Bandung Mawardi
Pohon bagi orang Jawa merupakan acuan
pembentukan dan penghayatan kosmis. Pohon sebagai simbol, tamsil, metafora,
atau makhluk memberi untaian hikmah untuk ditafsirkan atas nama perayaan hidup
dalam jalan religiositas, seksualitas, etika, filsafat, estetika, politik, atau
ekonomi. Pohon memberi arti dan sempurnakan proses manusia memaknai diri,
hidup, dunia, dan Tuhan.
Kronik pohon dalam lakon peradaban memang susah
terlacak deng utuh dan runtut. Pemahaman
historis sekadar menapaki kembali serpihan-serpihan dari manuskrip sastra,
relief, cerita rakyat, atau mitos. Penghayatan terjadap pohon dalam konteks
kejawaan mengandung tendensi makna-dalam alias batiniah. Pohon menjelma
representasi dari gelimang makna hidup. Penyingkapan pohon pun dilakoni dengan
prosedur lahir-batin untuk bisa menemu-mengafirmasi segala makna.
P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa
Kuno Selayang Pandang (1983) memberi penjelasan reflektif mengenai
“alam yang terpantul dalam sastra kakawin.” Pohon dalam jagat penyair atau
penggubah kakawin memiliki arti siginfikan untuk dijadikan sebagai permainan
simbolisme. Pohon asoka, asana, kelapa, bambu, pakis, andul, atau pisang kerap
dihadirkan dalam garapan kakawin. Simbolisme pohon ini mengantarkan orang Jawa
pada pembelajaran esoterik dan eksoterik tentang hidup. Zoetmulder mengingatkan
bahwa simbolisme itu memerlukan pembacaan komprehensif dari segala sisi agar
ada penyingkapan utuh. Kajian botani, filologi, atau sejarah perlu diolah
bareng untuk merengkuh makna pohon.
Pengisahan dan simbolisme pohon dalam sastra
Jawa menjadi penanda dari kesadaran ekologis sebagai jalan menuju keilahian.
Pembacaan dan penafsiran simbolisme pohon memang kurang gairah karena selama
ini kajian sastra Jawa dominan dengan perspektif makro dalam tendensi politik,
kebatinan, atau sosiologis. Pohon terbaikan sebagai sumber atau jagat simbol
untuk membaca manusia Jawa dan lakon peradaban Jawa dari zaman ke zaman. Nasib
apes pun tampak dalam pengabaian pembacaan atas relief pohon atau penelisikan
tentang sebaran dan pewarisan jagat pohon melalui mitos-mitos lokalitas.
Sastra
Kajian minoritas tentang pohon mungkin
kelumrahan karena jagat referensi tentang pohoh memang kompleks dan memerlukan
kepekaan-intuisi kealaman. Gelagat pengabaian ini terselamatkan dengan garapan Serat
Salokapatra. Garapan sastra ini memiliki kandungan besar dalam uraian dan
penghadiran simbolisme pohon. Pantja Sunjata, Tashadi, dan Sri Retna Astuti
(1995) menemukan ada antusiasme penggubah naskah Serat Salokapatra untuk
menyingkap jagat simbolisme pohon dalam konteks keraton Yogyakarta.
Penanaman pohon-pohon di lingkungan keraton
memiliki pelbagai fungsi, makna, dan manfaat. Pohon khas dari keraton Jawa
adalah pohon waringin atau beringin. Masyarakat Jawa sejak lama mengenal pohon
waringin sebagai pohon hayat. Kepercayaan ini dimaknai oleh penguasa dengan
penanaman pohon waringin simbolisme kehidupan dengan tarikan historis, politis,
dan batiniah. Makna normatif pohon waringin adalah memberi pengayoman,
perlindungan, dan mempertebal spirit dan keberimanan bagi kalangan orang Jawa.
Inilah petikan uraian pohon waringin dalam Serat
Salokapatra: Kayu wringin kinarsan sang aji, apa dadya tamanan narendra,
ayom kathah supangate, tinandur ngalun-alun, duk ing kina dugi semangkin,
mukarab mring kawula, miwah abdi ratu, saking karsa dalem nata, wit waringin
satuhune anjarwani didalem lan kawula (Kayu beringin diinginkan raja, akan
menjadi tanaman kerajaan, tenteram banyak manfaatnya, ditanam di alun-alun,
sejak jaman dahulu sampai sekarang, bermanfaat pada masyarakat, demikian pula
kepada abdi raja, atas kehendak raja, pohon beringin sebenarnya mengandung arti
bagi, abdi dalem dan masyarakat).
Pohon waringin di keraton Yogyakarta itu
diselimuti dan dihidupi dengan mitos. Bibit pohon waringin sebelah timur
dipercayai berasal dari Pajajaran. Pohon ini dinamai Kyai Jayadaru. Bibit pohon
waringin di sebelah barat berasal dari Majapahit. Pohon ini dinamai Kayai
Dewadaru. Pohon waringin sebagai penanda kekuasaan dan aura penguasa diimbuhi
dengan simbolisme jagat spiritualitas Jawa. Konstruksi makna ini memungkinkan
orang Jawa untu peka tanda dan matang dalam penafsiran pelbagai peristiwa dan
keajaiban dalam ranah kejawaan.
Simbolisme pohon dalam sastra mungkin masih bisa
ditelusuri dalam proses kronologis faktual. Pengetahuan tentang situasi zaman
sebagai latar dari kehadiran sastra menjadi acun untuk mengerti kompetensi
orang Jawa dalam mencipta, menghidupi, dan menguraikan simbolisme pohon.
Kerepotan untuk melacak afirmasi simbolisme pohon bagi orang Jawa kentara dalam
jagat wayang. Kekayon sebagai manifestasi kesadaran atas simbolisme pohon
memberi jalan penerangan untuk menilik diri dalam sorotan mistisisme dan
estetis.
Wayang
Penjelasan reflektif tentang simbolisme pohon
dalam kekayon bisa ditemukan dalam pidato K.A.H. Hidding saat rapat Afdelling
Taal-Land-en Volk. Bat. Gen. di Jakarta (25 Februari – 15 April 1931).
Pidato panjang dengan titel Arti Kekayon itu menjadi sumber langka
tentang usaha mengurai simbolisme kekayon dalam jagat pewayangan. Hidding
merasa ada tanda-tanda kunci dalam kekayon untuk membaca karakter dan anutan
kosmis orang Jawa.
Kekayon digunakan untuk mengawali dan mengakhiri
pertunjukan wayang. Kekayon kerap digunakan dalam semua lakon dan
mereprsentasikan kebenaran tunggal. Gambar pohon dalam kekayon merupakan bukti
dari kunci kosmis orang Jawa. Pohon itu biasa dinamai “pohon hayat” atau pohon
“kehidupan”. Hidding menganggap pohon itu memberi simbol tentang perayaan hidup
pelbagai makhluk di dunia dengan membuat tautan pada pohon sebagai sumber.
Pohon membuat hidup mengalir dan memberi percikan-percikan makna untuk
dijadikan tamsil kehidupan sepanjang zaman.
Ilustrasi ini pantas dijadikan sebagai referensi
untuk mengolah ulang kesadaran orang Jawa terhadap pohon. Nalar-ekonomistik telah
melahirkan godaan kapitalistik untuk menjadikan pohon sebagai komoditi.
Pemaknaan material membuat pohon sekadar sebagai sasaran dari kerakusan.
Simbolisme pohon rontok oleh gelimang uang. Kerusakan ekologis dan pemiskinan
makna hidup adalah risiko tak tertanggungkan. Ironi ini kadang ditandingi
dengan tradisi spiritualitas sedekah bumi atau pemberian sesajen pada pohon tua
sebagai penanda dari jejaring kosmis. Tradisi ini mungkin satire telak atas
nalar kapitalistik kendati membuat rasionalitas termangu karena zaman bergerak
secara materiil. Penyingkapan simbolisme pohon memang masih dilangsungkan tapi
kerap menampilkan belokan-nelokan ekstrim seperti kehilangan induk pemaknaan.
Memetik hikmah dari simbolisme pohon dalam sastra Jawa Kuno dan jagat wayang
mungkin membuat orang Jawa gairah kembali memaknai segala dengan arif dan geliat
religiositas. Begitu.
Suara Merdeka (19 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar