Bandung Mawardi
Peringatan 1000 hari kematian Sartono Kartodirdjo pada 1
September 2010 ditandai dengan penitipan 4000-an buku ke Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Koleksi buku itulah sumber pergumulan intelektual dari sosok
Sartono Kartodirdjo. Koleksi buku sebagai warisan memang menimbulkan urusan
pelik. Segala cara bisa dilakukan untuk mengurusi koleksi agar untuk bisa
dimanfaatkan oleh publik. Keputusan menitipkan ke Universitas Sanata Dharma
adalah pilihan rasional ketimbang buku dibiarkan rusak dan terkapar di rumah.
Buku identik dengan manusia-manusia pembelajar. Sartono
Kartodirdjo adalah contoh dari pembelajar tekun dan penulis produktif. Laku
membaca dan menulis pun mirip ibadah dalam menjalankan pelbagai misi hidup.
Lakon sebagai manusia pembelajar atau manusia buku ditempuhi sejak kecil saat
di Wonogiri. Gairah membaca buku menguat semenjak Sartono Kartodirdjo
melanjutkan sekolah ke Solo. Ia mulai meresapi kultur Barat dan kemodernan
melalui sistem pendidikan dan membaca buku.
Buku
Nursam dalam Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi
Sartono Kartodirdjo (2008) menjelaskan bahwa Sartono Kartodirdjo saat
menempuh studi di HIS Solo suka membaca cerita-cerita anak bertemakan kenakalan
anak-anak Belanda. Nafsu buku semakin mengental saat menempuh studi di MULO.
Sartono Kartodirdjo tekun membaca buku-buku sastra Belanda. Ia membaca novel Opstendegen,
Max Hevelaar, Koeli, dan lain-lain. Tradisi membaca buku sastra
itu tidak mengantarkan Sartono Kartodirdjo sebagai sastrawan.
Episode menentukan untuk menempuhi jalan sebagai
sejarawan terjadi saat Sartono Kartodirdjo membeli buku Vederlandse
Geschiendenis (Sejarah Tanah Air) terbitan K B Wolters seharga 2,5
gulden. Buku mahal ini ikut menentukan gairah belajar Sartono Kartodirdjo.
Bukti dari nafsu buku (sejarah) adalah pemerolehan nilai sepuluh dalam ujian
mata pelajaran sejarah. Sartono Kartodirdjo mengenangkan itu sebagai
benih-benih optimisme untuk menekuni ilmu sejarah.
Niat dan ikhtiar Sartono Kartodirdjo terbukti dengan
kompentensi keilmuan sejarah di Indonesia dan dunia. Tradisi membaca buku
semakin bertambah kendati mata mengalami sakit. Sartono Kartodirdjo tak
menyerah untuk khusyuk membaca dengan kaca mata tebal. Kondisi mata sakit
justru termaknai dengan produktif untuk menghasilkan tulisan-tulisan
prestisius. Warisan-warisan buku dari mpu sejarah ini antara lain Pemikiran dan
Perkembangan Historiografi di Indonesia (1982), Ratu Adil (1984),
Pemberontakan Petani Banten (1984), Pembangunan Bangsa: Nasionalisme,
Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional (1994), Indonesian Historiography
(2001), dan Sejak Indische sampai Indonesia (2005). Kisah Sartono
Kartodirdjo sebagai manusia buku patut jadi inspirasi!
Rumah
Kisah manusia buku juga bisa ditilik dari sosok Ajip
Rosidi. Pengarang sastra kondang ini memiliki tradisi membaca dan menulis buku
sejak kecil. Ia malah berhasil menerbitkan novel Di Tengah Keluarga pada
usia sekitar 18 tahun. Proses menjadi manusia buku dilakoni dengan gairah. Ia
mesti naik sepeda sejauh 12 km untuk sampai ke toko buku. Ia juga rajin
mendatangai pelbagai perpustakaan untuk melahap buku. Ajip Rosidi (2004)
mengakui: “Buku menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehiduan keseharianku.”
Kisah masa kecil itu jadi embrio keberhasilan Ajip Rosidi sebagai pengarang
tenar di Indonesia. Puluhan buku dalam tema bahasa, ssastra, teater, dan budaya
telah dipersembahkan kepada publik pembaca.
Nasib koleksi buku Ajip Rosidi juga merepotkan mirip
dengan kisah Sartono Kartodirdjo. Puluhan ribu buku memerlukan tempat dan perawatan
agar tidak sekarat. Ajip Rosidi kerap memindahkan tempat menampung koleksi buku
di Jatiwangi, Jakarta, dan Magelang. Rumah buku diperlukan agar kehidupan
literasi bisa dirayakan. Magelang (Jawa Tengah) dipilih sebagai rumah untuk
menghidupi buku. Ajip Rosidi mengakui bahwa semua buku itu tidak mungkin bisa
selesai disantap. Ia pun menginginkan buku-buku itu bisa diakses oleh para
pembaca umum agar bisa memiliki hikmah.
Koleksi buku Sartono Kartodirdjo dan Ajip Rosidi
menemukan rumah dan pembaca. Nasib itu berbeda dengan koleksi para manusia buku
di Indonesia. H B Jassin pernah mengalami derita saat mengurusi koleksi ribuan
buku sastra. Nasib baik menghampiri saat Ali Sadikin memberikan lahan di Taman
Ismail Marzuki Jakarta. Nasip apes mungkin dialami oleh koleksi buku Mohammad
Hatta. Ribuan buku rentan mengalami kesekaratan karena tidak memiliki rumah
buku kondusif dan diurusi dengan penghormatan. Perpustakaan Hatta di Yogyakarta
tampak suram dan lesu. Barangkali buku-buku terkapar dan merindui pembaca.
Kesadaran publik mesti lekas disemaikan untuk mewarisi spirit keintelektualan
para manusia buku dengan produktif. Begitu.
Kompas Jateng (30 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar