Laman

Sabtu, 06 November 2010

Sumpah Pemuda dan Catatan Kaki Sejarah

Bandung Mawardi


Perjalanan panjang Sumpah Pemuda selalu menunjukkan kontroversi atas politisasi dan ideologisasi dari penguasa. Sumpah Pemuda dalam fragmen-fragmen politik Indonesia selalu menjadi momentum politis. Keith Foulcher (2008) menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda terus ditahbiskan sebagai ikhtiar untuk mendukung agenda dan pamrih (interest) politik mutakhir. Penahbisan Sumpah Pemuda tampak dalam ideologisasi-politisasi sejak masa kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Ideologisasi-politisasi itu merupakan manifestasi dari pamrih revolusi, integrasi, nasionalisme, pembangunan, atau reformasi.
Perubahan kentara dari Sumpah Pemuda terletak dalam publikasi teks. Perubahan teks mungkin kesengajaan atau kealpaan dalam arus sejarah Indonesia modern. Perubahan fatal terjadi pada kalimat urutan tiga. Teks Sumpah Pemuda 1928: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Teks itu kerap mengalami perubahan menjadi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Perubahan itu melahirkan implikasi politik dan kultural. dalam konteks menjadi Indonesia. Kalimat ketiga dalam Sumpah Pemuda 1928 kentara menunjukkan spirit pluralitas tanpa ada represi politis untuk membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sentralistik. Konsensus itu mengacu pada pluralitas bahasa etnis dan kuasa bahasa Belanda pada kaum muda tahun 1920-an. Perubahan kalimat itu mereprsentasikan tipologi kekuasaan dan lakon politik sesuai dengan desain penguasa secara sistemik dan ideologis.
Formula keliru “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” muncul sebagai alat ideologi oleh rezim Orde Lama untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme, revolusi, dan integrasi. Soekarno melakukan pengeramatan Sumpah Pemuda untuk membasmi separatisme dan gerakan-gerakan kontra-revolusi. Sakralitas itu sebagai strategi politik untuk membuat klaim Sumpah Pemuda sebagai simbol kunci secara historis dan empiris. Simbol dikonstruksi dengan otoritas kekuasaan untuk menjadi indoktrinasi dan alat kontrol politis.
Rezim Orde Lama cenderung memakai Sumpah Pemuda sebagai legitimasi untuk laku politik secara eksplisit. Politisasi itu memuncak pada tahun 1960-an dengan menjadikan Sumpah Pemuda sebagai simbol untuk kampanye-kampanye politis atas nama revolusi dan nasionalisme. Soekarno memang memiliki otoritas untuk memunculkan tafsir politik terhadap Sumpah Pemuda sesuai dengan perhitungan dalil dan pamrih. Soekarno menjadi sosok penting untuk cerita perubahan Sumpah Pemuda sebagai simbol politik.
Rezim Orde Baru turut melanggengkan formula “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” dalam desain politik sistemik. Bahasa mulai menemukan pemaknaan politik dan ideologi mumpuni. Pemahaman kalimat ketiga Sumpah Pemuda menjadi acuan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan politik bahasa dengan perangkat aturan, struktur, dan institusi. Bahasa Indonesia pun menjadi simbol politik oleh Orde Baru atas pamrih stabilitas politik dan pembangunan.
Imperatif dari penguasa Orde Baru melahirkan fenomena-fenomena politis dengan peringatan Sumpah Pemuda sebagai peringatan sejarah dan kontekstualisasi misi-visi pembangunan. Soeharto dengan struktur birokrasi mumpuni membuat agenda-agenda strategis: publikasi buku-buku tentang Sumpah Pemuda, sakralisasi politis Sumpah Pemuda dalam ritual resmi, agenda Bulan Bahasa, atau intervensi dalam agenda Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru adalah perkara menentukan untuk otoritas penguasa dan realisasi penundukkan terhadap rakyat. Doktirin-doktrin dan jargon-jargon bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia untuk kesuksesan pembangunan, atau bahasa adalah simbol persatuan dan kesatuan menjadi indoktrinasi secara efektif dan efisien. Laku politik Orde Baru itu merupakan pelepasan simbol dari sejarah politik menuju politisasi sejarah dan kontekstualisasi politik pragmatis.
Keith Foulcher (2008) dengan kritis menilai Sumpah Pemuda adalah catatan kaki terhadap sejarah. Peran sebagai catatan kaki itu rentan dengan intervensi, manipulasi, atau distorsi. Rezim Orde Lama dan Orde Baru dengan genit dan sistemik melakukan politisasi Sumpah Pemuda untuk pencapaian pamrih. Intervensi penguasa jadi penentu penerimaan dan pemakluman perubahan teks Sumpah Pemuda.
Intervensi penguasa cenderung memusat pada pamrih politik dan konstruksi politik bahasa. Apakah Sumpah Pemuda sebagai simbol nasionalisme dalam alur sejarah Indonesia masih pantas (sekadar) menjadi catatan kaki terhadap sejarah? Peringatan 82 tahun Sumpah Pemuda (1928-2010) adalah titik kritis untuk membaca dan menafsirkan ulang kisah pemuda dalam konstruksi menjadi Indonesia. Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa kaum muda masih memiliki jejak referensial untuk masuk dalam panggung politik sebagai ekspresi dan konsekuensi. Kaum muda tahun 1920-an memiliki kesadaran politik untuk perlawanan kolonialisme. Kesadaran politik itu terus mengalami transformasi sampai hari ini dengan orientasi berbeda.
Kesadaran politik kaum muda sekarang cenderung memakai label perubahan dengan pelbagai dalil-dalil politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Indonesia pun ramai dengan wacana dan praksis untuk lakon kaum muda dalam panggung politik mutakhir. Kaum muda dengan sekian komitmen mulai melakukan pembuktian untuk meneriman amanat politik dalam partai politik, legislatif, dan eksekutif.
Sentralisasi wacana dan praksis kaum muda dalam politik terkadang menimbulkan bias dan ambiguitas. Polemik mengenai kompetensi dan kapasitas kaum muda dalam politik kerap memicu tegangan optimisme dan pesimisme. Optimisme muncul dari elan vital dan pertaruhan diri atas nama perubahan nasib Indonesia. Pesimisme muncul dengan acuan kondisi politik Indonesia tidak karuan dan perubahan membutuhkan pengalaman. Pesimisme ini merupakan kontradiksi dari antusiasme kaum muda untuk memikirkan dan terlibat dalam agenda-agenda perubahan di Indonesia. Begitu.

Radar Surabaya (31 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar