Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Merdeka dari Ideologi Ibuisme

Fanny Chotimah 

SEKOLAH dasar dan taman kanak-kanak merupakan momen penting bagi setiap anak. Tak sekadar belajar membaca, menulis, dan berhitung, pada tahap itu anak berproses menjadi pribadi mandiri. Karena itulah fenomena antrean ibu pengantar anak di sekolah sepatutnya tak hanya jadi kegelisahan Aji Wicaksono (dalam “Perilaku Ibu dan Jajan Anak”, Suara Merdeka, 6/10). Namun jadi kegelisahan bersama, jika itu mengarah ke perilaku konsumtif dan persaingan kesombongan status sosial yang akan mentradisi.

Hari pertama bersekolah tak mudah bagi anak untuk langsung dilepas sendirian. Apalagi jika anak dididik dengan pola asuh tak mandiri. Berbeda dari anak-anak di Barat yang diarahkan mandiri semenjak dini.

Sejak bayi mereka sudah tidur terpisah dari orang tua. Mereka tidur di kamar sendiri. Jika terbangun dan menangis tengah malam, mereka dikondisikan mampu melawan rasa takut. Sejak balita pun mereka diajar makan sendiri, tidak disuapi. Jadi sejak kecil mereka bisa melakukan sesuatu dan mengurus kebutuhan sendiri.

Secara psikologis, anak-anak yang dididik dengan pola asuh seperti itu lebih siap pada hari pertama sekolah dan menjalani hari-hari belajar selanjutnya.
Para pengantar memang didominasi para ibu yang tak mengikatkan waktu untuk bekerja di kantor. Perempuan sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengabdikan seluruh waktu untuk keluarga.

Ibu rumah tangga pada zaman Orde Baru diwadahi organisasi semacam PKK dan Dharma Wanita. Organisasi itu menanamkan perempuan ideologi “ibuisme” (perempuan hanya sebagai istri dan ibu yang baik).
Organisasi perempuan dibangun berdasar hierarki pangkat dan kedudukan suami. Perempuan kembali didomestifikasi dan diposisikan sebagai warga negara kelas dua.

Perempuan dibuat percaya: kodrat ibu rumah tangga hanya melakukan pekerjaan domestik seputar dapur, beranak-pinak, dan mengasuh. Kapitalisme masuk memanfaatkan kondisi itu dengan memborbardemen perempuan dengan berbagai produk kecantikan, peralatan rumah tangga, detergen, sabun colek, sabun cair berbagai merek dan bau. Juga menciptakan tren mode tas, sepatu, dan perhiasan bagi perempuan.

Tren itu selalu berputar tak pernah habis, sehingga perempuan dikondisikan untuk meyakini dunia mereka hanya itu. Sebatas rumah, dapur, lemari pakaian, dan rak sepatu. Tak mengherankan jika pangsa pasar terbesar adalah pasar perempuan dan anak.

Anak-anak memang impulsif; cukup melihat iklan repetitif, mereka sudah merengek minta dibelikan. Adapun perempuan yang secara psikologis mengagumi sesamanya mudah sekali terbujuk rayuan konsep cantik ideal, kulit putih, tubuh langsing, rambut lurus hitam panjang, dan gaya berpakaian modis.
Aktualisasi Diri Karena itu sebaiknya ibu rumah tangga memanfaatkan waktu longgar untuk aktualisasi diri. Sambil menunggu anak yang belajar mandiri dan berproses menjadi pribadi cerdas di sekolah, tak ada salahnya ibu juga belajar. Kenali lagi potensi diri; potensi hanya akan maksimal jika diri merdeka dari stigma.

Buang jauh-jauh anggapan bahwa referensi sang ibu cukup tabloid gosip, tayangan ibu adalah infotainment. Coba tengok referensi lain semacam kajian gender, filsafat, antropologi, sastra, atau apa pun referensi baru bidang ilmu yang berbeda. Silakan pilih yang cocok di hati, pengetahuan yang bisa menambah khazanah pemikiran. Pengetahuan yang mencerahkan yang bisa meningkatkan kualitas hidup.

Dekonstruksi ideologi merupakan salah satu cara melawan hegemoni yang merendahkan perempuan. Dekonstruksi berarti mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja. Bisa juga melakukan pendidikan yang bersifat kritis atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan memahami pengalamannya dan menolak ideologi yang dipaksakan.

Persoalan ketidakadilan gender merupakan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan membalas dendam kepada laki-laki, begitu penuturan Dr Mansour Fakih dalam buku Analisis Gender & Tranformasi Sosial (1996). Ibu rumah tangga sangat bisa memelopori gerakan itu dari hal kecil, misalnya hanya menambah bahan bacaan baru. Itu saja.

JK Rowling, novelis Inggris yang memiliki kekayaan pribadi menyaingi Ratu Elizabeth, melahirkan novel Harry Potter yang dia tulis di sebuah kafe sembari menanti sang anak pulang sekolah. Perilaku produktif lebih maslahat daripada konsumtif.

Saya yakin jika para ibu memerdekakan diri dari ideologi “ibuisme” akan lahir pengamat media, pengamat sosial, dan pengamat seni dan sastra ampuh. Berani? (51)

- Fanny Chotimah, salah satu ibu pengantar anak TK Taman Putera Mangkunegaran, Solo
Suara Merdeka 13 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar