Bandung Mawardi
Putu Wijaya menjelma ikon untuk perayaan teater
Indonesia mutakhir. Mimbar Teater Indonesia II digelar di Solo, 4 – 10 Oktober
2010, dipusatkan di Taman Budaya Jawa Tengah. Ada 28 monolog dimainkan, 4
garapan kelompok disuguhkan, dan seminar besar disajikan pada publik.
Partisipasi dari individu dan kelompok penyaji cukup mencengangkan. Mereka
datang dari pelbagai kota, hadir dalam perayaan untuk mengatasnamakan optimisme
geliat teater. Perbedaan garapan dan tafsiran naskah diajukan oleh Teater
Lungid, Teater Tanah Air, Teater Mandiri, Ikranagara, Wawan Sofyan, Butet
Kertaradjasa, dan lain-lain. Seminar selama tiga hari menghadirkan Afrizal
Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Aslan Abidin (Makassar), Cobbina
Gillit (Amerika Serikat), Michel Bodden (Canada), Koh Yungyung (Korea Selatan),
dan lain-lain. Semua memakai naskah garapan Putu Wijaya. Hajat besar ini memang
sengaja diadakan sebagai ikhtiar memartabatkan teater Indonesia.
Halim HD, kurator, menjelaskan pilihan
mengangkat naskah-naskah Putu Wijaya dalam sebuah hajat besar telah dirumuskan
sejak tahun 1990-an. Program ini dimaksudkan untuk menelisik kesejarahan
(pernaskahan) teater Indonesia mutakhir. Putu Wijaya menjadi pilihan, tokoh ini
adalah produsen naskah, dan tekun dalam pelbagai eksperimen garapan teater.
Produksi ratusan naskah dijadikan argumentasi untuk memartabatkan teater
Indonesia, memberi harga diri, dan menguak pasang surut naskah dalam perteateran
Indonesia modern.
Sosok
Putu Wijaya hadir pada hari pertama, tampil
dengan 2 monolog, Merdeka dan Perempuan. Tubuh masih tampak
gagah, suara kadang menggelegar, kefasihan cerita kadang tersendat. Malam itu
mata penonton memusat pada sosok legendaris teater Indonesia. Menit-menit pertama
aura masih memancar, lalu menyusut dan seolah punah dalam lelah dan kecerewetan
kata. Hasrat untuk menjadi manusia teater memang sedang diujikan, kendati usia
menua, zaman berganti, dan repetisi jadi penyakit diri. Lelah dan klise cerita
tak menyelamatkan diri. Penonton pun tinggal mengenangkan masa-masa keampuhan
Putu Wijaya pada masa lampau. Pertunjukkan malam itu seolah antiklimaks dari
pembayangan tentang martabat teater. Kebermaknaan teater tetap diusahakan
dengan kehadiran dan permainan Putu Wijaya dalam perhelatan Mimbar Teater
Indonesia II.
Momentum itu juga diniatkan oleh Putu Wijaya
untuk lekas menerbitkan buku kumpulan monolog, rencana memakai judul Trah,
berisikan 100 monolog selama karier di jagat teater. Putu Wijaya dalam sebuah
pengakuan di Horison No 10 Oktober 2010 menjelaskan: “Saya menganggap,
orang yang berpidato, tukang obat di pinggir jalan, atau orang-orang yang
menuturkan cerita adalah juga monolog.” Paham ini dijadikan dalil untuk
penulisan naskah dan pentas monolog ala Putu Wijaya. Model penggarapan
mengadopsi rumus lokal Bali, desa-kala-patra (tempat, waktu, dan
suasana). Model itu terus diusahakan, tapi dalam tensi tertentu, Putu Wijaya
larut dalam improvisasi untuk nglantur dan perlahan kehilangan pikat.
Pelbagai pencapaian Putu Wijaya dalam jagat
teater telah terakui di Indonesia, Asia, dan dunia. Profil sebagai penulis
naskah, aktor, dan sutradara mengantarkan Putu Wijaya dalam gelimang eksperimen
dan dilema-dilema teater Indonesia dengan tarikan tradisi atau modern. Putu
Wijaya dalam esai Tradisi Baru
(2000) menganggap bahwa pencapaian garapan penulisan naskah di Indonesia sudah
menunjukkan pemartabatan diri. Putu Wijaya mengungkapkan: “Membaca naskahnaskah
drama yang ditulis dalam era tradisi
baru, kita akan menemukan manusia Indonesia, masalah Indonesia, dan bumi
Indonesia.” Contoh penting dari konstruksi tradisi baru dalam teater Indonesia
adalah Akhudiat dengan mengolah kentrungan, Wisran Hadi dengan mengolah randai,
Rendra dengan mengolah ketoprak, dan Arifin C Noer dengan mengolah seni rakyat.
Putu Wijaya juga tampil dengan produksi naskah
dan pementasan teater secara intensif bersama Teater Mandiri untuk mencari dan
membentuk martabat teater Indonesia. Kerja keras ini, selama puluhan tahun,
menghasilkan sebuah gambaran tentang gairah teater dalam pelbagai dilema
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, filsafat, dan teknologi. Putu Wijaya
tampil cemerlang, menampik kekalahan dan keminderan, juga mengajukan
gagasan-gagasan progresif untuk mengusik ketenangan atau kelesuan teater di
Indonesia.
Ulah
Ketekunan dan hasrat teater Putu Wijaya itu
seolah melawan pesimisme. Radhar Panca Dahana dalam Ideologi Politik dan
Teater Modern Indonesia (2001) menganggap kebesaran Putu Wijaya dan Teater
Mandiri dalam perteateran Indonesia dan dunia ditentukan oleh dalil ampuh. Putu
Wijaya menyemai dalil itu melalui sabda Krishnamurti: “Manusia tak boleh
terikat, harus bisa bebas dari yang kita kenal, setiap saat saya harus lahir
kembali.” Penerjemahan dalil adalah kerja dengan takdir perubahan, mengusung
eksperimen-eksperimen progresif, dan menata masa depan dalam terang pencerahan.
Hidup pun seolah diabdikan untuk melakukan perubahan dan perubahan dengan jalan
teater. Putu Wijaya membuktikan diri sebagai manusia teater tak mati-mati.
Hajat Mimbar Teater Indonesia II sebagai bentuk
persembahan atas kerja teater Putu Wijaya tentu menjadi kelumrahan. Profil Putu
Wijaya adalah profil teater Indonesia? Konklusi ini mungkin hiperbolik tapi
terbuktikan melalui pelbagai pencapaian dan kontribusi Putu Wijaya untuk
memartabatkan teater Indonesia. Pembelajaran dan keberanian berubah adalah
keniscayaan untuk masa depan teater Indonesia. Putu Wijaya mengajarkan hal itu
dengan menilik masa lalu saat menerima pelbagai pengaruh dari Anton Chekov,
Motinggo Busye, Utuy Tatang Sontany, Albert Camus, dan Samuel Beckett dalam
proses penulisan naskah-naskah teater. Fase itu dilanjutkan dengan pelbagai
perubahan untuk memunculkan ciri “putuisme” dalam penulisan ratusan naskah.
Putu Wijaya menjalani itu semua kendati sadar menulis naskah adalah “perjuangan
yang sepi dari keplok.”
Bakdi Soemanto dalam Godot di Amerika dan
Indonesia (2002) menengarai Putu Wijaya memiliki keterpengaruhan besar dari
Beckett dalam naskah dan garapan teater dengan nafas absurd dan
eksistensialisme. Contoh paling kentara adalah penulisan naskah dan garapan Aduh.
Lakon ini pernah jadi pemicu gairah absurd dan eksistensialisme dalam
perteateran Indonesia pada masa 1970-an. Bakdi Soemanto menganggap ulah Putu
Wijaya itu menjadi penentu perubahan dari zaman teater realis menuju teater
nonrealis. Teater Indonesia bergerak dan mengubah arah. Putu Wijaya adalah ikon
perubahan dengan menolak pelbagai tabu dan menghasratkan
kemungkinan-kemungkinan baru. Jejak historis ini tentu memerlukan penerjemahan
progresif pada hari ini. Mimbar Teater II adalah ajang pembuktian untuk tidak
sekadar memuja dan meniru Putu Wijaya. Hajat besar itu mesti diniatkan dengan
hasrat berubah dan memartabatkan teater Indonesia dalam gelimang
tafsir-pemaknaan. Begitu.
Jawa Pos (10 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar