Bandung Mawardi
Solo kota batik? Apakah klaim ini tanpa sejarah?
Orang lekas bisa menemukan jawaban dengan menilik sejarah Laweyan atau Kauman.
Batik pun sah sebagai ikon Solo karena kesejarahan dan biografi-kultural.
Apakah batik bisa mengantarkan kita untuk mengenali sosok Samanhoedi?
Pertanyaan ini mungkin jarang mendapati jawaban karena tokoh kerap diabsenkan
dari pewacanaan batik dalam ruang politik, ekonomi, pendidikan, seni, atau
agama. Solo memang identik dengan batik tapi mungkin menjauh dari sosok
Samanhoedi (1878-1956) karena pewartaan sejarah menyusut dalam geliat
pertumbuhan Solo.
Samanhoedi diakui sebagai perintis dari Sarikat
Dagang Islam-Sarekat Islam (1912) di Solo. Ketokohan ini membuat kolonial
berang dan memicu kesadaran nasionalistik, etos dagang, dan afirmasi atas
spirit agama untuk pembebasan. Samanhoedi memiliki nama kecil Sudarno Nadi.
Lahir dari keluarga pedagang batik di Laweyan. Masa kecil dilakoni dengan
ketekunan belajar Al Quran pada Kyai Jadermo (Surabaya) dan belajar di sekolah
bumiputera. Bekal pengetahuan ini cukup membuat Samanhoedi sanggup melakukan
pergaulan intesif dalam urusan dagang, agama, dan politik di pelbagai kota di
Jawa.
Tokoh ini menikah dengan Suginah pada usia 20
tahun dan berganti nama menjadi Wiryodikoro. Sekian tahun setelah itu ia
menikah lagi dengan Marbingah. Istri kedua ini mungkin masih termasuk kerabat
dari keluarga Mangkunegaran. Biografi kecil ini merupakan penyingakpan jejak
untuk mengenali ketokohan dan profil politis. Nama Samanhoedi dengan dilekati
gelar haji dipakai usai menjalankan ibadah haji [ada 1904 (Kamajaya, 1981).
Masa kecil menentukan dan perubahan nama turut membentuk kepribadian Samanhoedi
untuk sadar atas nasib pribumi dalam cengkeraman kolonial. Jagat dagang membuat
Samanhoedi merasa perlu melakukan gerakan politis agar tidak dihabisi oleh kebijakan
ekonomi kolonial dan geliat pedagang Cina.
Resistensi
Samanhoedi mengajarkan etos hidup, dagang,
agama, dan politik. Masa kolonial telah membuat pribumi hidup dalam represi.
Masa itu pemerintah kolonial sengaja memberi keistimewaan pada pedagang Cina
untuk mengurusi pajak jalan (tol), bea cukai, membungakan uang, dan penentuan
kebijakan keamanan. Diskriminasi terjadi tanpa ada pemihakan terhadap
eksistensi para pedagang batik di Solo. Kondisi ini memicu Samanhoedi untuk
memunculkan gerakan dengan maksud melindungi aktivitas perekonomian pribumi.
Petrus Blumberger menengarai kemunculan Sarekat
Islam dalam analisis sumber-sumber lokal menunjukkan pola pembentukan
perhimpunan dengan maksud menyaingi monopoli perdagangan dengan perantara orang
Cina. Monopoli ini mencakup bahan mentah dalam indutri tekstil dan batik (George
D. Larson, 1990: 56). Persaingan ini memang sengit dan kerap memunculkan
bentrokan. Pemerintah kolonial melakukan intervensi dengan maksud melakukan
kontrol politik dan melemahkan ambisi pergerakan di tanah terjajah. Samanhoedi
mafhum dengan kondisi ini dan merasa resistensi harus teris dijalankan tanpa
harus dirundung ketakutan dan pesimisme untuk kalah.
A.P.E. Korver dalam Sarekat Islam: Gerakan
Ratu Adil? (1985) menguraikan riwayat keorganisasian Samanhoedi untuk
melakukan resistensi dari kuasa kolonial dan strategi ekonomi dari pedagang
Cina. Sosok Samanhoedi dalam Sarekat Islam kerap terlibat dalam polemik politis
dan tebar pengaruh. Riwayat politik ini memang pelik tapi bisa menjadi acuan
untuk model pergerakan pribumi saat harus menentukan sikap dalam soal politik,
ekonomi, sosial, agama, dan kolonial di hadapan pemerintahan kolonial.
Samanhoedi hadir sebagai ikon dari persemaian etos pribumi.
Tokoh
Ilustrasi historis ini mengesankan bahwa riwayat
batik di Solo adalah riwayat politik. Riwayat ini jarang disuguhkan pada publik
untuk bisa menilik pasang surut dari produksi dan perdagangan batik di Solo.
Pengenalan tokoh juga diperlukan untuk memberi penghormatan karena kontribusi
dalam “melanggengkan” geliat industri batik pada masa kolonial. Nama Samanhoedi
mungkin selama ini identik dengan Sarekat Islam dan diabadikan sebagai nama
jalan. Pengenalan ini mungkin sempit karena tidak mengusung pelbagai konteks
dari biografi tokoh dalam mengalami pergumulan intensif untuk mengurusi batik
dalam situasi-situasi reprseif.
Profil politik dan perlawanan terhadap kolonial
dalam model etos dagang ala Samanhoedi tidak memberi jaminan untuk kehidupan
mapan. Masa tua Samanhoedi identik dengan kemiskinan. Kamajaya (1981)
mengisahkan bahwa perusahaan batik milik Samanhoedi bangkrut. Sembilan anak
dari dua ibu tidak cukup mampu untuk melanjutkan pengelolaan pabrik batik.
Samanhoedi mesti menjalani hidup dalam keremangan nasib. Sosok ini malah seolah
ditakdirkan untuk “dijauhkan” dari geliat batik. Ironis! Tokoh kunci atau
perintis di Solo sebagai “kota pergerakan” justru mengkahiri hidup dalam
kemelaratan.
Nama Samanhoedi mungkin masih tergiang atau
kadang mengingatkan orang pada sejarah batik, sejarah politik, dan sejarah
Solo. Apakah pelupaan tokoh memang sudah menghinggapi sehingga proyek
pertumbuhan Solo hampir-hampir mengabsenkan Samanhoedi dalam sebaran wacana
kekinian. Etos Samanhoedi perlu disemaikan ulang dan ditafsirkan untuk acuan
pembentukan identitas Solo sebagai kota batik. Pencantuman Samanhoedi sebagai
nama jalan tentu bukan penghormatan puncak kendati sosok ini telah dianuegrahi
gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Solo identik dengan batik. Apakah Solo dan
batik juga identik dengan Samanhoedi?
Suara Merdeka (11 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar