Bandung Mawardi
Judul : Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis : Reggie Baay
Penerjemah : Siti Hertini Adiwoso
Penerbit : Komunitas Bambu,
Depok
Cetakan : 2010
Tebal : xx + 300
halaman
Hindia Belanda adalah negeri nyai dan pergundikan.
Pandangan dan realitas ini membuat kehidupan manusia Eropa dan pribumi ada
dalam hubungan-hubungan aneh.
Seksualitas seolah jadi kunci dari lakon nyai dan pergundikan kendati
model hubungan ini juga menjadi strategi percampuran dan perbenturan kultural.
Nyai dan gundik tak sekadar menjadi pemuas seks, pelayan rumah tangga,
penghibur duka lara tapi mereka memiliki peran sebagai perantara (mediator)
pembelajaran bahasa, pengetahuan, adat, dan tatanan sosial-kultural pribumi
bagi manusia-manusia Eropa.
Reggie Baay memberi suguhan data-data historis memikat
untuk pembaca merefleksikan pandangan-pandangan kontradiktif terhadap nyai dan
gundik di Hindia Belanda. Penelisikan sejarah nyai memerlukan sekian referensi
untuk mengetahui latar belakang ekonomi, kultural, politik, dan sosial. Istilah
nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan muda atau
adik perempuan. Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di
Nusantara pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan
dikondisikan untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa.
Kemunculan nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa
untuk datang dan mau hidup di Hindia Belanda.
Pelbagai sebutan dalam bahasa Belanda muncul untuk sosok
nyai. Istilah moentji kerap dipergunakan di tangsi-tangsi tentara
kolonial. Moetnji merupakan plesetan dari kata mondje (mulut
kecil). Produksi istilah terhadap nyai juga bisa disimak melalui buku Citra
Kaum Perempuan di Hindia Belanda karangan Tineke Hellwig. Pelbagai istilah
untuk nyai dan gundik dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit,
menagere, dan meid.
Hellwig juga mengakui sejarah kemunculan nyai memang masih reman-remang.
Sebutan-sebutan itu suah untuk menguak kebersejarahan dan identik dengan
situasi politis dan kultural. Konklusi dari sejarah nyai dan gundik adalah kaum
perempuan pribumi menjadi komoditas bagi lelaki kulit putih.
Sastra
Kisah Nyai Dasima karangan G Francis
mungkin lekas mengingatkan publik tentang realitas kehidupan nyai di Hindia
Belanda. Francis adalah orang Indo-Eropa. Penulisan kisah itu mengandung
tendensi untuk memberi ilustrasi hirarkis antara si tuan, kaum terjajah
(pribumi), dan golongan ganjil (Indo). Kisah cinta, politik, kapitalisme, dan
sosial-kultural menjadi representasi dari getir dan keajaiban kehidupan kaum
nyai. Kisah Nyai Dasima berbeda secara ideologis dengan kisah Nyai Ontosoroh
dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Derita sebagai
nyai tidak membuat inferiorisasi absolut karena resitensi dalam penguasaan
bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan modern membuat Nyai Ontosoroh memiliki
martabat diri.
Buku ini mencuplik dua novel itu untuk merekonstruksi
kehidupan orang-orang Eropa dan lakon hidup nyai atau gundik di Hindia Belanda.
Reggie Baay menggunakan puluhan sastra Indies (Hindia Belanda) atau Indische
Belletrie untuk menguak pelbagai sisi kehidupan nyai dan pergundikan.
Khazanah sastra Indies ini memukau untuk menilik ulang sejarah negeri ini pada
abad-abad lampau. Kerja riset Baay seolah membenarkan pandangan W V Sykorsky
(1980): “Cerita pernyaian adalah satu satu cerita asli dalam kesusastraan (pra)
Indonesia.”
Daftar sastra Indies sebagai sumber pembicaraan tentang
nyai dan pergundikan dalam kajian Baay: De Stille Kracht (Louis
Couperus), Nummer Elf (PA Daum), Het Land van Herkomst (Du
Perron), Sonna (Jan Fabricus), Jan Fusilier (S Franke), Nyai
Mirdja (J Kleian), Rimboe (L Szekely), Mama (Maroe van
Zeggelen), Koeli (MH Szekely-Lulofs), dan lain-lain. sekian novel dalam
daftar ini sudah ada terjemahan dalam bahasa Indonesia kendati pembahasan
tentang sastra Hindia Belanda belum semarak. Pembaca bisa mencari informasi
tambahan tentang pengaruh sastra Indies itu dalam buku Sastra Hindia Belanda
dan Kita (1983) susunan Subagio Sastrowardoyo.
Sejarah
Sejarah para nyai muncul sejak awal abad XVII. Pernyaian
dan pergundikan ini terbentuk oleh kedatangan para pegawai VOC di Nusantara. Mereka
memerlukan perempuan pribumi untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan
menjadi ibu bagi anak-anak mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke
abad. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, meradang
karena kehidupan kumpul kebo (samenleven) antara lelaki Eropa dengan
perempuan pribumi menimbulkan perilaku janggal dan merusak untuk kepentingan
kolonial. Penanganan dilakukan dengan mengeluarkan pelbagai aturan larangan
kendati lekas mengalami pelbagai perubahan bergantung putusan politik dari
negeri Belanda.
Sejarah panjang itu pun memunculkan fakta besar bahwa
ribuan manusia Eropa beribukan pribumi. Politik dan hukum kolonial menampik
realitas ini dengan penghilangan atau pengurangan hak bagi nyai (ibu pribumi)
dalam pernikahan sah atau pengasuhan-kepemilikan anak. Fakta getir pun membuat
pelbagai kalangan politisi, pengarang, ahli hukum, atau wartawan
berselisihpaham tentang kebaikan dan keburukan sistem pernyaian dan
pergundikan.
Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini
adalah dokumen penting untuk menelusuri proses perubahan sosial, politik,
pendidikan, militer, ekonomi, dan kultural di Nusantara. Nyai dan gundik
memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal
tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan,
dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi. Pencitraan buruk atas
perilaku nyai memang suatu kelaziman dalam situasi zaman. Peran dalam perjumpaan
kultural kadang terabaikan oleh prasangka seksualitas dan hasrat materialistis.
Sejarah negeri ini ikut dibentuk oleh nyai dan gundik. Pembacaan dan peletakkan
mereka dalam kronik sejarah Nusantara menjadi misi prestisius untuk mencari
titik temu dan titik pisah hubungan aneh antara pribumi dengan Eropa. Begitu.
Jawa Pos (14
November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar