Laman

Sabtu, 06 November 2010

Si Penyulut Teater

Bandung Mawardi


Teater adalah tubuh yang terlontar dari dunia kenyataan dan mencoba menatanya kembali lewat berbagai jalinan emosi, ide-ide, dan keraguan untuk kembali pulang menemani diri sendiri.... Dan besok, teater akan terjadi di dalam tubuhmu sendiri.

(Afrizal Malna, 2009) 

Lelaki tua dengan topi pet itu masih mengalirkan peluh, kata, gerak, dan imajinasi untuk teater. Hidup seolah persembahan teater. Lelaki tua dengan julukan Putu Wijaya adalah ikhtiar tak rampung dari proyek teater di Indonesia pada masa peralihan abad XX ke abad XXI. Nafas masih dihembuskan, gerak masih dilakonkan, kata masih diluncurkan, dan imajinasi masih digulirkan. Putu Wijaya mengingatkan tentang kebermaknaan teater dari zaman ke zaman di sebuah negeri rimbun tradisi tapi bangkrut dalam visi. Khotbah Afrizal Malna tentang teater (akan) terjadi dalam tubuhmu sendiri seolah suara optimisme atas ikhtiar Putu Wijaya untuk menghidupi teater di Indonesia.  
Ikon teater Indonesia ini dihormati dalam Mimbar Teater Indonesia II di Solo (4-10 Oktober 2010). Semua agenda diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah, SD Cemara 2 Solo, dan SMK Negeri 8 Solo. Pementasan teater, monolog, dan seminar digelar dalam spirit pluralitas. Pelbagai garapan disuguhkan memakai naskah-naskah Putu Wijaya dengan perbedaan tafsir dan bentuk. Eksplorasi atas pelbagai gagasan teater Putu Wijaya disuguhkan untuk menilik kronik dan pembayangan masa depan teater Indonesia. Perayaan Putu Wijaya adalah perayaan gairah tak habis-habis meski tua. Teater tak bisa ditamatkan oleh usia. Teater hidup dan mati karena gairah.
Mimbar Teater Indonesia II menyuguhkan 32 garapan dari Teater Lungid (Solo), Teater Tanah Air (Jakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), Teater Cermin (Solo), Ikranagara (Jakarta), Wawan Sofyan (Bandung), Butet Kertaradjasa (Yogyakarta), dan lain-lain. Seminar tentang naskah-naskah Putu Wijaya menghadirkan Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Aslan Abidin (Makassar), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Michel Bodden (Canada), Koh Yungyung (Korea Selatan), dan lain-lain Semua agenda adalah bentuk persembahan kreatif untuk memberi harga (diri) atas sosok dan kerja teater Putu Wijaya sepanjang masa sebagai representasi geliat teater Indonesia mutakhir.   

Menyulut Teater
Putu Wijaya dalam Pertemuan Teater 80 di Jakarta pernah berkhotbah: “Menyulut kehidupan teater tak bisa dengan pementasan teater saja.” Manusia teater ini justru menginginkan orang gairah dalam teater dengan agenda menulis naskah, membaca naskah, menonton pentas, memberi dana, atau menulis kritik. Daftar pendek ini seolah menjadi topangan hajat dari Mimbar Teater Indonesia II karena melihat situasi zaman. Orang mungkin memberi label zaman ini zaman buruk untuk teater. Pelabelan ini ingin ditumpas dengan antusiasme teater.
Semua agenda memusat pada Putu Wijaya sebagai aktor, sutradara, penulis naskah, penonton, dan penulis kritik teater. Selama tujuh hari Solo hidup dalam gelimang makna ala Putu Wijaya untuk memicu wacana teater di Indonesia. Penguatan pun diadakan dalam bentuk seminar dengan titel “Menyoal Naskah-Naskah Putu Wijaya.” Pengajuan tema ini mengingatkan tentang kebangkrutan penulisan naskah di Indonesia. Putu Wijaya selama puluhan tahun menulis naskah dan langganan sebagai pemenang sayembara penulisan naskah lakon ala Dewan Kesenian Jakarta. Produktivitas ala Putu Wijaya itu mulai kehilangan peminat di hari ini. Kelompok-kelompok teater mulai memasrahkan diri menggarap naskah-naskah lama dan kemiskinan naskah melanda teater Indonesia. Putu Wijaya adalah ikon naskah di antara sekian penulis naskah di Indonesia: Rendra, Kirdjomulyo, Motinggo Busye, Arifin C Noer, N Riantiarno, Saini KM, atau Wisran Hadi.   
Kronik teater Indonesia memang identik dengan sosok Putu Wijaya. Kejutan-kejutan dalam naskah, penggarapan, dan gagasan kerap muncul dari kerja teater selama puluhan tahun. Manusia ini seolah menandai bahwa gairah teater tak bisa ditamatkan di Indonesia meski ada suksesi, bencana, kerusuhan, atau krisis. Benny Yohanes (2009) mengibaratkan Putu Wijaya sebagai seniman adaptif saat represi politik menekan dunia seni dan kebudayaan. Putu Wijaya menanggapi situasi dengan  membawa teater ke petualangan dunia metaforik.  Teater jalan terus dan Putu Wijaya berjalan membawa suluh untuk terang. Teater susah mati kendati “obsesi bunuh diri” mungkin ada karena para manusia teater kehilangan kiblat dan argumentasi. Kematian tokoh tak menjadi penentu kematian. Arifin C Noer, Teguh Karya, dan Rendra memang sudah tamat tapi mereka masih mewariskan spirit untuk melangsungkan kehidupan teater.

Melakoni Teater
Putu Wijaya (2001) pernah mengungkapkan: “Seniman harus menjadi teroris.” Paham ini membuat nama Putu Wijaya melambung karena identik dengan teror mental dalam teater. Penulisan naskah dan garapan teater mengusik kesadaran penonton. Teater Indonesia pun menemukan ciri fenomenal dari ikhtiar ini kendati memerlukan penjelasan-penjelasan panjang. Putu Wijaya menamai agenda teater ini sebagai sejenis takdir zaman. Si penyulut teater teror ini mengakui: “Saya menginginkan kesenian saya jadi bom-bom anekdot yang mengigit batin. Untuk mendongkel segala pikiran yang macet dan membuka alternatif. Mencubit orang yang sudah terlena atau mabok, mungkin juga mati rasa di dalam kehidupan, agar tersadar kembali, lalu mempertanyakan sekali lagi tindakan dan sikapnya.” Keberimanan atas teater ini masih disulut dengan gairah tak biasa. Publik masih bisa membuktikan dengan menakar energi bertetaer dalam sosok Putu Wijaya kendati usia sudah mencapai 66 tahun.
Panggung-panggung teater di pelbagai penjuru dunia telah disinggahi. Teater telah dimainkan dengan limpahan gagasan dan tafsiran. Putu Wijaya adalah legenda teater Indonesia. Goenawan Mohamad (1994) memberi julukan pada lakon-lakon Putu Wijaya sebagai “teater dekonstruksi.” Putu Wijaya memiliki kecenderungan menggugurkan atau meruntuhkan bangunan sebuah cerita. Isi tidak dibiarkan sekadar sebagai isi. Lakon menceritakan sesuatu dan peristiwa. Alur berpindah jurusan dengan bebas. Humor mendadak kendur menjadi angker. Semua ciri dari “teater dekonstruksi” ini menabalkan Putu Wijaya sebagai legenda teater di Indonesia sepanjang masa. Publik mengenali Putu Wijaya karena Aduh, Anu, Dag Dig Dug, Edan, Aum, Nyali, Tai, Lho, atau Gerr. Daftar panjang naskah produksi Putu Wijaya seolah menyediakan diri sebagai monumen kata untuk teater Indonesia.
Mimbar Teater Indonesia II adalah persembahan pada publik untuk memerkarakan Putu Wijaya sebagai kunci perteateran Indonesia. Gairah teater mesti disemaikan dengan kemauan menghidupi teater tidak sekadar sebagai pementasan teater. Produksi nilai dan kebermaknaan teater merupakan misi tak selesai dalam kontinuitas dan penentangan diri. Putu Wijaya mengajarkan itu tanpa jatuh dalam lelah, keluhan, marah, atau tangisan. Putu Wijaya melakoni teater karena gairah dan “takdir bergerak”. Si penyulut teater ini sadar bahwa teater Indonesia kerap dalam dilema. Kondisi ini justru memungkinkan untuk mengesahkan kodrat hidup teater dalam penjebolan pelbagai kemungkinan. Penjebolan adalah misi teater. Oh...teater..oh...

Suara Merdeka (10 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar