Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Riwayat Gerwani Tamat


Bandung Mawardi

Judul            : Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI
Penulis         : Saskia Eleonora Wieringa
Penerjemah  : Harsutejo
Penerbit       : Galang Press, Yogyakarta
Cetak           : 2010
Tebal           : 542 halaman

Sejarah Indonesia adalah sejarah pelik. Kontroversi dalam penulisan sejarah kerap membuat publik bingung untuk mendapati kebenaran karena perbedaan versi. Sejarah menjadi lahan untuk manipulasi dan peraihan legitimasi. Penguasa memiliki andil karena memerlukan sejarah sebagai topangan kekuasaan. Publik pun mafhum sejarah negeri identik dengan sejarah versi penguasa. Sejarah mirip paket indoktrinasi atas nama pengawetan kekuasaan dan penaklukan agar tak ada resistensi atau subversi.
Ironi dalam penulisan sejarah di Indonesia itu mendapati bantahan dari Saskia Eleonora Wieringa melalui buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Buku ini kentara sebagai agenda penulisan sejarah kritis untuk memberi perspektif berseberangan dengan ulah rezim Orde Baru dalam pembabaran sejarah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Wieringa membuat argumentasi dari fakta-fakta “tersembunyikan”oleh Orde Baru dan pola tafsiran multidimensional. Buku ini hadir sebagai revisi dari represi kesejarahan oleh Orde Baru.
Publik telah lama dijejali dengan stigma bahwa perempuan-perempuan dalam Gerwani memiliki perilaku seksual rendah dan jahat. Gambaran perilaku seksual ini tampil vulgar dalam film G 30 S PKI produksi penguasa Orde Baru. Narasi dan imajinasi juga diimbuhi melalui buku-buku pelajaran sejarah. Produksi dan sebaran opini publik semakin membuat Gerwani identik dengan kekerasan, seksualitas, anarkis, dan kejam. Stigma ini terbentuk atas kepentingan penguasa Orde Baru untuk memberi represi ingatan-publik agar mengecam dan membenci Gerwani dan PKI. Manipulasi sejarah digulirkan selama puluhan tahun. Stigma telanjur melekat dan mendekam sebagai memori kesejarahan hampir permanen.
Wieringa menjelaskan bahwa Orde Baru memang sengaja mengusung politik seksual untuk menghabisi riwayat Gerwani dan menghapus dari kronik kesejarahan Indonesia. Penghitaman dilakukan dengan pelekatan terhadap PKI sebagai pelaku atau dalang pemberontakan dalam tragedi 1965. Paket sejarah Orde Baru secara sistematis membuat musuh-musuh politik hancur tanpa hak  pembelaan. Penindasan sejarah telah dilakukan melalui restu negara. Politik seksual Gerwani pun dijadikan modal menciptakan manipulasi demi legitimasi kekuasaan.

Riwayat
Ikhtiar Wieringa untuk membantah paket sejarah versi Orde Baru dilakukan dengan eksplanasi masalah melalui tiga tingkatan: (1) memaparkan feminisme Indonesia dengan uraian tentang lebih banyak momen radikal dan penuh keberanian yang kita kenal daripada yang telah disajikan oleh para penulis sampai saat ini; (2) menyajikan sejarah yang selama ini dilarang yakni sejarah Gerwani; (3) mempelajari peristiwa 1965-1966 berdasarkan ulasan gender yang selama ini digelapkan oleh pihak militer atau diabaikan oleh penulis sejarah Indonesia modern.
Pamrih penulisan buku ini memang menantang karena Wieringa sadar bahwa buku-buku tentang Gerwani dan gerakan perempuan komunis telah dihentikan sejak peristiwa 1965. Publik tidak mendapati lagi jenis-jenis buku sejarah tentang peran Gerwani dalam pembentukan Indonesia. Akses publik untuk mempelajari peran Gerwani juga dibatasi dan dilarang oleh penguasa Orde Baru dan militer. Pembungkaman ini tidak sekadar terjadi pada publik karena para korban juga masih merasa takut untuk mengisahkan represi oleh peristiwa 1965. Sekian anggota Gerwani sengaja mendapati teror agar tidak mengungkap sejarah melalui kesaksian lisan dan tulisan.
Wieringa antusias untuk mencari sumber dalam penulisan sejarah. Kisah-kisah dari perempuan-perempuan Gerwani dan lingkaran PKI dijadikan sebagai data memikat untuk ditafsirkan secara kritis. Keampuhan buku ini terletak dari kejelian penulis menghadirkan kesaksian-kesaksian dari tokoh-tokoh penting. Kesanggupan mencari narasumber dan pencatatan memunculkan narasi sejarah mengejutkan. Ketersembunyian perlahan disingkap mengacu pada keterangan-keterangan berseberangan dengan penjelasan Orde Baru.
Pembaca bisa menemukan penjelasan-penjelasan memikat tentang sejarah dan peranan Gerwani dalam sejarah Indonesia pada bab lima: “Gerwani: Menuju Kepeloporan Gerakan Perempuan.” Gerwani sejak 1950-an memiliki andil dalam gerakan keperempuanan-feminisme di Indonesia. Posisi dan garis ideologi Gerwani terungkapkan dalam laporan kongres 1954: (1) Gerwani sebagai organisasi pendidikan dan perjuangan tidak menjadi bagian partai politik mana pun; (2) keanggotaan terbuka bagi segenap perempuan berumur 16 tahun atau lebih atau telah menikah; (3) keanggotaan ganda dengan organisasi perempuan lain dipernkenankan. Garis ideologi ini memang tidak permanen karena Gerwani pun harus sadar zaman dan tanggap terhadap perubahan politik Orde Lama.
Agenda gerakan Gerwani pada masa itu memakai media massa sebagai corong. Pelbagai pemikiran dan kampanye disajikan melalui “Ruang Wanita” di Harian Rakyat dan Api Kartini. Tulisan menjadi juru bicara untuk penyadaran dan pencerahan kaum perempuan Indonesia kendati semua tulisan tidak mesti identik dengan garis ideologi Gerwani. Pelbagai isu mendapati tanggapan dari Gerwani sebagai bukti keterlibatan untuk pemihakan nasib perempuan dan pemartabatan perempuan di mata politik, ekonomi, hukum, seni, dan pendidikan. 

Politik
Pasang surut peran Gerwani dan keintiman dengan PKI dan Soekrano membuka jalan untuk peka politik. Marxisme dan nasionalisme menjadi godaan dalam afirmasi ideologis. Gerwani pun terlibat dalam sekian peristiwa politik menentukan karena kesanggupan menggarap isu-isu besar. Jalan terbuka untuk membesarkan diri dan represi politis dialami Gerwani sebagai konsekuensi dari kegenitan politik. Relasi Gerwani dengan organisasi keperempuanan internasional semakin melahirkan kepekaan atas nasib perempuan di Indonesia dan dunia. Agenda menjadi besar dan kompleks pada saat situasi politik rentan dengan perubahan-perubahan drastis.
Isu politik seksual mengantarkan Gerwani pada perdebatan pelik tentang peran dan makna perempuan. Wacana pelacuran, undang-undang perkawinan, dan poligami digarap dengan intensif meski harus berhadapan dengan paket politik dan represi opini publik. Politik seksual ala Gerwani ini mendekati pada sensitivitas kepentingan negara dalam regulasi pelbagai urusan dalam acuan politik. Gerwani menjelang di persimpangan jalan. Kondisi menekan ini kentara pada masa 1960-an saat perpolitikkan memanas. Tragedi 1965 pun menjadi “terompet kematian” untuk lakon Gerwani dan gerakan keperempuanan di Indonesia.
Lakon Gerwani secara sistematis ditamatkan oleh Orde Baru dengan penciptaan stigma dan manipulasi sejarah. Politik seksual jadi kunci penghancuran. Buku ini ada dalam pergulatan makna sejarah dengan bantahan-bantahan keras dan kritis. Wieringa menghadirkan buku ini sebagai suguhan memikat untuk membuat pembaca mau menilik sejarah dengan gairah tanpa harus jinak oleh represi sejarah produksi Orde Baru.      

Suara Merdeka (26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar