Bandung Mawardi
Ada petikan yang membuat gemas atau geram dari Serat
Panitisastra mengenai perempuan: mungguh ing estri inkang pinilih dening
wong priyo wanodya ingkang agemuh payudarane dadi sukaning kakung (Adapun
perempuan yang menjadi pilihan pria ialah perempuan dengan payudara montok yang
merupakan kegemaran para lelaki). Petikan ini mungkin bisa jadi alasan untuk
perdebatan panjang dalam wacana gender dengan mengacu pada kepustakaan Jawa
lama.
Perempuan dalam teks sastra memang memiliki sejarah
pinggiran yang terkadang melahirkan kutukan-kutukan. Kehadiran perkara
perempuan dalam kepustakaan Jawa memang kerap dalam dilema jika disangkutkan
dengan wacana-wacana mutakhir. Nasib perempuan seperti ditundukkan atau menurut
dengan otoritas lelaki, kosmologi-maskulin, atau jejaring kekuasaan.
Linus Suryadi AG (1995) membuat tafsir kritis atas studi Serat
Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi oleh A. Sudewa (1991)
dengan mencurigai bahwa perempuan dalam Serat Panitisastra dan
masa sastra Jawa Madya menjadi obyek fungsional yang dibayangi konvensi rasial
dan religi yang paternalistik. Pemahaman itu menjadi efek atau mekanisme dari
kekuasaan yang mengacu pada keraton. Sastra Jawa memang dominan lahir dari
pujangga keraton yang susah melepaskan diri dari pamrih-pamrih kekuasaan yang
paternalistik: keraton dan kolonial.
Serat Panitisastra merupakan tanda proses perubahan literer di Solo pada
pergantian abad XVIII ke abad XIX. Gubahan Serat Panitisastra
mengacu pada sastra Jawa kuno berjudul Nitisastra (Poerbatjaraka. Kepustakaan
Jawa, 1952: 160-161). Gubahan muncul dalam pelbagai versi dengan pelbagai
resepsi dan efek untuk transformasi sosial dan kebudayaan Jawa. Sudewa pun
menjelaskan bahwa Serat Panitisastra khas untuk kaum elite (bangsawan) dalam
keraton. Ajaran-ajaran dalam Serat Panitisastra pun riuh dengan pamrih
kekuasaan dan legitimasi kebudayaan atas nama keraton.
Definisi bahwa perempuan yang diingini kaum lelaki adalah
berpayudara montok rentan dengan produksi wacana yang diskriminatif. Payudara
sebagai reprsentasi tubuh perempuan diajukan sebagai pemberi legitimasi untuk
identitas dan “harga” di hadapan lelaki. Perkara ini hendak menciptakan
idealitas dan realitas dengan sumber nilai dari kaum elite untuk menuruti
hasrat dan kegenitan kekuasaan. Nilai perempuan yang diletakkan dalam
kemontokkan payudara memang mengandung unsur pelecehan dan pembakuan
seksualitas yang tak mengenakan.
Petikan lain dalam Serat Panitisastra pun
menguatkan cara pandang atas perempuan yang diskriminatif: “Racun untuk
perempuan apabila sudah tertaburi uban, itu racun untuk diri sebab lelaki tak
ada yang tertarik untuk memperistri atau sekadar memandang. Meski ia masih
perawan, karena uban bisa membuat ia seperti lenyap kegadisannya.” Uban dalam
petikan ini jadi alasan untuk menciderai perempuan dalam wacana
kecantikan.
Nasib apes perempuan muncul kembali dalam petikan ini:
“Jangan menurutkan pikiran perempuan sebab engkau akan dipermalukan oleh
sesama. Dan jangan menuruti kehendak hati perempuan sebab engkau akan mendapat
sengsara yang bisa sampai ajal. Meskipun patut dalam penalaran, sabarkanlah
dahulu.” Petikan ini kentara mengonstruksi perempuan sebagai momok dan makhluk
pembuat celaka dan sengsara untuk lelaki. Perempuan seperti tak mendapati hak
untuk menentukan perubahan dan arus peradaban yang patriarkhi.
Kisah perempuan dalam Serat Panitisastra
berbeda dengan kisah dalam Babad Tutur. Perempuan sejak lama dilekati
atau ditundukkan dengan sifat-sifat nrimo, pasrah, lembah manah, setia, atau
halus. Pembakuan itu cenderung ideologis karena muncul dalam konstruksi sosial
yang kerap memarjinalkan perempuan. Inferioritas kerap jadi momok untuk
perempuan karena dioperasionalkan melalui mekanisme sosial, kultural, dan
kekuasaan. Sambungan keapesan perempuan terus mendapati fragmen-fragmen tragis.
Babad Tanah Jawi pun eksplisit melanggengkan nasip apes perempuan.
Babad Tutur hadir dengan wacana beda untuk memerkarakan perempuan. Babad ini
kemungkinan ditulis pada akhir abad XVIII ketika masa kekuasaan Mangkunegara I.
Pelbagai pihak menduga penulisan Babad Tutur dilakukan oleh carik
perempuan. Peran perempuan itu membuktikan ada jalan berbeda dari tradisi
kesusastraan Jawa yang didominasi lelaki. Kehadiran Babad Tutur pun
mengusung gugatan terhadap nasib perempuan mengacu pada masa lalu dan
seterotipe perempuan Jawa.
Babad Tutur mengisahkan peran perempuan dalam restrukturisasi kebudayaan jawa oleh
Mangkunegara I. Perempuan pada masa itu mengalami perubahan nasib dalam peran
dan harga diri dengan pemunculan prajurit estri yang dijuluki Ladrang
Mangungkung dan Jayengasta (Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia
KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur, 1994: 202-204). Perempuan
memiliki peran dalam pertempuran. Ini petikan kecil: “Pangeran Dipati sering
memberikan pelajaran pada para prajurit estri dengan menunggang kuda
melontarkan senjata. Para prajurit menerimanya di atas punggung kuda.” Pada
fragmen lain: “Pangeran Dipati mengajar menari para prajurit estri yang
diriringi gamelan yang ditabuh oleh para perempuan.” Harkat dan martabat
perempuan dalam Babad Tutur merupakan sisi terang untuk merevisi sisi
gelap dalam Serat Panitisastra.
Wacana perempuan mutakhir tentu bakal menemukan seribu
satu dalil untuk melontarkan kritik pada kepustakaan Jawa dan merumuskan dalil
untuk perubahan. Jejak-jejak dalam kesusastraan Jawa modern memang menunjukkan
ada tendensi untuk tidak memarjinalkan perempuan. Kesadaran itu tumbuh dalam
dialektika zaman yang bergerak dalam tegangan nostalgia dan utopia. Perempuan
sanggup menulis dan menyatakan diri. Perempuan pun memiliki otoritas untuk
mengonstruksi diri dengan permainan fakta dan fiksi. Serat dan babad adalah
jejak masa lalu tak terkuburkan tapi mewariskan dalil-dalil untuk penentuan
dekonstruksi perempuan dalam sastra. Perempuan sekarang dengan lihai hadir
dengan sastra untuk memainkan lakon martabat. Begitu.
Suara Merdeka (22 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar