Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Politik Makan ala Jawa


Bandung Mawardi

Peristiwa makan menjadi penting dalam menentukan nasib politik? Makan itu urusan politik? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa menempuh jalan historis pada peristiwa makan dalam sejarah politik di Jawa. Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) memiliki kebiasaan sarapan tiap jam 7 pagi di Njamban dengan menu teh, coklat susu, rokok sigaret cap Sultan Yogyakarta “Koh I Noor”, cerutu Karel I, roti sobek, mete, dan kue kering. Menu makanan dan prosesi makan Sultan HB VIII menandai perubahan signifikan untuk menerima menu Barat dalam peristiwa makan. Sikap HB VIII itu kontras dengan sikap konservatif Sultan HB VII. Kultur makan dari HB VII adalah menu makanan Jawa dan disantap dalam prosesi tradisional. (Tim, Tradisi Makan dan Minum di Lingkungan Kraton Yogyakarta, 1996).
Lakon makan pada masa Sultan HB VIII dilengkapi dengan kehadiran abdi dalem oceh-ocehan dengan tugas mengisahkan atau melakukan obrolan: lelucon dan kisah-kisah aneh. Makan menjadi peristiwa dengan acuan kekuasaan, tradisi kraton, dan komunikasi politik (kolonial) modern. Sultan HB VIII sengaja menerima dan mengonsumsi makanan Barat sebagai simbol untuk meminimalisasi potensi konfrontatif antara rakyat Yogyakarta terhadap kolonial Belanda. Makanan dan laku makan menjadi simbol politik untuk menunjukkan secara samar penerimaan dan kekuatan resistensi atas kolonialisme.
Tanda kentara penerimaan kultur Barat terjadi dalam peristiwa perjamuan makan untuk tamu-tamu Belanda. Pembaratan dalam peristiwa makan terjadi dengan alasan politis karena Belanda memiliki kekuatan represif dan intervensi dalam dunia kraton. Sultan HB VIII pun melakukan kompromi dengan penerimaan menu makanan Barat dan laku makan versi Barat untuk pamrih politik dan hasrat modernitas. Jamuan makan politis terjadi di Bangsal Manis pada tahun 1936 dihadiri oleh Sultan HB VIII, kerabat Keraton Yogyakarta, Gubernur Belanda, komunitas Belanda dan Eropa. Dennys Lombard menghadirkan foto jamuan makan malam politis itu dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) (1996: 109) sebagai bukti proses pembaratan dalam Kraton Yogyakarta melalui kultur makan. Menu makanan Barat dan desain interior di keraton turut menerima efek perubahan menjadi modern ala percampuran Jawa-Barat.

Perubahan
Makan memang tidak sekadar peristiwa biologis untuk menjawab kondisi lapar. Laku makan selalu mengandung kompleksitas dalil dan pamrih. Makan mungkin untuk menjadi tanda dalam konteks etika, kolonialisme, ekonomi, politik, mistik, spiritualitas, kapitalisme, dan globalisasi.
Makan dalam acuan edukasi, religiusitas, dan ekspresi kolektivitas dijelaskan dengan apik-puitis oleh Y.B. Mangunwijaya melalui Ragawidya (1986). Makan adalah laku asasi manusia dalam genesis (tradisi) sampai fragmen-fragmen peradaban manusia modern. Mangunwijaya mengungkapkan: “Yang makan ialah keseluruhan jiwa raganya, dambaan dan cita-citanya. Keseluruhan pribadi dan riwayat hidup serta suasana jiwnya ikut makan dan memberi arti kepada makan.” Makan adalah representasi dan realisasi manusia.
Makan dalam studi historis kerap memunculkan nilai-nilai etis dan teologis. Makan memiliki konvensi dan kontitusi untuk menemukan pencapaian nilai secara lahiriah dan batiniah. Makan dalam dunia tradisional Jawa menentukan lakon manusia dalam mengolah alam dan diri. Etika terbentuk sebagai mekanisme memahami diri sebagai manusia. Makan menjadi peristiwa dengan relasi kosmologis. Makan dalam agama pun kerap terpahamkan sebagai laku ibadah. Makan itu ungkapan untuk memuja Tuhan atas nikmat-berkat dan bukti manusia menjalani kodrat hidup. Makan mengandung pahala dan nilai teologis.
Progresivitas sejarah peradaban manusia lalu memunculkan pergeseran dan perubahan dalam perkara makan. Manusia mulai membuat konstitusi-konstitusi untuk memberi nilai dan pamrih makan sesuai dengan tingkat peradaban dan intervensi teknologi. Makan menjadi pertarungan nilai, bentuk, dan peristiwa. Makan dalam kultur Jawa pun perlahan berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Jenis-jenis makanan berubah, cara memasak berubah, cara menyajikan berubah, peralatan makan berubah, sikap berubah, kesadaran ruang-waktu dalam makan juga berubah. Makan dan makanan Jawa seolah tinggal nostalgia atau pikat kuliner dalam penciptaan nuansa kejawaan.
Proses perubahan memang selalu mengandung risiko kehilangan dan penciptaan. Makan rentan dengan risiko untuk membuat manusia mencapai puncak nilai kenikmatan dengan pertaruhan kehilangan nilai etis atau sakralitas. Makan dalam fragmen-fragmen peradaban modern dengan kentara menunjukkan perubahan drastis dari lakon realis sampai  absurd atau dari lakon teologis-etis sampai lakon politis. Makan jadi tanda tanya dan tanda seru. Makan selalu mendapati godaan dalam tegangan sakral dan profan. Makan sebagai mekanisme interaksi keluarga dan sosial untuk pengajaran-penyebaran nilai-nilai kehidupan berubah sebagai aktivitas kenikmatan-parsial dalam urusan harga, status sosial, arogansi, atau pemartabatan profesi. 

Politik
Makan dalam rententan sejarah modern memiliki alur-alur besar dalam perubahan secara mikro dan makro. Makan dalam pengertian tradisional-etnis (Jawa) mulai rentan dengan intervensi politik dan kapitalisme-globalisasi. Makan menjadi perkara pelik dan dilematis. Etika modern dalam makan seolah memberi alasan merayakan hidup dalam desakralisasi nilai dan bentuk. Simbol-simbol dalam makan pun teralihkan sebagai kultur material.
Sejarah Indonesia modern pada masa Orde Baru pernah memiliki politik makan untuk pamrih pembangunan. Politik makan itu memakai jargon 4 sehat 5 sempurna: nasi, sayur, lauk, buah, dan susu. Pemerintah dengan sistematis dan sporadis melakukan gerakan ideologis untuk memberi kesadaran makan terhadap keluarga-keluarga di Indonesia. Politik makan itu memang mengesankan standarisasi dan idealisasi dalam versi kemapanan hidup. Politik makan itu kerap kontras dengan kondisi ekonomi kaum kaum miskin. Makan adalah pertanyaan realis tapi kerap mendapati jawaban luput dan absurd.
Jargon 4 sehat 5 sempurna seperti mimpi atau utopia untuk pembangunan dan mengejar laju pertumbuhan ekonomi. Pamrih dan imperatif dari Orde Baru menjadi momok untuk kaum miskin karena gagal memenuhi hajat makan. Kondisi itu kontras dengan kelas sosial atas dan menengah pada episode politik Orde Baru mencapai titik mapan. Makan untuk kaum-kaum ini melampau pamrih biologis (lapar). Makan mulai menjadi klaim identitas dan pola komunikasi. Makan di rumah mulai memakai anutan-anutan modern versi Eropa. Makan dalam pesta adalah ekspresi identitas dan kelas sosial sebagai ritual modernitas. Makan di restoran menjadi ibadah untuk mengalami eksistensi dalam kontras dan kontradiksi realitas sosial-ekonomi-politik Indonesia. Makan pun jadi laku untuk komunikasi ekonomi (bisnis) sampai pengambilan keputusan politik.
Jawaban Orde Baru untuk kaum miskin dalam menjawab pertanyaan lapar adalah program transmigrasi. Pamrih dalam program ini adalah kecukupan pangan, papan, sandang. Pemindahan ruang hidup dan gesekan nilai menjadi momok untuk mencapai idealisasi sebaran penduduk dan keberhasilan politik makan-pangan. Jawaban kaum miskin dalam kultur Jawa kerap terdengar: mangan orang mangan kumpul (Makan tidak makan asal kumpul). Ungkapan ini adalah tanda penolakan untuk transmigrasi ke pulau-pulau lain. Resistensi atas politik diacukan pada kesadaran relasi makan dan eksistensi keluarga. Politik makan bertabrakan dengan ekspresi kultural Jawa dan laku hidup dengan acuan tradisi.

Kredo
Fenomena memukau dalam politik makan Orde Baru adalah lakon urbanisasi. Kota menjelma mimpi untuk hidup modern dan mencapai kenikmatan hidup. Mimpi itu samar. Mimpi itu justru kerap jadi petaka. Orang-orang desa melakukan mobilitas hidup ke kota dengan dalil dan pamrih hidup. Kota sesak dan tak sanggup memberi lahan kerja, ruang hidup, dan mimpi indah. Pekerjaan-pekerjaan kasar mulai jadi jawaban untuk kaum miskin bisa makan dan hidup. Urbanisasi adalah realisasi atas gagasan mencari makan. Orang-orang dari desa-desa di Jawa kerap mengajukan klaim  untuk urbanisasi: golek upo (mencari sesuap nasi). Kredo orang Jawa untuk mengatasi masalah genting adalah ana dina ana upo (ada hari ada nasi). Orang Jawa juga memiliki pengesahan: Yen durung mangan sega durung bisa diarani mangan (Kalau belum makan nasi belum bisa dikatakan makan). 
Politik makan Orde Baru terus menemukan babak lanjutan dengan pelbagai kadar kengerian dan kepedihan. Makan pada hari ini selalu berada dalam ruang pertentangan antara kelas sosial dan kutub politik. Korupsi menjadi ejekan untuk kaum miskin. Pejabat mulai menjadi tokoh dalam lakon sinis. Kaum miskin susah makan. Koruptor lahap makan dalam pelbagai pamrih dan bentuk. Orang-orang curiga: koruptor gendut karena rakus makan atau koruptor kaya karena makan uang rakyat.
Makan dalam alur kapitalisme-globalisasi juga memberikan kontribusi signifikan untuk politik makan ala Jawa. Perkara-perkara hidup semakin pelik karena perselingkuhan program politik dan ekspansi pasar. Masyarakat  Jawa semakin mengalami absurditas dalam realitas-realitas besar mulai dari keluarga sampai  negara. Politik makan ala Jawa cenderung mulai mengalami kontrol dari pasar karena ada kekuatan-kekuatan besar dalam ekonomi-politik dunia. Kaum miskin di Indonesia bisa sekarat dan mati tanpa sempat meminta atau menemukan mimpi untuk makan. Tragis!

Suara Merdeka (3 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar