Laman

Sabtu, 06 November 2010

Jawa di Eropa

Bandung Mawardi


Jawa sejak dulu memikat orang-orang Eropa. Ikhtiar memamerkan Jawa tampak dalam acara Pekan Raya Paris 1889. Pulau Jawa dipindahkan dengan tampilan arsitektur, seni pertunjukkan, kerajinan, aktivitas keseharian, pakaian, dan manusia Jawa. Pemindahan ini merupakan ulah dari gairah kolonialisme Eropa untuk menikmati “tubuh” dan “ruh” Timur. Jawa jadi pilihan karena memiliki eksotisme dan sihir imajinatif atas kehidupan misterius di mata orang-orang Eropa.
Peristiwa menghadirkan Jawa pada abad XIX itu merupakan jejak penting pembentukan imaji atau persepsi atas manusia dan kebudayaan Jawa. Orientalisme menjadi modal menaklukan dan membentuk Jawa dalam versi kontras antara superioritas Eropa terhadap Timur (Jawa). Sambungan dari peristiwa itu masih ada sampai hari ini dengan mengambil bentuk berbeda dan pergeseran kecil kesadaran. Eropa masih menikmati Jawa dengan kehadiran atau menghadirkan seni pertunjukan tradisional, pameran kerajinan, atau materi perkuliahan tentang Jawa. Jawa masih datang atau diundang di Eropa kendati dengan dalih dialog kebudayaan atau misi kesenian. Jawa masih memikat.
Denys Lombard (1992) mengisahkan ulang tentang pemindahan Jawa ke Eropa dalam suatu acara kolonialistik mengacu pada dokumen jurnal l’esposition de Paris 1889 dan brosur l’Esplanade de Paris de 1889. Jawa ingin dihadirkan dekat dengan sumber. Inilah strategi kolonial untuk mengenalkan Jawa pada publik Eropa dengan cara: “... memindahkan begitu saja sepenggal pulau Jawa ke tengah kota Paris.” Publik Eropa terpana oleh tarikan kuat terhadap Jawa. Antusiasme tampak ketika menikmati suguhan tari Jawa. Inilah resepsi mereka: “Saat itu, penari Jawa tidak mempunyai saingan di pekan raya. Tak satupun pertunjukan yang terlihat luar biasa dan lebih aneh. Mata Eropa kami yang sudah jemu seakan terhipnotis oleh rangkaian mengejutkan yang memabukkan dan memesona seperti parfum yang menebarkan aroma bunga mancenillier ....” Tari Jawa luar biasa dan aneh?
Resepsi Eropa terhadap Jawa pada abad sekarang tentu memiliki sambungan dengan masa lalu. Perbedaan mungkin ada ketika memahami Jawa dalam pengertian poskolonial. Jawa berubah tapi kadang masih diimpikan oleh Eropa untuk seperti dulu: lawas dan aneh. Seni tradisional di Jawa sendiri mengalami surut oleh penerimaan angin perubahan dan impian menjadi modern. Kondisi itu kadang menemukan jalan penyelamatan dengan obsesi untuk menaklukkan selera manusia-manusia modern dengan referensi-refrerensi masa lalu. Eropa justru tampak masih menginginkan Jawa lawas sebagai realisasi atas ingatan eksotisme Timur.
Jawa di mata Eropa memang kompleks. Catatan panjang bisa dibeberkan tapi tak sanggup menjadi rumusan akhir dari tendensi Eropa membaca dan menilai Jawa. Jejak-jejak masa kolonialisme adalah pijakan penting untuk menempatkan manusia, seni, dan kebudayaan Jawa di mata Eropa dalam perubahan zaman. Model prasangka ini pantas diajukan sebagai pembacaan atas pagelaran seni tradisional Jawa di Eropa. Apakah sajian itu hadir karena alasan estetis dan perjumpaan kultural? Apakah Jawa hadir masih seperji imaji masa kolonialisme zaman dulu? Apakah seni tradisional memungkinkan Jawa memberi penguatan arti perbedaan Timur dan Barat?
Kisah mengejutkan memang masih meninggalkan sisa bagi publik Eropa untuk menerima kekuatan estetika Jawa dalam musik tradisional. Claude Debussy sebagai komponis musik klasik papan atas di Eropa terpikat dengan gamelan. Debussy melakukan eksplorasi atas gamelan dalam garapan komposisi musik klasik. Garapan Debussy pun sanggup memuksu publik Eropa. Jawa telah tergarap dengan produktif meski kurang terjelaskan dengan utuh. Pertemuan Debussy dan gamelan mungkin agak menurunkan curiga pamrih kolonialistik.
Konklusi kecil dari keterpukauan publik Eropa terhadap gamelan melalui kerja kreatif Debussy: “... gamelan Jawa membuktikan bahwa musik tabuhan lebih daripada sekadar fenomena resonansi dan bukan hanya penekanan nada.” Gamelan Jawa hadir di Eropa dalam adonan komposisi musik klasik dengan kejutan: “Untuk pertama kalinya seorang komponis Eropa menanggalkan konsep Barat dalam hal harmonisasi musik, penciptaan ketegangan yang mengarah pada konklusi .... getaran keindahan suara itu sendiri” (Dorleans, 2006: 523). Jawa masih menjadi objek atau telah menempatkan diri sebagai subjek di mata seniman dan publik Eropa?
Jawa dalam penggalan masa lalu juga menjadi urusan pelik oleh keluarga Winter sebagai penerjemah di Solo pada abad XIX. Jawa diterjemahkan pada Eropa dengan ketegangan kebijakan politik kolonial, kesadaran kultural, pamrih bahasa, dan pengabaran sastra. Keluarga Winter ada dalam posisi penting untuk perantaraan Jawa dan Eropa meski kerap dalam posisi dilematis antara kepakaran atau represi kolonial Belanda. Terjemahan-terjemahan keluarga Winter atas dokumen politik, dokumen hukum, teks pelajaran bahasa, dan sastra memungkinkan Jawa dikenali oleh Eropa dengan ketegangan ideologis.
Jawa hadir untuk Eropa dalam bentuk publikasi dokumen dan buku terjemahan. Jawa diterjemahkan dengan sekian pamrih dan pujangga-intelektual Jawa dilibatkan melakukan penerjemahan sesuai konstruksi pemilik otoritas. Proyek penerjemahan Jawa memang pelik ketimbang penghadiran Jawa dalam seni pertunjukkan tradisional. Ikhtiar keras ini menandai ada negasi dan afirmasi atas kekuatan Jawa dan Eropa dalam medan politik-kultural di Jawa sebagai tanah jajahan.
Vincent J.H. Houben (2009) menyimpulkan bahwa keluarga Winter entah sadar atau tidak sadar telah menjadi alat dalam proyek kolonial dengan tujuan melestarikan kekuasaan simbolik Jawa dalam wujud kultural demi melegitimasi peningkatan dominasi penjajah Belanda di tanah Jawa pada abad XIX. Konklusi ini memang mengejutkan atas intervensi kolonial dalam komodifikasi Jawa melalui bahasa dan sastra. Barangkali curiga dan konklusi ini membuat John Pamberton (1994) percaya pada proyek penjinakkan negeri jajahan oleh Belanda melalui penciptaan wacana “Jawa” oleh orang-orang Jawa sendiri dalam rentetan masalah politik dan otoritas kolonial dalam bahasa dan sastra Jawa tradisional. Jawa diberikan pada orang Jawa dalam kondisi sudah tak perawan.
Jawa di Eropa pada abad XIX adalah jejak penerimaan Jawa eksotis, aneh, unik, dan luar biasa. Pembacaan dan penilaian publik Eropa itu mungkin terus dilanggengkan sampai sekarang kendari diungkapkan dengan bahasa halus. Jawa dulu  hadir oleh kepentingan kolonial dan Eropa. Jawa sekarang merasa bisa hadir di Eropa atas kemauan sendiri. Apakah Jawa sudah mengucapkan diri sendiri atau harus diucapkan oleh publik Eropa? Pertanyaan ini masih terus mencari jawaban dari siapa saja. Begitu.  

Suara Merdeka (17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar