Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Para Manusia Buku

 
Bandung Mawardi


Peringatan 1000 hari kematian Sartono Kartodirdjo pada 1 September 2010 ditandai dengan penitipan 4000-an buku ke Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Koleksi buku itulah sumber pergumulan intelektual dari sosok Sartono Kartodirdjo. Koleksi buku sebagai warisan memang menimbulkan urusan pelik. Segala cara bisa dilakukan untuk mengurusi koleksi agar untuk bisa dimanfaatkan oleh publik. Keputusan menitipkan ke Universitas Sanata Dharma adalah pilihan rasional ketimbang buku dibiarkan rusak dan terkapar di rumah.
Buku identik dengan manusia-manusia pembelajar. Sartono Kartodirdjo adalah contoh dari pembelajar tekun dan penulis produktif. Laku membaca dan menulis pun mirip ibadah dalam menjalankan pelbagai misi hidup. Lakon sebagai manusia pembelajar atau manusia buku ditempuhi sejak kecil saat di Wonogiri. Gairah membaca buku menguat semenjak Sartono Kartodirdjo melanjutkan sekolah ke Solo. Ia mulai meresapi kultur Barat dan kemodernan melalui sistem pendidikan dan membaca buku.

Buku
Nursam dalam Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo (2008) menjelaskan bahwa Sartono Kartodirdjo saat menempuh studi di HIS Solo suka membaca cerita-cerita anak bertemakan kenakalan anak-anak Belanda. Nafsu buku semakin mengental saat menempuh studi di MULO. Sartono Kartodirdjo tekun membaca buku-buku sastra Belanda. Ia membaca novel Opstendegen, Max Hevelaar, Koeli, dan lain-lain. Tradisi membaca buku sastra itu tidak mengantarkan Sartono Kartodirdjo sebagai sastrawan.
Episode menentukan untuk menempuhi jalan sebagai sejarawan terjadi saat Sartono Kartodirdjo membeli buku Vederlandse Geschiendenis (Sejarah Tanah Air) terbitan K B Wolters seharga 2,5 gulden. Buku mahal ini ikut menentukan gairah belajar Sartono Kartodirdjo. Bukti dari nafsu buku (sejarah) adalah pemerolehan nilai sepuluh dalam ujian mata pelajaran sejarah. Sartono Kartodirdjo mengenangkan itu sebagai benih-benih optimisme untuk menekuni ilmu sejarah.
Niat dan ikhtiar Sartono Kartodirdjo terbukti dengan kompentensi keilmuan sejarah di Indonesia dan dunia. Tradisi membaca buku semakin bertambah kendati mata mengalami sakit. Sartono Kartodirdjo tak menyerah untuk khusyuk membaca dengan kaca mata tebal. Kondisi mata sakit justru termaknai dengan produktif untuk menghasilkan tulisan-tulisan prestisius. Warisan-warisan buku dari mpu sejarah ini antara lain Pemikiran dan Perkembangan Historiografi di Indonesia (1982), Ratu Adil (1984), Pemberontakan Petani Banten (1984), Pembangunan Bangsa: Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional (1994), Indonesian Historiography (2001), dan Sejak Indische sampai Indonesia (2005). Kisah Sartono Kartodirdjo sebagai manusia buku patut jadi inspirasi!

Rumah
Kisah manusia buku juga bisa ditilik dari sosok Ajip Rosidi. Pengarang sastra kondang ini memiliki tradisi membaca dan menulis buku sejak kecil. Ia malah berhasil menerbitkan novel Di Tengah Keluarga pada usia sekitar 18 tahun. Proses menjadi manusia buku dilakoni dengan gairah. Ia mesti naik sepeda sejauh 12 km untuk sampai ke toko buku. Ia juga rajin mendatangai pelbagai perpustakaan untuk melahap buku. Ajip Rosidi (2004) mengakui: “Buku menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehiduan keseharianku.” Kisah masa kecil itu jadi embrio keberhasilan Ajip Rosidi sebagai pengarang tenar di Indonesia. Puluhan buku dalam tema bahasa, ssastra, teater, dan budaya telah dipersembahkan kepada publik pembaca.
Nasib koleksi buku Ajip Rosidi juga merepotkan mirip dengan kisah Sartono Kartodirdjo. Puluhan ribu buku memerlukan tempat dan perawatan agar tidak sekarat. Ajip Rosidi kerap memindahkan tempat menampung koleksi buku di Jatiwangi, Jakarta, dan Magelang. Rumah buku diperlukan agar kehidupan literasi bisa dirayakan. Magelang (Jawa Tengah) dipilih sebagai rumah untuk menghidupi buku. Ajip Rosidi mengakui bahwa semua buku itu tidak mungkin bisa selesai disantap. Ia pun menginginkan buku-buku itu bisa diakses oleh para pembaca umum agar bisa memiliki hikmah.
Koleksi buku Sartono Kartodirdjo dan Ajip Rosidi menemukan rumah dan pembaca. Nasib itu berbeda dengan koleksi para manusia buku di Indonesia. H B Jassin pernah mengalami derita saat mengurusi koleksi ribuan buku sastra. Nasib baik menghampiri saat Ali Sadikin memberikan lahan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Nasip apes mungkin dialami oleh koleksi buku Mohammad Hatta. Ribuan buku rentan mengalami kesekaratan karena tidak memiliki rumah buku kondusif dan diurusi dengan penghormatan. Perpustakaan Hatta di Yogyakarta tampak suram dan lesu. Barangkali buku-buku terkapar dan merindui pembaca. Kesadaran publik mesti lekas disemaikan untuk mewarisi spirit keintelektualan para manusia buku dengan produktif. Begitu. 

Kompas Jateng (30  September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar