Laman

Senin, 25 April 2011

Manusia Hiburan

Manusia Hiburan
Sartika Dian Nuraini
(Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo dan Pengajian Malem Senin)
Manusia merayakan bentuk-bentuk represif dengan gencar menikmati hiburan. Hiburan dibidik dalam momen penting yang sakral dan manusiawi. Periodisasi hiburan manusia dimulai sejak bayi. Para ibu menyanyikan kidung-kidung mesra untuk bayinya sebelum tidur. Hiburan diperoleh untuk memberdayakan diri dalam suka cita dan kesedihan. Maka, estetika hidup yang diperoleh dari hiburan bersifat habitual, intuitif, dan verbal. Hiburan menjelmakan diri dengan hal-hal yang bersifat mitos, aporistik, dan ritual.


Hiburan menjadi sarana edukatif yang membentuk kepribadian, sebagai kesenangan dan gaya hidup. Sebagian besar kita perlu hiburan agar bisa menyentuh intimitas dan politik massa. Hiburan menjadi komoditas karena menjamin dan menopang populisme uang dan martabat yang diperoleh dari rapuhnya dinding-dinding individualisme. Di lingkaran ini, individu dan massa terseret dalam arus yang memabukkan.
Manusia siap menjadi mata yang membidik arena tontonan yang menggembirakan. Di sela-sela itu semua, hedonisme yang kian parau membantu pedagang hiburan meringkuk dalam puncak dominasi kehidupan populer. Pelaku hiburan tentu memerlukan modal yang tak sedikit berupa uang, waktu, kekuasaan, ruang, publik, dan pamrih kepentingan kolektif.


Hiburan menjadi ritual kebanggaan dan puja-puji materialistik. Manusia borjuis menjadi sosok filogenetis yang akrab dengan pamer-diri, tantangan, kepura-puraan, pertunjukan, dan pertandingan (kontestasi). Dalam epos Inggris kuno, seorang raja Denmark pernah mendatangkan Beowulf untuk menghiburnya dengan cerita-cerita kepahlawanannya pada masa lalu. Raja menganut kesombongan dan keagungan dirinya dengan acara seremonial itu, sebagai pertaruhan atas martabat dan pertarungan yang eksistensialis.


Ekspektasi hiburan harus memenuhi syarat imagologi massa. Ada kecenderungan manusia menentukan ciri dan ragam hiburan yang sesuai dengan kondisi batinnya. Dalam humor misalnya, beberapa puluh tahun terakhir, manusia lebih toleran dan menerima guyonan yang sifatnya seksual, tetapi sangat tak toleran dengan guyonan yang sifatnya etnis.
Budaya tumbuh subur dan meranggas dengan akar kuat bernama hiburan. Hannah Arendt secara lugas berterus terang bahwa masyarakat massa bukan menginginkan kebudayaan, tetapi hiburan. Lalu, disajikan sebagai industri hiburan yang memang dikonsumsi masyarakat seperti barang-barang konsumsi pada umumnya. Kebudayaan massa menurut konsepsi Barat ini menjelma hal-hal yang sifatnya komersial, menghibur, populer. Artinya, merupakan paket, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara demokratis. Hiburan menjadi ujung tombak berdirinya kebudayaan.


Dalam budaya Jawa pada masa kolonial, golongan pedagang Cina kurang mendapat penghargaan dalam status sosialnya karena kurang menunjukkan kekayaan mereka. Seperti yang dilakukan oleh kaum pejabat dan birokrasi tradisional kekaisaran yang selalu melegitimasi kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dengan mengadakan hiburan berupa sayembara dan pesta pora kekayaan. Para pejabat kolonial modern pun dalam memperoleh hiburannya harus bergantung dengan para aristokrat tradisional Jawa dan pengusaha Cina (Ong Hok Ham, 1997).


Penghiburan dinikmati sebagai ritual untuk membunuh waktu dan ruang. Proyek dan pesona politik ekonomi kebudayaan global menyuguhi kita ruang-ruang baru yang sifatnya pribadi dan begitu khusus. Penghiburan dijalani sebagai selebrasi dan ritual yang mendewasakan, mengerdilkan, dan simbol solidaritas. Hasrat untuk menikmati hiburan dialami sebagai bentuk ekstase dan gila yang eksistensialis.
Penghiburan jaman sekarang ditafsirkan sebagai rekaan budaya yang postmodern. Komponen budaya populer ditempuhi dan diimani sebagai bentuk kemajuan rasionalitas dan modernitas Barat. Hiburan tak menjadi remeh-temeh ketika difungsikan sebagai pelipur lara dan nestapa. Hiburan menjamin kebahagiaan tatkala belenggu modernitas merasuki ruang-ruang individu yang melupa identitas dan biografi diri.
Pentingnya citra atau imaji dalam ranah hiburan menunjukkan mahalnya ongkos gaya hidup mutakhir. Hiburan dihadirkan manusia sebagai sarana popularisasi gaya hidup, menampakkan lagi sisi remaja, dan sebagai komunikasi massa. Ideologi yang masuk melalui ranah hiburan dengan elegan menjadi ritual yang membentuk jati diri perkotaan.


Risiko kolektif yang ditanggung para pemuja hiburan mengalami hampa spiritualitas. Tak bisa disangkal, bila manusia yang berhubungan dengan hiburan membentangkan pembangkrutan reflektifitas. Wilayah hiburan akan menampakkan perubahan social ekonomi dan kemudahan berkenalan dengan penampilan gaya hidup modern. Pendekatan moralis rezim Orde Baru yang susah mengakui keberadaan pembedaan kelas sosial di Indonesia, menyuburkan larisnya produk penghiburan massal. Gaya hidup modern seperti gaya dugem misalnya, pameran sensualitas seksual dan penghiburan sejenis itu sudah secara terang-terangan dipanggungkan.


Daya reflektifitas kaum muda di dunia gemerlap ini seolah teledor dan di ambang kebangkrutan. Puing-puing spiritualitas terbang bersama kenikmatan duniawi. Kita seringkali berbohong untuk menafikan diri dari gelimang kemewahan yang ditawarkan oleh rezim kapitalistik. Namun, krisis daya reflektif ini hendaknya dapat mensenjatai genderang perubahan, mengacu pada keterpisahan diri dari ekstasi dan kooptasi atas hiburan terhadap diri kita. Sehingga, kita tak menghambakan diri pada kesenangan-kesenangan saja. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar