Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Semesta Perempuan, Semesta Sindhunata

Oleh Fanny Chotimah


          Putri Cina dikisahkan Sindhunata sebagai simbol perempuan Cina dalam setiap zaman. Suatu masa, ia adalah putri Cina, istri dari Prabu Brawijaya, yang dibuang dalam kondisi hamil lalu diserahkan pada Arya Damar. Suatu masa, ia menjadi Giok Tien, perempuan Cina cantik bintang ketoprak Sekar Kastubo, yang menjadi istri Senopati Gurdo Paksi di Negara Medang Kemulan. L alu, masa kini ia Putri Cina sebagai perempuan yang bernama. Putri Cina bertanya di manakah wajahnya? Dia merasa tak memiliki wajah. Dia tuma tahu, kata orang dia cantik, matanya sipit, hidungnya mungil. Tapi yang dia lihat hanyalah mawar hitam. Apa yang menjadikan Putri Cina sebagai perempuan? Apakah wajahnya yang tampak seperti orang Cina? Atau Cina merupakan tanah kelahirannya? Ataukah darah Cina yang mengalir dalam tubuhnya?
          Putri Cina mempertanyakan wajahnya, sebagai sebuah eksistensi bukankah manusia harus berwajah. Tafsir menjadi cantik pun dipertanyakan kembali. Sindhunata tidak berusaha menggiring imajinasi kita dengan memberikan deskripsi yang detail, bagaimana wajah fisik seorang Putri Cina. Malah sengaja dibuatnya samar tak berwajah. Dalam satu fragmen cerita, Amurko Sabdo menyebut Giok Tien dengan sebutan Putri Cina, lalu Giok Tien bersikukuh bahwa dia adalah Giok Tien, dia bernama. Namun, Amurko Sabdo abai. Baginya dia sama saja, seorang perempuan berwajah Cina,  meski ia bernama apa pun.
“Ruh Wajah Putri Cina” (2000) sudah hadir jauh sebelum novel Putri Cina (2006) lahir. Betapa cantik/ lembut dan jelita wajah sebelas tahun lalu itu/ Secantik, selembut dan sejelita lamunanku akan wajahmu/ Di matanya yang bersinar/ kulihat kepedihanmu yang muram/ Di bibirnya yang tersenyum/ kurasakan penderitaan yang sabar. Penggalan syair puisi “Wajah Putri Cina” dalam buku Air Kata-kata menghadirkan Putri Cina sebagai sosok malankolis, sosok lembut, sosok yang menyimpan luka dan sosok penyabar. Kecantikan yang feminin, figur perempuan seperti ini sangat dekat dengan figur perempuan dalam tradisi Katolik. Figur Bunda Maria atau Maria Magdalena: perempuan suci, penyabar, yang teguh dalam kelemahannya.
Jauh berbeda dari sosok Tulkiyem dalam “Oh Tulkiyem Ayu”. Sindhunata mengisahkan, Oh Tulkiyem ayu/ Arake lemu asale Batu/ Rupane sumeh ngguya-ngguyu/ Oh Tulkiyem lemu/ Numpak dokar jarane telu/ Doyane lontong tahu. Tulkiyem adalah perempuan Jawa bertubuh gendut, bokongnya gede, orangnya lucu. Meski secara fisik ia tampil sebagai sosok tak menarik dipandang, namun Tulkiyem masih istimewa: resik, wangi, atine gak tau mangkel, singset, glegas-gleges. Sosok Tulkiyem hadir kembali dalam puisi “Pergi ke Bulan Naik Dokar”. Tulis Sundhunata, Tulkiyem/ kau bukan dewa/ bukan dewi/ ratu atau raja/kau hanyalah wanita biasa/Tapi karena kau kupuja sebagai dewi keindahan/ubahlah semuanya ini menjadi keindahan pula: lontong, lemper, tempe, tahu, gethuk, slondok, jenang longok, tempe bosok... Kecantikan Tulkiyem merupakan kecantikan kesederhanaan, kecantikan yang membumi. Kecantikan yang timbul karena laku hidup keseharian. Sebuah karakter dan pribadi perempuan Jawa yang ndesa.
Kendati sama-sama perempuan dan memiliki kecantikan nasib, Putri Cina tak seberuntung nasib Theodara tokoh dalam novel sejarah berjudul Wanita karya Paul I. Wellman. Theodora sadar akan kecantikan dirinya dan menggunakan seksualitas sebagai jalan menuju singgasana kekuasaan. Theodora mentransformasikan dirinya dari seorang perempuan pelacur menjadi seorang maharani sebuah kekaisaran Roma di Konstantinopel abad ke-5 Masehi. Tentu latar belakang antropologis maupun sosiologis kedua tokoh ini berbeda. Theodara mungkin tak melakoni persoalan identitas serumit Putri Cina. Sedangkan Putri Cina terus bergulat dengan persoalan identitas untuk menemukan asal usulnya. Putri Cina melakukan ziarah filosofis dengan membaca dan menyelami sajak T’ao Ch’ien, syair Han San, ataupun pepatah K’ung Tzu (bapak agama Kong Hu Cu). Selain itu, ziarah spiritual pun dilakoni, mengunjungi kuburan leluhur dan berdoa di klenteng untuk membaca pertanda takdir melalui djiam-si. Ziarah historis didapatkan Putri Cina melalui dongeng Sabdapalon-Nayagenggong yang tak lain adalah Semar, yang ternyata biang pertikaian anak manusia di Bumi. Melalui proses dialektika intens dengan dirinya, Putri Cina tiba pada satu pencerahan bahwa dia harus menelan nasib pahitnya sebagai bebanten sebagai kambing hitam yang harus dikorbankan.
Mengacu pada teori kekerasan Rene Girard, kecemburuan, kebencian, iri, dan kedengkian sosial merajalela karena dalam kehidupan masyarakat bertahta mimesis (hasrat tiru-meniru tiada berkesudahan). Mimesis mencetuskan lingkaran setan rivalitas. Rivalitas yang meletus menjadi kekerasan memerlukan kambing hitam untuk memulihkan harmoni sosial. Minoritas adalah segmen masyarakat yang ditakdirkan sebagai korban. Mekanisme kambing hitam itu senantiasa membidik dan mengejar kaum minoritas etnis, ras, dan religius. Sindhunata berusaha mengupas teori kambing hitam ini hingga sampai ke akar-akarnya. Data sejarah kekerasan yang menimpa etnis Cina (Putri Cina: 84-85), dimulai sejak tahun 1740, kurang-lebih 10.000 orang Cina di Batavia dibantai Kompeni hingga Ketika tahun 1949, tahanan Kalisosok di Surabaya dilepaskan untuk mendukung gerakan bumi hangus, banyak orang Cina dibunuh tanpa alasan. Kerusuhan Mei 1998 tidak dihadirkan dalam paparan data, namun dimetaforkan terjadi di Negara Medang Kemulan dengan pola kekerasan yang sama; penjarahan, pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan pada etnis Tionghoa. Giok Tien dan kedua saudarinya pun menjadi korban.
Sejarah hanya meminjam rahim perempuan untuk kelangsungan keturunan darah kekuasaan laki-laki, yang pada akhirnya saling bunuh-membunuh dan menggulingkan satu sama lain, tak peduli ayah atau anak seperti Raden Patah dan Prabu Brawijaya, atau kakak beradik seperti Pandawa dan Kurawa. Lalu, perempuan juga yang dijadikan alasan pertumpahan darah. Joyo Sumengah, Panglima Medang Kamulan, yang menaruh hati pada Giok Tien tapi ditolak karena Giok Tien memilih Gurdo Paksi. Menyembunyikan dendam dan kepentingan pribadinya akan Giok Tien atas nama kelanggengan kekuasaan Raja Sabdo Murco: “Mengapa aku harus hidup di negeri yang bisa menjatuhkan aku hanya karena urusan wanita?” ujar Joyo Sumengah. Saya tak menyangka pertanyaan ini muncul dari Joyo Sumangah, seorang antagonis,  seorang lelaki yang menghalalkan apa pun untuk nafsu akan wanita dan juga kekuasaan. Mungkinkah pertanyaan ini merupakan super-ego Joyo Sumangah? Saya melihat pertanyaan ini sebagai gugatan Sindhunata akan falsafah Jawa: harta, tahta, wanita. Falsafah ini memosisikan kaum hawa sebagai godaan. Pertanyaan ini merupakan tamparan bagi laki-laki Jawa. Sehingga pertanyaan ini menjadi sebuah pernyataan yang feminis.
Genderang kritik terhadap phallussentrisme dibunyikan Sindhunata dalam puisi “Rep Kedhep”: Rep kedhep wong sakbuwana/ Jonthok kaya peliku/Nglimpruk kaya kontholku. Pring-pring petung/ Anjang-anjang peli bunthung/ Aja menggok aja noleh/ Ana turuk gomblah-gambleh. Dengan bahasa Jawa luwes dan metafor lucu, Sindhunata memainkan phallus dan vagina sebagai humor. Membuat kita menertawakan diri sendiri, menertawakan yang-hewan yang bersemayam di dalam diri, yaitu nafsu akan seks dan kekuasaan. Lalu kita digiring untuk menelan rapal bunyi: MU/MU/MU... MU!/ Sirna sudah nafsuku/ sudah hilang mau jasadku/ tenang tentram hasrat lelakiku/ pulang dalam damai rumah-Mu. Kita dimandikan dikembalikan pada ruh keilahian bahwa sejatinya menjadi manusia ialah kemampuan untuk melampui nafsu-nafsu tersebut. Dalam patah-patah kata Sindhunata berkata kata-kata, bahasa Indonesia ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua perjumpaan, pengalaman dan perasaannya. Sindhunata menghabiskan masa kecil hingga SMA di kaki Gunung Panderman Malang, tumbuh sebagai peranakan Tionghoa yang lekat dengan kultur Jawa. Sang ayah mati muda, Sindhunata bersama keenam saudaranya dibesarkan sang ibu,  Koo Soen Ling, yang bekerja sebagai penjahit.
          Sosok Giok Tien sesungguhnya adalah llter ego dari Koo Soen Ling, sang ibu, yang menyenangi ketoprak dan legenda Sam Pek Eng Tay. Sosok Putri Cina merupakan cerminan keikhlasan dan ketulusan Bunda Maria. Sedangkan sosok Nyai Gadung Melati, dalam Air Kata-Kata diimajikan berbusana hijau, wangi kembang melati: tunas mati kau hidupi dengan merah lahar Merapi. Larik ini merupakan pencitraan bumi sebagai perempuan, bumi dengan sifat feminis seperti Dewi Kwan Im, simbol kesuburan dan kesejahteraan. Perempuan menjadi yang kosmos sekaligus yang kosmis. Perempuan dalam semesta Sindhunata tidak hanya sebuah representasi kebebasan semata tetapi juga kebudayaan, kemanusiaan, dan keilahian itu sendiri.


Disampaikan dalam diskusi Feminisme Sindhunata pada Sabtu, 4 Desember 2010, di Balai Soedjatmoko Solo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar