Laman

Sabtu, 06 November 2010

Samanhoedi, Batik, dan Solo

Bandung Mawardi


Solo kota batik? Apakah klaim ini tanpa sejarah? Orang lekas bisa menemukan jawaban dengan menilik sejarah Laweyan atau Kauman. Batik pun sah sebagai ikon Solo karena kesejarahan dan biografi-kultural. Apakah batik bisa mengantarkan kita untuk mengenali sosok Samanhoedi? Pertanyaan ini mungkin jarang mendapati jawaban karena tokoh kerap diabsenkan dari pewacanaan batik dalam ruang politik, ekonomi, pendidikan, seni, atau agama. Solo memang identik dengan batik tapi mungkin menjauh dari sosok Samanhoedi (1878-1956) karena pewartaan sejarah menyusut dalam geliat pertumbuhan Solo.
Samanhoedi diakui sebagai perintis dari Sarikat Dagang Islam-Sarekat Islam (1912) di Solo. Ketokohan ini membuat kolonial berang dan memicu kesadaran nasionalistik, etos dagang, dan afirmasi atas spirit agama untuk pembebasan. Samanhoedi memiliki nama kecil Sudarno Nadi. Lahir dari keluarga pedagang batik di Laweyan. Masa kecil dilakoni dengan ketekunan belajar Al Quran pada Kyai Jadermo (Surabaya) dan belajar di sekolah bumiputera. Bekal pengetahuan ini cukup membuat Samanhoedi sanggup melakukan pergaulan intesif dalam urusan dagang, agama, dan politik di pelbagai kota di Jawa.
Tokoh ini menikah dengan Suginah pada usia 20 tahun dan berganti nama menjadi Wiryodikoro. Sekian tahun setelah itu ia menikah lagi dengan Marbingah. Istri kedua ini mungkin masih termasuk kerabat dari keluarga Mangkunegaran. Biografi kecil ini merupakan penyingakpan jejak untuk mengenali ketokohan dan profil politis. Nama Samanhoedi dengan dilekati gelar haji dipakai usai menjalankan ibadah haji [ada 1904 (Kamajaya, 1981). Masa kecil menentukan dan perubahan nama turut membentuk kepribadian Samanhoedi untuk sadar atas nasib pribumi dalam cengkeraman kolonial. Jagat dagang membuat Samanhoedi merasa perlu melakukan gerakan politis agar tidak dihabisi oleh kebijakan ekonomi kolonial dan geliat pedagang Cina.

Resistensi
Samanhoedi mengajarkan etos hidup, dagang, agama, dan politik. Masa kolonial telah membuat pribumi hidup dalam represi. Masa itu pemerintah kolonial sengaja memberi keistimewaan pada pedagang Cina untuk mengurusi pajak jalan (tol), bea cukai, membungakan uang, dan penentuan kebijakan keamanan. Diskriminasi terjadi tanpa ada pemihakan terhadap eksistensi para pedagang batik di Solo. Kondisi ini memicu Samanhoedi untuk memunculkan gerakan dengan maksud melindungi aktivitas perekonomian pribumi.
Petrus Blumberger menengarai kemunculan Sarekat Islam dalam analisis sumber-sumber lokal menunjukkan pola pembentukan perhimpunan dengan maksud menyaingi monopoli perdagangan dengan perantara orang Cina. Monopoli ini mencakup bahan mentah dalam indutri tekstil dan batik (George D. Larson, 1990: 56). Persaingan ini memang sengit dan kerap memunculkan bentrokan. Pemerintah kolonial melakukan intervensi dengan maksud melakukan kontrol politik dan melemahkan ambisi pergerakan di tanah terjajah. Samanhoedi mafhum dengan kondisi ini dan merasa resistensi harus teris dijalankan tanpa harus dirundung ketakutan dan pesimisme untuk kalah.  
A.P.E. Korver dalam Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? (1985) menguraikan riwayat keorganisasian Samanhoedi untuk melakukan resistensi dari kuasa kolonial dan strategi ekonomi dari pedagang Cina. Sosok Samanhoedi dalam Sarekat Islam kerap terlibat dalam polemik politis dan tebar pengaruh. Riwayat politik ini memang pelik tapi bisa menjadi acuan untuk model pergerakan pribumi saat harus menentukan sikap dalam soal politik, ekonomi, sosial, agama, dan kolonial di hadapan pemerintahan kolonial. Samanhoedi hadir sebagai ikon dari persemaian etos pribumi.

Tokoh
Ilustrasi historis ini mengesankan bahwa riwayat batik di Solo adalah riwayat politik. Riwayat ini jarang disuguhkan pada publik untuk bisa menilik pasang surut dari produksi dan perdagangan batik di Solo. Pengenalan tokoh juga diperlukan untuk memberi penghormatan karena kontribusi dalam “melanggengkan” geliat industri batik pada masa kolonial. Nama Samanhoedi mungkin selama ini identik dengan Sarekat Islam dan diabadikan sebagai nama jalan. Pengenalan ini mungkin sempit karena tidak mengusung pelbagai konteks dari biografi tokoh dalam mengalami pergumulan intensif untuk mengurusi batik dalam situasi-situasi reprseif.
Profil politik dan perlawanan terhadap kolonial dalam model etos dagang ala Samanhoedi tidak memberi jaminan untuk kehidupan mapan. Masa tua Samanhoedi identik dengan kemiskinan. Kamajaya (1981) mengisahkan bahwa perusahaan batik milik Samanhoedi bangkrut. Sembilan anak dari dua ibu tidak cukup mampu untuk melanjutkan pengelolaan pabrik batik. Samanhoedi mesti menjalani hidup dalam keremangan nasib. Sosok ini malah seolah ditakdirkan untuk “dijauhkan” dari geliat batik. Ironis! Tokoh kunci atau perintis di Solo sebagai “kota pergerakan” justru mengkahiri hidup dalam kemelaratan.
Nama Samanhoedi mungkin masih tergiang atau kadang mengingatkan orang pada sejarah batik, sejarah politik, dan sejarah Solo. Apakah pelupaan tokoh memang sudah menghinggapi sehingga proyek pertumbuhan Solo hampir-hampir mengabsenkan Samanhoedi dalam sebaran wacana kekinian. Etos Samanhoedi perlu disemaikan ulang dan ditafsirkan untuk acuan pembentukan identitas Solo sebagai kota batik. Pencantuman Samanhoedi sebagai nama jalan tentu bukan penghormatan puncak kendati sosok ini telah dianuegrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Solo identik dengan batik. Apakah Solo dan batik juga identik dengan Samanhoedi?

Suara Merdeka (11 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar