Laman

Senin, 18 Oktober 2010

Menilik Simbolisme Pohon

Bandung Mawardi

Pohon bagi orang Jawa merupakan acuan pembentukan dan penghayatan kosmis. Pohon sebagai simbol, tamsil, metafora, atau makhluk memberi untaian hikmah untuk ditafsirkan atas nama perayaan hidup dalam jalan religiositas, seksualitas, etika, filsafat, estetika, politik, atau ekonomi. Pohon memberi arti dan sempurnakan proses manusia memaknai diri, hidup, dunia, dan Tuhan.
Kronik pohon dalam lakon peradaban memang susah terlacak deng  utuh dan runtut. Pemahaman historis sekadar menapaki kembali serpihan-serpihan dari manuskrip sastra, relief, cerita rakyat, atau mitos. Penghayatan terjadap pohon dalam konteks kejawaan mengandung tendensi makna-dalam alias batiniah. Pohon menjelma representasi dari gelimang makna hidup. Penyingkapan pohon pun dilakoni dengan prosedur lahir-batin untuk bisa menemu-mengafirmasi segala makna.
P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) memberi penjelasan reflektif mengenai “alam yang terpantul dalam sastra kakawin.” Pohon dalam jagat penyair atau penggubah kakawin memiliki arti siginfikan untuk dijadikan sebagai permainan simbolisme. Pohon asoka, asana, kelapa, bambu, pakis, andul, atau pisang kerap dihadirkan dalam garapan kakawin. Simbolisme pohon ini mengantarkan orang Jawa pada pembelajaran esoterik dan eksoterik tentang hidup. Zoetmulder mengingatkan bahwa simbolisme itu memerlukan pembacaan komprehensif dari segala sisi agar ada penyingkapan utuh. Kajian botani, filologi, atau sejarah perlu diolah bareng untuk merengkuh makna pohon.
Pengisahan dan simbolisme pohon dalam sastra Jawa menjadi penanda dari kesadaran ekologis sebagai jalan menuju keilahian. Pembacaan dan penafsiran simbolisme pohon memang kurang gairah karena selama ini kajian sastra Jawa dominan dengan perspektif makro dalam tendensi politik, kebatinan, atau sosiologis. Pohon terbaikan sebagai sumber atau jagat simbol untuk membaca manusia Jawa dan lakon peradaban Jawa dari zaman ke zaman. Nasib apes pun tampak dalam pengabaian pembacaan atas relief pohon atau penelisikan tentang sebaran dan pewarisan jagat pohon melalui mitos-mitos lokalitas.

Sastra
Kajian minoritas tentang pohon mungkin kelumrahan karena jagat referensi tentang pohoh memang kompleks dan memerlukan kepekaan-intuisi kealaman. Gelagat pengabaian ini terselamatkan dengan garapan Serat Salokapatra. Garapan sastra ini memiliki kandungan besar dalam uraian dan penghadiran simbolisme pohon. Pantja Sunjata, Tashadi, dan Sri Retna Astuti (1995) menemukan ada antusiasme penggubah naskah Serat Salokapatra untuk menyingkap jagat simbolisme pohon dalam konteks keraton Yogyakarta.
Penanaman pohon-pohon di lingkungan keraton memiliki pelbagai fungsi, makna, dan manfaat. Pohon khas dari keraton Jawa adalah pohon waringin atau beringin. Masyarakat Jawa sejak lama mengenal pohon waringin sebagai pohon hayat. Kepercayaan ini dimaknai oleh penguasa dengan penanaman pohon waringin simbolisme kehidupan dengan tarikan historis, politis, dan batiniah. Makna normatif pohon waringin adalah memberi pengayoman, perlindungan, dan mempertebal spirit dan keberimanan bagi kalangan orang Jawa.
Inilah petikan uraian pohon waringin dalam Serat Salokapatra: Kayu wringin kinarsan sang aji, apa dadya tamanan narendra, ayom kathah supangate, tinandur ngalun-alun, duk ing kina dugi semangkin, mukarab mring kawula, miwah abdi ratu, saking karsa dalem nata, wit waringin satuhune anjarwani didalem lan kawula (Kayu beringin diinginkan raja, akan menjadi tanaman kerajaan, tenteram banyak manfaatnya, ditanam di alun-alun, sejak jaman dahulu sampai sekarang, bermanfaat pada masyarakat, demikian pula kepada abdi raja, atas kehendak raja, pohon beringin sebenarnya mengandung arti bagi, abdi dalem dan masyarakat).   
Pohon waringin di keraton Yogyakarta itu diselimuti dan dihidupi dengan mitos. Bibit pohon waringin sebelah timur dipercayai berasal dari Pajajaran. Pohon ini dinamai Kyai Jayadaru. Bibit pohon waringin di sebelah barat berasal dari Majapahit. Pohon ini dinamai Kayai Dewadaru. Pohon waringin sebagai penanda kekuasaan dan aura penguasa diimbuhi dengan simbolisme jagat spiritualitas Jawa. Konstruksi makna ini memungkinkan orang Jawa untu peka tanda dan matang dalam penafsiran pelbagai peristiwa dan keajaiban dalam ranah kejawaan.
Simbolisme pohon dalam sastra mungkin masih bisa ditelusuri dalam proses kronologis faktual. Pengetahuan tentang situasi zaman sebagai latar dari kehadiran sastra menjadi acun untuk mengerti kompetensi orang Jawa dalam mencipta, menghidupi, dan menguraikan simbolisme pohon. Kerepotan untuk melacak afirmasi simbolisme pohon bagi orang Jawa kentara dalam jagat wayang. Kekayon sebagai manifestasi kesadaran atas simbolisme pohon memberi jalan penerangan untuk menilik diri dalam sorotan mistisisme dan estetis.

Wayang
Penjelasan reflektif tentang simbolisme pohon dalam kekayon bisa ditemukan dalam pidato K.A.H. Hidding saat rapat Afdelling Taal-Land-en Volk. Bat. Gen. di Jakarta (25 Februari – 15 April 1931). Pidato panjang dengan titel Arti Kekayon itu menjadi sumber langka tentang usaha mengurai simbolisme kekayon dalam jagat pewayangan. Hidding merasa ada tanda-tanda kunci dalam kekayon untuk membaca karakter dan anutan kosmis orang Jawa.
Kekayon digunakan untuk mengawali dan mengakhiri pertunjukan wayang. Kekayon kerap digunakan dalam semua lakon dan mereprsentasikan kebenaran tunggal. Gambar pohon dalam kekayon merupakan bukti dari kunci kosmis orang Jawa. Pohon itu biasa dinamai “pohon hayat” atau pohon “kehidupan”. Hidding menganggap pohon itu memberi simbol tentang perayaan hidup pelbagai makhluk di dunia dengan membuat tautan pada pohon sebagai sumber. Pohon membuat hidup mengalir dan memberi percikan-percikan makna untuk dijadikan tamsil kehidupan sepanjang zaman.
Ilustrasi ini pantas dijadikan sebagai referensi untuk mengolah ulang kesadaran orang Jawa terhadap pohon. Nalar-ekonomistik telah melahirkan godaan kapitalistik untuk menjadikan pohon sebagai komoditi. Pemaknaan material membuat pohon sekadar sebagai sasaran dari kerakusan. Simbolisme pohon rontok oleh gelimang uang. Kerusakan ekologis dan pemiskinan makna hidup adalah risiko tak tertanggungkan. Ironi ini kadang ditandingi dengan tradisi spiritualitas sedekah bumi atau pemberian sesajen pada pohon tua sebagai penanda dari jejaring kosmis. Tradisi ini mungkin satire telak atas nalar kapitalistik kendati membuat rasionalitas termangu karena zaman bergerak secara materiil. Penyingkapan simbolisme pohon memang masih dilangsungkan tapi kerap menampilkan belokan-nelokan ekstrim seperti kehilangan induk pemaknaan. Memetik hikmah dari simbolisme pohon dalam sastra Jawa Kuno dan jagat wayang mungkin membuat orang Jawa gairah kembali memaknai segala dengan arif dan geliat religiositas. Begitu.   

Suara Merdeka (19 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar