Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Solo, Novel, dan Refleksi Sejarah

Bandung Mawardi

Kota Solo adalah ruang imajinasi untuk pengarang mengisahkan pelbagai sisi kehidupan manusia dan perubahan-perubahan zaman. Penulisan sastra memungkinkan mewartakan kota dan membuat pembaca memainkan memori atau membayangkan dalam buaian kata dan permainan makna. Solo selama ini memang dominan dikenali publik dalam oleh seni: musik, tari, kethoprak, atau wayang orang. Pengenalan dan pengalaman melalui sastra masih terbatas karena pelbagai alasan. Solo dalam lagu keroncong dan campursari mungkin paling efektif dan massif untuk mengimajinasikan pelbagai hal: Bengawan Solo, Solo di Waktu Malam, Putri Solo, Tirtonadi, Taman Jurug, Stasiun Balapan, Solo Berseri, dan lain-lain.
Pembacaan Solo melalui novel memiliki potensi untuk menelisik babak-babak perubahan kota, dinamisme mentalitas orang kota, dokumentasi peristiwa-peristiwa historis, dan dialektika pergerakan sosial-politik-agama. Ikhtiar mengurusi teks sastra atau novel tentang Solo memang belum menjadi prioritas oleh Pemkot Solo, Perpustakaan Daerah, Dinas Pendidikan, atau pihak-pihak terkait. Dokumentasi ini penting karena ikut menentukan rekonstruksi sejarah dan transformasi sosial-kultural di Kota Solo. Spirit sastra pun sanggup memberi penyadaran atas agenda literasi untuk membaca dan menulis kota.

Pengisahan
Sekian data dalam tulisan ini masih belum lengkap tapi bisa menjadi pembuka jalan untuk program dokumentasi sastra mengenai Kota Solo. Pada tahun 1950 terbit novel Solo Waktu Malam anggitan Kamadjaja. Novel percintaan ini dilatari oleh perkembangan kota dengan sekian jejak-jejak historis dan impian menjadi kota modern. Tokoh dalam novel ini dikisahkan terlibat dalam usaha pergerakan nasionalisme di Kota Solo pada tahun 1940-an ketika revolusi didengungkan di penjuru negeri. Kisah pamor dan nasib batik tulis juga mendapatkan porsi sebagai pengantar pengetahuan tentang kekhasan Kota Solo. Novel dengan latar pada masa penjajahan Jepang ini hadir dengan sekian informasi penting tentang represi politik-ekonomi, perlawanan rakyat, gaya hidup manusia kota, dan lakon hidup para priyayi.
Novel Solo Waktu Malam merupakan dokumentasi kota dalam bentuk sastra tapi belum dijadikan bahan studi untuk rekonstruksi sejarah kota. Novel lebih awal mengenai Solo ditulis oleh Mar Marco Kartodikromo dalam Student Hidjoe (1919). Novel ini dalam fragmen-fragmen awal mengisahkan pergerakan politik di Kota Solo, gaya hidup, keramaian Taman Sriwedari, dan kisah percintaan ala priyayi. Mas Marco Kartodikromo  memang pernah menjadi redaktur Doenia-Bergerak di Kota Solo. Deskrispi dan narasi dari Mas Marco Kartodikromo ini merupakan persembahan dari adonan kompetensi seorang jurnalis dan pengarang. Pembaca bisa menemukan pengisahan kota dalam kekuatan bahasa Melayu ketika direpresi oleh kebijakan politik-kebudayaan dari pemerintah kolonial.
Peristiwa banjir di Solo pada tahu 1966 terekam dengan apik dalam novel Geger Solo (1969) anggitan Kho Ping Ho. Novel dokumentatif ini memberi pemetaan tentang pelbagai kampung korban banjir dan kesusahan para korban. Kho Ping Ho menulis novel berdasarkan pengalaman dan sekian informasi primer. Situasi banjir menimbulkan geger dan menimbulkan korban. Derita tersakan tapi spirit kemanusiaan untuk saling membantu muncul tanpan membedakan perbedaan etnis, agama, atau status sosial. Novel ini pantas dijadikan sebagai jejak fenomenal mengenai biografi Kota Solo.
Novel paling moncer tentang Solo adalah Canting (1986) anggitan Arswendo Atmowiloto. Kisah tentang keluarga pengusaha batik dan kehidupan buruh ini impresif dan menjadi tarikan imajinatif atas keunikan Solo. Narasi tentang perekonomian kota di Pasar Klewer dan dinamisasi gaya hidup manusia kota dikisahkan dengan intim. Pengajuan refleksi nilai-nilai kultural Jawa juga jadi perhatian karena Kota Solo dijuluki sebagai pusat kebudayaan Jawa. Arswendo Atmowiloto memberi persembahan estetis untuk Solo tapi tampak belum ada greget untuk meletakkan novel sebagai sumber pembacaan Solo dari zaman ke zaman.

Refleksi
Pengisahan Kota Solo dalam perspektif historis dilanjutkan dalam penerbitan novel De Winst (2008) garapan Afifah Afra. Novel ini mengisahkan perkembangan industri pabrik gula oleh Mangkunegaran pada masa kolonial. Pergerakan politik menjadi bab penting karena merepresentasikan Kota Solo sebagai pusat pergerakan di Hindia Belanda. Polemik tentang tata nilai kehidupan kaum priyayi di Solo menjadi narasi kritis. Dinamisasi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama dalam novel ini mengesankan paparan sejarah dalam perhitungan fakta dan perayaan imajinasi. Novel De Winst mungkin novel terapik dalam pengolahan bahasa dan imajinasi untuk membuka memori Solo pada masa penjajahan dengan sekian lakon.
Tarikan refleksi historis juga terasakan dalam novel Vorstenlanden  (2008) garapan Totok Prasojo. Pemakaian judul ini sudah mengantarkan pembaca pada imajinasi ruang politik-kultural Solo dan Yogyakarta pada masa kolonialisme. Novel ini merekam aktivitas pergerakan politik, peran kalangan priyayi, dan lakon para saudagar batik. Solo pada saat itu memiliki aura karena kelahiran pertumbuhan Sarekat Islam. Represi kolonial dan feodalisme Jawa membuat situasi kehidupan kota ada dalam ketegangan untuk menentukan karakter. Dilema politik dan kultural menjadi kisah pelik dan menarik dalam novel Vorstenlanden. Novel ini dan novel De Winst merupakan persembahan memukau untuk pengisahan sejarah Kota Solo pada abad XX.
Deretan novel tentang Solo masih ada meski tak mungkin semua menjadi acuan komplet untuk mengisahkan Solo. Novel dan kota memiliki intimitas untuk merekonstruksi sejarah kota dan melahirkan imajinasi tentang kota. Relasi ini mesti menjadi ajakan konstruktif dalam ikhtiar menekuni studi kota melalui dokumentasi sastra. Peminggiran novel sebagai sumber pengisahan kota mungkin dilambari motif ilmiah tapi novel adalah “suara unik” atas pencatatan kehidupan manusia dengan latar Kota Solo. Ikhtiar mewartakan novel-novel tentang Solo pada publik tentu jadi bentuk antusiasme mengenali, membaca, menulis, dan mengalami kota. Ironi mesti dihindari meski sekian orang dan murid-murid di pelbagai sekolah di Kota Solo tidak pernah tahu deretan novel tentang Kota Solo. Misi penyadaran untuk Solo melalui sastra pantas lekas dilakukan dengan gairah tak biasa. Begitu.             

Solopos (14 November 2010)

1 komentar: