Bandung Mawardi
Keluarga (politik) Indonesia telah mengajarkan
kita tentang kelahiran dan kelanggengan sebuah rezim kekuasaan. Sejarah politik
di Jawa adalah lakon besar, keluarga jadi sumber manifestasi kekuasaan, konflik
keluarga adalah konflik politik, dan keluarga adalah tema kunci dalam puncak,
keterpecahan, atau kejatuhan kerajaan. Kita mafhum, keluarga dalam politik,
politik dalam keluarga, terwariskan dengan sekian argumentasi untuk tidak
menampik genealogi. Jadi, biografi (politik) Indonesia adalah biografi segelintir
keluarga. Sejak itulah, riwayat dinasti politik, feodalisme, aristokratisme,
priyayisme, dan politik-paternalistik membentuk dan kerap mendikte alur
kekuasaan. Imperatif politik dan kultural dari keluarga politik juga
menciptakan masyarakat patuh, hegemoni simbol, dan pembisuan mayoritas.
Abad XX sebagai abad kemodernan tidak sanggup
meruntuhkan keluarga politik, justru keluarga semakin menemukan legitimasi
melalui institusi pendidikan, birokrasi kolonial, atau kerja politik
pergerakan. Redefinisi keluarga dilakukan bebarengan dengan gairah mendulang
modernitas dalam pelbagai bentuk dan nilai. Paham kekuasaan tradisional memang
tampak digerogoti, tapi di balik kisah itu ada perselingkuhan-perselingkuhan
politik dengan wajah modern, agenda perubahan sistematis untuk memodifikasi dan
membakukan keluarga politik. Pemerintah kolonial pun memerlukan fondasi
keluarga politik (lokal) dengan pengharapan ada representasi kekuasaan dan
perantaraan dalam tarikan historis-kultural.
Bapak
Kajian tentang keluarga Indonesia dalam politik
oleh Saya Sasaki Shiraisi (2001) mengantarkan kita pada dominasi
keluarga-keluarga pilihan dalam menggerakkan kekuasaan. Shiraisi mengisahkan
dengan satire, sejarah kelahiran “bapak” pada Orde Baru adalah bukti
cengkeraman kekuasaan diacukan pada klaim-klaim kultural Jawa. Penyebutan
“bapak” pada sosok Soeharto merupakan bentuk pengakuan bahwa konstruksi politik
Indonesia ditentukan oleh relasi dalam keluarga. Definisi dan peran orang
ditentukan oleh posisi dalam “keluarga Indonesia”, makna bergantung pada jarak
diri dengan pusat kekuasaan, dan nasib dipengaruhi oleh kesetiaan, kepatuhan,
dan pemujaan. Sejarah Orde Baru pun dikenal sebagai sejarah “politik bapak”
atau “bapakisme.”
Bagaimana politik Indonesia memusat pada sosok
“bapak” dan mengembalikan diri dalam struktur-sistem keluarga? Hildred Geertz
memberi jawab dalam Keluarga Jawa (1983). Geertz mengungkapkan, sejarah
dan perubahan keluarga Jawa dipengaruhi oleh peralihan dari peradaban agraris
ke peradaban kota. Pengenalan peradaban kota di Jawa, sekitar seribu lima ratus
tahun lalu, menimbulkan pasang surut atas bentuk dan pemaknaan keluarga.
Pertalian keluarga mengalami perubahan siginfikan dan mengandung risiko
kompleks. Geertz menjelaskan, pertalian keluarga dengan ikatan-ikatan sosial
ketat, khas, dan askriptif, saat ada dalam keterpengaruhan peradaban kota,
sekadar memainkan peran sekunder dalam stuktur masyarakat Jawa sebagai
keseluruhan. Gejala ini tampak bertentangan dengan peranan (keluarga) sebagai
poros dalam memainkan pertalian ekonomi, politik, dan keagamaan. Saat itulah,
masa peralihan, menentukan peran keluarga dalam desain politik, desain dengan
percampuran paham tradisional dan modern.
Kisah keluarga dalam peradaban kota berkembang
untuk membentuk lingkaran elite melalui restu raja, pemerintah kolonial,
legitimasi lembaga pendidikan modern, atau birokrasi modern. Keluarga adalah
penghasil aktor politik. Pewarisan jadi mutlak, pembesaran modal dan kekuasan
jadi pengharapan, rekonsiliasi keluarga politik jadi kunci kekuasaan, dan
proteksi keluarga merupakan alasan menampik disintegrasi dan atau keruntuhan
oleh pihak-pihak eksternal. Keluarga adalah asal, keluarga adalah akhir.
Ciri-ciri keluarga politik ini masih tampak dalam panggung politik Indonesia
mutakhir.
Politik
Keluarga politik memang bukan cerminan tunggal
untuk mengetahui riwayat perubahan keluarga di Indonesia. struktur dan utopia
mungkin menebar pengaruh akut, keluarga petani menginginkan jadi keluarga
pegawai negeri, keluarga pedagang di pasar “memaksa” anak untuk jadi pengusaha,
keluarga priyayi menggerakkan diri jadi birokrat. Ada tendensi keluarga jadi
mesin ampuh untuk dekat dengan politik, meraup berkah kekuasaan, memendekkan
jarak dengan pusat, dan mengubah nasib-citra keluarga di hadapan keluarga-keluarga
lain. Utopia ini merisaukan karena keluarga dalam pengertian fundamental
dialihkan sebagai pabrik, perusahaan, atau partai. Semua ini mungkin efek dari
ambiguitas dalam mengolah riwayat keluarga tradisional dan kuasa modernitas.
Apakah arogansi keluarga politik bisa menjadi
tanda kematian keluarga? Irwan Abdullah (2003) mengeluarkan peringatan keras,
keluarga mengalami kematian karena keluarga secara fisik tidak terdefinisikan.
Masing-masing anggota keluarga tercabik dan pecah oleh fungsionalisasi diri dan
mencari-menemukan persoalan hidup dalam keindividualan. Kabar ini mungkin
mengingatkan keluarga masa lalu, keluarga sebagai unit fundamental dalam
pembentukan dan pertumbuhan manusia. Abdullah menuduh bahwa intervensi pasar,
integrasi pasar, dan ekspansi pasar jadi sebab, pasa sebagai berkah dan kutukan
dari modernitas.
Kabar kematian keluarga ini bisa dilacak proses
dan detik-detik menjelang ajal. Mengapa nasib keluarga itu tampak berbeda
dengan lakon keluarga politik di Indonesia? Keluarga dalam agenda kekuasaan ini
justru tampak melakukan pendefinisian dengan dominasi dan hegemoni. Keluarga
politik memang rentan pecah kendati kerap membuka jalur pembentukan
keluarga-keluarga politik baru. Pembesaran dilakukan secara intensif, konflik
jadi pemicu adu otoritas, dan disintegrasi mengusung utopia kekuasaan.
Keluarga-keluarga politik kita saat ini masih ingin bergairah mendefinisikan
diri dalam rezim kekuasaan dan tampak memburu hasrat jadi legenda.
Keluarga-keluarga politik Indonesia memang genit bebarengan dengan
“penjinakkan” tema-tema keluarga dalam hidup keseharian kita. Begitu.
Koran Tempo (19 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar