Laman

Sabtu, 06 November 2010

Mitos (Rapuh) Pemuda

Bandung Mawardi


Mitos tentang pemuda pernah dikabarkan dengan gelegar oleh Soekarno, mitos untuk mendefinisikan bangsa dan menggerakkan perubahan dengan tumpuan kaum muda. Mikrofon politik jadi alat bagi Soekarno mengalirkan idealisme, revolusi, dan kultur perubahan. Mitos itu digulirkan, membuahkan keajaiban-keajaiban dalam kerapuhan konsep, juga menjadikan pemuda sebagai anutan geliat mencurigai kemapanan. Periode itu berlalu, zaman berganti, mitos pemuda pun mengalami pasang surut oleh godaan kekuasaan, arogansi rezim politik, kegenitan sistem sosial-kultural, dan kebangkrutan kultur literasi-keintelektualan.
Peringatan keras agar kaum muda tak larut dalam mitos, luluh dalam narasi-narasi fantastis, atau hilang dalam sihir makna, pernah diwartakan oleh Mohammad Hatta dalam sebuah tulisan kecil berjudul “Pemuda dalam Krisis” di Daulat Rakjat, No 77, 30 Oktober 1933. Hatta seolah “menyumpahi” pemuda karena mereka dilanda krisis, saat “zaman meleset” (malaise)  dan gairah pergerakan politik dan proyek intelektual mulai kena masuk angin. Hatta menarik tamsil dari referensi-referensi dunia dan lokal, menuturkan biografi pemuda, untuk memberi suntikan atas kelesuan, krisis. Gejala itu memabukkan, menidurkan, mengalpakan. Hatta ingin kaum muda membuat jalan pembaharuan, perubahan, menggerakkan diri bersama rakyat demi “mencipta” Indonesia. Suntikan ini adalah provokasi dari episode “kegirangan” saat Sumpah Pemuda (1928) melahirkan mitos-mitos rapuh, tak permanen.
Hatta, intelektual berpendidikan Eropa dan lulusan dari universitas di Belanda, mengingatkan kaum muda: “Kalau pemuda Indonesia yang mendapat pendidikan Barat tahu mencari jalan pulang ke dalam masyarakat sendiri, ia akan terlepas dari krisis yang mahahebat dan mahasedih, yang menggoncangkan penghidupan jiwanya di waktu sekarang ini.” Kaum muda saat itu bingung dalam memaknai garis politik dan intelektual dalam remang modernitas dan represi kolonialisme. Ikhtiar lolos dari krisis multidimensional adalah kerja berat, heroik, dan pembuktian sumpah. Mitos pemuda dalam kondisi ini memang rentan pecah, rusak, atau berganti.  
Hatta mengajukan diri sebagai biografi pemuda Indonesia. Kitab Memoir (1979) memberi keterangan-keterangan tentang resah dan ambisi pemuda Hatta. Publik pun menghormati Hatta, sanjungan atas pengucapan sumpah bahwa ia tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah diri ini tak bisa diartikan kecil, sumpah ini ada dalam bingkai politik, sejarah, sosial, dan agama. Orang bisa mengambil contoh mitos kecil dari Hatta. Kita juga bisa membandingkan dengan mitos pemuda Soekarno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, atau Amir Sjarifuddin. Mereka menerima spirit Sumpah Pemuda, tapi mereka ikut memberi, melahirkan, sumpah-sumpah lanjutan untuk pemaknaan keindonesiaan. Lahirlah lingkaran-lingkaran politik-intelektual di sekitar mereka, meruntuhkan mitos usang, melahirkan mitos progresif, dan bimbang dalam pemitosan diri sendiri.

Tamsil
Mitos dari garis politik ini memang kerap jadi acuan kendati bisa jatuh dalam klise. Kita bisa meletakkan mitos-mitos itu dalam jejaring kisah kaum muda di dunia, tamsil dari sastra dan sejarah dunia. Johann Wolfgang von Goethe, pujangga agung dari Jerman, menuliskan novel Die Leiden De Jungen Werther (Penderitaan Pemuda Werther). Mitos pemuda dalam novel klasik ini mengesankan pemujaan cinta, penganut aliran romantik, menampik optimisme rasionalistik, dan penghancuran diri. Sumpah dilafalkan atas nama menikmati hidup dalam gelimang cinta. Kisah tokoh Werther pun jadi tamsil bagi Eropa, abad ke-18, tentang konsep dan pendefinisian pemuda pada zaman itu, mereka adalah makhluk-makhluk dalam masa resah dan gelisah. Masa itu Eropa lesu, perubahan berjalan lamban. Petaka dan keruntuhan mitos pemuda hadir sebagai ketidaksanggupan menemukan dan mengejawantahkan roh zaman.
Kita bisa menarik mitos pemuda ala Goethe sebagai tamsil untuk menilik ulang peran kaum muda usai generasi 1928, 1945, 1966, 1998. Mitos pemuda kita jadi rapuh, mitos tampak berubah arah. Mereka hampir tiruan-tiruan dari Werther. Ideologi untuk mengusung hidup dalam gelimang hiburan, penggampangan, puja hedonistik, fanatisme cinta,. atau pecandu snobisme membuat kita menundukkan kepala. Pemuda telah memitoskan diri dengan sumpah serapah tentang penampikan hidup dalam risiko, digantikan dengan sumpah (senang) hidup. Kisah-kisah tentang pertaruhan diri, kesadaran politik, pencerahan kultural, perubahan sosial tertutupi oleh kegirangan dalam hidup artifisial, luberan manipulasi ideologis, dan kehampaan orientasi intelektual-spiritual-kultural. Mereka seolah ikut mengucap dan memegang sumpah tentang mitos globalisasi dalam sorotan kenikmatan-kenikmatan tanpa kerja nalar dan imajinasi, konstruski biografi diri, serta  misi profetik.
Mitos pemuda melahirkan nihilisme terjadi dalam novel Fathers and Sons garapan Ivan S Turgenev. Novel ini mengisahkan tentang konfrontasi kaum tua dan kaum muda-intelektual di Rusia pada abad ke-19. Pemuda-pemuda desa bergerak ke kota, menghirup aroma dan roh kemodernan, menempuh studi untuk pemartabatan diri dan negeri. Sumpah untuk perubahan dengan risiko bentrokan ideologis membuat kaum muda jadi tersangka pengidap nihilisme. Tuduhan ini ada karena tokoh-tokoh Turgenev tidak sanggup mencari titik temu, mengubah arah, dan kalah oleh nalar sendiri untuk menemukan kiblat perubahan. Sandaran ideologis rapuh, mitos diri dalam kemodernan tersesat dalam khayal zaman. Nihilisme pun merebak di Eropa, kaum muda menjadi sebab dan mereka hampir terpental dalam lingkaran sejarah dunia. Kaum muda Rusia ingin perubahan radikal, tapi lelah melawan kekolotan kaum tua. Mereka, kaum muda, justru disumpahi atas kebobrokan dan kehampaan nilai-nilai kehidupan.

Rapuh
Mitos dalam novel-novel dunia itu bisa mengingatkan kita tentang disorientasi dan kehampaan kaum muda hari ini di Indonesia. Mitos ideologis memang terabaikan, kaum muda justru membuat simplifikasi untuk membaca dunia dalam banalitas sumpah. Gairah untuk belajar susut, ambisi menjadi politikus karbitan jadi memabukan, menggulirkan ide-ide perubahan malah terpasung formalitas, mendefinisikan dan menyusun biografi diri larut dalam serbuan globalisasi atas nama “pemuda dunia”, pemuda tanpa tanah air. Kabar-kabar ini menggelisahkan karena kaum muda hidup dalam mitos-mitos tak terbayangkan dalam arus sejarah keindonesiaan atau kelokalan.
Mitos (rapuh) pemuda disajikan pada kita saat konstruksi keindonesiaan dalam fondasi politik, ekonomi, sosial, pendidikan,  dan kultural mengalami guncangan-guncangan besar. Sejarah tentang heroisme pemuda seolah raib oleh lembaran-lembaran mitos globalisasi. “Pemitosan” pemuda dalam sejarah revolusi Indonesia oleh Benedict Anderson mungkin tamat dini. Biografi-biografi masa muda Ranggawarsito, Soekarno, Chairil Anwar, atau Ahmad Wahib mungkin enggan terbaca. Mitos-mitos mereka sekadar mendekam dalam buku-buku tebal, di rak-rak sepi perpustakaan, di gudang senyap. Kaum muda hari ini tampak memerlukan biografi artis, atlit, atau mencari mitos-mitos pemuda ke pelbagai penjuru negeri dengan dalih kosmopolitanisme.
Kondisi ini lazim terjadi kendati mengharukan. Kita jadi, sadar urusan pemuda adalah urusan dalam keajaiban, ketakterdugaan, dan ketkajuban. Jadi, keberadaan kementerian pemuda seolah absen dari arus mitos pemuda dan gagal dalam memberi asupan untuk penciptaan sumpah-sumpah progresif dalam proyek memartabatkan kaum muda. Kita justru kerap muntah dengan sumpah (serapah) para elite muda tentang gagasan dan ide tak bening, tak mencerahkan, tak kritis, dan tak menggerakkan perubahan. Begitu. 

Koran Tempo (31 Oktober 2010)          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar