Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Obituari Kebudayaan Jawa

Bandung Mawardi

Deru modernitas di Jawa pada awal abad XX melahirkan intelektual-intelektual pribumi dalam dilema. Tubuh-ruh Jawa terpecah karena membongkar dan memasang dalam anutan tradisi atau mengonsumsi dialektika peradaban dengan dominasi simbol-simbol Barat. Resah dan gelisah itu diimbuhi dengan godaan untuk mengonstruksi diri dengan nalar dan imajinasi Barat melalui prosedur pendidikan dan revolusi mesin cetak. Jawa telah menjadi ruang persemaian dengan pola transaksi simbolik-kultural untuk menjauh dari sejarah diri atau cinta mati pada mekanisme kodifikasi Jawa oleh politik-kultural kolonial dan geliat javanalog atas nama proyek ilmu pengetahuan.
Tanda seru dari kisah Jawa dan geliat intelektual pribumi untuk mewacanakan Jawa terjadi dalam Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling atau Kongres Kebudayaan Jawa (1918). Kongres ini tergelar melalui adu otoritas dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi. D. van Hinloopen Laberrton mengusulkan untuk diadakan kongres bahasa Jawa. Usulan ini mendapati restu dari pemerintah kolonial di Batavia. Kalangan intelektual pribumi dalam Budi Utomo di Solo malah menginginkan gelaran Kongres Kebudayaan Jawa dengan argumentasi mencakup pelbagai hal tentang Jawa. Juru bicara dari proyek kultural ini adalah Prangwadono (Mangkunegara VII). Keputusan akhir adalah pemerintah kolonial di Batavia mempersilakan penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Jawa (Supardi, 2003: 29-30). Adu otoritas ini masih dilanjutkan dalam pembuatan format kongres dan pilihan para pemberi materi. Kongres Kebudayaan Jawa justru jadi pertaruhan tentang “kehidupan” atau “kematian” Jawa oleh perbedaan mazhab dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi.

Bergerak
Solo pada masa itu sedang mengalami “zaman bergerak” (1917-1920). Dunia serasa bergerak di Solo. Takashi Shiraisi (1997) menandai dengan persemaian Sarekat Islam dan peran Solo sebagai pusat pergerakan politik-kultural. Solo adalah ruang sengit untuk pertarungan gagasan dan eksperimen politik-kultural dengan efek besar untuk nasib tanah Jawa dan Hindia Belanda. Solo pun saat itu bisa menerima geliat Revolusi di Rusia (1917) melalui suara Marco Kartodikromo dalam stair “Tabeat Apakah?” Syair ini dengan terbuka menyuguhkan kesejajaran peran dan nilai kultural antara Leo Tolsty dengan Ranggawarsita. Pujangga Rusia sejajar dengan pujangga Jawa? Solo adalah bumi subur atau tanah basah untuk pelbagai proyek pengetahuan dan politik-kultural kendati dominasi proyek “Jawa-kolonial” ala Belanda.
Proyek kultural melalui Kongres Kebudayaan Jawa dibarengi dengan proyek politik oleh kalangan intelektual-pergerakan pribumi melalui sosok Tjipto Mangoenkoesoemo, Haji Misbach, Radjiman, atau Mangkunegara VII. Solo memang bergerak tapi mengandung resah dan marah. Pelaksanaan Kongres Kebudayaan Jawa merupakan contoh kontroversial dalam perselingkuhhan kultural dan politik. Pemilihan topik dan materi harus diperdebatkan sengit antara memilih pemihakan dan perspektif Jawa tradisional atau memihak Barat dalam praktik pendidikan di Jawa. debat itu melahirkan jargon tentang proyek untuk kemajuan kebudayaan Jawa.
Komposisi pemberi materi untuk kongres pun imbang sebagai representasi perseteruan memperebutkan otoritas dan “setir” dalam proyek kemajuan kebudayaan Jawa. Daftar pembicara: Dr. Satiman Wirisandjojo, R. M. Soetatmo Soerjokoesoemo, Tjipto Mangunkusumo, Dr. Radjiman, R.A. Notosoedirdjo, D. Van Hinloopen Labberton, A. Muhlenfeld, J. Rottier, dan Z. Stokvis. Beberapa pokok persoalan dalam pembahasan di kongres: (1) Ke arah mana perkembangan bangsa Jawa dan bagaimana bangsa Jawa dapat kembali membangun kembali peradabannya yang tinggi di masa lampau; (2) Apakah peranan peradaban Barat dan kebudayaan Jawa dalam usaha pembangunan kembali bangsa Jawa; (3) Ke mana perkembangan kebudayaan Jawa harus diarahkan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar ke dalam masyarakat Jawa masa kini; dan (4) Sejauh mana mutlak diperlukan untuk mengembangkan masyarakat Jawa atas dasar pendidikan Jawa?

Intervensi dan Kodifikasi
Sekian intelektual terlibat untuk ikut memerkarakan pelbagai materi-materi pelik. Dr. Radjiman mengingatkan: “Jika pribumi dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat di antara dua peradaban (Lombard, 2000: 235). Kebudayaan saat itu mendapati perhatian, keprihatinan, pesimisme, dan impian. Kongres terkesan memberi pemihakan untuk kemajuan kebudayaan Jawa tapi mengandung laten ada “kematian” karena model pengolahan atau pembaruan dalam anutan nalar-imajinasi Barat.
Intervensi kolonial dan intelektual kolonial justru membuat kebudayaan Jawa abad XX rentan alias gampang dikodifikasi. Pemilihan sumber-sumber Jawa pun telah ditentukan dengan pamrih harmonisasi proyek kolonial dan pelaku-pelaku pembaruan kebudayaan Jawa dari kalangan keraton dan intelektual-pergerakan. Pamrih harmonisasi dengan “kematian” kebudayaan Jawa untuk lakon politik di Solo bisa disimak dalam buku Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912 – 1942 (1990) garapan George D. Larson. Politik kolonial dengan lembut dan lihai menjinakkan kebudayaan Jawa melalui restu dan legitimasi pusat kekuasaan tradisional. Simbol-simbol dirayakan tapi energi perubahan dipadamkan demi harmoni.  
Kritik keras diajukan oleh Tjipto Mangunkusomo melalui tulisan De Wayang (1923). Sosok dan pemikiran Tjipto saat itu kontroversial karena menilai Jawa dengan keras. Intelektual aneh ini memahami Jawa melalui kajian Jawa berbahasa Belanda hasil dari kerja intelektual para javanalog asal Belanda. Kejawaan Tjipto memang minor di hadapan tokoh-tokoh lain. Tjipto menganggap manusia dan kebudayaan Jawa telah terjinakkan atau terpatuhkan oleh dominasi kolonial Belanda tanpa resistensi kultural-politik. Suara keras itu telah terdengar dalam Lets over de Javaan (Beberapa Catatan tentang Orang Jawa) pada 1913.
Sejarah itu justru dilanjutkan dengan model pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang (1991) sampai pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya nanti pada 2011. Ambisi menghidupi, merawat, dan memajukan kebudayaan Jawa melalui kongres ala birokrat-akademik justru mengesankan ratapan atas “kematian” kebudayaan Jawa ketimbang kegairahan memerkarakan Jawa secara progresif dan produktif. “Kematian” terjadi karena kesalahan konsep, sistem, dan orientasi. Jawa seperti telah terbakukan tapi lupa diri untuk pembaruan gara-gara “mengimani” kebudayaan Jawa ala bentukan kolonial. Proyek obituari kebudayaan Jawa malah melahirkan apologi-apologi dalam labelitas birokrasi dan akademik. Begitukah? 

    
Seputar Indonesia (7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar