Laman

Sabtu, 06 November 2010

Putu Wijaya dan Martabat Teater Indonesia

Bandung Mawardi

Putu Wijaya menjelma ikon untuk perayaan teater Indonesia mutakhir. Mimbar Teater Indonesia II digelar di Solo, 4 – 10 Oktober 2010, dipusatkan di Taman Budaya Jawa Tengah. Ada 28 monolog dimainkan, 4 garapan kelompok disuguhkan, dan seminar besar disajikan pada publik. Partisipasi dari individu dan kelompok penyaji cukup mencengangkan. Mereka datang dari pelbagai kota, hadir dalam perayaan untuk mengatasnamakan optimisme geliat teater. Perbedaan garapan dan tafsiran naskah diajukan oleh Teater Lungid, Teater Tanah Air, Teater Mandiri, Ikranagara, Wawan Sofyan, Butet Kertaradjasa, dan lain-lain. Seminar selama tiga hari menghadirkan Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Aslan Abidin (Makassar), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Michel Bodden (Canada), Koh Yungyung (Korea Selatan), dan lain-lain. Semua memakai naskah garapan Putu Wijaya. Hajat besar ini memang sengaja diadakan sebagai ikhtiar memartabatkan teater Indonesia.
Halim HD, kurator, menjelaskan pilihan mengangkat naskah-naskah Putu Wijaya dalam sebuah hajat besar telah dirumuskan sejak tahun 1990-an. Program ini dimaksudkan untuk menelisik kesejarahan (pernaskahan) teater Indonesia mutakhir. Putu Wijaya menjadi pilihan, tokoh ini adalah produsen naskah, dan tekun dalam pelbagai eksperimen garapan teater. Produksi ratusan naskah dijadikan argumentasi untuk memartabatkan teater Indonesia, memberi harga diri, dan menguak pasang surut naskah dalam perteateran Indonesia modern.

Sosok
Putu Wijaya hadir pada hari pertama, tampil dengan 2 monolog, Merdeka dan Perempuan. Tubuh masih tampak gagah, suara kadang menggelegar, kefasihan cerita kadang tersendat. Malam itu mata penonton memusat pada sosok legendaris teater Indonesia. Menit-menit pertama aura masih memancar, lalu menyusut dan seolah punah dalam lelah dan kecerewetan kata. Hasrat untuk menjadi manusia teater memang sedang diujikan, kendati usia menua, zaman berganti, dan repetisi jadi penyakit diri. Lelah dan klise cerita tak menyelamatkan diri. Penonton pun tinggal mengenangkan masa-masa keampuhan Putu Wijaya pada masa lampau. Pertunjukkan malam itu seolah antiklimaks dari pembayangan tentang martabat teater. Kebermaknaan teater tetap diusahakan dengan kehadiran dan permainan Putu Wijaya dalam perhelatan Mimbar Teater Indonesia II.
Momentum itu juga diniatkan oleh Putu Wijaya untuk lekas menerbitkan buku kumpulan monolog, rencana memakai judul Trah, berisikan 100 monolog selama karier di jagat teater. Putu Wijaya dalam sebuah pengakuan di Horison No 10 Oktober 2010 menjelaskan: “Saya menganggap, orang yang berpidato, tukang obat di pinggir jalan, atau orang-orang yang menuturkan cerita adalah juga monolog.” Paham ini dijadikan dalil untuk penulisan naskah dan pentas monolog ala Putu Wijaya. Model penggarapan mengadopsi rumus lokal Bali, desa-kala-patra (tempat, waktu, dan suasana). Model itu terus diusahakan, tapi dalam tensi tertentu, Putu Wijaya larut dalam improvisasi untuk nglantur dan perlahan kehilangan pikat.
Pelbagai pencapaian Putu Wijaya dalam jagat teater telah terakui di Indonesia, Asia, dan dunia. Profil sebagai penulis naskah, aktor, dan sutradara mengantarkan Putu Wijaya dalam gelimang eksperimen dan dilema-dilema teater Indonesia dengan tarikan tradisi atau modern. Putu Wijaya dalam  esai Tradisi Baru (2000) menganggap bahwa pencapaian garapan penulisan naskah di Indonesia sudah menunjukkan pemartabatan diri. Putu Wijaya mengungkapkan: “Membaca naskahnaskah drama yang ditulis dalam  era tradisi baru, kita akan menemukan manusia Indonesia, masalah Indonesia, dan bumi Indonesia.” Contoh penting dari konstruksi tradisi baru dalam teater Indonesia adalah Akhudiat dengan mengolah kentrungan, Wisran Hadi dengan mengolah randai, Rendra dengan mengolah ketoprak, dan Arifin C Noer dengan mengolah seni rakyat.
Putu Wijaya juga tampil dengan produksi naskah dan pementasan teater secara intensif bersama Teater Mandiri untuk mencari dan membentuk martabat teater Indonesia. Kerja keras ini, selama puluhan tahun, menghasilkan sebuah gambaran tentang gairah teater dalam pelbagai dilema politik, ekonomi, sosial, pendidikan, filsafat, dan teknologi. Putu Wijaya tampil cemerlang, menampik kekalahan dan keminderan, juga mengajukan gagasan-gagasan progresif untuk mengusik ketenangan atau kelesuan teater di Indonesia.

Ulah
Ketekunan dan hasrat teater Putu Wijaya itu seolah melawan pesimisme. Radhar Panca Dahana dalam Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia (2001) menganggap kebesaran Putu Wijaya dan Teater Mandiri dalam perteateran Indonesia dan dunia ditentukan oleh dalil ampuh. Putu Wijaya menyemai dalil itu melalui sabda Krishnamurti: “Manusia tak boleh terikat, harus bisa bebas dari yang kita kenal, setiap saat saya harus lahir kembali.” Penerjemahan dalil adalah kerja dengan takdir perubahan, mengusung eksperimen-eksperimen progresif, dan menata masa depan dalam terang pencerahan. Hidup pun seolah diabdikan untuk melakukan perubahan dan perubahan dengan jalan teater. Putu Wijaya membuktikan diri sebagai manusia teater tak mati-mati. 
Hajat Mimbar Teater Indonesia II sebagai bentuk persembahan atas kerja teater Putu Wijaya tentu menjadi kelumrahan. Profil Putu Wijaya adalah profil teater Indonesia? Konklusi ini mungkin hiperbolik tapi terbuktikan melalui pelbagai pencapaian dan kontribusi Putu Wijaya untuk memartabatkan teater Indonesia. Pembelajaran dan keberanian berubah adalah keniscayaan untuk masa depan teater Indonesia. Putu Wijaya mengajarkan hal itu dengan menilik masa lalu saat menerima pelbagai pengaruh dari Anton Chekov, Motinggo Busye, Utuy Tatang Sontany, Albert Camus, dan Samuel Beckett dalam proses penulisan naskah-naskah teater. Fase itu dilanjutkan dengan pelbagai perubahan untuk memunculkan ciri “putuisme” dalam penulisan ratusan naskah. Putu Wijaya menjalani itu semua kendati sadar menulis naskah adalah “perjuangan yang sepi dari keplok.”
Bakdi Soemanto dalam Godot di Amerika dan Indonesia (2002) menengarai Putu Wijaya memiliki keterpengaruhan besar dari Beckett dalam naskah dan garapan teater dengan nafas absurd dan eksistensialisme. Contoh paling kentara adalah penulisan naskah dan garapan Aduh. Lakon ini pernah jadi pemicu gairah absurd dan eksistensialisme dalam perteateran Indonesia pada masa 1970-an. Bakdi Soemanto menganggap ulah Putu Wijaya itu menjadi penentu perubahan dari zaman teater realis menuju teater nonrealis. Teater Indonesia bergerak dan mengubah arah. Putu Wijaya adalah ikon perubahan dengan menolak pelbagai tabu dan menghasratkan kemungkinan-kemungkinan baru. Jejak historis ini tentu memerlukan penerjemahan progresif pada hari ini. Mimbar Teater II adalah ajang pembuktian untuk tidak sekadar memuja dan meniru Putu Wijaya. Hajat besar itu mesti diniatkan dengan hasrat berubah dan memartabatkan teater Indonesia dalam gelimang tafsir-pemaknaan. Begitu.       

Jawa Pos (10 Oktober 2010)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar