Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Sastra Nyai dan Sejarah Nusantara

Bandung Mawardi


Judul            : Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis         : Reggie Baay
Penerjemah  : Siti Hertini Adiwoso
Penerbit       : Komunitas Bambu, Depok
Cetakan       : 2010
Tebal           : xx + 300 halaman 

Hindia Belanda adalah negeri nyai dan pergundikan. Pandangan dan realitas ini membuat kehidupan manusia Eropa dan pribumi ada dalam hubungan-hubungan aneh.  Seksualitas seolah jadi kunci dari lakon nyai dan pergundikan kendati model hubungan ini juga menjadi strategi percampuran dan perbenturan kultural. Nyai dan gundik tak sekadar menjadi pemuas seks, pelayan rumah tangga, penghibur duka lara tapi mereka memiliki peran sebagai perantara (mediator) pembelajaran bahasa, pengetahuan, adat, dan tatanan sosial-kultural pribumi bagi manusia-manusia Eropa. 
Reggie Baay memberi suguhan data-data historis memikat untuk pembaca merefleksikan pandangan-pandangan kontradiktif terhadap nyai dan gundik di Hindia Belanda. Penelisikan sejarah nyai memerlukan sekian referensi untuk mengetahui latar belakang ekonomi, kultural, politik, dan sosial. Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan muda atau adik perempuan. Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup di Hindia Belanda.
Pelbagai sebutan dalam bahasa Belanda muncul untuk sosok nyai. Istilah moentji kerap dipergunakan di tangsi-tangsi tentara kolonial. Moetnji merupakan plesetan dari kata mondje (mulut kecil). Produksi istilah terhadap nyai juga bisa disimak melalui buku Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda karangan Tineke Hellwig. Pelbagai istilah untuk nyai dan gundik dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagere, dan meid.  Hellwig juga mengakui sejarah kemunculan nyai memang masih reman-remang. Sebutan-sebutan itu suah untuk menguak kebersejarahan dan identik dengan situasi politis dan kultural. Konklusi dari sejarah nyai dan gundik adalah kaum perempuan pribumi menjadi komoditas bagi lelaki kulit putih.

Sastra
Kisah Nyai Dasima karangan G Francis mungkin lekas mengingatkan publik tentang realitas kehidupan nyai di Hindia Belanda. Francis adalah orang Indo-Eropa. Penulisan kisah itu mengandung tendensi untuk memberi ilustrasi hirarkis antara si tuan, kaum terjajah (pribumi), dan golongan ganjil (Indo). Kisah cinta, politik, kapitalisme, dan sosial-kultural menjadi representasi dari getir dan keajaiban kehidupan kaum nyai. Kisah Nyai Dasima berbeda secara ideologis dengan kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Derita sebagai nyai tidak membuat inferiorisasi absolut karena resitensi dalam penguasaan bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan modern membuat Nyai Ontosoroh memiliki martabat diri.
Buku ini mencuplik dua novel itu untuk merekonstruksi kehidupan orang-orang Eropa dan lakon hidup nyai atau gundik di Hindia Belanda. Reggie Baay menggunakan puluhan sastra Indies (Hindia Belanda) atau Indische Belletrie untuk menguak pelbagai sisi kehidupan nyai dan pergundikan. Khazanah sastra Indies ini memukau untuk menilik ulang sejarah negeri ini pada abad-abad lampau. Kerja riset Baay seolah membenarkan pandangan W V Sykorsky (1980): “Cerita pernyaian adalah satu satu cerita asli dalam kesusastraan (pra) Indonesia.”
Daftar sastra Indies sebagai sumber pembicaraan tentang nyai dan pergundikan dalam kajian Baay: De Stille Kracht (Louis Couperus), Nummer Elf (PA Daum), Het Land van Herkomst (Du Perron), Sonna (Jan Fabricus), Jan Fusilier (S Franke), Nyai Mirdja (J Kleian), Rimboe (L Szekely), Mama (Maroe van Zeggelen), Koeli (MH Szekely-Lulofs), dan lain-lain. sekian novel dalam daftar ini sudah ada terjemahan dalam bahasa Indonesia kendati pembahasan tentang sastra Hindia Belanda belum semarak. Pembaca bisa mencari informasi tambahan tentang pengaruh sastra Indies itu dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983) susunan Subagio Sastrowardoyo. 

Sejarah
Sejarah para nyai muncul sejak awal abad XVII. Pernyaian dan pergundikan ini terbentuk oleh kedatangan para pegawai VOC di Nusantara. Mereka memerlukan perempuan pribumi untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan menjadi ibu bagi anak-anak mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke abad. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, meradang karena kehidupan kumpul kebo (samenleven) antara lelaki Eropa dengan perempuan pribumi menimbulkan perilaku janggal dan merusak untuk kepentingan kolonial. Penanganan dilakukan dengan mengeluarkan pelbagai aturan larangan kendati lekas mengalami pelbagai perubahan bergantung putusan politik dari negeri Belanda.
Sejarah panjang itu pun memunculkan fakta besar bahwa ribuan manusia Eropa beribukan pribumi. Politik dan hukum kolonial menampik realitas ini dengan penghilangan atau pengurangan hak bagi nyai (ibu pribumi) dalam pernikahan sah atau pengasuhan-kepemilikan anak. Fakta getir pun membuat pelbagai kalangan politisi, pengarang, ahli hukum, atau wartawan berselisihpaham tentang kebaikan dan keburukan sistem pernyaian dan pergundikan.
Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini adalah dokumen penting untuk menelusuri proses perubahan sosial, politik, pendidikan, militer, ekonomi, dan kultural di Nusantara. Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi. Pencitraan buruk atas perilaku nyai memang suatu kelaziman dalam situasi zaman. Peran dalam perjumpaan kultural kadang terabaikan oleh prasangka seksualitas dan hasrat materialistis. Sejarah negeri ini ikut dibentuk oleh nyai dan gundik. Pembacaan dan peletakkan mereka dalam kronik sejarah Nusantara menjadi misi prestisius untuk mencari titik temu dan titik pisah hubungan aneh antara pribumi dengan Eropa. Begitu.
 
Jawa Pos (14 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar