Bandung Mawardi
Kota Solo adalah ruang imajinasi untuk pengarang
mengisahkan pelbagai sisi kehidupan manusia dan perubahan-perubahan zaman.
Penulisan sastra memungkinkan mewartakan kota dan membuat pembaca memainkan
memori atau membayangkan dalam buaian kata dan permainan makna. Solo selama ini
memang dominan dikenali publik dalam oleh seni: musik, tari, kethoprak, atau
wayang orang. Pengenalan dan pengalaman melalui sastra masih terbatas karena
pelbagai alasan. Solo dalam lagu keroncong dan campursari mungkin paling
efektif dan massif untuk mengimajinasikan pelbagai hal: Bengawan Solo, Solo
di Waktu Malam, Putri Solo, Tirtonadi, Taman Jurug, Stasiun Balapan, Solo
Berseri, dan lain-lain.
Pembacaan Solo melalui novel memiliki potensi untuk
menelisik babak-babak perubahan kota, dinamisme mentalitas orang kota,
dokumentasi peristiwa-peristiwa historis, dan dialektika pergerakan
sosial-politik-agama. Ikhtiar mengurusi teks sastra atau novel tentang Solo
memang belum menjadi prioritas oleh Pemkot Solo, Perpustakaan Daerah, Dinas
Pendidikan, atau pihak-pihak terkait. Dokumentasi ini penting karena ikut
menentukan rekonstruksi sejarah dan transformasi sosial-kultural di Kota Solo.
Spirit sastra pun sanggup memberi penyadaran atas agenda literasi untuk membaca
dan menulis kota.
Pengisahan
Sekian data dalam tulisan ini masih belum lengkap tapi
bisa menjadi pembuka jalan untuk program dokumentasi sastra mengenai Kota Solo.
Pada tahun 1950 terbit novel Solo Waktu Malam anggitan Kamadjaja. Novel
percintaan ini dilatari oleh perkembangan kota dengan sekian jejak-jejak
historis dan impian menjadi kota modern. Tokoh dalam novel ini dikisahkan
terlibat dalam usaha pergerakan nasionalisme di Kota Solo pada tahun 1940-an
ketika revolusi didengungkan di penjuru negeri. Kisah pamor dan nasib batik tulis
juga mendapatkan porsi sebagai pengantar pengetahuan tentang kekhasan Kota
Solo. Novel dengan latar pada masa penjajahan Jepang ini hadir dengan sekian
informasi penting tentang represi politik-ekonomi, perlawanan rakyat, gaya
hidup manusia kota, dan lakon hidup para priyayi.
Novel Solo Waktu Malam merupakan dokumentasi kota
dalam bentuk sastra tapi belum dijadikan bahan studi untuk rekonstruksi sejarah
kota. Novel lebih awal mengenai Solo ditulis oleh Mar Marco Kartodikromo dalam Student
Hidjoe (1919). Novel ini dalam fragmen-fragmen awal mengisahkan pergerakan
politik di Kota Solo, gaya hidup, keramaian Taman Sriwedari, dan kisah
percintaan ala priyayi. Mas Marco Kartodikromo
memang pernah menjadi redaktur Doenia-Bergerak di Kota Solo.
Deskrispi dan narasi dari Mas Marco Kartodikromo ini merupakan persembahan dari
adonan kompetensi seorang jurnalis dan pengarang. Pembaca bisa menemukan
pengisahan kota dalam kekuatan bahasa Melayu ketika direpresi oleh kebijakan
politik-kebudayaan dari pemerintah kolonial.
Peristiwa banjir di Solo pada tahu 1966 terekam dengan
apik dalam novel Geger Solo (1969) anggitan Kho Ping Ho. Novel
dokumentatif ini memberi pemetaan tentang pelbagai kampung korban banjir dan
kesusahan para korban. Kho Ping Ho menulis novel berdasarkan pengalaman dan
sekian informasi primer. Situasi banjir menimbulkan geger dan menimbulkan
korban. Derita tersakan tapi spirit kemanusiaan untuk saling membantu muncul
tanpan membedakan perbedaan etnis, agama, atau status sosial. Novel ini pantas
dijadikan sebagai jejak fenomenal mengenai biografi Kota Solo.
Novel paling moncer tentang Solo adalah Canting
(1986) anggitan Arswendo Atmowiloto. Kisah tentang keluarga pengusaha batik dan
kehidupan buruh ini impresif dan menjadi tarikan imajinatif atas keunikan Solo.
Narasi tentang perekonomian kota di Pasar Klewer dan dinamisasi gaya hidup
manusia kota dikisahkan dengan intim. Pengajuan refleksi nilai-nilai kultural
Jawa juga jadi perhatian karena Kota Solo dijuluki sebagai pusat kebudayaan
Jawa. Arswendo Atmowiloto memberi persembahan estetis untuk Solo tapi tampak
belum ada greget untuk meletakkan novel sebagai sumber pembacaan Solo dari
zaman ke zaman.
Refleksi
Pengisahan Kota Solo dalam perspektif historis
dilanjutkan dalam penerbitan novel De Winst (2008) garapan Afifah Afra.
Novel ini mengisahkan perkembangan industri pabrik gula oleh Mangkunegaran pada
masa kolonial. Pergerakan politik menjadi bab penting karena merepresentasikan
Kota Solo sebagai pusat pergerakan di Hindia Belanda. Polemik tentang tata nilai
kehidupan kaum priyayi di Solo menjadi narasi kritis. Dinamisasi politik,
sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama dalam novel ini mengesankan paparan
sejarah dalam perhitungan fakta dan perayaan imajinasi. Novel De Winst
mungkin novel terapik dalam pengolahan bahasa dan imajinasi untuk membuka
memori Solo pada masa penjajahan dengan sekian lakon.
Tarikan refleksi historis juga terasakan dalam novel Vorstenlanden (2008) garapan Totok Prasojo. Pemakaian judul
ini sudah mengantarkan pembaca pada imajinasi ruang politik-kultural Solo dan
Yogyakarta pada masa kolonialisme. Novel ini merekam aktivitas pergerakan
politik, peran kalangan priyayi, dan lakon para saudagar batik. Solo pada saat
itu memiliki aura karena kelahiran pertumbuhan Sarekat Islam. Represi kolonial
dan feodalisme Jawa membuat situasi kehidupan kota ada dalam ketegangan untuk
menentukan karakter. Dilema politik dan kultural menjadi kisah pelik dan
menarik dalam novel Vorstenlanden. Novel ini dan novel De Winst merupakan
persembahan memukau untuk pengisahan sejarah Kota Solo pada abad XX.
Deretan novel tentang Solo masih ada meski tak mungkin
semua menjadi acuan komplet untuk mengisahkan Solo. Novel dan kota memiliki
intimitas untuk merekonstruksi sejarah kota dan melahirkan imajinasi tentang
kota. Relasi ini mesti menjadi ajakan konstruktif dalam ikhtiar menekuni studi
kota melalui dokumentasi sastra. Peminggiran novel sebagai sumber pengisahan
kota mungkin dilambari motif ilmiah tapi novel adalah “suara unik” atas
pencatatan kehidupan manusia dengan latar Kota Solo. Ikhtiar mewartakan
novel-novel tentang Solo pada publik tentu jadi bentuk antusiasme mengenali,
membaca, menulis, dan mengalami kota. Ironi mesti dihindari meski sekian orang
dan murid-murid di pelbagai sekolah di Kota Solo tidak pernah tahu deretan
novel tentang Kota Solo. Misi penyadaran untuk Solo melalui sastra pantas lekas
dilakukan dengan gairah tak biasa. Begitu.
Solopos (14
November 2010)
widiiih, de winst dpt pujian mas bandung euy hehe
BalasHapus