Bandung Mawardi
Sejarah Indonesia masih memiliki sekian misteri
terkait dengan teks-teks penting dalam konteks politik dan sosial-kultural
(Sumpah Pemuda, Pancasila, Piagam Jakarta, Proklamasi, Supersemar). Teks adalah
tanda legitimasi suatu keputusan, resolusi, dekrit, konstitusi, petisi,
maklumat, undang-undang, piagam, atau pengumuman. Perubahan itu mungkin adalah
bukti bangsa Indonesia yang pelupa atau abai sejarah.
Sumpah Pemuda versi Poetoesan Congres Pemoeda
Pemoeda Indonesia 1928: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami Poetra dan poetri Indonesia mengaku
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Perubahan justru muncul dalam buku Sumpah
Indonesia Raja (1955) garapan Muhammad Yamin yang dulu merumuskan teks
Sumpah Pemuda 1928. Teks Sumpah Pemuda mengalami perubahan urutan, ejaan, dan
pemakaian kata: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa jang satu,
Bangsa Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertanah air jang
satu, Tumpah Darah Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mendjundjung
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Perubahan juga terjadi pada berita di harian Merdeka
(28 Oktober 1958) tentang peringatan Sumpah Pemuda dalam masa Soekarno. Teks
itu mengalami perubahan: Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu tanah air,
tanah air Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui sastu bangsa, bangsa
Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.
Perubahan-prubahan teks Sumpah Pemuda itu memang
tidak menimbulkan polemik atau kontroversi pada masa itu. Teks itu mungkin
dipahami oleh penguasa dan publik secara substantif tanpa harus memerkarakan
teks yang otentik atau teks yang berubah. Konsekuensi dari pemahaman itu adalah
kemunculan formula: “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.” Formula itu
mengandung kesalahan dan subversi. Istilah “satu bahasa” tidak sesuai dengan
teks otentik 1928 dengan aksentuasi “menjunjung bahasa persatuan” bukan
“mengaku(i) satu bahasa”.
Perubahan teks terus berlangsung pada masa Orde
Baru. Penerbitan buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (1978) masih memuat
formula “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Sudiro dalam prawacana buku
itu sebanarnya sudah mengutip isi sumpah ketiga versi 1928 dengan tafsiran
bahwa kalimat itu tidak berarti bahasa-bahasa daerah harus dilenyapkan. Kutipan
dan tafsiran itu terselip dalam pemahaman umum “mengaku(i) satu bahasa.” Hal
itu pun mendapatkan pengaruh kuat dari pengutipan Sumpah pemuda versi Soeharto
(1978): “mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu,
tanah air Indonesia; mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Teks Sumpah Pemuda yang berubah dalam pelbagai
versi terus menyebar di masyarakat melalui publikasi buku-buku pelajaran dan
buku-buku sejarah. Buku-buku pelajaran menjadi faktor penting untuk penerimaan
teks yang berubah dengan pemakluman atau ketidaktahuan. Buku A History of
Modern Indonesia (1981) garapan M.C. Ricklefs masih memakai formula “satu
tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Teks yang berubah itu adalah representasi
dari keteledoran atau efek bangsa pelupa. Teks Sumpah Pemuda memang tidak harus
disakralkan tapi kebenaran versi otentik perlu mendapatkan perhatian dengan
acuan fakta historis.
Koreksi terhadap perubahan itu muncul dari Ajip
Rosidi dalam esai Sumpah Pemuda yang Berubah (1977). Koreksi itu untuk
kebenaran sejarah dan fakta politis masa lalu. Isi Sumpah Pemuda urutan ketiga
mengenai bahasa mendapatkan tafsiran kritis dari Ajip Rosidi: “Rumusan
menjunjung bahasa persatuan merupakan keputusan bijaksanan dan demokratis
ketimbang mengaku berbahasa satu yang memiliki potensi disintegrasi terkait
dengan pluralitas bahasa dan budaya di Indonesia.” Ikhtiar koreksi dari sekian
tokoh dan lembaga menemukan hasil sejak tahun 1990-an dengan pemuatan teks
otentik 1928 dalam beberapa buku pelajaran di sekolah.
Ariel Heryanto dalam esai Sumpah Plesetan
(1995) masih menemukan teks yang berubah dalam publikasi buku dan media massa
pada tahun 1990-an. Fakta itu membuat Ariel Heryanto memberikan peringatan dan
ingatan bahwa teks otentik 1928 merupakan keputusan dalam peristiwa
sejarah-politik. Ariel Heryanto curiga bahwa perubahan isi teks itu cenderung
terkait dengan motif linguisitik untuk menemukan paralelisme ketimbang motif
politik.
Keith Foulcher tampil dengan analisis kritis
mengenai perubahan-perubahan isi teks Sumpah Pemuda sejak tahun 1930-an sampai
akhri 1990-an dengan buku Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol
Kebangsaan Indonesia (2008). Buku itu menjadi peringatan atas keteledoran
atau pelupaan bangsa Indonesia terhadap sejarah teks. Keith Foulcher menilai
perubahan-perubahan teks itu merepresentasikan akibat-akibat signifikan dalam
konteks sejarah, politik, bahasa, dan kebudayaan. Sumpah Pemuda dalam
perspektif Keith Foulcher adalah “cerita mengenai perubahan”. Sumpah Pemuda
adalah (sekadar) catatan kaki sejarah Indonesia?
Suara Merdeka (24 Oktober 2010)
Jangan lupakan lagu gubahan L. Manik:
BalasHapusSatu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita