Bandung Mawardi
Jawa sejak dulu memikat orang-orang Eropa.
Ikhtiar memamerkan Jawa tampak dalam acara Pekan Raya Paris 1889. Pulau Jawa
dipindahkan dengan tampilan arsitektur, seni pertunjukkan, kerajinan, aktivitas
keseharian, pakaian, dan manusia Jawa. Pemindahan ini merupakan ulah dari
gairah kolonialisme Eropa untuk menikmati “tubuh” dan “ruh” Timur. Jawa jadi
pilihan karena memiliki eksotisme dan sihir imajinatif atas kehidupan misterius
di mata orang-orang Eropa.
Peristiwa menghadirkan Jawa pada abad XIX itu
merupakan jejak penting pembentukan imaji atau persepsi atas manusia dan
kebudayaan Jawa. Orientalisme menjadi modal menaklukan dan membentuk Jawa dalam
versi kontras antara superioritas Eropa terhadap Timur (Jawa). Sambungan dari
peristiwa itu masih ada sampai hari ini dengan mengambil bentuk berbeda dan
pergeseran kecil kesadaran. Eropa masih menikmati Jawa dengan kehadiran atau
menghadirkan seni pertunjukan tradisional, pameran kerajinan, atau materi
perkuliahan tentang Jawa. Jawa masih datang atau diundang di Eropa kendati
dengan dalih dialog kebudayaan atau misi kesenian. Jawa masih memikat.
Denys Lombard (1992) mengisahkan ulang tentang
pemindahan Jawa ke Eropa dalam suatu acara kolonialistik mengacu pada dokumen
jurnal l’esposition de Paris 1889 dan brosur l’Esplanade de Paris de
1889. Jawa ingin dihadirkan dekat dengan sumber. Inilah strategi kolonial
untuk mengenalkan Jawa pada publik Eropa dengan cara: “... memindahkan begitu
saja sepenggal pulau Jawa ke tengah kota Paris.” Publik Eropa terpana oleh
tarikan kuat terhadap Jawa. Antusiasme tampak ketika menikmati suguhan tari
Jawa. Inilah resepsi mereka: “Saat itu, penari Jawa tidak mempunyai saingan di
pekan raya. Tak satupun pertunjukan yang terlihat luar biasa dan lebih aneh.
Mata Eropa kami yang sudah jemu seakan terhipnotis oleh rangkaian mengejutkan
yang memabukkan dan memesona seperti parfum yang menebarkan aroma bunga mancenillier
....” Tari Jawa luar biasa dan aneh?
Resepsi Eropa terhadap Jawa pada abad sekarang
tentu memiliki sambungan dengan masa lalu. Perbedaan mungkin ada ketika
memahami Jawa dalam pengertian poskolonial. Jawa berubah tapi kadang masih
diimpikan oleh Eropa untuk seperti dulu: lawas dan aneh. Seni tradisional di
Jawa sendiri mengalami surut oleh penerimaan angin perubahan dan impian menjadi
modern. Kondisi itu kadang menemukan jalan penyelamatan dengan obsesi untuk
menaklukkan selera manusia-manusia modern dengan referensi-refrerensi masa
lalu. Eropa justru tampak masih menginginkan Jawa lawas sebagai realisasi atas
ingatan eksotisme Timur.
Jawa di mata Eropa memang kompleks. Catatan
panjang bisa dibeberkan tapi tak sanggup menjadi rumusan akhir dari tendensi
Eropa membaca dan menilai Jawa. Jejak-jejak masa kolonialisme adalah pijakan
penting untuk menempatkan manusia, seni, dan kebudayaan Jawa di mata Eropa
dalam perubahan zaman. Model prasangka ini pantas diajukan sebagai pembacaan
atas pagelaran seni tradisional Jawa di Eropa. Apakah sajian itu hadir karena
alasan estetis dan perjumpaan kultural? Apakah Jawa hadir masih seperji imaji
masa kolonialisme zaman dulu? Apakah seni tradisional memungkinkan Jawa memberi
penguatan arti perbedaan Timur dan Barat?
Kisah mengejutkan memang masih meninggalkan sisa
bagi publik Eropa untuk menerima kekuatan estetika Jawa dalam musik
tradisional. Claude Debussy sebagai komponis musik klasik papan atas di Eropa
terpikat dengan gamelan. Debussy melakukan eksplorasi atas gamelan dalam
garapan komposisi musik klasik. Garapan Debussy pun sanggup memuksu publik
Eropa. Jawa telah tergarap dengan produktif meski kurang terjelaskan dengan
utuh. Pertemuan Debussy dan gamelan mungkin agak menurunkan curiga pamrih
kolonialistik.
Konklusi kecil dari keterpukauan publik Eropa
terhadap gamelan melalui kerja kreatif Debussy: “... gamelan Jawa membuktikan
bahwa musik tabuhan lebih daripada sekadar fenomena resonansi dan bukan hanya
penekanan nada.” Gamelan Jawa hadir di Eropa dalam adonan komposisi musik
klasik dengan kejutan: “Untuk pertama kalinya seorang komponis Eropa
menanggalkan konsep Barat dalam hal harmonisasi musik, penciptaan ketegangan
yang mengarah pada konklusi .... getaran keindahan suara itu sendiri”
(Dorleans, 2006: 523). Jawa masih menjadi objek atau telah menempatkan diri
sebagai subjek di mata seniman dan publik Eropa?
Jawa dalam penggalan masa lalu juga menjadi
urusan pelik oleh keluarga Winter sebagai penerjemah di Solo pada abad XIX.
Jawa diterjemahkan pada Eropa dengan ketegangan kebijakan politik kolonial,
kesadaran kultural, pamrih bahasa, dan pengabaran sastra. Keluarga Winter ada
dalam posisi penting untuk perantaraan Jawa dan Eropa meski kerap dalam posisi
dilematis antara kepakaran atau represi kolonial Belanda. Terjemahan-terjemahan
keluarga Winter atas dokumen politik, dokumen hukum, teks pelajaran bahasa, dan
sastra memungkinkan Jawa dikenali oleh Eropa dengan ketegangan ideologis.
Jawa hadir untuk Eropa dalam bentuk publikasi
dokumen dan buku terjemahan. Jawa diterjemahkan dengan sekian pamrih dan
pujangga-intelektual Jawa dilibatkan melakukan penerjemahan sesuai konstruksi
pemilik otoritas. Proyek penerjemahan Jawa memang pelik ketimbang penghadiran
Jawa dalam seni pertunjukkan tradisional. Ikhtiar keras ini menandai ada negasi
dan afirmasi atas kekuatan Jawa dan Eropa dalam medan politik-kultural di Jawa
sebagai tanah jajahan.
Vincent J.H. Houben (2009) menyimpulkan bahwa
keluarga Winter entah sadar atau tidak sadar telah menjadi alat dalam proyek
kolonial dengan tujuan melestarikan kekuasaan simbolik Jawa dalam wujud
kultural demi melegitimasi peningkatan dominasi penjajah Belanda di tanah Jawa
pada abad XIX. Konklusi ini memang mengejutkan atas intervensi kolonial dalam
komodifikasi Jawa melalui bahasa dan sastra. Barangkali curiga dan konklusi ini
membuat John Pamberton (1994) percaya pada proyek penjinakkan negeri jajahan
oleh Belanda melalui penciptaan wacana “Jawa” oleh orang-orang Jawa sendiri
dalam rentetan masalah politik dan otoritas kolonial dalam bahasa dan sastra
Jawa tradisional. Jawa diberikan pada orang Jawa dalam kondisi sudah tak
perawan.
Jawa di Eropa pada abad XIX adalah jejak
penerimaan Jawa eksotis, aneh, unik, dan luar biasa. Pembacaan dan penilaian
publik Eropa itu mungkin terus dilanggengkan sampai sekarang kendari
diungkapkan dengan bahasa halus. Jawa dulu
hadir oleh kepentingan kolonial dan Eropa. Jawa sekarang merasa bisa
hadir di Eropa atas kemauan sendiri. Apakah Jawa sudah mengucapkan diri sendiri
atau harus diucapkan oleh publik Eropa? Pertanyaan ini masih terus mencari
jawaban dari siapa saja. Begitu.
Suara Merdeka (17 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar