Laman

Sabtu, 06 November 2010

Teks yang Berubah

Bandung Mawardi

Sejarah Indonesia masih memiliki sekian misteri terkait dengan teks-teks penting dalam konteks politik dan sosial-kultural (Sumpah Pemuda, Pancasila, Piagam Jakarta, Proklamasi, Supersemar). Teks adalah tanda legitimasi suatu keputusan, resolusi, dekrit, konstitusi, petisi, maklumat, undang-undang, piagam, atau pengumuman. Perubahan itu mungkin adalah bukti bangsa Indonesia yang pelupa atau abai sejarah.
Sumpah Pemuda versi Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia 1928: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami Poetra dan poetri Indonesia mengaku berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Perubahan justru muncul dalam buku Sumpah Indonesia Raja (1955) garapan Muhammad Yamin yang dulu merumuskan teks Sumpah Pemuda 1928. Teks Sumpah Pemuda mengalami perubahan urutan, ejaan, dan pemakaian kata: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa jang satu, Bangsa Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertanah air jang satu, Tumpah Darah Indonesia; Kami putera dan puteri Indonesia mendjundjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.  
Perubahan juga terjadi pada berita di harian Merdeka (28 Oktober 1958) tentang peringatan Sumpah Pemuda dalam masa Soekarno. Teks itu mengalami perubahan: Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu tanah air, tanah air Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui sastu bangsa, bangsa Indonesia; Kami Putra-Putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.
Perubahan-prubahan teks Sumpah Pemuda itu memang tidak menimbulkan polemik atau kontroversi pada masa itu. Teks itu mungkin dipahami oleh penguasa dan publik secara substantif tanpa harus memerkarakan teks yang otentik atau teks yang berubah. Konsekuensi dari pemahaman itu adalah kemunculan formula: “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.” Formula itu mengandung kesalahan dan subversi. Istilah “satu bahasa” tidak sesuai dengan teks otentik 1928 dengan aksentuasi “menjunjung bahasa persatuan” bukan “mengaku(i) satu bahasa”.
Perubahan teks terus berlangsung pada masa Orde Baru. Penerbitan buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (1978) masih memuat formula “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Sudiro dalam prawacana buku itu sebanarnya sudah mengutip isi sumpah ketiga versi 1928 dengan tafsiran bahwa kalimat itu tidak berarti bahasa-bahasa daerah harus dilenyapkan. Kutipan dan tafsiran itu terselip dalam pemahaman umum “mengaku(i) satu bahasa.” Hal itu pun mendapatkan pengaruh kuat dari pengutipan Sumpah pemuda versi Soeharto (1978): “mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Teks Sumpah Pemuda yang berubah dalam pelbagai versi terus menyebar di masyarakat melalui publikasi buku-buku pelajaran dan buku-buku sejarah. Buku-buku pelajaran menjadi faktor penting untuk penerimaan teks yang berubah dengan pemakluman atau ketidaktahuan. Buku A History of Modern Indonesia (1981) garapan M.C. Ricklefs masih memakai formula “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”. Teks yang berubah itu adalah representasi dari keteledoran atau efek bangsa pelupa. Teks Sumpah Pemuda memang tidak harus disakralkan tapi kebenaran versi otentik perlu mendapatkan perhatian dengan acuan fakta historis.
Koreksi terhadap perubahan itu muncul dari Ajip Rosidi dalam esai Sumpah Pemuda yang Berubah (1977). Koreksi itu untuk kebenaran sejarah dan fakta politis masa lalu. Isi Sumpah Pemuda urutan ketiga mengenai bahasa mendapatkan tafsiran kritis dari Ajip Rosidi: “Rumusan menjunjung bahasa persatuan merupakan keputusan bijaksanan dan demokratis ketimbang mengaku berbahasa satu yang memiliki potensi disintegrasi terkait dengan pluralitas bahasa dan budaya di Indonesia.” Ikhtiar koreksi dari sekian tokoh dan lembaga menemukan hasil sejak tahun 1990-an dengan pemuatan teks otentik 1928 dalam beberapa buku pelajaran di sekolah.
Ariel Heryanto dalam esai Sumpah Plesetan (1995) masih menemukan teks yang berubah dalam publikasi buku dan media massa pada tahun 1990-an. Fakta itu membuat Ariel Heryanto memberikan peringatan dan ingatan bahwa teks otentik 1928 merupakan keputusan dalam peristiwa sejarah-politik. Ariel Heryanto curiga bahwa perubahan isi teks itu cenderung terkait dengan motif linguisitik untuk menemukan paralelisme ketimbang motif politik.
Keith Foulcher tampil dengan analisis kritis mengenai perubahan-perubahan isi teks Sumpah Pemuda sejak tahun 1930-an sampai akhri 1990-an dengan buku Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (2008). Buku itu menjadi peringatan atas keteledoran atau pelupaan bangsa Indonesia terhadap sejarah teks. Keith Foulcher menilai perubahan-perubahan teks itu merepresentasikan akibat-akibat signifikan dalam konteks sejarah, politik, bahasa, dan kebudayaan. Sumpah Pemuda dalam perspektif Keith Foulcher adalah “cerita mengenai perubahan”. Sumpah Pemuda adalah (sekadar) catatan kaki sejarah Indonesia?

Suara Merdeka (24 Oktober 2010) 

1 komentar:

  1. Jangan lupakan lagu gubahan L. Manik:
    Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita

    BalasHapus