Bandung Mawardi
Peristiwa makan menjadi penting dalam menentukan nasib
politik? Makan itu urusan politik? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa menempuh
jalan historis pada peristiwa makan dalam sejarah politik di Jawa. Sultan
Hamengku Buwana VIII (1921-1939) memiliki kebiasaan sarapan tiap jam 7 pagi di
Njamban dengan menu teh, coklat susu, rokok sigaret cap Sultan Yogyakarta “Koh
I Noor”, cerutu Karel I, roti sobek, mete, dan kue kering. Menu makanan dan
prosesi makan Sultan HB VIII menandai perubahan signifikan untuk menerima menu
Barat dalam peristiwa makan. Sikap HB VIII itu kontras dengan sikap konservatif
Sultan HB VII. Kultur makan dari HB VII adalah menu makanan Jawa dan disantap
dalam prosesi tradisional. (Tim, Tradisi Makan dan Minum di Lingkungan
Kraton Yogyakarta, 1996).
Lakon makan pada masa Sultan HB VIII dilengkapi dengan
kehadiran abdi dalem oceh-ocehan dengan tugas mengisahkan atau melakukan
obrolan: lelucon dan kisah-kisah aneh. Makan menjadi peristiwa dengan acuan
kekuasaan, tradisi kraton, dan komunikasi politik (kolonial) modern. Sultan HB
VIII sengaja menerima dan mengonsumsi makanan Barat sebagai simbol untuk
meminimalisasi potensi konfrontatif antara rakyat Yogyakarta terhadap kolonial
Belanda. Makanan dan laku makan menjadi simbol politik untuk menunjukkan secara
samar penerimaan dan kekuatan resistensi atas kolonialisme.
Tanda kentara penerimaan kultur Barat terjadi dalam
peristiwa perjamuan makan untuk tamu-tamu Belanda. Pembaratan dalam peristiwa
makan terjadi dengan alasan politis karena Belanda memiliki kekuatan represif
dan intervensi dalam dunia kraton. Sultan HB VIII pun melakukan kompromi dengan
penerimaan menu makanan Barat dan laku makan versi Barat untuk pamrih politik
dan hasrat modernitas. Jamuan makan politis terjadi di Bangsal Manis pada tahun
1936 dihadiri oleh Sultan HB VIII, kerabat Keraton Yogyakarta, Gubernur
Belanda, komunitas Belanda dan Eropa. Dennys Lombard menghadirkan foto jamuan
makan malam politis itu dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas
Pembaratan) (1996: 109) sebagai bukti proses pembaratan dalam Kraton
Yogyakarta melalui kultur makan. Menu makanan Barat dan desain interior di
keraton turut menerima efek perubahan menjadi modern ala percampuran
Jawa-Barat.
Perubahan
Makan memang tidak sekadar peristiwa biologis untuk
menjawab kondisi lapar. Laku makan selalu mengandung kompleksitas dalil dan
pamrih. Makan mungkin untuk menjadi tanda dalam konteks etika, kolonialisme,
ekonomi, politik, mistik, spiritualitas, kapitalisme, dan globalisasi.
Makan dalam acuan edukasi, religiusitas, dan ekspresi
kolektivitas dijelaskan dengan apik-puitis oleh Y.B. Mangunwijaya melalui Ragawidya
(1986). Makan adalah laku asasi manusia dalam genesis (tradisi) sampai
fragmen-fragmen peradaban manusia modern. Mangunwijaya mengungkapkan: “Yang
makan ialah keseluruhan jiwa raganya, dambaan dan cita-citanya. Keseluruhan
pribadi dan riwayat hidup serta suasana jiwnya ikut makan dan memberi arti
kepada makan.” Makan adalah representasi dan realisasi manusia.
Makan dalam studi historis kerap memunculkan nilai-nilai
etis dan teologis. Makan memiliki konvensi dan kontitusi untuk menemukan pencapaian
nilai secara lahiriah dan batiniah. Makan dalam dunia tradisional Jawa
menentukan lakon manusia dalam mengolah alam dan diri. Etika terbentuk sebagai
mekanisme memahami diri sebagai manusia. Makan menjadi peristiwa dengan relasi
kosmologis. Makan dalam agama pun kerap terpahamkan sebagai laku ibadah. Makan
itu ungkapan untuk memuja Tuhan atas nikmat-berkat dan bukti manusia menjalani
kodrat hidup. Makan mengandung pahala dan nilai teologis.
Progresivitas sejarah peradaban manusia lalu memunculkan
pergeseran dan perubahan dalam perkara makan. Manusia mulai membuat
konstitusi-konstitusi untuk memberi nilai dan pamrih makan sesuai dengan
tingkat peradaban dan intervensi teknologi. Makan menjadi pertarungan nilai,
bentuk, dan peristiwa. Makan dalam kultur Jawa pun perlahan berubah untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Jenis-jenis makanan berubah, cara
memasak berubah, cara menyajikan berubah, peralatan makan berubah, sikap
berubah, kesadaran ruang-waktu dalam makan juga berubah. Makan dan makanan Jawa
seolah tinggal nostalgia atau pikat kuliner dalam penciptaan nuansa kejawaan.
Proses perubahan memang selalu mengandung risiko
kehilangan dan penciptaan. Makan rentan dengan risiko untuk membuat manusia
mencapai puncak nilai kenikmatan dengan pertaruhan kehilangan nilai etis atau
sakralitas. Makan dalam fragmen-fragmen peradaban modern dengan kentara
menunjukkan perubahan drastis dari lakon realis sampai absurd atau dari lakon teologis-etis sampai
lakon politis. Makan jadi tanda tanya dan tanda seru. Makan selalu mendapati
godaan dalam tegangan sakral dan profan. Makan sebagai mekanisme interaksi
keluarga dan sosial untuk pengajaran-penyebaran nilai-nilai kehidupan berubah
sebagai aktivitas kenikmatan-parsial dalam urusan harga, status sosial, arogansi,
atau pemartabatan profesi.
Politik
Makan dalam rententan sejarah modern memiliki alur-alur
besar dalam perubahan secara mikro dan makro. Makan dalam pengertian
tradisional-etnis (Jawa) mulai rentan dengan intervensi politik dan
kapitalisme-globalisasi. Makan menjadi perkara pelik dan dilematis. Etika
modern dalam makan seolah memberi alasan merayakan hidup dalam desakralisasi
nilai dan bentuk. Simbol-simbol dalam makan pun teralihkan sebagai kultur
material.
Sejarah Indonesia modern pada masa Orde Baru pernah
memiliki politik makan untuk pamrih pembangunan. Politik makan itu memakai
jargon 4 sehat 5 sempurna: nasi, sayur, lauk, buah, dan susu. Pemerintah dengan
sistematis dan sporadis melakukan gerakan ideologis untuk memberi kesadaran
makan terhadap keluarga-keluarga di Indonesia. Politik makan itu memang
mengesankan standarisasi dan idealisasi dalam versi kemapanan hidup. Politik
makan itu kerap kontras dengan kondisi ekonomi kaum kaum miskin. Makan adalah
pertanyaan realis tapi kerap mendapati jawaban luput dan absurd.
Jargon 4 sehat 5 sempurna seperti mimpi atau utopia untuk
pembangunan dan mengejar laju pertumbuhan ekonomi. Pamrih dan imperatif dari
Orde Baru menjadi momok untuk kaum miskin karena gagal memenuhi hajat makan.
Kondisi itu kontras dengan kelas sosial atas dan menengah pada episode politik
Orde Baru mencapai titik mapan. Makan untuk kaum-kaum ini melampau pamrih
biologis (lapar). Makan mulai menjadi klaim identitas dan pola komunikasi.
Makan di rumah mulai memakai anutan-anutan modern versi Eropa. Makan dalam
pesta adalah ekspresi identitas dan kelas sosial sebagai ritual modernitas.
Makan di restoran menjadi ibadah untuk mengalami eksistensi dalam kontras dan
kontradiksi realitas sosial-ekonomi-politik Indonesia. Makan pun jadi laku untuk
komunikasi ekonomi (bisnis) sampai pengambilan keputusan politik.
Jawaban Orde Baru untuk kaum miskin dalam menjawab
pertanyaan lapar adalah program transmigrasi. Pamrih dalam program ini adalah
kecukupan pangan, papan, sandang. Pemindahan ruang hidup dan gesekan nilai
menjadi momok untuk mencapai idealisasi sebaran penduduk dan keberhasilan
politik makan-pangan. Jawaban kaum miskin dalam kultur Jawa kerap terdengar: mangan
orang mangan kumpul (Makan tidak makan asal kumpul). Ungkapan ini adalah
tanda penolakan untuk transmigrasi ke pulau-pulau lain. Resistensi atas politik
diacukan pada kesadaran relasi makan dan eksistensi keluarga. Politik makan
bertabrakan dengan ekspresi kultural Jawa dan laku hidup dengan acuan tradisi.
Kredo
Fenomena memukau dalam politik makan Orde Baru adalah
lakon urbanisasi. Kota menjelma mimpi untuk hidup modern dan mencapai
kenikmatan hidup. Mimpi itu samar. Mimpi itu justru kerap jadi petaka.
Orang-orang desa melakukan mobilitas hidup ke kota dengan dalil dan pamrih hidup.
Kota sesak dan tak sanggup memberi lahan kerja, ruang hidup, dan mimpi indah.
Pekerjaan-pekerjaan kasar mulai jadi jawaban untuk kaum miskin bisa makan dan
hidup. Urbanisasi adalah realisasi atas gagasan mencari makan. Orang-orang dari
desa-desa di Jawa kerap mengajukan klaim
untuk urbanisasi: golek upo (mencari sesuap nasi). Kredo
orang Jawa untuk mengatasi masalah genting adalah ana dina ana upo (ada
hari ada nasi). Orang Jawa juga memiliki pengesahan: Yen durung mangan sega
durung bisa diarani mangan (Kalau belum makan nasi belum bisa dikatakan
makan).
Politik makan Orde Baru terus menemukan babak lanjutan
dengan pelbagai kadar kengerian dan kepedihan. Makan pada hari ini selalu
berada dalam ruang pertentangan antara kelas sosial dan kutub politik. Korupsi
menjadi ejekan untuk kaum miskin. Pejabat mulai menjadi tokoh dalam lakon
sinis. Kaum miskin susah makan. Koruptor lahap makan dalam pelbagai pamrih dan
bentuk. Orang-orang curiga: koruptor gendut karena rakus makan atau koruptor
kaya karena makan uang rakyat.
Makan dalam alur kapitalisme-globalisasi juga memberikan
kontribusi signifikan untuk politik makan ala Jawa. Perkara-perkara hidup
semakin pelik karena perselingkuhan program politik dan ekspansi pasar.
Masyarakat Jawa semakin mengalami absurditas
dalam realitas-realitas besar mulai dari keluarga sampai negara. Politik makan ala Jawa cenderung
mulai mengalami kontrol dari pasar karena ada kekuatan-kekuatan besar dalam
ekonomi-politik dunia. Kaum miskin di Indonesia bisa sekarat dan mati tanpa
sempat meminta atau menemukan mimpi untuk makan. Tragis!
Suara Merdeka (3 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar