Laman

Senin, 18 Oktober 2010

Kupat dan Silahturahmi Sosial-Kultural

Bandung Mawardi
                                            
Masyarakat Jawa mengenal tradisi bakda kupat. Tradisi ini dirayakan seminggu sesudah Idul Fitri. Artinya, masyarakat Jawa mempertemukan ajaran Islam dan membumikannya dalam praktik sosial-kultural. Kupat, bagi masyarakat umum, cenderung dikenali dengan istilah ketupat. Perbedaan sebutan ini, dalam pengertian kearifan lokal Jawa, memang menunjukkan watak kultural. Masyarakat Jawa memilih menyebut kupat, karena dengan istilah itu mereka dapat bermain arti dan merayakan simbolisme, yang kental memadukan unsur Islam dan Jawa.
Kupat menjadi simbol yang mewakili manifestasi silahturahmi sosial-kultural bagi orang Jawa. Kupat berarti ngaku lepat, mengakui kesalahan pada keluarga, tetangga, dan orang lain. Pengertian ini mungkin sekadar olah bahasa dan penyesuaian dengan konteks peristiwa. Kita pun mengerti, merayakan bakda kupat merupakan momentum penting bagi masyarakat Jawa untuk mensucikan dan membersihkan diri dalam kebersamaan. Filosofi keluarga dan sedulur adalah landasan dari semangat keberagamaan dan kebudayaan. Kupat dalam kepentingan ini menjalankan peran sebagai medium dan acuan nilai simbolik.
Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kembali ke fitrah dimaknai oleh masyarakat Jawa untuk mengembalikan kesadaran kultural, mempertemukan diri dengan keluarga, menguatkan ikatan sosial, dan mengekspresikan kesejarahan dan pembayangan masa depan yang cerah. Segala koreksi diri, pengakuan kesalahan, permohonan maaf, pengharapan, dan rekonsiliasi sosial tecermin dalam tradisi bakda kupat. Masing-masing keluarga membuat kupat dengan ikhlas dan niat untuk mengikatkan kembali kebersamaan. Kebiasaan saling mengirimkan kupat ke saudara, tetangga, teman, dan tokoh-tokoh masyarakat adalah bentuk kepekaan batiniah dan lahiriah. Menu kupat tidak diperhitungkan berdasarkan suguhan bentuk tapi nilai.
Peristiwa itu membuktikan mereka tidak membatasi diri dalam perbedaan kelas sosial, selera, pandangan politik, atau keberimanan. Suasana rukun, hormat, toleransi, harmoni terasakan saat menyantap kupat bersama. Ekspresi guyub juga tampak dari kenduri yang masing-masing keluarga membawa kupat dalam suatu wadah. Doa bersama dilakukan, pemaknaan kultural atas kupat dilakukan, dan silahturahmi dieratkan dalam posisi duduk melingkar atau percakapan hangat. Guyub itu memuncak dengan saling tukar kupat. Cara ini bagi masyarakat Jawa membuktikan bahwa semua adalah saudara atau sedulur. Memberi dan menerima adalah cara hidup bersama yang saling mengasihi dan memperhatikan dalam bentuk fisik dan rohani. Silahturahmi sosial-kultural yang merupakan tafsir lokal dari ajaran Islam terselenggarakan dalam keikhlasan dan kehangatan.
Bagi sebagian orang, kupat juga menjadi simbol dari pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik. Ada doa dalam proses pembuatan, pembagian, dan menyantap kupat. Doa yang terbatinkan, terkatakan, dan terjelmakan dalam bingkai kultural Jawa. Beberapa kupat biasa dipasang di atas pintu, jendela, senthong, sudut rumah atau tempat-tempat tertentu untuk simbolisasi dari kemakmuran, keselamatan, dan kebahagiaan keluarga di rumah. Ekspresi ini kadang berbau mistis karena digunakan untuk mengikatkan kembali diri dengan para leluhur dan penghormatan terhadap para arwah. Orang yang sudah meninggal masih diakui dan dipercayai ikut merasakan perayaan bakda kupat. Jadi, bakda kupat dalam mozaik kultural Jawa menandakan ada keterbukaan kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis. Ikatan erat dalam kebersamaan dimakanai untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tradisi saling memaafkan antara sesama juga dimaknai untuk membersihkan dosa dan mensucikan diri demi pengharapan kelak hidup dalam perlindungan kebaikan dan kasih dari Tuhan.
Tradisi bakda kupat memang perlahan agak menyusut karena kondisi perubahan zaman. Proses pembuatan kadang menjadi alasan klise. Janur atau daun kelapa muda memang susah dicari, proses membuat dan memasak kupat juga membutuhkan waktu lama. Bagi beberapa kalangan ada siasat dengan membeli kupat yang sudah matang, atau menggantikan daun janur dengan daun pisang sebagai pembukus. Pilihan menu juga mengalami perubahan. Dulu orang Jawa marem kalau makan kupat dengan jangan krecek tapi sekarang ada opor dan bumbu-bumbu lain. Selera mutakhir pun perlahan jadi patokan dengan konsekuensi pemaknaan ulang atas simbolisasi kupat. Bakda kupat yang semula diekspresikan untuk silahturahmi sosial-kultural Jawa kadang tergantikan sekadar sebagai acara makan dan pamer kelezatan. Motif persaingan ini berpotensi menunjukkan perbedaan kelas sosial dan memudarkan kebersamaan.
Tradisi bakda kupat yang mulai terkurangi maknanya mungkin saja bisa diartikan sebagai kodrat zaman. Pewarisan nilai-nilai simbolik memang tidak mudah bagai generasi belakangan. Pemahaman ekspresi sosial-kultural kadang juga susah diajarkan karena generasi mutakhir mengenal alat-alat teknologi komunikasi modern untuk melakukan interaksi sosial kendati tidak memerlukan bertatapan muka. Bakda kupat bagi orang sekarang mungkin dipandang sebagai kekunoan yang dialihkan bentuk untuk sekadar menjadi pesta dan memenuhi selera kuliner. Jagat simbolik Jawa-Islam hampir-hampir ditinggalkan atau digantikan dengan simbol-simbol baru yang praktis dan pragmatis.
Bakda kupat sebagai jejak sejarah pertemuan intim antara ajaran Islam dan kutural Jawa adalah kelihaian kita dalam membumikan ajaran-ajaran agama dalam kelokalan. Ikhtiar yang dilakukan sejak lama itu tentu memberi hikmah tentang inklusivitas dan kelenturan kita untuk bermain simbol, memadukan kepentingan, dan memanfaatkan dalam kepentingan sosial-kultural. Untaian hikmah yang dicerminkan dalam kupat membuktikan kita memiliki strategi dalam memaknai hidup meski diliputi perbedaan. Kebersamaan dalam harmoni adalah pengharapan dari mekanisme sosial-kultural itu. Kita pun merayakan bakda kupat sebagai ekspresi keberimanan dan adab dalam bingkai kejawaan. Begitu.      

Media Indonesia (18 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar