Bandung Mawardi
Deru modernitas di Jawa pada awal abad XX melahirkan
intelektual-intelektual pribumi dalam dilema. Tubuh-ruh Jawa terpecah karena
membongkar dan memasang dalam anutan tradisi atau mengonsumsi dialektika
peradaban dengan dominasi simbol-simbol Barat. Resah dan gelisah itu diimbuhi
dengan godaan untuk mengonstruksi diri dengan nalar dan imajinasi Barat melalui
prosedur pendidikan dan revolusi mesin cetak. Jawa telah menjadi ruang
persemaian dengan pola transaksi simbolik-kultural untuk menjauh dari sejarah
diri atau cinta mati pada mekanisme kodifikasi Jawa oleh politik-kultural
kolonial dan geliat javanalog atas nama proyek ilmu pengetahuan.
Tanda seru dari kisah Jawa dan geliat intelektual pribumi
untuk mewacanakan Jawa terjadi dalam Congres voor Javaansche Cultuur
Ontwikkeling atau Kongres Kebudayaan Jawa (1918). Kongres ini tergelar
melalui adu otoritas dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi. D. van
Hinloopen Laberrton mengusulkan untuk diadakan kongres bahasa Jawa. Usulan ini
mendapati restu dari pemerintah kolonial di Batavia. Kalangan intelektual
pribumi dalam Budi Utomo di Solo malah menginginkan gelaran Kongres Kebudayaan
Jawa dengan argumentasi mencakup pelbagai hal tentang Jawa. Juru bicara dari
proyek kultural ini adalah Prangwadono (Mangkunegara VII). Keputusan akhir
adalah pemerintah kolonial di Batavia mempersilakan penyelenggaraan Kongres
Kebudayaan Jawa (Supardi, 2003: 29-30). Adu otoritas ini masih dilanjutkan
dalam pembuatan format kongres dan pilihan para pemberi materi. Kongres
Kebudayaan Jawa justru jadi pertaruhan tentang “kehidupan” atau “kematian” Jawa
oleh perbedaan mazhab dari kalangan intelektual Belanda dan pribumi.
Bergerak
Solo pada masa itu sedang mengalami “zaman bergerak”
(1917-1920). Dunia serasa bergerak di Solo. Takashi Shiraisi (1997) menandai
dengan persemaian Sarekat Islam dan peran Solo sebagai pusat pergerakan
politik-kultural. Solo adalah ruang sengit untuk pertarungan gagasan dan
eksperimen politik-kultural dengan efek besar untuk nasib tanah Jawa dan Hindia
Belanda. Solo pun saat itu bisa menerima geliat Revolusi di Rusia (1917)
melalui suara Marco Kartodikromo dalam stair “Tabeat Apakah?” Syair ini dengan
terbuka menyuguhkan kesejajaran peran dan nilai kultural antara Leo Tolsty
dengan Ranggawarsita. Pujangga Rusia sejajar dengan pujangga Jawa? Solo adalah
bumi subur atau tanah basah untuk pelbagai proyek pengetahuan dan
politik-kultural kendati dominasi proyek “Jawa-kolonial” ala Belanda.
Proyek kultural melalui Kongres Kebudayaan Jawa dibarengi
dengan proyek politik oleh kalangan intelektual-pergerakan pribumi melalui
sosok Tjipto Mangoenkoesoemo, Haji Misbach, Radjiman, atau Mangkunegara VII.
Solo memang bergerak tapi mengandung resah dan marah. Pelaksanaan Kongres
Kebudayaan Jawa merupakan contoh kontroversial dalam perselingkuhhan kultural
dan politik. Pemilihan topik dan materi harus diperdebatkan sengit antara
memilih pemihakan dan perspektif Jawa tradisional atau memihak Barat dalam
praktik pendidikan di Jawa. debat itu melahirkan jargon tentang proyek untuk
kemajuan kebudayaan Jawa.
Komposisi pemberi materi untuk kongres pun imbang sebagai
representasi perseteruan memperebutkan otoritas dan “setir” dalam proyek
kemajuan kebudayaan Jawa. Daftar pembicara: Dr. Satiman Wirisandjojo, R. M.
Soetatmo Soerjokoesoemo, Tjipto Mangunkusumo, Dr. Radjiman, R.A. Notosoedirdjo,
D. Van Hinloopen Labberton, A. Muhlenfeld, J. Rottier, dan Z. Stokvis. Beberapa
pokok persoalan dalam pembahasan di kongres: (1) Ke arah mana perkembangan
bangsa Jawa dan bagaimana bangsa Jawa dapat kembali membangun kembali
peradabannya yang tinggi di masa lampau; (2) Apakah peranan peradaban Barat dan
kebudayaan Jawa dalam usaha pembangunan kembali bangsa Jawa; (3) Ke mana
perkembangan kebudayaan Jawa harus diarahkan dengan adanya pengaruh-pengaruh
dari luar ke dalam masyarakat Jawa masa kini; dan (4) Sejauh mana mutlak
diperlukan untuk mengembangkan masyarakat Jawa atas dasar pendidikan Jawa?
Intervensi dan Kodifikasi
Sekian intelektual terlibat untuk ikut memerkarakan
pelbagai materi-materi pelik. Dr. Radjiman mengingatkan: “Jika pribumi
dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk
adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat di antara dua peradaban
(Lombard, 2000: 235). Kebudayaan saat itu mendapati perhatian, keprihatinan,
pesimisme, dan impian. Kongres terkesan memberi pemihakan untuk kemajuan
kebudayaan Jawa tapi mengandung laten ada “kematian” karena model pengolahan
atau pembaruan dalam anutan nalar-imajinasi Barat.
Intervensi kolonial dan intelektual kolonial justru
membuat kebudayaan Jawa abad XX rentan alias gampang dikodifikasi. Pemilihan
sumber-sumber Jawa pun telah ditentukan dengan pamrih harmonisasi proyek
kolonial dan pelaku-pelaku pembaruan kebudayaan Jawa dari kalangan keraton dan
intelektual-pergerakan. Pamrih harmonisasi dengan “kematian” kebudayaan Jawa
untuk lakon politik di Solo bisa disimak dalam buku Masa Menjelang Revolusi:
Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912 – 1942 (1990) garapan George
D. Larson. Politik kolonial dengan lembut dan lihai menjinakkan kebudayaan Jawa
melalui restu dan legitimasi pusat kekuasaan tradisional. Simbol-simbol
dirayakan tapi energi perubahan dipadamkan demi harmoni.
Kritik keras diajukan oleh Tjipto Mangunkusomo melalui
tulisan De Wayang (1923). Sosok dan pemikiran Tjipto saat itu
kontroversial karena menilai Jawa dengan keras. Intelektual aneh ini memahami
Jawa melalui kajian Jawa berbahasa Belanda hasil dari kerja intelektual para javanalog
asal Belanda. Kejawaan Tjipto memang minor di hadapan tokoh-tokoh lain. Tjipto
menganggap manusia dan kebudayaan Jawa telah terjinakkan atau terpatuhkan oleh
dominasi kolonial Belanda tanpa resistensi kultural-politik. Suara keras itu
telah terdengar dalam Lets over de Javaan (Beberapa Catatan tentang Orang
Jawa) pada 1913.
Sejarah itu justru dilanjutkan dengan model pelaksanaan
Kongres Bahasa Jawa I di Semarang (1991) sampai pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa
V di Surabaya nanti pada 2011. Ambisi menghidupi, merawat, dan memajukan
kebudayaan Jawa melalui kongres ala birokrat-akademik justru mengesankan
ratapan atas “kematian” kebudayaan Jawa ketimbang kegairahan memerkarakan Jawa
secara progresif dan produktif. “Kematian” terjadi karena kesalahan konsep,
sistem, dan orientasi. Jawa seperti telah terbakukan tapi lupa diri untuk
pembaruan gara-gara “mengimani” kebudayaan Jawa ala bentukan kolonial. Proyek
obituari kebudayaan Jawa malah melahirkan apologi-apologi dalam labelitas
birokrasi dan akademik. Begitukah?
Seputar Indonesia (7 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar