Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Feminisme ala Sindhunata

Oleh Sartika Dian Nuraini

Sindhunata telah menemukan kebijaksanaan literatur, kebijaksanaan membentuk perempuan yang berakar pada produksi budaya orisinal Cina dan feminitasnya. Sebagai seorang figur yang merepresentasi laki-laki dan yang Ilahi, dalam penciptaan, kekuasaan, pemberi keadilan, sekaligus sebagai penentu keputusan. Novel Putri Cina (2007) adalah bentuk eksposisi yang menelanjangi konstruksi hierarkis atas rezim kekuasaan dalam masyarakat dan budaya Jawa. Laki-laki direpresentasi telah melupa, meminggirkan, menenggelamkan perempuan dari kuasa bersuara dan kehidupan. Perempuan mengalami marginalisasi dan acapkali dirundung kesedihan karena tak mampu menunjukkan identitas diri dan tanggung jawab mengembangkan konsep keilahian.
Sindhunata memakai perempuan Cina sebagai suara identitasnya. Fragmen historis dan filosofis membangun ide-ide cerita yang khayali dan mumpuni. Prinsip dasar metodologis yang dipakainya mengacu pada penjatuhan perspektif maskulinitas oleh kekuatan tokoh Giok Tien sebagai lakon utama. Secara substansial,  novel yang merupakan garapan ulang pemikiran Jawa ini, mengacu pada ajakan untuk mengafirmasi terbentuknya kekuatan seksualitas dan subjektifitas sebagai perempuan. Feminisme Sindhunata berpuncak pada ketegangan visual pembaca terhadap pelecehan seksual yang dialami Giok Tien sebagai keturunan Jawa dan Cina. Giok Tien sempat marah terhadap kondisi dan situasi yang dihadapinya, tetapi kemudian tak terjerumus dalam kemarahannya dan berjuang memperoleh keadilan melalui kekuatan kata-kata.
Tantangan pencerahan yang terbaca dari misi Sindhunata adalah untuk memurnikan ajaran feminisme, memberikan kembali hak bersuara dari dan untuk perempuan, sejalan dengan pemikiran feminisme awal di Barat yang didalangi Elizabeth Cady Stanton, Lucrettia Mott, Sarah Grimke, Angelina Grimke, dan Lucy Stone. Sindhunata memperluas horison dalam aforisme epistemologis diri keperempuanan. Mengajak perempuan untuk memiliki daya, sementara menjadi perempuan adalah konsekuensi dari biologi juga tak meninggalkan femininitas yang terbentuk oleh masyarakat.
Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex, mengungkapkan “seseorang tidak dilahirkan tetapi lebih menjadi perempuan”. Persoalan eksistensialisme yang rasial dalam Putri Cina dapat terbangun dari posisi apa pun yang dapat diduduki oleh subjek periferal manapun, bisa mereka laki-laki ataupun perempuan. Kali ini, Sindhunata menelusup ruang-ruang feminisme yang membela perempuan dengan tubuh dan penokohan perempuan. Maskulinitas dan femininitas kian bias, sehingga Semar bisa dialih-wujudkan menjadi Sabdopalon-Nayagenggong. Semar atau Dewa Ismaya berubah menjadi sosok perempuan yang menghamba pada Giok Tien.
Dari sifat ekletis postmodern Sindhunata, bisa disinyalir adanya subjektifitas yang terfragmen pada Putri Cina tentang identitasnya sebagai Jawa-Cina. Dalam outprintnya, ia menggunakan tubuh sebagai bentuk simbolik. Dari bodyprint yang eksotik hingga pencitraan prajurit laki-laki yang gemar bertarung dan memperebutkan tahta dan kekuasaan. Bentuk-bentuk ini ia gunakan untuk menciptakan gambaran visual mengenai pertahanan inkorporasi dan marginalisasi dari budaya yang dominan. Sindhunata memulai segala sesuatunya dengan mempertanyakan sejarah rasialisme dalam asumsi-asumsi mengenai tubuh, seks, dan seksualitas. Rekonsiliasi dan dekonstruksi binarisme gender juga dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang populer.
Versi berbeda tapi sama dapat dibaca dalam karya-karya sejenis karangan Ann Petry yang berjudul The Street, yang bercerita tentang gadis berkulit hitam yang mengalami ketidakadilan. Sementara dalam Putri Cina, area konklusi dibatasi sampai pada kekuatan perempuan untuk menemukan diri dan bersuara. Hal yang sulit bahkan tak mungkin dicapai perempuan di jaman itu. Tetapi, fantasi dalam tuturan Sindhunata menandakan genre tertentu atau mengutip perkataan Joanna Russ, “menentang yang riil dan melanggarnya. Fantasi adalah apa yang tidak akan pernah terjadi, apa yang tidak mungkin ada.” Sindhunata menumbuh-suburkan imajinasi, tetapi sekaligus menggagalkan fantasi dalam sastra.
Fragmen Roro Hoyi dan drama Sampek Engtay disampaikan sebagai elusi dan perang akan ideologi yang mendominasi pengalaman hidup dan mati perempuan. Seolah hanya lelaki yang berhak atas nyawa perempuan. Hidup perempuan adalah milik laki-laki. Surat yang ditulis Sampek dan pembunuhan Roro Hoyi oleh kekasihnya sendiri memiliki kekuatan sugesti dalam pengertian yang tiada batas. Hati dan perasaan perempuan diperalat sebagai tragis dan melankolis. Lemah dan tak berdaya upaya, menyerahkan diri seutuh-utuhnya pada laki-laki. Gagasan untuk menggapai kebahagian perempuan juga ada pada kejujuran hati dan kesuciannya.
Sindhunata juga menggunakan pola etnosentris yang sangat kentara pada puisi-puisi dan ajaran T’ao C‘hien. Ini senjata ideologi untuk membentengi diri dari penindasan kehidupan kapitalis karena seringkali orang Cina digeneralisasikan sebagai pecinta harta dan benda sahaja. Ajaran agama orisinal dihadirkan untuk melawan kebiadaban kapitalis. Ajaran tentang kebahagiaan dalam mencapai kemurnian hidup yang seimbang dan tidak timpang.
Drama pemerkosaan bergilir yang dilakukan Prabu Amurco Sabdo dan Joyo Sumengah menunjukkan situasi bahwa seksualitas perempuan rentan menjadi objek. Ini semacam internalisasi dan protes keras yang dilakukan Sindhunata terhadap budaya patriarkhi. Sexual power yang disandang perempuan dilemahkan kembali. Persepsi taktil tak terlihat dan hasrat inses yang terjadi kian transgresif. Tetapi, identitas serta subjektifitas Giok Tien dapat dikenali dari cara dia memandang (baca: pengetahuan yang diperolehnya di saat bertemu Sabdopalon Nayagenggong dan Korsinah, dari orang tuanya, dan dari ajaran T’ao C’hien) serta representasi bahasa yang dipakainya.
Hibriditas perempuan menurut selera laki-laki terinkorporasi dalam nafsu penguasa. Hibriditas fisiognomi Giok tien yang secara “tidak sengaja” menggoda syahwat banyak laki-laki merupakan simbol kuat seksualitas perempuan. Karena, seksualitas perempuan seringkali dipolarisasi dalam oposisi biner yang melemahkan perempuan. Giok Tien menjadi male gaze karena kecantikannya dan kehormatannya hilang sudah. Ia tak berhak memiliki kepribadian yang berharga diri tinggi. Giok Tien dihadirkan untuk diperkosa banyak orang. Ide dasar inilah sebenarnya kritik diri akan perempuan-perempuan pemuja kecantikan.
Karena hasratnya terhadap Giok Tien yang tak tersalurkan, Joyo Sumengah menuduh Giok Tien “pelaku” atau penyebab kesulitan. Viktimisasi perempuan yang terjadi di sini adalah sebuah opresi yang ternaturalkan dan membudaya. Psikologis laki-laki yang tak dipertanggungjawabkan sebenarnya bersifat kriminal dan patologis. Redekonstruksi seksualitas perempuan yang dapat dihadirkan pun tak dapat membendung seksualitas laki-laki. Karena,  Giok Tien cantik, maka ia adalah “penggoda”. Ini sebuah stereotipe yang brutal menghabisi identitas perempuan.
Narasi lain yang bersumber dari ketegangan Sindhunata terhadap sistem patriarkhis terdapat pada puisi “Balada Sebuah Bokong” (Air Kata-kata, 2003). Puisi ini adalah perlawanan terhadap ekspektasi masyarakat dan pemerintah yang “sibuk” mengatur urusan bokong Inul Daratista. Puisi ini cukup mencuri perhatian karena dihadirkan setelah makna filosofis “Pring” dan “Tuhan dan Bir”. Puisi bokong Inul menggegerkan, mencerabut kegelisahan MUI. Institusi agama dan pemerintah ingin menggagalkan misi dangdut dan budaya bergoyang. Rekonsiliasi dan dekonstruksi binarisme gender juga dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang populer dalam puisinya.
Puisi yang berjudul “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri Cina”, “Kerinduan Putri Cina” dan “Kalung Putri Cina” dalam Air Kata-kata (2003) seolah memberi dokumentasi akan ingatan Sindhunata akan diri dan wajah. Bait-bait bersajak: Betapa cantik, lembut dan jelita wajah sebelas tahun lalu itu...menunjukkan betapa sebenarnya Sindhunata pengagum keindahan. Jejak literer ini mungkin berhubungan langsung dengan proses kreatif pembuatan novel kendati ada asumsi bahwa wajah putri Cina itu merupakan representasi diskriminasi dan anatomi kekerasan yang menimpa kaum etnis Cina di Indonesia.
Acapkali Sindhunata memasuki area metafora atas dogma rasial dan keagamaan serta tradisi religius lain, tapi sisi humanisme dan cinta kasih tetap dihadirkan dalam kelembutan atas dedikasi untuk keluarga dan patriotisme terhadap diri sendiri. Ia juga seolah menghimbau pada perempuan untuk teguh dan melawan emosionalisme yang tak terkontrol. Putri Cina diwujudkan untuk meneguhkan perempuan dengan semangat misi keagamaan. Seperti Sindhunata dengan lugas menerangkan, “kita datang ke dunia ini sebagai saudara, tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, yang ternyata hanya memisahkan kita?”
Sedangkan wajah pemikiran feminisme dalam karya Sindhunata adalah wajah feminisme gelombang kedua. Kesesuaian tersebut dapat terlihat dari keberadaan peneorisasian sistem kekuasaan patriarkal yang harus digulingkan guna mencapai pembebasan. Dan, ini adalah perjuangan yang berkelanjutan dengan sistem-sistem yang diskursif serta konstruksi ideologis yang harus dijalankan supaya tidak cenderung menjadi pemikiran yang membatasi diri saat serangkaian tujuan telah tercapai.


Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar