Bandung Mawardi
Judul : Dominasi Penuh
Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi
Penulis : Haryatmoko
Penerbit : Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Cetak : 2010
Tebal : 295 halaman
Agama memicu kekerasan. Model kekerasan dengan
dalih perintah agama atau klaim tafsiran telah terjadi dari zaman ke zaman.
Kekerasan atas nama agama belum tamat sampai hari ini karena pelbagai peristiwa
kekerasan membuktikan ada dominasi dan diskriminasi. Episode kebiadaban justru
diacukan pada agama. Kondisi ini ironi dan membuat agama kehilangan kesakralan
(kesucian) gara-gara dijadikan acuan kekerasan oleh individu atau
kelompok.
Haryatmoko mengakui kekerasan atas nama agama
merupakan kejahatan. Bentuk kejahatan ini kerap mencari pembenaran ilahiah.
Risiko dari pemahaman keliru ini adalah membuat korban terlantar karena stigma
seolah pantas disingkirkan, menderita, dihancurkan, atau dibunuh. Keprihatinan
atas lakon kekerasan atas nama agama menjadi pemicu kritis bagi Haryatmoko
untuk memberi uraian multidimensional tentang makna kekerasan. Buku ini adalah
suguhan mozaik wacana dalam pelbagai referensi mumpuni.
Buku ini terbagi dalam tujuh bab dengan
kefasihan tafsiran atas pemikiran tokoh-tokoh kunci dan penjelasan fakta
(peristiwa). Bab pertama dengan titel Gagasan-Gagasan Pembuka Selubung
Dominasi merupakan pijakan teori besar dalam gelimang tematik. Haryatmoko
menghadirkan pokok pemikiran dari Friedrich Nietzsche, Michel Foucault, Pierre
Bordieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Pembaca
mungkin bakal kerepotan untuk memahami teori-teori itu dalam
penggalan-penggalan. Haryatmoko justru mendekatkan pembaca dalam
“keterhubungan” pelbagai teori kendati ringkas.
Kekerasan
Ambisi mengafirmasi kebenaran pada zaman modern
membuat orang merasa memiliki hak untuk melakukan kekerasan. Realisasi dan
pancaran kebenaran kerap dilakoni dengan konflik aatu kekerasan. Kondisi ini
membuat agenda humanisme mengalami kebangkrutan gara-gara fanatisme, dominasi,
dogmatis, diskriminasi, atau radikalisme. Agama masuk sebagai “penyebab”
melalui pertarungan klaim kebenaran. Kisah pelik zaman modern ini seolah
membenarkan bahwa manusia itu makhluk beradab dan biadab. Kekerasan seolah
adalah takdir dari kehidupan manusia karena susah ditampik.
Haryatmoko memerlukan mengutip pemikiran Pierre
Bourdieu untuk menelisik akar-akar kekerasan simbolis. Akar ini meresahkan
karena disemaikan secara halus. Bourdieu menjelaskan bahwa dominasi dipaksakan
dan diderita sebagai kepatuhan. Dominasi merupakan efek dari kekerasan
simbolis. Kekerasan ini halus, tak terasakan, susah terlihat. Mekanisme sebaran
dominasi dan kekerasan simbolis melalui komunikasi dan pengetahuan. Dominasi
simbolis hadir atas nama apa saja untuk memunculkan korban. Agama termasuk
menjadi referensi dominasi ini karena pelbagai konflik, perang, atau kekerasan
kerap disesaki simbol-simbol. Kekerasan pun identik dengan mekanisme simbolis.
Kekerasan pun identik dengan rezim kekuasaan
atau negara. Kasus pelik dalam sejarah kekerasan di Indonesia adalah ulah Orde
Baru. Rezim ini kerap melukai, menodai, dan merusak perayaan hidup dalam
toleransi, pluralisme, atau multikulturalisme. Hak-hak warga negara hampir tak
memiliki harga di mata penguasa. Kekerasan menjadi sah atas nama pelanggengan
dan pemartabatan rezim. Orde Baru jadi penoreh lakon kekerasan besar tapi belum
semua kasus bisa diselesaikan atau diingatkan.
Negara Indonesia ada karena ingatan tapi Orde
Baru telah memberangus prosedur ingatan. Kondisi ini jadi contoh dari
signifikansi ingatan sejarah untuk merekonstruksi kekerasan oleh negara. Jurgen
Habermas menjelaskan: “Dominasi masa lalu yang selalu kembali sebagai mimpi
buruk masih membebani bila tidak diatasi dengan kekuatan analitis: mengingat
kembali dengan tenang dan memilah secara jernih apa yang telah terjadi lalu
menimbang dengan pandangan moral yang memihak.” Kutipan ini diajukan Haryatmoko
untuk menerangkan tentang kehebatan Orde Baru untuk menciptakan mimpi buruk
tentang kekerasan dengan pembengkokan sejarah dan represi ingatan sosial.
Publik pun merasa kerepotan untuk menyingkap kejahatan Orde Baru dalam
mekanisme politik, hukum, atau moral.
Dominasi
Dominasi dan dikriminasi sebagai dalil kekerasan
oleh negara memberi saham dalam model-model kekerasan pada ranah gender, pendidikan, ekonomi, demokrasi, dan
konsumerisme. Penjelasan kritis mengenai semua ini ada dalam bab empat (Dominasi
Wacana: Membawa Kekerasan Simbolik dalam Hubungan Gender), bab lima (Dominasi
Simbolis dalam Sistem Pendidikan), bab enam (Dominasi Ekonomi dan
Demistifikasi Demokrasi), dan bab tujuh (Dominasi Uang Menjebak
Masuk ke Konseumerisme dan Budaya Urgensi). Haryatmoko dalam bab-bab ini
mengesankan kompetensi dalam memberi penjelasan mengacu pada teori dan
pengambilan kasus-kasus faktual. Makna kehadiran buku ini memang terasakan
dalam kematangan mengelaborasi wacana dominasi sebagai sumber kekerasan.
Buku ini
memang pantas jadi bacaan kritis untuk mengurai pelbagai aksi kekerasan selama
ini. Proyek demokrasi tidak sanggup menaggulangi benih-benih kekerasan.
Konstitusi tidak berkutik karena keliahaian tafsiran. Etika dan humanisme macet
sebagai pengetahuan teoritik. Agama tak sanggup mensucikan karena pengodisian
kekerasan dalam dilema-dilema kebenaran. Haryatmoko merasa perlu memberi
peringatan atas semua kondisi itu memakai pelbagai perspektif.
Penggunaan istilah “dominasi penuh muslihat”
menjadi kunci pemahaman tentang ikhtiar menelisik akar kekerasan dan
diskriminasi. Haryatmoko dalam prakata menjelaskan bahwa pilihan judul itu
sengaja agar mengingatkan pembaca tentang efek negatif dari dominasi. Sifat
manipulatif dominasi kerap mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi sebagai
pemicu kekerasan. Buku ini telah merekam pelbagai teori dan menafsirkan sekian
kasus untuk jadi bacaan kritis bagi pembaca. Kesadaran untuk melawan dominasi
penuh muslihat memerlukan modal pengetahuan dan kesanggupan dalam penanganan
faktual. Buku ini ingin memberi kontribusi demi proyek penyadaran merampungi
kekerasan.
Seputar Indonesia (24 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar