Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Perempuan: Serat dan Babad

Bandung Mawardi

Ada petikan yang membuat gemas atau geram dari Serat Panitisastra mengenai perempuan: mungguh ing estri inkang pinilih dening wong priyo wanodya ingkang agemuh payudarane dadi sukaning kakung (Adapun perempuan yang menjadi pilihan pria ialah perempuan dengan payudara montok yang merupakan kegemaran para lelaki). Petikan ini mungkin bisa jadi alasan untuk perdebatan panjang dalam wacana gender dengan mengacu pada kepustakaan Jawa lama.
Perempuan dalam teks sastra memang memiliki sejarah pinggiran yang terkadang melahirkan kutukan-kutukan. Kehadiran perkara perempuan dalam kepustakaan Jawa memang kerap dalam dilema jika disangkutkan dengan wacana-wacana mutakhir. Nasib perempuan seperti ditundukkan atau menurut dengan otoritas lelaki, kosmologi-maskulin, atau jejaring kekuasaan.
Linus Suryadi AG (1995) membuat tafsir kritis atas studi Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi oleh A. Sudewa (1991) dengan mencurigai bahwa perempuan dalam Serat Panitisastra dan masa sastra Jawa Madya menjadi obyek fungsional yang dibayangi konvensi rasial dan religi yang paternalistik. Pemahaman itu menjadi efek atau mekanisme dari kekuasaan yang mengacu pada keraton. Sastra Jawa memang dominan lahir dari pujangga keraton yang susah melepaskan diri dari pamrih-pamrih kekuasaan yang paternalistik: keraton dan kolonial.
Serat Panitisastra merupakan tanda proses perubahan literer di Solo pada pergantian abad XVIII ke abad XIX. Gubahan Serat Panitisastra mengacu pada sastra Jawa kuno berjudul Nitisastra (Poerbatjaraka. Kepustakaan Jawa, 1952: 160-161). Gubahan muncul dalam pelbagai versi dengan pelbagai resepsi dan efek untuk transformasi sosial dan kebudayaan Jawa. Sudewa pun menjelaskan bahwa Serat Panitisastra khas untuk kaum elite (bangsawan) dalam keraton. Ajaran-ajaran dalam Serat Panitisastra pun riuh dengan pamrih kekuasaan dan legitimasi kebudayaan atas nama keraton.
Definisi bahwa perempuan yang diingini kaum lelaki adalah berpayudara montok rentan dengan produksi wacana yang diskriminatif. Payudara sebagai reprsentasi tubuh perempuan diajukan sebagai pemberi legitimasi untuk identitas dan “harga” di hadapan lelaki. Perkara ini hendak menciptakan idealitas dan realitas dengan sumber nilai dari kaum elite untuk menuruti hasrat dan kegenitan kekuasaan. Nilai perempuan yang diletakkan dalam kemontokkan payudara memang mengandung unsur pelecehan dan pembakuan seksualitas yang tak mengenakan.
Petikan lain dalam Serat Panitisastra pun menguatkan cara pandang atas perempuan yang diskriminatif: “Racun untuk perempuan apabila sudah tertaburi uban, itu racun untuk diri sebab lelaki tak ada yang tertarik untuk memperistri atau sekadar memandang. Meski ia masih perawan, karena uban bisa membuat ia seperti lenyap kegadisannya.” Uban dalam petikan ini jadi alasan untuk menciderai perempuan dalam wacana kecantikan. 
Nasib apes perempuan muncul kembali dalam petikan ini: “Jangan menurutkan pikiran perempuan sebab engkau akan dipermalukan oleh sesama. Dan jangan menuruti kehendak hati perempuan sebab engkau akan mendapat sengsara yang bisa sampai ajal. Meskipun patut dalam penalaran, sabarkanlah dahulu.” Petikan ini kentara mengonstruksi perempuan sebagai momok dan makhluk pembuat celaka dan sengsara untuk lelaki. Perempuan seperti tak mendapati hak untuk menentukan perubahan dan arus peradaban yang patriarkhi.
Kisah perempuan dalam Serat Panitisastra berbeda dengan kisah dalam Babad Tutur. Perempuan sejak lama dilekati atau ditundukkan dengan sifat-sifat nrimo, pasrah, lembah manah, setia, atau halus. Pembakuan itu cenderung ideologis karena muncul dalam konstruksi sosial yang kerap memarjinalkan perempuan. Inferioritas kerap jadi momok untuk perempuan karena dioperasionalkan melalui mekanisme sosial, kultural, dan kekuasaan. Sambungan keapesan perempuan terus mendapati fragmen-fragmen tragis. Babad Tanah Jawi pun eksplisit melanggengkan nasip apes perempuan.
Babad Tutur hadir dengan wacana beda untuk memerkarakan perempuan. Babad ini kemungkinan ditulis pada akhir abad XVIII ketika masa kekuasaan Mangkunegara I. Pelbagai pihak menduga penulisan Babad Tutur dilakukan oleh carik perempuan. Peran perempuan itu membuktikan ada jalan berbeda dari tradisi kesusastraan Jawa yang didominasi lelaki. Kehadiran Babad Tutur pun mengusung gugatan terhadap nasib perempuan mengacu pada masa lalu dan seterotipe perempuan Jawa.
Babad Tutur mengisahkan peran perempuan dalam restrukturisasi kebudayaan jawa oleh Mangkunegara I. Perempuan pada masa itu mengalami perubahan nasib dalam peran dan harga diri dengan pemunculan prajurit estri yang dijuluki Ladrang Mangungkung dan Jayengasta (Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur, 1994: 202-204). Perempuan memiliki peran dalam pertempuran. Ini petikan kecil: “Pangeran Dipati sering memberikan pelajaran pada para prajurit estri dengan menunggang kuda melontarkan senjata. Para prajurit menerimanya di atas punggung kuda.” Pada fragmen lain: “Pangeran Dipati mengajar menari para prajurit estri yang diriringi gamelan yang ditabuh oleh para perempuan.” Harkat dan martabat perempuan dalam Babad Tutur merupakan sisi terang untuk merevisi sisi gelap dalam Serat Panitisastra
Wacana perempuan mutakhir tentu bakal menemukan seribu satu dalil untuk melontarkan kritik pada kepustakaan Jawa dan merumuskan dalil untuk perubahan. Jejak-jejak dalam kesusastraan Jawa modern memang menunjukkan ada tendensi untuk tidak memarjinalkan perempuan. Kesadaran itu tumbuh dalam dialektika zaman yang bergerak dalam tegangan nostalgia dan utopia. Perempuan sanggup menulis dan menyatakan diri. Perempuan pun memiliki otoritas untuk mengonstruksi diri dengan permainan fakta dan fiksi. Serat dan babad adalah jejak masa lalu tak terkuburkan tapi mewariskan dalil-dalil untuk penentuan dekonstruksi perempuan dalam sastra. Perempuan sekarang dengan lihai hadir dengan sastra untuk memainkan lakon martabat. Begitu.

Suara Merdeka (22 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar