Bandung Mawardi
Judul : Penghancuran Gerakan
Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI
Penulis : Saskia Eleonora
Wieringa
Penerjemah : Harsutejo
Penerbit : Galang Press,
Yogyakarta
Cetak : 2010
Tebal : 542 halaman
Sejarah Indonesia adalah sejarah pelik. Kontroversi dalam
penulisan sejarah kerap membuat publik bingung untuk mendapati kebenaran karena
perbedaan versi. Sejarah menjadi lahan untuk manipulasi dan peraihan
legitimasi. Penguasa memiliki andil karena memerlukan sejarah sebagai topangan
kekuasaan. Publik pun mafhum sejarah negeri identik dengan sejarah versi
penguasa. Sejarah mirip paket indoktrinasi atas nama pengawetan kekuasaan dan
penaklukan agar tak ada resistensi atau subversi.
Ironi dalam penulisan sejarah di Indonesia itu mendapati
bantahan dari Saskia Eleonora Wieringa melalui buku Penghancuran Gerakan
Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Buku ini
kentara sebagai agenda penulisan sejarah kritis untuk memberi perspektif
berseberangan dengan ulah rezim Orde Baru dalam pembabaran sejarah Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Wieringa membuat
argumentasi dari fakta-fakta “tersembunyikan”oleh Orde Baru dan pola tafsiran
multidimensional. Buku ini hadir sebagai revisi dari represi kesejarahan oleh
Orde Baru.
Publik telah lama dijejali dengan stigma bahwa
perempuan-perempuan dalam Gerwani memiliki perilaku seksual rendah dan jahat.
Gambaran perilaku seksual ini tampil vulgar dalam film G 30 S PKI produksi
penguasa Orde Baru. Narasi dan imajinasi juga diimbuhi melalui buku-buku
pelajaran sejarah. Produksi dan sebaran opini publik semakin membuat Gerwani
identik dengan kekerasan, seksualitas, anarkis, dan kejam. Stigma ini terbentuk
atas kepentingan penguasa Orde Baru untuk memberi represi ingatan-publik agar
mengecam dan membenci Gerwani dan PKI. Manipulasi sejarah digulirkan selama
puluhan tahun. Stigma telanjur melekat dan mendekam sebagai memori kesejarahan
hampir permanen.
Wieringa menjelaskan bahwa Orde Baru memang sengaja
mengusung politik seksual untuk menghabisi riwayat Gerwani dan menghapus dari
kronik kesejarahan Indonesia. Penghitaman dilakukan dengan pelekatan terhadap
PKI sebagai pelaku atau dalang pemberontakan dalam tragedi 1965. Paket sejarah
Orde Baru secara sistematis membuat musuh-musuh politik hancur tanpa hak pembelaan. Penindasan sejarah telah dilakukan
melalui restu negara. Politik seksual Gerwani pun dijadikan modal menciptakan
manipulasi demi legitimasi kekuasaan.
Riwayat
Ikhtiar Wieringa untuk membantah paket sejarah versi Orde
Baru dilakukan dengan eksplanasi masalah melalui tiga tingkatan: (1) memaparkan
feminisme Indonesia dengan uraian tentang lebih banyak momen radikal dan penuh
keberanian yang kita kenal daripada yang telah disajikan oleh para penulis
sampai saat ini; (2) menyajikan sejarah yang selama ini dilarang yakni sejarah
Gerwani; (3) mempelajari peristiwa 1965-1966 berdasarkan ulasan gender yang
selama ini digelapkan oleh pihak militer atau diabaikan oleh penulis sejarah
Indonesia modern.
Pamrih penulisan buku ini memang menantang karena
Wieringa sadar bahwa buku-buku tentang Gerwani dan gerakan perempuan komunis
telah dihentikan sejak peristiwa 1965. Publik tidak mendapati lagi jenis-jenis
buku sejarah tentang peran Gerwani dalam pembentukan Indonesia. Akses publik
untuk mempelajari peran Gerwani juga dibatasi dan dilarang oleh penguasa Orde
Baru dan militer. Pembungkaman ini tidak sekadar terjadi pada publik karena
para korban juga masih merasa takut untuk mengisahkan represi oleh peristiwa
1965. Sekian anggota Gerwani sengaja mendapati teror agar tidak mengungkap
sejarah melalui kesaksian lisan dan tulisan.
Wieringa antusias untuk mencari sumber dalam penulisan
sejarah. Kisah-kisah dari perempuan-perempuan Gerwani dan lingkaran PKI
dijadikan sebagai data memikat untuk ditafsirkan secara kritis. Keampuhan buku
ini terletak dari kejelian penulis menghadirkan kesaksian-kesaksian dari
tokoh-tokoh penting. Kesanggupan mencari narasumber dan pencatatan memunculkan
narasi sejarah mengejutkan. Ketersembunyian perlahan disingkap mengacu pada
keterangan-keterangan berseberangan dengan penjelasan Orde Baru.
Pembaca bisa menemukan penjelasan-penjelasan memikat
tentang sejarah dan peranan Gerwani dalam sejarah Indonesia pada bab lima:
“Gerwani: Menuju Kepeloporan Gerakan Perempuan.” Gerwani sejak 1950-an memiliki
andil dalam gerakan keperempuanan-feminisme di Indonesia. Posisi dan garis
ideologi Gerwani terungkapkan dalam laporan kongres 1954: (1) Gerwani sebagai
organisasi pendidikan dan perjuangan tidak menjadi bagian partai politik mana
pun; (2) keanggotaan terbuka bagi segenap perempuan berumur 16 tahun atau lebih
atau telah menikah; (3) keanggotaan ganda dengan organisasi perempuan lain
dipernkenankan. Garis ideologi ini memang tidak permanen karena Gerwani pun
harus sadar zaman dan tanggap terhadap perubahan politik Orde Lama.
Agenda gerakan Gerwani pada masa itu memakai media massa
sebagai corong. Pelbagai pemikiran dan kampanye disajikan melalui “Ruang
Wanita” di Harian Rakyat dan Api Kartini. Tulisan menjadi juru
bicara untuk penyadaran dan pencerahan kaum perempuan Indonesia kendati semua
tulisan tidak mesti identik dengan garis ideologi Gerwani. Pelbagai isu
mendapati tanggapan dari Gerwani sebagai bukti keterlibatan untuk pemihakan
nasib perempuan dan pemartabatan perempuan di mata politik, ekonomi, hukum,
seni, dan pendidikan.
Politik
Pasang surut peran Gerwani dan keintiman dengan PKI dan
Soekrano membuka jalan untuk peka politik. Marxisme dan nasionalisme menjadi
godaan dalam afirmasi ideologis. Gerwani pun terlibat dalam sekian peristiwa
politik menentukan karena kesanggupan menggarap isu-isu besar. Jalan terbuka
untuk membesarkan diri dan represi politis dialami Gerwani sebagai konsekuensi
dari kegenitan politik. Relasi Gerwani dengan organisasi keperempuanan
internasional semakin melahirkan kepekaan atas nasib perempuan di Indonesia dan
dunia. Agenda menjadi besar dan kompleks pada saat situasi politik rentan
dengan perubahan-perubahan drastis.
Isu politik seksual mengantarkan Gerwani pada perdebatan
pelik tentang peran dan makna perempuan. Wacana pelacuran, undang-undang
perkawinan, dan poligami digarap dengan intensif meski harus berhadapan dengan
paket politik dan represi opini publik. Politik seksual ala Gerwani ini
mendekati pada sensitivitas kepentingan negara dalam regulasi pelbagai urusan
dalam acuan politik. Gerwani menjelang di persimpangan jalan. Kondisi menekan
ini kentara pada masa 1960-an saat perpolitikkan memanas. Tragedi 1965 pun
menjadi “terompet kematian” untuk lakon Gerwani dan gerakan keperempuanan di
Indonesia.
Lakon Gerwani secara sistematis ditamatkan oleh Orde Baru dengan penciptaan
stigma dan manipulasi sejarah. Politik seksual jadi kunci penghancuran. Buku
ini ada dalam pergulatan makna sejarah dengan bantahan-bantahan keras dan
kritis. Wieringa menghadirkan buku ini sebagai suguhan memikat untuk membuat
pembaca mau menilik sejarah dengan gairah tanpa harus jinak oleh represi
sejarah produksi Orde Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar