Laman

Sabtu, 06 November 2010

Kita yang Kehilangan Rasa

Bandung Mawardi

Elite politik, pengusaha, birokrat, atau priayi saat ini sudah kehilangan rasa. Mereka tampak tak memiliki biografi kultural dan spiritual, biografi diri dalam asuhan nilai-nilai dan hikmah abadi. Apakah ini efek dari mekanisme dadi wong (menjadi orang) karena rasionalitas modern, kepatuhan institusional, tatanan sosial global, atau standarisasi profesionalitas? Kita susah menjawab, tapi ada gelagat besar, penyebab kehilangan rasa adalah tanda kerapuhan manusia modern. Oase kosmologis sirna, tergantikan modul-modul hidup modern yang homogen, terdiktekan oleh nabi-nabi modernitas.
Apakah kita merasa kehilangan rasa? Situasi politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan kultural kentara membenarkan, rasa tak masuk dalam agenda dan pengalaman hidup, pengalaman menjadi manusia modern. Rasa mirip konsep yang kuno, istilah yang mengingatkan kita pada remang masa lalu. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mencatatkan perihal rasa, diakui sebagai konsep yang identik dengan kehidupan kalangan priayi. Konon, tatanan kehidupan priayi di Jawa ditentukan tiga titik keutamaan: etiket, seni, dan mistik. Rasa dalam tatanan priayi merupakan inti eksistensi kepriayian.      
Rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, inderawi, tapi rasa adalah makna puncak, nilai tertinggi. Rasa adalah hidup itu sendiri. Orang Jawa memahami rasa untuk menandai pengalaman utuh lahir dan batin. Rasa malah jadi sumber dari konstruksi pandangan dunia. Tafsiran Geertz itu memang dilekatkan dengan dunia priayi. Jadi, terkesan diskriminatif dan mengabaikan situasi dan pengalaman kultural untuk kelas-kelas sosial berbeda. Ketimpangan ini cukup mempengaruhi kelanjutan kisah rasa dalam dunia modern yang merasuk dan mengubah tatanan sosial-kultural-politik di Jawa sejak tahun 1950-an.    

Religius
Religiusitas mencirikan rasa dalam pandangan dunia Jawa (Reksosusilo, 1983: 129-133). Rasa dalam bahasa asal, Sanskerta, diartikan air, sari, inti, dan suara suci. Pigeud (1960) memunculkan petikan teks keagamaan dan hukum pada abad XIV yang bisa jadi rujukan arti: Makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan). Petikan lain yang mengena: hanut rasaning rajamudara iku ta suma (rasa adalah arti yang dalam, yang mengikat, dan menentukan tindakan). Rasa dalam teks Negarakretagama juga muncul dengan arti pengalaman keagamaan yang dalam. Pewacanaan rasa terus disemaikan dalam pelbagai sastra Jawa. Teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan.
Makna rasa pun memancar dalam hidup keseharian tanpa harus membedakan diri sebagai santri, abangan, priayi, politisi, pujangga, birokrat, atau intelektual. Pemberian arti rasa dalam keseharian dieksplorasi dalam wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Rasa adalah pijakan dari kawruh jiwa (ilmu dan pengalaman hidup). Ki Ageng Suryomentaram mengakui rasa sebagai modal seseorang menjadi manusia tanpa ciri, sektarian, egois, dan fanatik. Rasa justru membuat orang bebas dan merasa diri dalam universalitas karena kemauan menjadi manusia utuh, lahir dan batin.
Pengertian rasa itu membuat para ahli Jawa (Niels Mulder, Frans Magnis-Suseno, Drijarkara, dan Paul Stange) sibuk mencari legitimasi kultural dan spiritual. Penjelasan lumayan terang bisa ditemukan dalam geliat kebatinan di Jawa pada 1950-an. Rasa adalah kebatinan. Sejak itu, fondasi kehidupan menemukan pembenaran dan penyucian karena rasa. Ambisi kekuasaan, keserakahan atas modal, arogansi sosial, hegemoni teknologi bisa ditanggapi dengan rasa. Penolakan atau penerimaan tak pernah mutlak, tapi diacukan kembali pada rasa sebagai manusia dengan pengalaman kultural-religiusitas.
Paul Stange dalam Kejawen Modern (2009) mengartikan fondasi rasa atau rasa pangrasa, intuisi hidup, ikut menentukan pemuliaan spiritualitas dalam pelbagai aktivitas hidup di Jawa usai kemerdekaan. Harmoni merupakan kodrat hidup yang mesti disemaikan dengan rasa. Mekanisme protektif dan eksistensial ini sudah hampir punah. Rasa dihilangkan dari agenda-agenda kehidupan modern. Rasa sekadar nostalgia usang. Kondisi ini tidak terjadi dalam sekedipan mata.

Humaniora
Penyingkiran atau penghilangan rasa dilakukan sistematis karena perubahan dalam ikatan relasional dalam keluarga, paket politik-demokrasi global, pembangunanisme berorientasi ekonomistik, sistem pendidikan yang amburadul, dan sensasi atas teknologisasi kehidupan. Kita kehilangan rasa karena dikehendaki, hilang untuk tergantikan dengan modul modernitas. Rasa lekas tergantikan dengan konsep-konsep psikologi dan agama yang terbaratkan, dicerabut dari akar kultural Jawa. Sains dan teknologi modern turut mempromosikan pemujaan nalar dalam lupa rasa.
Kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang memuliakan hidup. Rasa tak bisa diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup kemodernan. Pendidikan humaniora sejak lama dipraktikkan dalam masyarakat Jawa. Kuntowijoyo (1987) mengakui, kesadaran dan pematangan atas pendidikan humaniora dalam praktik keseharian dalam kehidupan masyarakat Jawa mempertemukan pelbagai unsur untuk tersakralkan. Pendidikan ini integratif dengan sistem sosial-kultural Jawa.
Pembelajaran humaniora dilakukan karena peka situasi, afirmasi spiritualitas, merasuk dalam simbolisme, dan melek ngelmu urip (ilmu hidup) dalam referensi tradisi dan modern. Rasa sebagai fondasi tentu terpahami secara produktif untuk memayu hayuning bawana, menjadikan hidup pantas dijalani bersama dalam terang, damai, bahagia, rukun, dan harmoni. Rasa ada untuk menyemai kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia. Konon, orang Jawa kalau belum dadi Jawa karena gagal dalam olah rasa bakal merasa malu. Ungkapan Jawa untuk orang yang malu itu sangat mengena, diguyu pitik alias ditertawakan ayam, diledek oleh makhluk dengan derajat di bawah manusia. Artinya, seseorang belum pantas jadi manusia kalau tak memiliki rasa. Begitu.           

Kompas (23 Oktober 2010)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar