Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Pendoa dan Pengorbanan Kata

 
Bandung Mawardi

Lakon peradaban dan ancangan masa depan memerlukan doa. Gagasan ini mungkin kuno dibandingkan dengan peran sains, imajinasi, dan teknologi modern. Doa dalam kerangka modernitas mirip “ocehan” atau “ratapan” dari kesibukan manusia mengubah dunia dengan alat, sistem, dan prediksi. Doa mungkin absen dari kematangan manusia mendesain perubahan-perubahan dalam pengukuran dan standarisasi ilmiah.
Doa luput dari takdir zaman? Episode sejarah Ibrahim bisa jadi sanggahan atas pengabaian doa pada arogansi modernitas. Moyang dari tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam) ini memaknai doa sebagai pijakan untuk perubahan. Doa visioner Ibrahim termaktub dalam Al Quran: “Ya, Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh dan jadikanlah aku buah tutur orang-orang yang datang kemudian.”  Doa ini terkabulkan dan menjadi pengajaran bagi umat manusia. Hikmah menjadi ciri dari misi kenabian. Ibrahim pun menjelma tokoh historis fenomenal sepanjang abad sebagai ikon dari keimanan dan pengetahuan. Doa itu menandakan lambaran religiositas dalam lakon peradaban manusia.
Doa visioner Ibrahim mungkin jarang dilafalkan untuk zaman sibuk ini karena tergantikan dengan dalil-dalil sains. Doa seolah sekadar interupsi dari kenestapaan atau kegelisahan dalam kesekaratan nilai-nilai religius dan humanitas. Doa dilantunkan saat manusia mengalami kejatuhan dan gagal menegakkan puncak rasionalitas.

Pendoa
Doa tak sekadar kumpulan kata, tubuh pasrah, atau isak tangis. Doa adalah representasi diri manusia untuk sadar atas keterbatasan dan kemauan menerima berkah dari Tuhan. Doa dilantunkan untuk memberi manusia modal membuat perubahan dan takjub atas keajaiban. Lafal doa menjelma aliran nalar, imajinasi, energi-tubuh melakukan kerja mengubah diri dan dunia. Doa menjelma tanda dari ketidakpermanenan peran dan makna manusia dalam tatanan dunia.
Doa pun mengandung biografi manusia. Kalangan sufi menjadi tokoh-tokoh fenomenal dalam produksi dan pemaknaan doa. Kisah fenomenal Rabi’ah Al Adawiyyah dikenangkan publik sebagai ikon pendoa. Doa dilantunkan mirip puisi-puisi mencekam, menghiba, menantang, meratap, dan memukau. Segala tendensi itu dileburkan dalam cinta. Doa-doa Rabi’ah menandakan kesanggupan dan kepasarhan manusia dalam memahami diri, hidup, dunia, dan Tuhan.
Tokoh kontroversial dari abad VIII mewariskan doa-doa puitis untuk dilantunkan dengan pelbagi variasi oleh kaum sufi dari abad zaman ke zaman. Rabi’ah pernah melafalkan doa-puitis: “Betapa aku ingin mengetahui, apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku. Oleh sebab itu, hiburlah aku karena kata-katamulah yang bisa menghibur keadaanku ini. Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, kata-kata-Mu adalah puncak kemuliaan. Jika Kau hendak mengusirku dari pintu-Mu, akau tak akan meninggalkannya, karena cinta yang kusimpan dalam hatiku terhadap-Mu.” Annemarie Schimmel (1986: 40-41) menganggap doa Rabi’ah ini adalah “doa yang nekat.” Doa dalam tradisi sufi memang identik dengan laku asketik. Mereka hidup dan mati dalam doa.

Kata
Sejarah doa pun dituliskan oleh para penyair dengan pergulatan iman, kata, imajinasi, dan fakta. Doa dan puisi mungkin telah saling merasuki untuk melahirkan kata dan pengharapan. Penyair kerja-kata melantunkan doa sebagai persembahan estetika dan testimoni-religiositas. Penyair-penyair dunia dalam senyap dan girang memberi-mewariskan doa-doa untuk bisa dilantunkan ulang oleh manusia. Penyair-penyair Indonesia pun menuliskan dan mewariskan doa untuk mencatatkan situasi manusia dari zaman ke zaman.
Amir Hamzah dalam puisi Doa mengisahkan:  Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,/ kekasihku?/ Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama/ meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah/ terik./ Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan,/ melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke/ bawah kursimu./ Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang/ memasang lilinnya./ Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap/ malam menyirak kelopak./ Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi/ dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu,/ biar berbinar gelakku rayu. Puisi ini tak sunyi karena ada kehangatan dan intimitas melalui kata untuk membuat pendoa merasa berhadapan dengan Tuhan. Puisi ini adalah kerja-kata dan manifestasi pergumulan iman dengan kemauan mengakrabkan diri dengan Tuhan tanpa formalitas.
Doa lembut ala Amir Hamzah itu mendapati sambungan impresif dari Chairil Anwar dalam puisi Doa (1943). Penyair ini juga menuliskan-melantunkan “doa yang nekat” ala manusia abad XX di sebuah negeri terjajah. Puisi ini hadir dalam keremangan nasib manusia modern dan latar negeri di bawah kolonialisme. Chairil Anwar mengisahkan: Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namaMu// Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh// cayaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. Puisi ini adalah representasi penyair dalam kematangan kata untuk intim dengan Tuhan. Kata mengantarkan pada luluh dan pasrah meggairahkan.  
Kisah para pendoa itu adalah keinginan manusia ada dalam kasih dan berkah dari Tuhan. Pendoa memerlukan hikmah dan suluh untuk mengubah hidup menjadi terang. Annemarie Schimmel (1996: 212) mencatatkan: “Doa adalah inti agama – lex orandi lex credendi. Doa adalah suatu pengorbanan kata.” Doa-doa telah dilantunkan, dilafalkan, dinyanyikan, ditulisakan oleh para pendoa. Pengorbanan kata telah memberi manusia kesadaran tentang diri sebagai makhluk-keterbatasan.
Puisi Doa yang Dipanjatkan (1966) dari Slamet Sukirnanto ini pantas jadi jejak atas antusiasme para penyair-pendoa untuk menakar keterbatasan dan kepasrahan di hadapan Tuhan. Puisi ini mengingatkan atas makna doa dalam tegangan religiositas: Masihkah doa itu dipanjatkan/ Bagai kidung – tembang derita dan kecemasan/ Menolak goda-rencana dan kepahitan/ Dengan rahmat-Mu: terusirlah! Pendoa ini memberi tanda seru di akhir doa sebagai peringatan atas pasrah dan pongah manusia. Begitu.

Radar Surabaya (26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar