Bandung Mawardi
Mitos tentang pemuda pernah dikabarkan dengan
gelegar oleh Soekarno, mitos untuk mendefinisikan bangsa dan menggerakkan
perubahan dengan tumpuan kaum muda. Mikrofon politik jadi alat bagi Soekarno
mengalirkan idealisme, revolusi, dan kultur perubahan. Mitos itu digulirkan,
membuahkan keajaiban-keajaiban dalam kerapuhan konsep, juga menjadikan pemuda
sebagai anutan geliat mencurigai kemapanan. Periode itu berlalu, zaman
berganti, mitos pemuda pun mengalami pasang surut oleh godaan kekuasaan,
arogansi rezim politik, kegenitan sistem sosial-kultural, dan kebangkrutan
kultur literasi-keintelektualan.
Peringatan keras agar kaum muda tak larut dalam
mitos, luluh dalam narasi-narasi fantastis, atau hilang dalam sihir makna,
pernah diwartakan oleh Mohammad Hatta dalam sebuah tulisan kecil berjudul
“Pemuda dalam Krisis” di Daulat Rakjat, No 77, 30 Oktober 1933. Hatta
seolah “menyumpahi” pemuda karena mereka dilanda krisis, saat “zaman meleset” (malaise)
dan gairah pergerakan politik dan proyek
intelektual mulai kena masuk angin. Hatta menarik tamsil dari
referensi-referensi dunia dan lokal, menuturkan biografi pemuda, untuk memberi
suntikan atas kelesuan, krisis. Gejala itu memabukkan, menidurkan, mengalpakan.
Hatta ingin kaum muda membuat jalan pembaharuan, perubahan, menggerakkan diri
bersama rakyat demi “mencipta” Indonesia. Suntikan ini adalah provokasi dari
episode “kegirangan” saat Sumpah Pemuda (1928) melahirkan mitos-mitos rapuh,
tak permanen.
Hatta, intelektual berpendidikan Eropa dan
lulusan dari universitas di Belanda, mengingatkan kaum muda: “Kalau pemuda
Indonesia yang mendapat pendidikan Barat tahu mencari jalan pulang ke dalam
masyarakat sendiri, ia akan terlepas dari krisis yang mahahebat dan mahasedih,
yang menggoncangkan penghidupan jiwanya di waktu sekarang ini.” Kaum muda saat
itu bingung dalam memaknai garis politik dan intelektual dalam remang
modernitas dan represi kolonialisme. Ikhtiar lolos dari krisis multidimensional
adalah kerja berat, heroik, dan pembuktian sumpah. Mitos pemuda dalam kondisi ini
memang rentan pecah, rusak, atau berganti.
Hatta mengajukan diri sebagai biografi pemuda
Indonesia. Kitab Memoir (1979) memberi keterangan-keterangan tentang
resah dan ambisi pemuda Hatta. Publik pun menghormati Hatta, sanjungan atas
pengucapan sumpah bahwa ia tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka.
Sumpah diri ini tak bisa diartikan kecil, sumpah ini ada dalam bingkai politik,
sejarah, sosial, dan agama. Orang bisa mengambil contoh mitos kecil dari Hatta.
Kita juga bisa membandingkan dengan mitos pemuda Soekarno, Sutan Sjahrir, Tan
Malaka, atau Amir Sjarifuddin. Mereka menerima spirit Sumpah Pemuda, tapi
mereka ikut memberi, melahirkan, sumpah-sumpah lanjutan untuk pemaknaan
keindonesiaan. Lahirlah lingkaran-lingkaran politik-intelektual di sekitar
mereka, meruntuhkan mitos usang, melahirkan mitos progresif, dan bimbang dalam
pemitosan diri sendiri.
Tamsil
Mitos dari garis politik ini memang kerap jadi
acuan kendati bisa jatuh dalam klise. Kita bisa meletakkan mitos-mitos itu
dalam jejaring kisah kaum muda di dunia, tamsil dari sastra dan sejarah dunia. Johann
Wolfgang von Goethe, pujangga agung dari Jerman, menuliskan novel Die Leiden
De Jungen Werther (Penderitaan Pemuda Werther). Mitos pemuda dalam novel
klasik ini mengesankan pemujaan cinta, penganut aliran romantik, menampik
optimisme rasionalistik, dan penghancuran diri. Sumpah dilafalkan atas nama
menikmati hidup dalam gelimang cinta. Kisah tokoh Werther pun jadi tamsil bagi Eropa,
abad ke-18, tentang konsep dan pendefinisian pemuda pada zaman itu, mereka
adalah makhluk-makhluk dalam masa resah dan gelisah. Masa itu Eropa lesu,
perubahan berjalan lamban. Petaka dan keruntuhan mitos pemuda hadir sebagai
ketidaksanggupan menemukan dan mengejawantahkan roh zaman.
Kita bisa menarik mitos pemuda ala Goethe
sebagai tamsil untuk menilik ulang peran kaum muda usai generasi 1928, 1945,
1966, 1998. Mitos pemuda kita jadi rapuh, mitos tampak berubah arah. Mereka
hampir tiruan-tiruan dari Werther. Ideologi untuk mengusung hidup dalam
gelimang hiburan, penggampangan, puja hedonistik, fanatisme cinta,. atau
pecandu snobisme membuat kita menundukkan kepala. Pemuda telah memitoskan diri
dengan sumpah serapah tentang penampikan hidup dalam risiko, digantikan dengan
sumpah (senang) hidup. Kisah-kisah tentang pertaruhan diri, kesadaran politik,
pencerahan kultural, perubahan sosial tertutupi oleh kegirangan dalam hidup
artifisial, luberan manipulasi ideologis, dan kehampaan orientasi intelektual-spiritual-kultural.
Mereka seolah ikut mengucap dan memegang sumpah tentang mitos globalisasi dalam
sorotan kenikmatan-kenikmatan tanpa kerja nalar dan imajinasi, konstruski biografi
diri, serta misi profetik.
Mitos pemuda melahirkan nihilisme terjadi dalam
novel Fathers and Sons garapan Ivan S Turgenev. Novel ini mengisahkan
tentang konfrontasi kaum tua dan kaum muda-intelektual di Rusia pada abad ke-19.
Pemuda-pemuda desa bergerak ke kota, menghirup aroma dan roh kemodernan,
menempuh studi untuk pemartabatan diri dan negeri. Sumpah untuk perubahan
dengan risiko bentrokan ideologis membuat kaum muda jadi tersangka pengidap
nihilisme. Tuduhan ini ada karena tokoh-tokoh Turgenev tidak sanggup mencari
titik temu, mengubah arah, dan kalah oleh nalar sendiri untuk menemukan kiblat
perubahan. Sandaran ideologis rapuh, mitos diri dalam kemodernan tersesat dalam
khayal zaman. Nihilisme pun merebak di Eropa, kaum muda menjadi sebab dan
mereka hampir terpental dalam lingkaran sejarah dunia. Kaum muda Rusia ingin
perubahan radikal, tapi lelah melawan kekolotan kaum tua. Mereka, kaum muda,
justru disumpahi atas kebobrokan dan kehampaan nilai-nilai kehidupan.
Rapuh
Mitos dalam novel-novel dunia itu bisa
mengingatkan kita tentang disorientasi dan kehampaan kaum muda hari ini di
Indonesia. Mitos ideologis memang terabaikan, kaum muda justru membuat
simplifikasi untuk membaca dunia dalam banalitas sumpah. Gairah untuk belajar
susut, ambisi menjadi politikus karbitan jadi memabukan, menggulirkan ide-ide
perubahan malah terpasung formalitas, mendefinisikan dan menyusun biografi diri
larut dalam serbuan globalisasi atas nama “pemuda dunia”, pemuda tanpa tanah
air. Kabar-kabar ini menggelisahkan karena kaum muda hidup dalam mitos-mitos
tak terbayangkan dalam arus sejarah keindonesiaan atau kelokalan.
Mitos (rapuh) pemuda disajikan pada kita saat
konstruksi keindonesiaan dalam fondasi politik, ekonomi, sosial,
pendidikan, dan kultural mengalami
guncangan-guncangan besar. Sejarah tentang heroisme pemuda seolah raib oleh
lembaran-lembaran mitos globalisasi. “Pemitosan” pemuda dalam sejarah revolusi
Indonesia oleh Benedict Anderson mungkin tamat dini. Biografi-biografi masa
muda Ranggawarsito, Soekarno, Chairil Anwar, atau Ahmad Wahib mungkin enggan
terbaca. Mitos-mitos mereka sekadar mendekam dalam buku-buku tebal, di rak-rak
sepi perpustakaan, di gudang senyap. Kaum muda hari ini tampak memerlukan
biografi artis, atlit, atau mencari mitos-mitos pemuda ke pelbagai penjuru
negeri dengan dalih kosmopolitanisme.
Kondisi ini lazim terjadi kendati mengharukan.
Kita jadi, sadar urusan pemuda adalah urusan dalam keajaiban, ketakterdugaan,
dan ketkajuban. Jadi, keberadaan kementerian pemuda seolah absen dari arus
mitos pemuda dan gagal dalam memberi asupan untuk penciptaan sumpah-sumpah progresif
dalam proyek memartabatkan kaum muda. Kita justru kerap muntah dengan sumpah (serapah)
para elite muda tentang gagasan dan ide tak bening, tak mencerahkan, tak
kritis, dan tak menggerakkan perubahan. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar