Bandung Mawardi
Pemerintah Republik Indonesia tahun ini memberi Tanda
Kehormatan Bintang Mahaputera untuk Ranggawarsita. Penenetapan ini membuktikan
pengakuan negara atas peran Ranggawarsita dalam sejarah melalui kerja
kultural-politik sebagai pujangga. Ranggawarsita oleh negara sudah memiliki
makna signifikan tapi bagi publik sastra modern di Indonesia? Tulisan kecil ini
ingin mengajukan jawab atas pertanyaan lazim kendati kerap luput dari
pembacaaan sejarah sastra modern di Indonesia.
Penulisan sejarah politik atau sejarah kekuasaan di
negeri ini kerap mendapati kritik dan serangan karena perbedaan perspektif dan
argumentasi. Pembengkokan, pemalsuan, atau manipulasi sejarah menjadi momok
dari kadar “keimanan” orang atas pamrih dari ikhtiar sekian penulis atau
institusi untuk mengusung “kebenaran” atau merebut opini publik. Sejarah
Majapahit, sejarah revolusi, atau sejarah 1965 masih menyisakan rahasia-rahasia
susah terungkap dan tumpukan kontradiksi gara-gara publikasi tulisan dari
pelbagai pihak untuk mendapati klaim paling sahih atau mendekati kebenaran.
Pertarungan tafsir sejarah pun terjadi dengan muatan-muatan ideologis atau
politis.
Kepelikan menemukan pandangan sejarah dalam orientasi
pewartaan kebenaran juga menimpa sastra. Penulisan sejarah sastra di Indonesia
sudah tidak menggebu seperti antusiasme Bakrie Siregar, H.B. Jassin, Ajip
Rosidi, Nugroho Notosusanto, A. Teeuw, Jakob Soemardjo, atau Sapardi Djoko
Damono. Gairah atas proyek penulisan sejarah sastra mulai redup karena
ketiadaan “api pembakar” dan “pertarungan kebenaran” dalam ikhtiar menemukan
terang untuk menghidupi sastra dengan kesadaran historis. Sastra hari ini
mungkin ada dan tumbuh dengan “kecacatan” karena abai dengan penghormatan atas
sejarah.
Sejarah
Pencatatan babak-babak penting dalam sejarah dan
pertumbuhan sastra hari ini memang membutuhkan “keringat deras” dan
“kematangan” untuk memberi tempat pada pengarang, teks sastra, pembaca, latar
politik, spirit kultural, dan gelagat zaman dalam bingkai sejarah sastra.
Pembakuan sejarah sastra terus saja diajarkan dan terwariskan melalui institusi
pendidikan dan sebaran sekian buku sejarah sastra edisi ringkas atau
pengulangan “paket sejarah resmi.” Pengetahuan dan nalar kritis untuk membaca
ulang atau melakukan revisi atas sejarah sastra tampak susah dilakukan karena
pola “indoktrinasi” telah melekat dan merasuk.
Kritik atas pembakuan sejarah sastra di Indonesia pernah
dilakukan oleh sekian tokoh tapi “mengabur” dan “terlupakan” tanpa perdebatan
panjang dan pencapaian konklusi. Usulan untuk merunut sejarah sastra pada masa
kesuburan sastra Cina Peranakan atau publikasi novel-novel di luar Balai
Pustaka mungkin memancing rasa penasaran sejarah. Pembukaan tabir mesti
dilakukan dengan argumentasi dan pembuktian meski mengandung potensi untuk
meruntuhkan sejarah resmi. Studi dari Claudine Salmon tentang Sastra Cina
Peranakan Tionghoa dalam Bahasa Melayu pantas jadi lecutan untuk memikirkan
ulang penulisan sejarah sastra di Indonesia tanpa rasa sungkan atau kekakuan
sentimen politis-ideologis-kultural.
Provokasi panas pernah dilontarkan Willem Vladimir
Sikorsky. Ahli sastra dari Uni Soviet ini dalam disertasi Pembentukan Sastra
Modern Indonesia mengemukakan: “Badan penerbit tak bisa dijadikan patokan
lahirnya sebuah tradisi sastra” (Tempo, 13 April 1991). Pembakuan
sejarah sastra mengacu pada kelahiran dan peran Balai Pustaka merupakan
kesalahan mendasar. Sikorsky ingin mengubah persepsi ini dengan pengajuan
embrio sastra Indonesia dalam sorotan kritis.
Patokan penting dalam pembukaan tabir sejarah sastra mesti
memakai patokan “pencerahan.” Patokan ini mengenai isi dan mengabaikan
stereotipe bahasa Melayu (Indonesia). Pencerahan merupakan pemunculan
pemikiran-pemikiran baru di luar konvensi. Contoh untuk menangkal “sejarah
sastra resmi” adalah teks-teks sastra dari Ranggawarsita. Pemilihan ini
mengejutkan karena selama ini pujangga dari Solo ini kerap dimasukkan dalam
urusan sejarah sastra dan kebudayaan Jawa. Contoh dari Sikorsky bukan kelakar
murahan tapi usulan kritis atas pamrih mencari terang sejarah.
Pujangga
Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita
(1985) menjelaskan bahwa sosok dan
teks-teks sastra dari Ranggawarsita telah meresap dan menjadi spirit besar
dalam lakon negeri ini. Ranggawarsita adalah “pujangga rakyat” dan juru bicara
zaman karena sanggup melakukan analisis kritis dan matang dalam meramalkan
zaman. Pujangga ini pun dikenal sebagai “pencetus zaman edan” karena ketekunan
melakukan pembacaan atas perubahan zaman di akhir abad XIX. Teks-teks fenomenal
anggitan Ranggawarsita: Kalatidha, Jaka Lodhang, Sabdajati,
Cemporet, Hidayat Jati, Wedharaga, Sabdatama, dan
lain-lain.
Kandungan estetika, intelektualitas, filsafat, dan
spiritualitas dalam teks-teks Ranggawarsita adalah adonan pengaruh Jawa, Islam,
dan Barat. Misi pencerahan terasakan karena Ranggawarsita melakukan perhitungan
njlimet dalam olah bahasa dan keeleganan melontarkan ajaran atau kritik
dalam pelbagai hal. Ranggawarsita tampil sebagai pendobrak. Puncak olah sastra
ini kerap menimbulkan anggapan bahwa Ranggawarsita adalah “pujangga terakhir”
dalam kesusastraan Jawa dalam konteks keraton.
Sikorsky justru meletakkan Ranggawarsita dalam
kepentingan memerkarakan sejarah sastra di Indonesia. Pemakaian bahasa Jawa
tidak bisa dijadikan alasan penguguran kalau teks-teks Ranggawarsita masuk
dalam embrio sastra Indonesia. Ranggawarsita merupakan bagian penting dari
proses panjang pembentukan sastra modern di Indonesia. Ranggawarsita dalam
manifestasi sastra berhasil memerkarakan dan mendedahkan masalah universal
manusia Indonesia: kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, kritik atas pangreh
praja (kekuasaan). Intensitas dan konsentrasi ini menjadi bukti pencerahan
terhadap masyarakat Indonesia.
Sindiran
Kritik atas pembakuan sejarah sastra pun dilancarkan oleh
Sikorsky terhadap kepercayaan publik untuk menentukan babak awal sastra
Indonesia pada karya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah
Asuhan, atau novel-novel produksi Balai Pustaka pada tahun 1920-an.
Sikorsky menilai kandungan dalam novel Sitti Nurbaya cuma
memerkarakan adat dan jauh dari diskursus persoalan-persoalan manusia universal
Indonesia. Konklusi keras: “Novel Sitti Nurbaya tak pantas dimasukkan
dalam khasanah sastra Indonesia.” Argumentasi dan konklusi dari Sikorsky adalah
sindiran keras untuk “umat” sastra di Indonesia ketika sudah tak menggubris
sejarah sendiri dan melakukan pembacaan kritis atas kejanggalan-kejanggalan
pembakuan sejarah sastra.
Pekerjaan berat hari ini adalah mencari titik mula sastra
Indonesia dengan orientasi inklusif agar ada model kesadaran merawat sejarah
dan melakukan progresivitas atas nilai sastra. Pembatasan sastra Indonesia
adalah sastra dengan bahasa Indonesia atau embel-embel sastra daerah gara-gara
memakai bahasa Jawa, Sunda, Bali, atau Batak telah melenakan pemikiran kritis
dengan tendensi sektarian tanpa argumentasi matang. Pembedaan mesti mulai
dicairkan tanpa harus kenes dan malu-malu tapi mesti sadar terhadap nilai atau
kontribusi sastra. Perubahan patokan mungkin meski tidak harus absolut untuk
bersandar pada sekadar isi atau bahasa. Sejarah sastra jangan dibiarkan sekarat
tanpa darah dan gairah. Begitu.
Suara Merdeka (21 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar