Laman

Senin, 18 Oktober 2010

Biografi Keluarga (Politik) Indonesia


Bandung Mawardi

Keluarga (politik) Indonesia telah mengajarkan kita tentang kelahiran dan kelanggengan sebuah rezim kekuasaan. Sejarah politik di Jawa adalah lakon besar, keluarga jadi sumber manifestasi kekuasaan, konflik keluarga adalah konflik politik, dan keluarga adalah tema kunci dalam puncak, keterpecahan, atau kejatuhan kerajaan. Kita mafhum, keluarga dalam politik, politik dalam keluarga, terwariskan dengan sekian argumentasi untuk tidak menampik genealogi. Jadi, biografi (politik) Indonesia adalah biografi segelintir keluarga. Sejak itulah, riwayat dinasti politik, feodalisme, aristokratisme, priyayisme, dan politik-paternalistik membentuk dan kerap mendikte alur kekuasaan. Imperatif politik dan kultural dari keluarga politik juga menciptakan masyarakat patuh, hegemoni simbol, dan pembisuan mayoritas.
Abad XX sebagai abad kemodernan tidak sanggup meruntuhkan keluarga politik, justru keluarga semakin menemukan legitimasi melalui institusi pendidikan, birokrasi kolonial, atau kerja politik pergerakan. Redefinisi keluarga dilakukan bebarengan dengan gairah mendulang modernitas dalam pelbagai bentuk dan nilai. Paham kekuasaan tradisional memang tampak digerogoti, tapi di balik kisah itu ada perselingkuhan-perselingkuhan politik dengan wajah modern, agenda perubahan sistematis untuk memodifikasi dan membakukan keluarga politik. Pemerintah kolonial pun memerlukan fondasi keluarga politik (lokal) dengan pengharapan ada representasi kekuasaan dan perantaraan dalam tarikan historis-kultural.

Bapak
Kajian tentang keluarga Indonesia dalam politik oleh Saya Sasaki Shiraisi (2001) mengantarkan kita pada dominasi keluarga-keluarga pilihan dalam menggerakkan kekuasaan. Shiraisi mengisahkan dengan satire, sejarah kelahiran “bapak” pada Orde Baru adalah bukti cengkeraman kekuasaan diacukan pada klaim-klaim kultural Jawa. Penyebutan “bapak” pada sosok Soeharto merupakan bentuk pengakuan bahwa konstruksi politik Indonesia ditentukan oleh relasi dalam keluarga. Definisi dan peran orang ditentukan oleh posisi dalam “keluarga Indonesia”, makna bergantung pada jarak diri dengan pusat kekuasaan, dan nasib dipengaruhi oleh kesetiaan, kepatuhan, dan pemujaan. Sejarah Orde Baru pun dikenal sebagai sejarah “politik bapak” atau “bapakisme.”
Bagaimana politik Indonesia memusat pada sosok “bapak” dan mengembalikan diri dalam struktur-sistem keluarga? Hildred Geertz memberi jawab dalam Keluarga Jawa (1983). Geertz mengungkapkan, sejarah dan perubahan keluarga Jawa dipengaruhi oleh peralihan dari peradaban agraris ke peradaban kota. Pengenalan peradaban kota di Jawa, sekitar seribu lima ratus tahun lalu, menimbulkan pasang surut atas bentuk dan pemaknaan keluarga. Pertalian keluarga mengalami perubahan siginfikan dan mengandung risiko kompleks. Geertz menjelaskan, pertalian keluarga dengan ikatan-ikatan sosial ketat, khas, dan askriptif, saat ada dalam keterpengaruhan peradaban kota, sekadar memainkan peran sekunder dalam stuktur masyarakat Jawa sebagai keseluruhan. Gejala ini tampak bertentangan dengan peranan (keluarga) sebagai poros dalam memainkan pertalian ekonomi, politik, dan keagamaan. Saat itulah, masa peralihan, menentukan peran keluarga dalam desain politik, desain dengan percampuran paham tradisional dan modern.
Kisah keluarga dalam peradaban kota berkembang untuk membentuk lingkaran elite melalui restu raja, pemerintah kolonial, legitimasi lembaga pendidikan modern, atau birokrasi modern. Keluarga adalah penghasil aktor politik. Pewarisan jadi mutlak, pembesaran modal dan kekuasan jadi pengharapan, rekonsiliasi keluarga politik jadi kunci kekuasaan, dan proteksi keluarga merupakan alasan menampik disintegrasi dan atau keruntuhan oleh pihak-pihak eksternal. Keluarga adalah asal, keluarga adalah akhir. Ciri-ciri keluarga politik ini masih tampak dalam panggung politik Indonesia mutakhir.

Politik
Keluarga politik memang bukan cerminan tunggal untuk mengetahui riwayat perubahan keluarga di Indonesia. struktur dan utopia mungkin menebar pengaruh akut, keluarga petani menginginkan jadi keluarga pegawai negeri, keluarga pedagang di pasar “memaksa” anak untuk jadi pengusaha, keluarga priyayi menggerakkan diri jadi birokrat. Ada tendensi keluarga jadi mesin ampuh untuk dekat dengan politik, meraup berkah kekuasaan, memendekkan jarak dengan pusat, dan mengubah nasib-citra keluarga di hadapan keluarga-keluarga lain. Utopia ini merisaukan karena keluarga dalam pengertian fundamental dialihkan sebagai pabrik, perusahaan, atau partai. Semua ini mungkin efek dari ambiguitas dalam mengolah riwayat keluarga tradisional dan kuasa modernitas.
Apakah arogansi keluarga politik bisa menjadi tanda kematian keluarga? Irwan Abdullah (2003) mengeluarkan peringatan keras, keluarga mengalami kematian karena keluarga secara fisik tidak terdefinisikan. Masing-masing anggota keluarga tercabik dan pecah oleh fungsionalisasi diri dan mencari-menemukan persoalan hidup dalam keindividualan. Kabar ini mungkin mengingatkan keluarga masa lalu, keluarga sebagai unit fundamental dalam pembentukan dan pertumbuhan manusia. Abdullah menuduh bahwa intervensi pasar, integrasi pasar, dan ekspansi pasar jadi sebab, pasa sebagai berkah dan kutukan dari modernitas.
Kabar kematian keluarga ini bisa dilacak proses dan detik-detik menjelang ajal. Mengapa nasib keluarga itu tampak berbeda dengan lakon keluarga politik di Indonesia? Keluarga dalam agenda kekuasaan ini justru tampak melakukan pendefinisian dengan dominasi dan hegemoni. Keluarga politik memang rentan pecah kendati kerap membuka jalur pembentukan keluarga-keluarga politik baru. Pembesaran dilakukan secara intensif, konflik jadi pemicu adu otoritas, dan disintegrasi mengusung utopia kekuasaan. Keluarga-keluarga politik kita saat ini masih ingin bergairah mendefinisikan diri dalam rezim kekuasaan dan tampak memburu hasrat jadi legenda. Keluarga-keluarga politik Indonesia memang genit bebarengan dengan “penjinakkan” tema-tema keluarga dalam hidup keseharian kita. Begitu.  

Koran Tempo (19 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar