Bandung Mawardi
Teater adalah tubuh yang terlontar dari dunia
kenyataan dan mencoba menatanya kembali lewat berbagai jalinan emosi, ide-ide,
dan keraguan untuk kembali pulang menemani diri sendiri.... Dan besok, teater
akan terjadi di dalam tubuhmu sendiri.
(Afrizal Malna, 2009)
Lelaki tua dengan topi pet itu masih mengalirkan
peluh, kata, gerak, dan imajinasi untuk teater. Hidup seolah persembahan
teater. Lelaki tua dengan julukan Putu Wijaya adalah ikhtiar tak rampung dari
proyek teater di Indonesia pada masa peralihan abad XX ke abad XXI. Nafas masih
dihembuskan, gerak masih dilakonkan, kata masih diluncurkan, dan imajinasi
masih digulirkan. Putu Wijaya mengingatkan tentang kebermaknaan teater dari
zaman ke zaman di sebuah negeri rimbun tradisi tapi bangkrut dalam visi.
Khotbah Afrizal Malna tentang teater (akan) terjadi dalam tubuhmu sendiri
seolah suara optimisme atas ikhtiar Putu Wijaya untuk menghidupi teater di
Indonesia.
Ikon teater Indonesia ini dihormati dalam Mimbar
Teater Indonesia II di Solo (4-10 Oktober 2010). Semua agenda diselenggarakan
di Taman Budaya Jawa Tengah, SD Cemara 2 Solo, dan SMK Negeri 8 Solo.
Pementasan teater, monolog, dan seminar digelar dalam spirit pluralitas.
Pelbagai garapan disuguhkan memakai naskah-naskah Putu Wijaya dengan perbedaan
tafsir dan bentuk. Eksplorasi atas pelbagai gagasan teater Putu Wijaya
disuguhkan untuk menilik kronik dan pembayangan masa depan teater Indonesia.
Perayaan Putu Wijaya adalah perayaan gairah tak habis-habis meski tua. Teater
tak bisa ditamatkan oleh usia. Teater hidup dan mati karena gairah.
Mimbar Teater Indonesia II menyuguhkan 32 garapan
dari Teater Lungid (Solo), Teater Tanah Air (Jakarta), Kelompok Masyarakat Batu
(Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), Teater Cermin (Solo),
Ikranagara (Jakarta), Wawan Sofyan (Bandung), Butet Kertaradjasa (Yogyakarta), dan
lain-lain. Seminar tentang naskah-naskah Putu Wijaya menghadirkan Afrizal Malna
(Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Aslan Abidin (Makassar), Cobbina Gillit
(Amerika Serikat), Michel Bodden (Canada), Koh Yungyung (Korea Selatan), dan
lain-lain Semua agenda adalah bentuk persembahan kreatif untuk memberi harga
(diri) atas sosok dan kerja teater Putu Wijaya sepanjang masa sebagai
representasi geliat teater Indonesia mutakhir.
Menyulut Teater
Putu Wijaya dalam Pertemuan Teater 80 di Jakarta
pernah berkhotbah: “Menyulut kehidupan teater tak bisa dengan pementasan teater
saja.” Manusia teater ini justru menginginkan orang gairah dalam teater dengan
agenda menulis naskah, membaca naskah, menonton pentas, memberi dana, atau
menulis kritik. Daftar pendek ini seolah menjadi topangan hajat dari Mimbar
Teater Indonesia II karena melihat situasi zaman. Orang mungkin memberi label
zaman ini zaman buruk untuk teater. Pelabelan ini ingin ditumpas dengan
antusiasme teater.
Semua agenda memusat pada Putu Wijaya sebagai
aktor, sutradara, penulis naskah, penonton, dan penulis kritik teater. Selama
tujuh hari Solo hidup dalam gelimang makna ala Putu Wijaya untuk memicu wacana
teater di Indonesia. Penguatan pun diadakan dalam bentuk seminar dengan titel
“Menyoal Naskah-Naskah Putu Wijaya.” Pengajuan tema ini mengingatkan tentang
kebangkrutan penulisan naskah di Indonesia. Putu Wijaya selama puluhan tahun
menulis naskah dan langganan sebagai pemenang sayembara penulisan naskah lakon
ala Dewan Kesenian Jakarta. Produktivitas ala Putu Wijaya itu mulai kehilangan
peminat di hari ini. Kelompok-kelompok teater mulai memasrahkan diri menggarap
naskah-naskah lama dan kemiskinan naskah melanda teater Indonesia. Putu Wijaya
adalah ikon naskah di antara sekian penulis naskah di Indonesia: Rendra,
Kirdjomulyo, Motinggo Busye, Arifin C Noer, N Riantiarno, Saini KM, atau Wisran
Hadi.
Kronik teater Indonesia memang identik dengan
sosok Putu Wijaya. Kejutan-kejutan dalam naskah, penggarapan, dan gagasan kerap
muncul dari kerja teater selama puluhan tahun. Manusia ini seolah menandai
bahwa gairah teater tak bisa ditamatkan di Indonesia meski ada suksesi,
bencana, kerusuhan, atau krisis. Benny Yohanes (2009) mengibaratkan Putu Wijaya
sebagai seniman adaptif saat represi politik menekan dunia seni dan kebudayaan.
Putu Wijaya menanggapi situasi dengan
membawa teater ke petualangan dunia metaforik. Teater jalan terus dan Putu Wijaya berjalan
membawa suluh untuk terang. Teater susah mati kendati “obsesi bunuh diri” mungkin
ada karena para manusia teater kehilangan kiblat dan argumentasi. Kematian
tokoh tak menjadi penentu kematian. Arifin C Noer, Teguh Karya, dan Rendra
memang sudah tamat tapi mereka masih mewariskan spirit untuk melangsungkan
kehidupan teater.
Melakoni Teater
Putu Wijaya (2001) pernah mengungkapkan:
“Seniman harus menjadi teroris.” Paham ini membuat nama Putu Wijaya melambung
karena identik dengan teror mental dalam teater. Penulisan naskah dan garapan
teater mengusik kesadaran penonton. Teater Indonesia pun menemukan ciri
fenomenal dari ikhtiar ini kendati memerlukan penjelasan-penjelasan panjang.
Putu Wijaya menamai agenda teater ini sebagai sejenis takdir zaman. Si penyulut
teater teror ini mengakui: “Saya menginginkan kesenian saya jadi bom-bom
anekdot yang mengigit batin. Untuk mendongkel segala pikiran yang macet dan
membuka alternatif. Mencubit orang yang sudah terlena atau mabok, mungkin juga
mati rasa di dalam kehidupan, agar tersadar kembali, lalu mempertanyakan sekali
lagi tindakan dan sikapnya.” Keberimanan atas teater ini masih disulut dengan
gairah tak biasa. Publik masih bisa membuktikan dengan menakar energi bertetaer
dalam sosok Putu Wijaya kendati usia sudah mencapai 66 tahun.
Panggung-panggung teater di pelbagai penjuru
dunia telah disinggahi. Teater telah dimainkan dengan limpahan gagasan dan
tafsiran. Putu Wijaya adalah legenda teater Indonesia. Goenawan Mohamad (1994)
memberi julukan pada lakon-lakon Putu Wijaya sebagai “teater dekonstruksi.”
Putu Wijaya memiliki kecenderungan menggugurkan atau meruntuhkan bangunan
sebuah cerita. Isi tidak dibiarkan sekadar sebagai isi. Lakon menceritakan
sesuatu dan peristiwa. Alur berpindah jurusan dengan bebas. Humor mendadak
kendur menjadi angker. Semua ciri dari “teater dekonstruksi” ini menabalkan
Putu Wijaya sebagai legenda teater di Indonesia sepanjang masa. Publik
mengenali Putu Wijaya karena Aduh, Anu, Dag Dig Dug,
Edan, Aum, Nyali, Tai, Lho, atau Gerr.
Daftar panjang naskah produksi Putu Wijaya seolah menyediakan diri sebagai
monumen kata untuk teater Indonesia.
Mimbar Teater Indonesia II adalah persembahan
pada publik untuk memerkarakan Putu Wijaya sebagai kunci perteateran Indonesia.
Gairah teater mesti disemaikan dengan kemauan menghidupi teater tidak sekadar
sebagai pementasan teater. Produksi nilai dan kebermaknaan teater merupakan
misi tak selesai dalam kontinuitas dan penentangan diri. Putu Wijaya
mengajarkan itu tanpa jatuh dalam lelah, keluhan, marah, atau tangisan. Putu
Wijaya melakoni teater karena gairah dan “takdir bergerak”. Si penyulut teater
ini sadar bahwa teater Indonesia kerap dalam dilema. Kondisi ini justru
memungkinkan untuk mengesahkan kodrat hidup teater dalam penjebolan pelbagai
kemungkinan. Penjebolan adalah misi teater. Oh...teater..oh...
Suara Merdeka (10 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar