Oleh Sartika Dian Nuraini
Sindhunata telah menemukan kebijaksanaan literatur,
kebijaksanaan membentuk perempuan yang berakar pada produksi budaya orisinal
Cina dan feminitasnya. Sebagai seorang figur yang merepresentasi laki-laki dan
yang Ilahi, dalam penciptaan, kekuasaan, pemberi keadilan, sekaligus sebagai
penentu keputusan. Novel Putri Cina (2007) adalah bentuk eksposisi yang
menelanjangi konstruksi hierarkis atas rezim kekuasaan dalam masyarakat dan
budaya Jawa. Laki-laki direpresentasi telah melupa, meminggirkan, menenggelamkan
perempuan dari kuasa bersuara dan kehidupan. Perempuan mengalami marginalisasi
dan acapkali dirundung kesedihan karena tak mampu menunjukkan identitas diri
dan tanggung jawab mengembangkan konsep keilahian.
Sindhunata memakai perempuan Cina sebagai suara
identitasnya. Fragmen historis dan filosofis membangun ide-ide cerita yang
khayali dan mumpuni. Prinsip dasar metodologis yang dipakainya mengacu pada
penjatuhan perspektif maskulinitas oleh kekuatan tokoh Giok Tien sebagai lakon
utama. Secara substansial, novel yang
merupakan garapan ulang pemikiran Jawa ini, mengacu pada ajakan untuk
mengafirmasi terbentuknya kekuatan seksualitas dan subjektifitas sebagai
perempuan. Feminisme Sindhunata berpuncak pada ketegangan visual pembaca
terhadap pelecehan seksual yang dialami Giok Tien sebagai keturunan Jawa dan
Cina. Giok Tien sempat marah terhadap kondisi dan situasi yang dihadapinya,
tetapi kemudian tak terjerumus dalam kemarahannya dan berjuang memperoleh
keadilan melalui kekuatan kata-kata.
Tantangan pencerahan yang terbaca dari misi Sindhunata
adalah untuk memurnikan ajaran feminisme, memberikan kembali hak bersuara dari
dan untuk perempuan, sejalan dengan pemikiran feminisme awal di Barat yang
didalangi Elizabeth Cady Stanton, Lucrettia Mott, Sarah Grimke, Angelina
Grimke, dan Lucy Stone. Sindhunata memperluas horison dalam aforisme
epistemologis diri keperempuanan. Mengajak perempuan untuk memiliki daya,
sementara menjadi perempuan adalah konsekuensi dari biologi juga tak
meninggalkan femininitas yang terbentuk oleh masyarakat.
Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex,
mengungkapkan “seseorang tidak dilahirkan tetapi lebih menjadi perempuan”.
Persoalan eksistensialisme yang rasial dalam Putri Cina dapat terbangun
dari posisi apa pun yang dapat diduduki oleh subjek periferal manapun, bisa
mereka laki-laki ataupun perempuan. Kali ini, Sindhunata menelusup ruang-ruang
feminisme yang membela perempuan dengan tubuh dan penokohan perempuan.
Maskulinitas dan femininitas kian bias, sehingga Semar bisa dialih-wujudkan
menjadi Sabdopalon-Nayagenggong. Semar atau Dewa Ismaya berubah menjadi sosok
perempuan yang menghamba pada Giok Tien.
Dari sifat ekletis postmodern Sindhunata, bisa disinyalir
adanya subjektifitas yang terfragmen pada Putri Cina tentang identitasnya sebagai
Jawa-Cina. Dalam outprintnya, ia menggunakan tubuh sebagai bentuk
simbolik. Dari bodyprint yang eksotik hingga pencitraan prajurit
laki-laki yang gemar bertarung dan memperebutkan tahta dan kekuasaan.
Bentuk-bentuk ini ia gunakan untuk menciptakan gambaran visual mengenai
pertahanan inkorporasi dan marginalisasi dari budaya yang dominan. Sindhunata
memulai segala sesuatunya dengan mempertanyakan sejarah rasialisme dalam
asumsi-asumsi mengenai tubuh, seks, dan seksualitas. Rekonsiliasi dan dekonstruksi
binarisme gender juga dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang
populer.
Versi berbeda tapi sama dapat dibaca dalam karya-karya
sejenis karangan Ann Petry yang berjudul The Street, yang bercerita
tentang gadis berkulit hitam yang mengalami ketidakadilan. Sementara dalam
Putri Cina, area konklusi dibatasi sampai pada kekuatan perempuan untuk
menemukan diri dan bersuara. Hal yang sulit bahkan tak mungkin dicapai
perempuan di jaman itu. Tetapi, fantasi dalam tuturan Sindhunata menandakan genre
tertentu atau mengutip perkataan Joanna Russ, “menentang yang riil dan
melanggarnya. Fantasi adalah apa yang tidak akan pernah terjadi, apa yang tidak
mungkin ada.” Sindhunata menumbuh-suburkan imajinasi, tetapi sekaligus
menggagalkan fantasi dalam sastra.
Fragmen Roro Hoyi dan drama Sampek Engtay disampaikan
sebagai elusi dan perang akan ideologi yang mendominasi pengalaman hidup dan
mati perempuan. Seolah hanya lelaki yang berhak atas nyawa perempuan. Hidup
perempuan adalah milik laki-laki. Surat yang ditulis Sampek dan pembunuhan Roro
Hoyi oleh kekasihnya sendiri memiliki kekuatan sugesti dalam pengertian yang
tiada batas. Hati dan perasaan perempuan diperalat sebagai tragis dan
melankolis. Lemah dan tak berdaya upaya, menyerahkan diri seutuh-utuhnya pada
laki-laki. Gagasan untuk menggapai kebahagian perempuan juga ada pada kejujuran
hati dan kesuciannya.
Sindhunata juga menggunakan pola etnosentris yang sangat
kentara pada puisi-puisi dan ajaran T’ao C‘hien. Ini senjata ideologi untuk
membentengi diri dari penindasan kehidupan kapitalis karena seringkali orang
Cina digeneralisasikan sebagai pecinta harta dan benda sahaja. Ajaran agama
orisinal dihadirkan untuk melawan kebiadaban kapitalis. Ajaran tentang
kebahagiaan dalam mencapai kemurnian hidup yang seimbang dan tidak timpang.
Drama pemerkosaan bergilir yang dilakukan Prabu Amurco
Sabdo dan Joyo Sumengah menunjukkan situasi bahwa seksualitas perempuan rentan
menjadi objek. Ini semacam internalisasi dan protes keras yang dilakukan
Sindhunata terhadap budaya patriarkhi. Sexual power yang disandang
perempuan dilemahkan kembali. Persepsi taktil tak terlihat dan hasrat inses
yang terjadi kian transgresif. Tetapi, identitas serta subjektifitas Giok Tien
dapat dikenali dari cara dia memandang (baca: pengetahuan yang diperolehnya di
saat bertemu Sabdopalon Nayagenggong dan Korsinah, dari orang tuanya, dan dari
ajaran T’ao C’hien) serta representasi bahasa yang dipakainya.
Hibriditas perempuan menurut selera laki-laki
terinkorporasi dalam nafsu penguasa. Hibriditas fisiognomi Giok tien yang
secara “tidak sengaja” menggoda syahwat banyak laki-laki merupakan simbol kuat
seksualitas perempuan. Karena, seksualitas perempuan seringkali dipolarisasi
dalam oposisi biner yang melemahkan perempuan. Giok Tien menjadi male gaze karena
kecantikannya dan kehormatannya hilang sudah. Ia tak berhak memiliki
kepribadian yang berharga diri tinggi. Giok Tien dihadirkan untuk diperkosa
banyak orang. Ide dasar inilah sebenarnya kritik diri akan perempuan-perempuan
pemuja kecantikan.
Karena hasratnya terhadap Giok Tien yang tak tersalurkan,
Joyo Sumengah menuduh Giok Tien “pelaku” atau penyebab kesulitan. Viktimisasi
perempuan yang terjadi di sini adalah sebuah opresi yang ternaturalkan dan
membudaya. Psikologis laki-laki yang tak dipertanggungjawabkan sebenarnya
bersifat kriminal dan patologis. Redekonstruksi seksualitas perempuan yang
dapat dihadirkan pun tak dapat membendung seksualitas laki-laki. Karena, Giok Tien cantik, maka ia adalah “penggoda”.
Ini sebuah stereotipe yang brutal menghabisi identitas perempuan.
Narasi lain yang bersumber dari ketegangan Sindhunata
terhadap sistem patriarkhis terdapat pada puisi “Balada Sebuah Bokong” (Air
Kata-kata, 2003). Puisi ini adalah perlawanan terhadap ekspektasi
masyarakat dan pemerintah yang “sibuk” mengatur urusan bokong Inul Daratista.
Puisi ini cukup mencuri perhatian karena dihadirkan setelah makna filosofis
“Pring” dan “Tuhan dan Bir”. Puisi bokong Inul menggegerkan, mencerabut
kegelisahan MUI. Institusi agama dan pemerintah ingin menggagalkan misi dangdut
dan budaya bergoyang. Rekonsiliasi dan dekonstruksi binarisme gender juga
dilakukan Sindhunata dalam parodi-parodi dramatik yang populer dalam puisinya.
Puisi yang berjudul “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri
Cina”, “Kerinduan Putri Cina” dan “Kalung Putri Cina” dalam Air Kata-kata
(2003) seolah memberi dokumentasi akan ingatan Sindhunata akan diri dan wajah.
Bait-bait bersajak: Betapa cantik, lembut dan jelita wajah sebelas tahun
lalu itu...menunjukkan betapa sebenarnya Sindhunata pengagum keindahan.
Jejak literer ini mungkin berhubungan langsung dengan proses kreatif pembuatan
novel kendati ada asumsi bahwa wajah putri Cina itu merupakan representasi
diskriminasi dan anatomi kekerasan yang menimpa kaum etnis Cina di Indonesia.
Acapkali Sindhunata memasuki area metafora atas dogma
rasial dan keagamaan serta tradisi religius lain, tapi sisi humanisme dan cinta
kasih tetap dihadirkan dalam kelembutan atas dedikasi untuk keluarga dan
patriotisme terhadap diri sendiri. Ia juga seolah menghimbau pada perempuan
untuk teguh dan melawan emosionalisme yang tak terkontrol. Putri Cina
diwujudkan untuk meneguhkan perempuan dengan semangat misi keagamaan. Seperti
Sindhunata dengan lugas menerangkan, “kita datang ke dunia ini sebagai saudara,
tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, yang ternyata
hanya memisahkan kita?”
Sedangkan wajah pemikiran feminisme dalam karya
Sindhunata adalah wajah feminisme gelombang kedua. Kesesuaian tersebut dapat
terlihat dari keberadaan peneorisasian sistem kekuasaan patriarkal yang harus
digulingkan guna mencapai pembebasan. Dan, ini adalah perjuangan yang
berkelanjutan dengan sistem-sistem yang diskursif serta konstruksi ideologis
yang harus dijalankan supaya tidak cenderung menjadi pemikiran yang membatasi
diri saat serangkaian tujuan telah tercapai.
Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada
Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar