Bandung Mawardi
Lakon sastra Indonesia mutakhir tampak kentara dengan
penghadiran dan pemberian peran terhadap kata pengantar. Penerbitan buku-buku
sastra hampir semua memiliki godaan untuk memberi ruang pada kata pengantar
dengan pelbagai pamrih dan klaim pembenaran. Penempatan kata pengantar
akhir-akhir ini cenderung jadi perayaan untuk mencapai legitimasi dari
mekanisme dunia penerbitan dan pengesahan pencapaian estetika.
Kecurigaan-kecurigaan terhadap kata pengantar tentu lumrah jika ada pengharapan
bahwa sastra memiliki otoritas untuk mengucapkan diri tanpa ada ketergantungan
terhadap aksesoris-aksesoris estetis, politis, dan ekonomis.
Ignas Kleden dan Afrizal Malna menjadi sosok penting dari
jenis penulis kata pengantar. Sekian esai hadir di pelbagai buku sastra
pengarang-pengarang kondang di Indonesia. Peletakkan esai Ignas Kleden dan
Afrizal Malna tentu melalui pertimbangan-pertimbangan untuk memiliki nilai dan
memberi nilai untuk materi puisi, cerpen, atau novel dalam sebuah buku. Kata
pengantar kadang dinamai dengan labelitas angker dan memukau untuk meminta
perhatian. Kata pengantar hampir jadi perayu atau pintu masuk tapi sesak dengan
vonis-vonis atau pemihakan. Kecurigaan ini bisa terbantahkan dengan kasus-kasus
tandingan ketika tak ada suatu keharusan untuk menghidangkan kata pengantar dan
mungkin epilog dalam publikasi buku sastra.
Buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya lawas mayoritas
tak diintervensi oleh kehadiran kata pengantar. Buku-buku hadir utuh tanpa
keramaian tukang kritik atau tukang pemberi pengesahan terhadap kandungan nilai
sastra. Buku-buku dari Putu Wijaya, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Toha Mochtar,
Ramadhan KH, Ahmad Tohari, atau Kuntowijoyo sanggup mengucapkan diri tanpa
dibebani atau disokong oleh kata pengantar sebagai juru bicara atau perantara.
Kata pengantar tak mendapati peran tapi penerbit memilih memunculkan
komentar-komentar pendek seperti iklan di halaman sampul belakang.
Kehadiran komentar ini mungkin adalah taktik untuk merayu
pembaca atau pola pengesahan dini sebelum pembaca melakukan pergaulan intim
dengan teks dan mengeluarkan vonis. Buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa,
Dari Suatu Tempat (1972) karangan Asrul Sani mencatumkan rayuan
estetika: “Cerita-cerita pendeknya mencerminkan betapa halus perasaannya kepada
manusia: melukiskan kehidupan dan sifat-sifat manusia yang hanya menyebabkan
kemalangan dan penderitaan sendiri.” Fungsi dari komentar ini kentara jadi
klaim atas kualitas sastra menurut pihak pengarang, penerbit, atau tukang
kritik.
Penilaian terhadap buku-buku sastra lawas pada tahun
1970-an sampai 1990-an cenderung hadir sebagai resensi buku, pertimbangan buku,
atau pembicaraan buku, atau tinjauan buku di majalah dan koran. Buku-buku
terbitan Pustaka Jaya mendapat ruang besar dalam majalah Horison dengan intensitas
pembacaan dan tawaran untuk jadi polemik. Model ini memungkinkan perbincangan
tentang buku sastra memiliki jarak antara buku dan majalah atau koran. Model
lawas ini masih berlaku tapi mesti mendapati tandingan dalam bentuk penerbitan
kata pengantar dan mungkin epilog dalam satu paket penerbitan buku sastra.
Paket ini kadang menjadi cara memberi nilai terlalu dini
karena dihadirkan dalam urutan letak atau
halaman. Susunan ini mungkin memunculkan sugesti pada pembaca untuk
terpengaruhi dulu oleh vonis-vonis dari penulis kata pengantar. Taktik bonus
kadang ditunjukkan dengan pencantuman penulis kata pengantar di halaman sampul
depan. Hari ini pembeli dan pembaca buku sastra bakal menemui kelumrahan
menghadapi buku sastra pada sampul depan tercantum nama pengarang, judul,
ilustrasi, penerbit, komentar pendek, dan nama penulis kata pengantar.
Barangkali ini taktik dagang tapi ikut menyeret kaidah-kaidah estetika sastra
dan hak pembaca untuk mengakrabi buku sastra tanpa intervensi halus atau
lembut.
Kata pengantar telah mendapatkan porsi besar dan jadi
godaan ampuh. Tanggapan terhadap kata pengantar justru tertinggal dengan taktik
penerbitan buku kumpulan esai dengan materi-materi dari esai kata pengantar.
Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya
(2004) garapan Ignas Kleden menghimpun 21 esai panjang dari pelbagai sumber
tulisan. Sekian esai berasal dari kata pengantar untuk buku-buku sastra. Esai
kata pengantar dari Ignas Kleden merupakan representasi bahwa ada indikasi ada
jenis penulis mazhab kata pengantar sebagai mekanisme mengungkapkan kritik,
penilaian, dan mengesahkan pencapaian estetika pengarang. Ignas Kleden laris
dan mungkin patut mendapat julukan “nabi kata pengantar” dalam sastra
Indonesia.
Afrizal Malna juga memiliki kebiasaan menulis kata
pengantar untuk buku sendiri dan buku-buku sastra orang lain. Sebutan kata
pengantar ini kadang tergantikan dengan istilah lain tapi masih mengandung
kemiripan dengan misi kata pengantar. Kehadiran kata pengantar dari Afrizal
Malna seperti penjelasan untuk diri sendiri ketika untuk buku sendiri dan
menjadi pembuka tafsir ganjil ketika hadir di buku orang lain. Afrizal Malna
dalam buku Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (2003)
mencantumkan pernyataan untuk memberi klaim: “Sungguh, menulis cerita adalah
sesuatu yang sangat menyiksa saya.” Kalimat ini hadir di buku sendiri dengan
maksud pengakuan-informatif dan
provokasi pada pembaca ketika ingin menggauli cerpen dan naskah Afrizal Malna.
Afrizal Malna dalam sejenis kata pengantar untuk novel Tuan
dan Nona Kosong (2005) garapan Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin
menghadirkan petunjuk untuk pembaca mengenai tiga kunci membaca novel: pintu
rahasia, penjara waktu dalam peristiwa, dan sikap terhadap struktur. Penjelasan
ini mungkin bisa berterima ketika hadir dalam labelitas novel post-novel.
Kehadiran esai Afrizal ikut mengintervensi pembaca novel di halaman-halaman
awal. Kefasihan dan kelihaian Afrizal Malna untuk memerkarakan estetika orang
lain dalam kata pengantar memang memukau. Afrzial Malna seperti hakim sastra
tapi lucu dan genit. Kata pengantar menjadi seperti kebutuhan tapi kerap
“meremehkan” peran pembaca karena jadi mode massif dalam sapaan dan rayuan.
Hari ini pembaca susah menghindari kata pengantar. Begitu.
Kedaulatan Rakyat (26 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar