Bandung Mawardi
Judul : Kuasa Stigma dan
Represi Ingatan
Penulis : Tri Guntur Narwaya
Penerbit : Resist Book,
Yogyakarta
Cetakan : September 2010
Tebal : xlii + 250 halaman
Tragedi 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma
masih tersisa, dan stigma terus menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka
besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang dengan gambaran tentang kekerasan,
penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk, kelam, hitam
ditampilkan oleh Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato,
atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat “hitamnya hitam” PKI,
kendati harus mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan,
didiskriminasikan, atau dimatikan.
Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi
model sebaran dan internalisasi stigma atas peristiwa 1965 masih mengendap
dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan. Segala bentuk penghitaman
disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber untuk
memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965
mirip pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar
memang sengaja ditampilkan oleh pemilik otoritas teringgi atas nama dominasi
kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu dengan menakjubkan
sekaligus mengenaskan.
Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi
indoktrinasi atas ingatan sejarah mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam
buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri Guntur Narwaya. Buku
ini bukan dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi “jalan
sejarah” untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru.
Sorotan hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran,
menyingkap dominasi politis, dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.
* * *
Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada
puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada peristiwa 1965, padahal ini sekadar
bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan ini seolah mengabaikan
episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan
simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun.
Orde Baru sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis “sejarah
resmi” untuk menghabisi PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon
politik Orde Baru. Narasi-narasi tandingan dibungkam, dihancurkan, dan
dipinggirkan dengan dalih subversi, anti Pancasila, atau anti NKRI.
Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan
dan usai kejatuhan. Hari ini, kita masih merasai segala stigma dan represi
ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran ideologis digulirkan
dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil ini membuat penulis mengajukan perspektif
hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengritisi pelbagai kajian tentang
tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah ini diacukan pada
kegelisahan, empati, dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik
Orde Baru. Penulis menginginkan riset (kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi
hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang untuk menyentuh realitas
sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada politik
kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan
spirit buku ini: “Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan
konflik.”
* * *
Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran
ideologi. Penulis mendasarkan analisis ideologi memakai konsepsi besar John B
Thompson dalam mengelaborasi pelbagai ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan
penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan sasaran untuk mengetahui
stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja tafsiran ada
dalam pelbagai tahapan dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk
memilih, memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu
bisa terepresentasikan melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan
permainan simbol.
Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan
simbol palu dan arit. Simbol ini terus termaknai secara politik, identik dengan
ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme. Jadi, bentuk pelarangan
buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa terjadi
usai kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi
dalam pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi
menunjukkan usaha mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk
kepentingan dominasi atas segala resistensi dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan
dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: “Sejarah penafsiran adalah sejarah
pergulatan.”
* * *
Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan
intim dalam membaca dan menafsirkan narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik
Orde Baru kentara memberi efek ideologis mendalam, efek berkepanjangan, dan
menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti. Baskara T Wardaya
dalam pengantar menjelaskan: “Jika korban pembunuhan massal mencapai sekitar
setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu
korbannya lebih banyak dan kurun waktunya lebih panjang.” Jadi, buku ini bisa
menjadi pemicu penyadaran untuk menilik ulang cara membaca dan menafsirkan
tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.
Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan
sistematis. Kita kerap mengabaikan ini karena indoktrinasi Orde Baru, represi
politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang kiri, gestapu telah
menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh Orde
Baru membuat kita terjebak dalam stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini
menyapa kita untuk mengoreksi, mengritisi, dan mengubah tafsiran agar ada
pemahaman komprehensif tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini
mengingatkan kita untuk peka sejarah dan melawan tafsir dominasi ideologis.
Begitu.
Jawa Pos (26
September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar