Bandung Mawardi
Negara memiliki ritual politis atas bahasa.
Bulan Oktober disahkan sebagai bulan bahasa dan sastra. Kebijakan ini merupakan
bukti politik perhatian untuk menggerakkan bahasa sebagai representasi
kekuasaan dalam konstruksi historis, identitas, dan nasionalisme.
Kebersejarahan bahasa hendak dijadikan sihir untuk membuat agenda kepatuhan
dalam bahasa. Sejarah bahasa Indonesia masih luput dan penjelasan tak rampung
atas kepentingan kepemilikan dan produksi makna-makna politik, ekonomi, sosial,
agama, pendidikan, seni, teknologi, dan kultural.
Politik bahasa di Indonesia merupakan sambungan
dari kekisruhan sejarah masa kolonial. Bahasa sebagai representasi kepatuhan
pernah diusahakan oleh pemerintah kolonial kendati gagal. Slamet Muljana dalam Politik
Bahasa Nasional (1959) mengisahkan tentang signifikansi bahasa Belanda
dalam pamrih melanggengkan kekuasaan. Usaha ini dimotori oleh G J Nieuwenhuis
dengan ancangan tiga jalan: (1) menjauhkan para pelajar bumiputera dari bahasa
Melayu dan memupuk pertumbuhan bahasa daerah dengan kedok kepentingan
pendidikan; (2) membuka perspektif kehidupan yang luas da menguntungkan bagi
bumiputera yang pandai bahasa Belanda; (3) menyebarkan bahasa Belanda
seluas-luasnya.
Politik bahasa kolonial ini tidak memberi hasil
maksimal alias mendapati resistensi dari bumiputera dengan memilih bahasa
Indonesia sebagai bahasa politik, pengetahuan, dan kultural. Bahasa Indonesia
justru diakui sebagai bahasa bersama dalam Kongres Pemuda II (1928) sebagai
antitesis bahasa Belanda alias kolonial. Politik bahasa nasional pun mulai
dirumuskan dan mencari bentuk sebagai mekanisme menata kehidupan kolektif dalam
multikulturalisme di Indonesia. Konklusi dari jejak historis ini adalah bahasa
nasional merupakan urusan negara dan politik menjadi penentu primer.
Politik
Aplikasi dari politik bahasa nasional termaktub
dalam UUD 1945. Pelaksanaan kongres bahasa pun dijadikan sebagai format
untuk menemukan legitimasi dan
membesarkan misi bahasa dalam anutan politik-kultural. Agenda-agenda kebahasaan
dijadikan sebagai prosedur untuk membuat konsensus politis melalui pembakuan
dan sebaran sistematis. Bahasa Indonesia menelusup dalam dunia pendidikan,
ekonomi, seni, teknologi, dan politik. Semua sektor kehidupan di Indonesia
diusahakan dalam terang bahasa Indonesia secara ideologis dan massif.
Catatan fenomenal muncul dalam Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan (28 Oktober – 2 November 1954). Aksentuasi atas peristiwa
besar ini diwujudkan dalam penerbitan buku bertitel Kongres Bahasa Indonesia
di Medan: Peristiwa yang Tiada Bandingnya (1955) diterbitkan
oleh Djambatan. Ungkapan “Peristiwa yang Tiada Bandingnya” ini seolah memberi
impresi atas kebermaknaan politik bahasa nasional dalam daftar panjang agenda
perpolitikan Indonesia. Bahasa Indonesia diharapakan berperan sebagai fondasi
atas pertumbuhan nasionalisme dan pemartabatan bangsa dalam jerat seribu satu
perbedaan.
Pelbagai institusi dijadikan agen ideologis
untuk sebaran bahasa Indonesia dengan pelbagai pamrih. Pembebasan dan kepatuhan
seolah tendensi kontradiksi dari kepemilikan dan produksi bahasa dalam pelbagai
aspek kehidupan. Bahasa Indonesia tampil sebagai sumber identifikasi nasional
dan resistensi atas kesekaratan bahasa daerah jadi tanda seru. Kondisi politik
bahasa pun menemukan godaan dengan sebaran bahasa asing sebagai medium mencapai
konsensus global. Politik bahasa nasional dihadapkan pada dilema, resistensi,
dan kebangkrutan.
Perkembangan situasi genting memerlukan
tanggapan politis. Tanggapan ini mengambil bentuk agenda menyusun kerangka
dasar politik bahasa nasional (29 – 31 Oktober 1974). Usaha ambisus ini bisa
disimak kembali dalam buku Politik Bahasa Nasional (1989). Pelbagai
pandangan dari tokoh-tokoh kondang (Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat,
Goenawan Mohamad, Harimurti Kridalaksana, Hasja W Bachtiar, Ajip Rosidi) untuk
memberi kontribusi demi konstruksi politik bahasa nasional. Rentetan peristiwa
kebahasaan ini menandai ada ambisi dan kegelisahan untuk pencapaian hasil
maksimal di antara kelengahan dan kesalahan.
Pembakuan
Bahasa pun identik dengan kekuasaan.
Operasionalisasi politik bahasa nasional membuat bahasa rentang dengan
intervensi kekuasaan untuk pelbagai pamrih. Bahasa mengalami manipulasi kendati
ditampilkan dengan bentuk pembakuan. Bahasa dalam imperatif kekuasaan ini
mengakibatkan adopsi kolonialistik. Risiko getir adalah politik bahasa nasional
menciptakan kepatuhan melalui instruksi, imperatif, dan represi. Kekuasaan
lekas terpahami sebagai sumber dari pelanggengan rezim dan ideologisasi
sistematis untuk menghapus kebebasan dan perayaan perbedaan. Ariel Heryanto (1996)
menyebut lakon ini sebagai aplikasi totalitarianisme bersumber dari pembakuan
bahasa. Mekanisme ini justru menunjukkan negara melakukan “pelecehan” bahasa
karena dianggap sekadar sebagai alat atau instrumen.
Pembakuan bahasa dalam paket politik bahasa nasional
dilangsungkan sejak lama. Sekian titik penting bisa ditelusuri pada masa
permulaan rezim Orde Baru. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1966
melakukan pembaharuan ejaan dan mendapati legitimasi politis oleh Presiden
Soeharto pada 1972. Agenda pembakuan melalui sistem ejaan dimaksudkan untuk
“menyelamatkan bahasa Indonesia” (Harimurti Kridalaksana, “Pembaharuan Ejaan
1972: Tahap dalam Proses Pembakuan Bahasa Indonesia”, 1974). Konklusi dari
kebersejarahan pembakuan bahasa ini adalah “kemenangan” penguasa untuk
melakukan pendisiplinan dan kontrol terhadap rakyat melalui bahasa
Indonesia.
Publik mendapati hadiah menakjubkan: ejaan yang
disempurnakan. Bahasa Indonesia mengalami pembakuan dengan label baik dan
benar. Publik pun dibayangi oleh represi politis atas bahasa jika tidak mampu
mengafirmasi dan memproduksi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Petaka
bahasa di balik agenda kekuasaan membuat bahasa Indonesia kerap mengalami
kemacetan dan kerapuhan saat dibandingkan dengan dinamisasi pelbagai bahasa di
dunia. Politik bahasa Indonesia menjadi lakon dilematis atas sekian situasi
amburadul dan kebangkrutan pemaknaan atas Indonesia adalam acuan
multikulturalisme. Bahasa Indonesia seolah gagal dijadikan sebagai pilihan
produktif untuk mengonstruksi Indonesia secara bermartabat seperti episode Sumpah Pemuda 1928. Begitu.
Lampung Post (27 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar