Laman

Senin, 25 April 2011

Bahasa dan Kuasa Global

Bahasa dan Kuasa Global
 

Sartika Dian Nuraini


Pujangga Amerika, Walt Whitman, pernah berkata, “Bahasa bukanlah bikinan abstrak para terpelajar atau para pembuat kamus, melainkan merupakan sesuatu yang timbul dari kerja, kebutuhan, ikatan, kegirangan, kemesraan, selera dari angkatan-angkatan umat manusia yang berurut-urutan, dan sumbernya yang luas dan rendah, dekat ke tanah.” Pernyataan politis ini mampu mengembalikan lagi jejak-jejak kebahasaan kita. Menyadarkan kembali identitas bahasa yang kita anut dengan proses perubahan yang evolusioner. Mestinya saat membaca pengukuhan atas kekuatan bahasa itu, kita menjadi lebih reflektif dan tak bingung menghadapi dunia global yang mengistimewakan bahasa internasional dan berbondong-bondong mencomot bahasa itu dalam keseharian kita.




Sekarang, peminggiran bahasa ibu diaktualisasikan oleh pemerintah dalam program dan paket pendidikan. Tak hanya itu, orang-orang terpelajar, ulama, biarawan, sarjana, leksitograf, dan para pendidik pada zaman modern terlibat aktif dalam penyebaran bahasa. Anak-anak yang berbicara dalam bahasa ibu kemudian diperkenalkan dengan bahasa yang benar-benar asing, yang tidak diajarkan oleh ibu. Pada titik perkenalan itu, diusahakan untuk memelihara sifat asing yang menyembulkan nafas barat di mulut pribumi.




Pada Abad Pertengahan, bahasa yang dianggap tinggi derajatnya disebarluaskan melalui gereja-gereja. Saat itu, bahasa Latin mendapat masa kejayaannya karena dipakai para biarawan untuk mengajar ilmu agama. Bahasa itu kemudian menyebar melalui kekejaman ilmu pengetahuan modern. Para sarjana didukung oleh pihak gereja untuk syiar bahasa. Bahasa menjelmakan bentuk-bentuk godaan ketika dilumuri oleh standar-standar dan klasifikasi bahasa yang tertentukan. Pemujaan terhadap bahasa tinggi mempunyai nilai eksperensial dalam hal representasi sebuah ras dari sebagian pengelompokan etnis (Mario Pei, 1971).




Nalar kolonialisme merupakan syarat utama kebahasaan yang populer. Bahasa sastra yang diakui di penghargaan Nobel Sastra menggunakan bahasa Inggris sebagai standar pengukuran sastra. Tragedi mutakhir dunia sastra tersebut terintrodusir dalam bahasa Inggris sebagai bahasa yang dikenal semua orang. Bahasa dimaknai sebagai kuasa global dan sebagai konsensus yang dimiliki setiap insan. Kelak otoritas bahasa yang dimiliki pengarang akan hancur, karena para pengarang sastra dipaksa oleh peralatan zaman menghilangkan kultur identitas mereka. Bahasa yang menjadi orangtua tempat para pengarang berdiam dan pulas oleh lagu-lagu pengantar tidurnya akan menghilang. Demi pertaruhan kreatif, pengarang menemui kesunyian historis sehingga tak ada lagi tempat bertaut.




Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan mengungkapkan bahwa dalam sejarah politik, jangkauan luar biasa imperialisme Barat terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 melalui pesona mahakarya-mahakarya besar tradisi Barat, Heart of Darkness karya Joseph Conrad, Mansfield Park karya Jane Austen, dan Aida karya Verdi. Dalam dunia pascakolonial sekarang ini, asumsi-asumsi yang memenuhi entitas yang tunggal dan murni dalam bahasa menjadi pernyataan kunci atas ajuan terhadap sanggahan yang bersifat imperium. Kekuasaan imperial dalam bahasa sebenarnya telah mengalami perlawanan dari pribumi yang terjajah. Pelacakan atas perlawanan kebahasaan yang imperialis dapat terbaca dari karya-karya Frans Fanon, C.L.R James, WB Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie.




Syarat bahasa agar menjadi bahasa dengan konsensus, yaitu mengikuti dan mempunyai nalar koloni. Jika bahasa itu tak dibekali politik kekuasaan, bahasa tak akan menjangkit ke mana-mana dan menjadi bahasa yang dianut oleh bangsa-bangsa lain. India menjadi negara penuh berkah karena pernah dijajah Inggris. Bahasa Inggris kemudian menempel sebagai bahasa yang dipakai kaum terpelajar di India. Stigmatisasi kemudian diberlakukan. Bahasa Inggris menjadi bahasa orang-orang terpelajar. India menjadi korban utama bahasa Inggris dengan nalar koloninya. Bahasa Inggris diproduksi dan dijadikan bahasa yang menggantikan bahasa ibu.


Arogansi


Bangsa Norman dari Perancis pada Abad Pertengahan melakukan penyerangan terhadap kerajaan di Inggris. Inggris kalah. Inggris kemudian dijajah bangsa Perancis. Tetapi, kearoganan bahasa sudah ditampakkan oleh bangsa pendatang. Elite Perancis tak sudi menggunakan Anglo-Saxon karena mereka merasa ras mereka lebih tinggi dari bangsa yang menghuni Inggris terlebih dahulu. Bahasa yang digunakan di Inggris selama berabad-abad lamanya adalah Anglo-Saxon. Saat itu bangsa Danes (Jerman) mengalami kekalahan pertempuran. Penyerangan yang dilakukan untuk menggempur jajahan Jerman tersebut ditujukan untuk mengatur dan merombak kebudayaan yang ada di Inggris. Saat Jerman bertekuk lutut dengan Perancis itu, Inggris mengalami kebingungan bahasa. Rakyat memakai bahasa daerah mereka, dan pemerintah, yang saat itu diduduki oleh oleh bangsa Norman menggunakan bahasa asli mereka (Perancis).
Selama berabad-abad lamanya, kaum elitis di Inggris menggunakan bahasa Perancis dan rakyat jelata berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Anglo-Saxon. Lalu, kaum elitis yang menjajah tanah Inggris memaksa rakyat untuk belajar bahasa mereka.
Pada perempat awal abad ke-19, saat pendidikan tinggi dimonopoli Church of England hanya ada dua universitas di Inggris, yaitu Oxford dan Cambridge. Keduanya menerima mahasiswa sakramen Anglikan dan beribadah di kapel perguruan tinggi. Orang-orang Katolik dan Yahudi dilarang mengikuti perkuliahan. Pada saat yang sama, terobosan baru terjadi di London bersamaan dengan berdirinya University College. Sejak tahun 1828, universitas itulah yang pertama kali mengajarkan bahasa Inggris pada mahasiswanya. Tetapi, yang dipelajari utamanya adalah bahasa Inggrisnya saja, dan kesusastraan hanya digunakan sebagai sumber contoh linguistik. Sastra Inggris baru diajarkan pertama kalinya di King’s College, London University mulai tahun 1831 (Peter Barry, 2010).




Dari sini, pemaknaan bahasa Inggris lebih dilihat dari sebagai semacam pengganti bagi agama. Pelajaran bahasa Inggris akan melibatkan banyak orang untuk mempertahankan status quo politik tanpa harus diadakannya distribusi ulang kekayaan bahasa tradisional. Bahasa Inggris terus berkembang dengan adanya pembakuan dan standarisasi. Menjadi agitator yang berdimensi politis dan berbau imperial yang gigantik. Perlawanan atas hukuman terhadap identitas diri dan hujatan kefakiran pemilik bahasa ibu. Arogansi bahasa Inggris memunculkan ironi atas hinaan terhadap kita dan budaya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar