Bandung Mawardi
Masyarakat Jawa mengenal tradisi bakda kupat. Tradisi ini
dirayakan seminggu sesudah Idul Fitri. Artinya, masyarakat Jawa mempertemukan
ajaran Islam dan membumikannya dalam praktik sosial-kultural. Kupat,
bagi masyarakat umum, cenderung dikenali dengan istilah ketupat. Perbedaan
sebutan ini, dalam pengertian kearifan lokal Jawa, memang menunjukkan watak
kultural. Masyarakat Jawa memilih menyebut kupat, karena dengan istilah
itu mereka dapat bermain arti dan merayakan simbolisme, yang kental memadukan
unsur Islam dan Jawa.
Kupat menjadi simbol yang mewakili
manifestasi silahturahmi sosial-kultural bagi orang Jawa. Kupat berarti ngaku
lepat, mengakui kesalahan pada keluarga, tetangga, dan orang lain.
Pengertian ini mungkin sekadar olah bahasa dan penyesuaian dengan konteks
peristiwa. Kita pun mengerti, merayakan bakda kupat merupakan momentum
penting bagi masyarakat Jawa untuk mensucikan dan membersihkan diri dalam
kebersamaan. Filosofi keluarga dan sedulur adalah landasan dari semangat
keberagamaan dan kebudayaan. Kupat dalam kepentingan ini menjalankan peran
sebagai medium dan acuan nilai simbolik.
Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kembali ke fitrah dimaknai
oleh masyarakat Jawa untuk mengembalikan kesadaran kultural, mempertemukan diri
dengan keluarga, menguatkan ikatan sosial, dan mengekspresikan kesejarahan dan
pembayangan masa depan yang cerah. Segala koreksi diri, pengakuan kesalahan,
permohonan maaf, pengharapan, dan rekonsiliasi sosial tecermin dalam tradisi bakda
kupat. Masing-masing keluarga membuat kupat dengan ikhlas dan niat untuk
mengikatkan kembali kebersamaan. Kebiasaan saling mengirimkan kupat ke
saudara, tetangga, teman, dan tokoh-tokoh masyarakat adalah bentuk kepekaan
batiniah dan lahiriah. Menu kupat tidak diperhitungkan berdasarkan
suguhan bentuk tapi nilai.
Peristiwa itu membuktikan mereka tidak membatasi diri dalam perbedaan
kelas sosial, selera, pandangan politik, atau keberimanan. Suasana rukun,
hormat, toleransi, harmoni terasakan saat menyantap kupat bersama.
Ekspresi guyub juga tampak dari kenduri yang masing-masing keluarga
membawa kupat dalam suatu wadah. Doa bersama dilakukan, pemaknaan kultural atas
kupat dilakukan, dan silahturahmi dieratkan dalam posisi duduk melingkar atau
percakapan hangat. Guyub itu memuncak dengan saling tukar kupat. Cara
ini bagi masyarakat Jawa membuktikan bahwa semua adalah saudara atau sedulur.
Memberi dan menerima adalah cara hidup bersama yang saling mengasihi dan
memperhatikan dalam bentuk fisik dan rohani. Silahturahmi sosial-kultural yang
merupakan tafsir lokal dari ajaran Islam terselenggarakan dalam keikhlasan dan
kehangatan.
Bagi sebagian orang, kupat juga menjadi simbol dari
pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik. Ada doa dalam proses pembuatan,
pembagian, dan menyantap kupat. Doa yang terbatinkan, terkatakan, dan
terjelmakan dalam bingkai kultural Jawa. Beberapa kupat biasa dipasang
di atas pintu, jendela, senthong, sudut rumah atau tempat-tempat
tertentu untuk simbolisasi dari kemakmuran, keselamatan, dan kebahagiaan
keluarga di rumah. Ekspresi ini kadang berbau mistis karena digunakan untuk
mengikatkan kembali diri dengan para leluhur dan penghormatan terhadap para arwah.
Orang yang sudah meninggal masih diakui dan dipercayai ikut merasakan perayaan
bakda kupat. Jadi, bakda kupat dalam mozaik kultural Jawa
menandakan ada keterbukaan kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis. Ikatan erat
dalam kebersamaan dimakanai untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tradisi saling
memaafkan antara sesama juga dimaknai untuk membersihkan dosa dan mensucikan
diri demi pengharapan kelak hidup dalam perlindungan kebaikan dan kasih dari
Tuhan.
Tradisi bakda kupat memang perlahan agak menyusut karena
kondisi perubahan zaman. Proses pembuatan kadang menjadi alasan klise. Janur
atau daun kelapa muda memang susah dicari, proses membuat dan memasak kupat
juga membutuhkan waktu lama. Bagi beberapa kalangan ada siasat dengan membeli kupat
yang sudah matang, atau menggantikan daun janur dengan daun pisang sebagai
pembukus. Pilihan menu juga mengalami perubahan. Dulu orang Jawa marem
kalau makan kupat dengan jangan krecek tapi sekarang ada opor dan
bumbu-bumbu lain. Selera mutakhir pun perlahan jadi patokan dengan konsekuensi
pemaknaan ulang atas simbolisasi kupat. Bakda kupat yang semula
diekspresikan untuk silahturahmi sosial-kultural Jawa kadang tergantikan
sekadar sebagai acara makan dan pamer kelezatan. Motif persaingan ini
berpotensi menunjukkan perbedaan kelas sosial dan memudarkan kebersamaan.
Tradisi bakda kupat yang mulai terkurangi maknanya mungkin
saja bisa diartikan sebagai kodrat zaman. Pewarisan nilai-nilai simbolik memang
tidak mudah bagai generasi belakangan. Pemahaman ekspresi sosial-kultural
kadang juga susah diajarkan karena generasi mutakhir mengenal alat-alat
teknologi komunikasi modern untuk melakukan interaksi sosial kendati tidak
memerlukan bertatapan muka. Bakda kupat bagi orang sekarang mungkin
dipandang sebagai kekunoan yang dialihkan bentuk untuk sekadar menjadi pesta
dan memenuhi selera kuliner. Jagat simbolik Jawa-Islam hampir-hampir
ditinggalkan atau digantikan dengan simbol-simbol baru yang praktis dan
pragmatis.
Bakda kupat sebagai jejak
sejarah pertemuan intim antara ajaran Islam dan kutural Jawa adalah kelihaian
kita dalam membumikan ajaran-ajaran agama dalam kelokalan. Ikhtiar yang
dilakukan sejak lama itu tentu memberi hikmah tentang inklusivitas dan
kelenturan kita untuk bermain simbol, memadukan kepentingan, dan memanfaatkan
dalam kepentingan sosial-kultural. Untaian hikmah yang dicerminkan dalam kupat
membuktikan kita memiliki strategi dalam memaknai hidup meski diliputi
perbedaan. Kebersamaan dalam harmoni adalah pengharapan dari mekanisme
sosial-kultural itu. Kita pun merayakan bakda kupat sebagai ekspresi
keberimanan dan adab dalam bingkai kejawaan. Begitu.
Media Indonesia (18 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar