keperawanan ditamsilkan sebagai “Cherry Pie” atau pastel ceri. Seorang gadis dinilai kehilangan ceri apabila kehilangan selaput daranya. Buah ceri adalah simbol yang mengacu pada warna dan rasa. Manis dan menggoda. Ceri berasal dari bahasa latin ceresia, nama kuno dari sebuah kota bernama Cerasus, di Laut Mati, yang terkenal dengan pohon cerinya, buahnya berwarna merah agak gelap dan manis. Ini identifikasi pertama tentang selaput dara atau hymen.


Pada zaman Yunani Kuno, kata hymen pertama kali disebarluaskan untuk berbicara masalah perkawinan. Lalu sebuah puisi berjudul hymen dengan “h” kecil mulai mengidentifikasinya sebagai selaput tipis atau membran. Lewat orang Indo-Eropa, selaput ini disebut syumen yang berarti lapisan tipis. Simbolisme ceri dengan warna merah darah dan kulit tipis yang agak kuat, yang bila kulit itu pecah, bagian dalamnya yang lunak akan keluar beserta biji-bijinya. Zaman kuno memitoskan ceri mirip vagina. Hingga sekarang mitos itu masih diatributkan kepada para gadis.
Keperawanan juga disebut virgin dari bahasa latin “virgo” alias ranting muda atau cabang yang tidak berbentuk. Keperawanan dalam bahasa kita dan bahasa Arab adalah ketika seseorang belum disentuh atau belum berhubungan intim dengan orang lain. Hal ini sering dikaitkan dengan hymen. Jika hymen seorang perempuan pecah, maka ia sudah tak perawan lagi. Faktanya, secara medis hymen bisa pecah walau tanpa berhubungan intim.


Kodrat seksualitas perempuan mengacu pada cara tafsir tentang keperawanan. Maka, tafsir bias seringkali terjadi. Diartikulasikan dalam dimensi peradaban yang berbeda-beda. Ada sebuah kebudayaan yang menganggap seorang perempuan yang belum menikah tetaplah perawan meski dia seorang pelacur. Di bagian dunia lain, seorang perempuan menikah tak punya anak masih dianggap perawan karena keperawanan biasanya akan hilang setelah melahirkan anak pertama. Ada anggapan pula, jika perempuan tidak mengalami kesempurnaan virginitasnya sebelum diperawani oleh seorang walinya (Gugun dan Sitorus, 2009:4-5).

Keperawanan dan ketimpangan gender

Keperawanan menurut kaca mata orang Timur, lebih merupakan persoalan kultural. Hanya saja ada beberapa ketidakadilan gender bagi perempuan. Perempuan cenderung dipojokkan dan dituntut untuk menjaga keperawanannya, sementara lelaki tidak. Virginitas kemudian menjelma menjadi mitos yang disakralkan dan menghabisi harapan dan spiritualitas perempuan jika ia kehilangan keperawanannya.
Kita tahu, dalam kebudayaan kita yang menjunjung tinggi nilai moral, perempuan yang telah melakukan hubungan seks pra-nikah akan disebut aib bagi masyarakat. Semua orang mempersalahkan dan menciderai hati perempuan itu. Sedangkan bagi laki-laki, pelabelan ketidakperjakaan tak pernah diberlakukan dan dipertanyakan. Pola pikir inilah yang disebut terlalu patriarkhi. Konsekuensi kulturalnya bagi perempuan tentu saja akan menanggung malu dan menjadi rendah diri terhadap kaum laki-laki. Laki-laki pun akan menilai perempuan secara parsial saja. Menilai harga diri perempuan sebatas selaput daranya? Sungguh tragis!


Menakar perempuan seharga alat kelaminnya adalah pelecehan. Prasangka buruk dan mempertanyakan kesucian perempuan juga merupakan pelecehan. Kita perlu menilik pada hukum Qazf (menuduh zina dalam Islam) yang menafsirkan bahwa segala pandangan buruk, sikap dan perlakuan yang menghinakan dan menzalimi martabat perempuan adalah bukan hanya penyimpangan moral, tapi juga merupakan kejahatan. Ini berarti, konsep Qazf mendekonstruksi mitos keperawanan sehingga menyengat-menghentak kepekaan dan kesadaran kita untuk tak menghakimi perempuan agar ia jauh dari keterpurukan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar