Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Ziarah Suci dan Politik Haji

Bandung Mawardi


Haji adalah peristiwa akbar dan sakral. Peziarahan ke tanah suci, laku melawat ke rumah Tuhan, agenda memenuhi seruan ibadah melahirkan pelbagai tafsir dan pemaknaan. Ritual untuk umat Islam ini jadi lakon dunia. Joseph Conrad mengabadikan kisah petaka perjalanan haji dalam novel Lord Jim. Hamka memberi arti ritual haji dengan balutan kisah cinta dan spiritualitas dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939). Romo Mangunwijaya pun menjadikan adegan kecelakaan saat si tokoh menempuh perjalanan ziarah ke rumah Tuhan menjadi epilog impresif dalam novel Burung-Burung Manyar (1981).
Haji menjadi pengetahuan dunia. Snouck Hurgronje, penasehat kolonial di Hindia Belanda, memerlukan berganti nama menjadi Abdul Gaffar dan tinggal di Mekah, selama lima bulan, untuk mempelajari ritual haji. Catatan-catatan pengetahuan dan petualangan politis melengkapi garapan disertasi di bawah bimbingan Goeje, 1880. Buku Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekah) menjadi persembahan untuk menebar pengetahuan haji dalam pandangan kaum orientalis. Hurgronje menjelaskan bahwa proses penggarapan disertasi itu dipengaruhi oleh catatan-catatan para petualang dunia dan studi-studi etnografi dari kalangan sarjana Barat.
 Sekian informasi dan analisis tentang ritual haji seolah membuat sosok Hurgronje adalah sosok otoritatif dalam pengetahuan Islam. Segala kritik dan bantahan atas bias dalam Het Mekkaansche Feest ditamengi dengan ungkapan: “Ketimbang meminta maaf atas kekhilafan dan kekurangan dalam hasil kerja ini, saya mendingan menunjuk bagi mereka, pihak penuntut kesalahan saya pada firman Allah.” Hurgronje mengutip sebuah firman: “... dari siapa pun tidak boleh dituntut lebih daripada kemampuannya.” Pernyataan ini kentara menunjukkan intimitas politik, orientalisme, dan kolonialisme dalam suguhan teks ilmiah. Kita menerima warisan buku itu sebagai catatan atas antusiasme kajian haji pada akhir abad XIX.
Kerja penelitian Hurgronje itu mengingatkan suatu dalil lama, haji memiliki implikasi dalam stabilitas pemerintahan kolonial di Hindia Belanda dalam urusan agama, politik, ekonomi, dan kultural. Kolonialis merasa cemas, ritual haji telah mempengaruhi dan ikut mendefinisikan agenda pergerakan nasionalisme, Pan Islamisme, resistensi politik pribumi, dan transformasi sosial-kultural. Ritual haji dipolitisasi karena pemerintah kolonial memahami haji dalam sorotan politik. Argumentasi agama diintervensi dengan politik-curiga atas kebangkitan Islam di Nusantara dan gelombang resistensi kaum muslim. Hurgronje, si tokoh kontroversial, menjadi sosok menentukan dalam kebijakan politik haji di Nusantara.
Haji pada masa itu menjadi urusan pelik. Uang, kondisi raga dan batin, atau ketersediaan alat transportasi belum menjamin orang bisa melakukan perjalanan naik haji ke tanah suci. Politik menjadi pintu terakhir atas nama stabilitas, keamanan, dan pendapatan ekonomi oleh pemerintah kolonial. Sejarah perjalanan haji di Nusantara tercatat sejak abad XV tapi intervensi politik kolonial pada abad XIX dan XX membuat proses peziarahan suci itu menjadi sejenis subversi di mata politik kolonialisme. Konon, ritual haji oleh pribumi ditentukan oleh model sebaran Islam di Nusantara melalui perdagangan dan pelayaran.
Agenda suci identik dengan misi spiritual, perilaku ekonomi, gelagat politik, pamrih meraup ilmu, pembentukan jaringan ulama, dan perjumpaan kultural. Azyumardi Azra (2008) dalam ungkapan puitis menjelaskan: “Naik haji dari Indonesia pada masa kolonialisme diliputi keharuan, kesyahduan, dan pengorbanan.” Semua memusat dalam simbol dan makna haji. Heroisme tentu ada dalam ritual haji itu sebagai konsekuensi politis ketika melihat negeri masih terjajah. Heroisme muncul dalam dunia pendidikan, olah estetika, sebaran ajaran sufistik, atau pergerakan politik-kultural. 
Hasrat perjalanan haji dan model pencarian ilmu ada dalam sosok Syaikh Yusuf dari Makassar. Abu Hamid (1994) mencatat bahwa Syaikh Yusuf melakukan ibadah haji pada abad XVII. Tokoh kharismatik ini menempuh studi agama di Mekah dan Madinah. Dunia pun kelak mengenal Syaikh Yusuf sebagai penyebar agama Islam di pelbagai negeri kendati ia mesti menanggung hukuman dari pemerintah kolonial Belanda. Aktivitas agama dan subversi politik dijadikan alasan untuk mengasingkan Syekh Yusuf ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Sosok ini menjelma tema pelik dalam sejarah haji di Nusantara.
Politik haji jadi bentuk kecemasan kolonial. Efek politik haji bagi pribumi justru menjadi benih-benih pemerdekaan. M Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) mencatat tiga tipe politik haji: (1) para ulama sepakat menganggap pemerintah kolonial adalah pemerintah kafir: (2) pemerintah pribumi tapi kolaborator Belanda juga dianggap kafir; (3) para ulama memakai simbol-simbol agama untuk konsolidasi melakukan perlawanan. Jejak sejarah ini pun memiliki sambungan dalam politik haji pada masa sekarang tapi dengan motif dan orientasi berbeda. Pemerintah berkepentingan dalam urusan haji kendati susah menanggulangi percaloan dan korupsi.
Menelisik sejarah haji adalah menelisik sejarah politik, ekonomi, ilmu, sastra, sosial, pendidikan, seni, dan kultural di Nusantara. Haji tak sekadar perjalanan untuk ritual. Perjalanan ini jadi penentu dari proses perubahan dan pencerahan dalam intervensi pemerintah kolonial dan sekian rezim politik di Indonesia. Begitu.     

Koran Tempo (21 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar