Laman

Selasa, 28 Desember 2010

Gugatan (Sejarah) Sastra dan Ranggawarsita

Bandung Mawardi


Pemerintah Republik Indonesia tahun ini memberi Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera untuk Ranggawarsita. Penenetapan ini membuktikan pengakuan negara atas peran Ranggawarsita dalam sejarah melalui kerja kultural-politik sebagai pujangga. Ranggawarsita oleh negara sudah memiliki makna signifikan tapi bagi publik sastra modern di Indonesia? Tulisan kecil ini ingin mengajukan jawab atas pertanyaan lazim kendati kerap luput dari pembacaaan sejarah sastra modern di Indonesia.  
Penulisan sejarah politik atau sejarah kekuasaan di negeri ini kerap mendapati kritik dan serangan karena perbedaan perspektif dan argumentasi. Pembengkokan, pemalsuan, atau manipulasi sejarah menjadi momok dari kadar “keimanan” orang atas pamrih dari ikhtiar sekian penulis atau institusi untuk mengusung “kebenaran” atau merebut opini publik. Sejarah Majapahit, sejarah revolusi, atau sejarah 1965 masih menyisakan rahasia-rahasia susah terungkap dan tumpukan kontradiksi gara-gara publikasi tulisan dari pelbagai pihak untuk mendapati klaim paling sahih atau mendekati kebenaran. Pertarungan tafsir sejarah pun terjadi dengan muatan-muatan ideologis atau politis. 
Kepelikan menemukan pandangan sejarah dalam orientasi pewartaan kebenaran juga menimpa sastra. Penulisan sejarah sastra di Indonesia sudah tidak menggebu seperti antusiasme Bakrie Siregar, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, A. Teeuw, Jakob Soemardjo, atau Sapardi Djoko Damono. Gairah atas proyek penulisan sejarah sastra mulai redup karena ketiadaan “api pembakar” dan “pertarungan kebenaran” dalam ikhtiar menemukan terang untuk menghidupi sastra dengan kesadaran historis. Sastra hari ini mungkin ada dan tumbuh dengan “kecacatan” karena abai dengan penghormatan atas sejarah.

Sejarah
Pencatatan babak-babak penting dalam sejarah dan pertumbuhan sastra hari ini memang membutuhkan “keringat deras” dan “kematangan” untuk memberi tempat pada pengarang, teks sastra, pembaca, latar politik, spirit kultural, dan gelagat zaman dalam bingkai sejarah sastra. Pembakuan sejarah sastra terus saja diajarkan dan terwariskan melalui institusi pendidikan dan sebaran sekian buku sejarah sastra edisi ringkas atau pengulangan “paket sejarah resmi.” Pengetahuan dan nalar kritis untuk membaca ulang atau melakukan revisi atas sejarah sastra tampak susah dilakukan karena pola “indoktrinasi” telah melekat dan merasuk.
Kritik atas pembakuan sejarah sastra di Indonesia pernah dilakukan oleh sekian tokoh tapi “mengabur” dan “terlupakan” tanpa perdebatan panjang dan pencapaian konklusi. Usulan untuk merunut sejarah sastra pada masa kesuburan sastra Cina Peranakan atau publikasi novel-novel di luar Balai Pustaka mungkin memancing rasa penasaran sejarah. Pembukaan tabir mesti dilakukan dengan argumentasi dan pembuktian meski mengandung potensi untuk meruntuhkan sejarah resmi. Studi dari Claudine Salmon tentang Sastra Cina Peranakan Tionghoa dalam Bahasa Melayu pantas jadi lecutan untuk memikirkan ulang penulisan sejarah sastra di Indonesia tanpa rasa sungkan atau kekakuan sentimen politis-ideologis-kultural.
Provokasi panas pernah dilontarkan Willem Vladimir Sikorsky. Ahli sastra dari Uni Soviet ini dalam disertasi Pembentukan Sastra Modern Indonesia mengemukakan: “Badan penerbit tak bisa dijadikan patokan lahirnya sebuah tradisi sastra” (Tempo, 13 April 1991). Pembakuan sejarah sastra mengacu pada kelahiran dan peran Balai Pustaka merupakan kesalahan mendasar. Sikorsky ingin mengubah persepsi ini dengan pengajuan embrio sastra Indonesia dalam sorotan kritis.
Patokan penting dalam pembukaan tabir sejarah sastra mesti memakai patokan “pencerahan.” Patokan ini mengenai isi dan mengabaikan stereotipe bahasa Melayu (Indonesia). Pencerahan merupakan pemunculan pemikiran-pemikiran baru di luar konvensi. Contoh untuk menangkal “sejarah sastra resmi” adalah teks-teks sastra dari Ranggawarsita. Pemilihan ini mengejutkan karena selama ini pujangga dari Solo ini kerap dimasukkan dalam urusan sejarah sastra dan kebudayaan Jawa. Contoh dari Sikorsky bukan kelakar murahan tapi usulan kritis atas pamrih mencari terang sejarah.

Pujangga
Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (1985)  menjelaskan bahwa sosok dan teks-teks sastra dari Ranggawarsita telah meresap dan menjadi spirit besar dalam lakon negeri ini. Ranggawarsita adalah “pujangga rakyat” dan juru bicara zaman karena sanggup melakukan analisis kritis dan matang dalam meramalkan zaman. Pujangga ini pun dikenal sebagai “pencetus zaman edan” karena ketekunan melakukan pembacaan atas perubahan zaman di akhir abad XIX. Teks-teks fenomenal anggitan Ranggawarsita: Kalatidha, Jaka Lodhang, Sabdajati, Cemporet, Hidayat Jati, Wedharaga, Sabdatama, dan lain-lain.   
Kandungan estetika, intelektualitas, filsafat, dan spiritualitas dalam teks-teks Ranggawarsita adalah adonan pengaruh Jawa, Islam, dan Barat. Misi pencerahan terasakan karena Ranggawarsita melakukan perhitungan njlimet dalam olah bahasa dan keeleganan melontarkan ajaran atau kritik dalam pelbagai hal. Ranggawarsita tampil sebagai pendobrak. Puncak olah sastra ini kerap menimbulkan anggapan bahwa Ranggawarsita adalah “pujangga terakhir” dalam kesusastraan Jawa dalam konteks keraton.
Sikorsky justru meletakkan Ranggawarsita dalam kepentingan memerkarakan sejarah sastra di Indonesia. Pemakaian bahasa Jawa tidak bisa dijadikan alasan penguguran kalau teks-teks Ranggawarsita masuk dalam embrio sastra Indonesia. Ranggawarsita merupakan bagian penting dari proses panjang pembentukan sastra modern di Indonesia. Ranggawarsita dalam manifestasi sastra berhasil memerkarakan dan mendedahkan masalah universal manusia Indonesia: kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, kritik atas pangreh praja (kekuasaan). Intensitas dan konsentrasi ini menjadi bukti pencerahan terhadap masyarakat Indonesia.

Sindiran
Kritik atas pembakuan sejarah sastra pun dilancarkan oleh Sikorsky terhadap kepercayaan publik untuk menentukan babak awal sastra Indonesia pada karya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, atau novel-novel produksi Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Sikorsky menilai kandungan dalam novel Sitti Nurbaya cuma memerkarakan adat dan jauh dari diskursus persoalan-persoalan manusia universal Indonesia. Konklusi keras: “Novel Sitti Nurbaya tak pantas dimasukkan dalam khasanah sastra Indonesia.” Argumentasi dan konklusi dari Sikorsky adalah sindiran keras untuk “umat” sastra di Indonesia ketika sudah tak menggubris sejarah sendiri dan melakukan pembacaan kritis atas kejanggalan-kejanggalan pembakuan sejarah sastra.
Pekerjaan berat hari ini adalah mencari titik mula sastra Indonesia dengan orientasi inklusif agar ada model kesadaran merawat sejarah dan melakukan progresivitas atas nilai sastra. Pembatasan sastra Indonesia adalah sastra dengan bahasa Indonesia atau embel-embel sastra daerah gara-gara memakai bahasa Jawa, Sunda, Bali, atau Batak telah melenakan pemikiran kritis dengan tendensi sektarian tanpa argumentasi matang. Pembedaan mesti mulai dicairkan tanpa harus kenes dan malu-malu tapi mesti sadar terhadap nilai atau kontribusi sastra. Perubahan patokan mungkin meski tidak harus absolut untuk bersandar pada sekadar isi atau bahasa. Sejarah sastra jangan dibiarkan sekarat tanpa darah dan gairah. Begitu.           

Suara Merdeka (21 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar