Bandung Mawardi
Haji adalah peristiwa akbar dan sakral. Peziarahan ke
tanah suci, laku melawat ke rumah Tuhan, agenda memenuhi seruan ibadah
melahirkan pelbagai tafsir dan pemaknaan. Ritual untuk umat Islam ini jadi
lakon dunia. Joseph Conrad mengabadikan kisah petaka perjalanan haji dalam
novel Lord Jim. Hamka memberi arti ritual haji dengan balutan kisah
cinta dan spiritualitas dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939). Romo Mangunwijaya pun
menjadikan adegan kecelakaan saat si tokoh menempuh perjalanan ziarah ke rumah
Tuhan menjadi epilog impresif dalam novel Burung-Burung Manyar (1981).
Haji menjadi pengetahuan dunia. Snouck Hurgronje,
penasehat kolonial di Hindia Belanda, memerlukan berganti nama menjadi Abdul
Gaffar dan tinggal di Mekah, selama lima bulan, untuk mempelajari ritual haji.
Catatan-catatan pengetahuan dan petualangan politis melengkapi garapan disertasi
di bawah bimbingan Goeje, 1880. Buku Het Mekkaansche Feest (Perayaan
Mekah) menjadi persembahan untuk menebar pengetahuan haji dalam pandangan kaum
orientalis. Hurgronje menjelaskan bahwa proses penggarapan disertasi itu
dipengaruhi oleh catatan-catatan para petualang dunia dan studi-studi etnografi
dari kalangan sarjana Barat.
Sekian informasi
dan analisis tentang ritual haji seolah membuat sosok Hurgronje adalah sosok
otoritatif dalam pengetahuan Islam. Segala kritik dan bantahan atas bias dalam Het
Mekkaansche Feest ditamengi dengan ungkapan: “Ketimbang meminta maaf atas
kekhilafan dan kekurangan dalam hasil kerja ini, saya mendingan menunjuk bagi
mereka, pihak penuntut kesalahan saya pada firman Allah.” Hurgronje mengutip
sebuah firman: “... dari siapa pun tidak boleh dituntut lebih daripada
kemampuannya.” Pernyataan ini kentara menunjukkan intimitas politik, orientalisme,
dan kolonialisme dalam suguhan teks ilmiah. Kita menerima warisan buku itu
sebagai catatan atas antusiasme kajian haji pada akhir abad XIX.
Kerja penelitian Hurgronje itu mengingatkan suatu dalil
lama, haji memiliki implikasi dalam stabilitas pemerintahan kolonial di Hindia
Belanda dalam urusan agama, politik, ekonomi, dan kultural. Kolonialis merasa
cemas, ritual haji telah mempengaruhi dan ikut mendefinisikan agenda pergerakan
nasionalisme, Pan Islamisme, resistensi politik pribumi, dan transformasi
sosial-kultural. Ritual haji dipolitisasi karena pemerintah kolonial memahami
haji dalam sorotan politik. Argumentasi agama diintervensi dengan politik-curiga
atas kebangkitan Islam di Nusantara dan gelombang resistensi kaum muslim.
Hurgronje, si tokoh kontroversial, menjadi sosok menentukan dalam kebijakan
politik haji di Nusantara.
Haji pada masa itu menjadi urusan pelik. Uang, kondisi
raga dan batin, atau ketersediaan alat transportasi belum menjamin orang bisa
melakukan perjalanan naik haji ke tanah suci. Politik menjadi pintu terakhir
atas nama stabilitas, keamanan, dan pendapatan ekonomi oleh pemerintah
kolonial. Sejarah perjalanan haji di Nusantara tercatat sejak abad XV tapi
intervensi politik kolonial pada abad XIX dan XX membuat proses peziarahan suci
itu menjadi sejenis subversi di mata politik kolonialisme. Konon, ritual haji
oleh pribumi ditentukan oleh model sebaran Islam di Nusantara melalui
perdagangan dan pelayaran.
Agenda suci identik dengan misi spiritual, perilaku
ekonomi, gelagat politik, pamrih meraup ilmu, pembentukan jaringan ulama, dan
perjumpaan kultural. Azyumardi Azra (2008) dalam ungkapan puitis menjelaskan:
“Naik haji dari Indonesia pada masa kolonialisme diliputi keharuan, kesyahduan,
dan pengorbanan.” Semua memusat dalam simbol dan makna haji. Heroisme tentu ada
dalam ritual haji itu sebagai konsekuensi politis ketika melihat negeri masih
terjajah. Heroisme muncul dalam dunia pendidikan, olah estetika, sebaran ajaran
sufistik, atau pergerakan politik-kultural.
Hasrat perjalanan haji dan model pencarian ilmu ada dalam
sosok Syaikh Yusuf dari Makassar. Abu Hamid (1994) mencatat bahwa Syaikh Yusuf
melakukan ibadah haji pada abad XVII. Tokoh kharismatik ini menempuh studi
agama di Mekah dan Madinah. Dunia pun kelak mengenal Syaikh Yusuf sebagai
penyebar agama Islam di pelbagai negeri kendati ia mesti menanggung hukuman
dari pemerintah kolonial Belanda. Aktivitas agama dan subversi politik
dijadikan alasan untuk mengasingkan Syekh Yusuf ke Tanjung Harapan, Afrika
Selatan. Sosok ini menjelma tema pelik dalam sejarah haji di Nusantara.
Politik haji jadi bentuk kecemasan kolonial. Efek politik
haji bagi pribumi justru menjadi benih-benih pemerdekaan. M Shaleh Putuhena
dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) mencatat tiga tipe politik
haji: (1) para ulama sepakat menganggap pemerintah kolonial adalah pemerintah
kafir: (2) pemerintah pribumi tapi kolaborator Belanda juga dianggap kafir; (3)
para ulama memakai simbol-simbol agama untuk konsolidasi melakukan perlawanan.
Jejak sejarah ini pun memiliki sambungan dalam politik haji pada masa sekarang
tapi dengan motif dan orientasi berbeda. Pemerintah berkepentingan dalam urusan
haji kendati susah menanggulangi percaloan dan korupsi.
Menelisik sejarah haji adalah menelisik sejarah politik,
ekonomi, ilmu, sastra, sosial, pendidikan, seni, dan kultural di Nusantara.
Haji tak sekadar perjalanan untuk ritual. Perjalanan ini jadi penentu dari
proses perubahan dan pencerahan dalam intervensi pemerintah kolonial dan sekian
rezim politik di Indonesia. Begitu.
Koran Tempo (21 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar