Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Sastra Kata Pengantar

Bandung Mawardi

Lakon sastra Indonesia mutakhir tampak kentara dengan penghadiran dan pemberian peran terhadap kata pengantar. Penerbitan buku-buku sastra hampir semua memiliki godaan untuk memberi ruang pada kata pengantar dengan pelbagai pamrih dan klaim pembenaran. Penempatan kata pengantar akhir-akhir ini cenderung jadi perayaan untuk mencapai legitimasi dari mekanisme dunia penerbitan dan pengesahan pencapaian estetika. Kecurigaan-kecurigaan terhadap kata pengantar tentu lumrah jika ada pengharapan bahwa sastra memiliki otoritas untuk mengucapkan diri tanpa ada ketergantungan terhadap aksesoris-aksesoris estetis, politis, dan ekonomis.
Ignas Kleden dan Afrizal Malna menjadi sosok penting dari jenis penulis kata pengantar. Sekian esai hadir di pelbagai buku sastra pengarang-pengarang kondang di Indonesia. Peletakkan esai Ignas Kleden dan Afrizal Malna tentu melalui pertimbangan-pertimbangan untuk memiliki nilai dan memberi nilai untuk materi puisi, cerpen, atau novel dalam sebuah buku. Kata pengantar kadang dinamai dengan labelitas angker dan memukau untuk meminta perhatian. Kata pengantar hampir jadi perayu atau pintu masuk tapi sesak dengan vonis-vonis atau pemihakan. Kecurigaan ini bisa terbantahkan dengan kasus-kasus tandingan ketika tak ada suatu keharusan untuk menghidangkan kata pengantar dan mungkin epilog dalam publikasi buku sastra.
Buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya lawas mayoritas tak diintervensi oleh kehadiran kata pengantar. Buku-buku hadir utuh tanpa keramaian tukang kritik atau tukang pemberi pengesahan terhadap kandungan nilai sastra. Buku-buku dari Putu Wijaya, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Toha Mochtar, Ramadhan KH, Ahmad Tohari, atau Kuntowijoyo sanggup mengucapkan diri tanpa dibebani atau disokong oleh kata pengantar sebagai juru bicara atau perantara. Kata pengantar tak mendapati peran tapi penerbit memilih memunculkan komentar-komentar pendek seperti iklan di halaman sampul belakang.
Kehadiran komentar ini mungkin adalah taktik untuk merayu pembaca atau pola pengesahan dini sebelum pembaca melakukan pergaulan intim dengan teks dan mengeluarkan vonis. Buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1972) karangan Asrul Sani mencatumkan rayuan estetika: “Cerita-cerita pendeknya mencerminkan betapa halus perasaannya kepada manusia: melukiskan kehidupan dan sifat-sifat manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri.” Fungsi dari komentar ini kentara jadi klaim atas kualitas sastra menurut pihak pengarang, penerbit, atau tukang kritik.
Penilaian terhadap buku-buku sastra lawas pada tahun 1970-an sampai 1990-an cenderung hadir sebagai resensi buku, pertimbangan buku, atau pembicaraan buku, atau tinjauan buku di majalah dan koran. Buku-buku terbitan Pustaka Jaya mendapat ruang besar dalam majalah Horison dengan intensitas pembacaan dan tawaran untuk jadi polemik. Model ini memungkinkan perbincangan tentang buku sastra memiliki jarak antara buku dan majalah atau koran. Model lawas ini masih berlaku tapi mesti mendapati tandingan dalam bentuk penerbitan kata pengantar dan mungkin epilog dalam satu paket penerbitan buku sastra.
Paket ini kadang menjadi cara memberi nilai terlalu dini karena dihadirkan dalam urutan letak atau  halaman. Susunan ini mungkin memunculkan sugesti pada pembaca untuk terpengaruhi dulu oleh vonis-vonis dari penulis kata pengantar. Taktik bonus kadang ditunjukkan dengan pencantuman penulis kata pengantar di halaman sampul depan. Hari ini pembeli dan pembaca buku sastra bakal menemui kelumrahan menghadapi buku sastra pada sampul depan tercantum nama pengarang, judul, ilustrasi, penerbit, komentar pendek, dan nama penulis kata pengantar. Barangkali ini taktik dagang tapi ikut menyeret kaidah-kaidah estetika sastra dan hak pembaca untuk mengakrabi buku sastra tanpa intervensi halus atau lembut.
Kata pengantar telah mendapatkan porsi besar dan jadi godaan ampuh. Tanggapan terhadap kata pengantar justru tertinggal dengan taktik penerbitan buku kumpulan esai dengan materi-materi dari esai kata pengantar. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004) garapan Ignas Kleden menghimpun 21 esai panjang dari pelbagai sumber tulisan. Sekian esai berasal dari kata pengantar untuk buku-buku sastra. Esai kata pengantar dari Ignas Kleden merupakan representasi bahwa ada indikasi ada jenis penulis mazhab kata pengantar sebagai mekanisme mengungkapkan kritik, penilaian, dan mengesahkan pencapaian estetika pengarang. Ignas Kleden laris dan mungkin patut mendapat julukan “nabi kata pengantar” dalam sastra Indonesia.
Afrizal Malna juga memiliki kebiasaan menulis kata pengantar untuk buku sendiri dan buku-buku sastra orang lain. Sebutan kata pengantar ini kadang tergantikan dengan istilah lain tapi masih mengandung kemiripan dengan misi kata pengantar. Kehadiran kata pengantar dari Afrizal Malna seperti penjelasan untuk diri sendiri ketika untuk buku sendiri dan menjadi pembuka tafsir ganjil ketika hadir di buku orang lain. Afrizal Malna dalam buku Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (2003) mencantumkan pernyataan untuk memberi klaim: “Sungguh, menulis cerita adalah sesuatu yang sangat menyiksa saya.” Kalimat ini hadir di buku sendiri dengan maksud pengakuan-informatif  dan provokasi pada pembaca ketika ingin menggauli cerpen dan naskah Afrizal Malna.
Afrizal Malna dalam sejenis kata pengantar untuk novel Tuan dan Nona Kosong (2005) garapan Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin menghadirkan petunjuk untuk pembaca mengenai tiga kunci membaca novel: pintu rahasia, penjara waktu dalam peristiwa, dan sikap terhadap struktur. Penjelasan ini mungkin bisa berterima ketika hadir dalam labelitas novel post-novel. Kehadiran esai Afrizal ikut mengintervensi pembaca novel di halaman-halaman awal. Kefasihan dan kelihaian Afrizal Malna untuk memerkarakan estetika orang lain dalam kata pengantar memang memukau. Afrzial Malna seperti hakim sastra tapi lucu dan genit. Kata pengantar menjadi seperti kebutuhan tapi kerap “meremehkan” peran pembaca karena jadi mode massif dalam sapaan dan rayuan. Hari ini pembaca susah menghindari kata pengantar. Begitu.   

Kedaulatan Rakyat (26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar