Bandung Mawardi
Lakon peradaban dan ancangan masa depan memerlukan doa.
Gagasan ini mungkin kuno dibandingkan dengan peran sains, imajinasi, dan
teknologi modern. Doa dalam kerangka modernitas mirip “ocehan” atau “ratapan”
dari kesibukan manusia mengubah dunia dengan alat, sistem, dan prediksi. Doa
mungkin absen dari kematangan manusia mendesain perubahan-perubahan dalam
pengukuran dan standarisasi ilmiah.
Doa luput dari takdir zaman? Episode sejarah Ibrahim bisa
jadi sanggahan atas pengabaian doa pada arogansi modernitas. Moyang dari tiga
agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam) ini memaknai doa sebagai pijakan untuk
perubahan. Doa visioner Ibrahim termaktub dalam Al Quran: “Ya, Tuhanku,
berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang saleh dan jadikanlah aku buah tutur orang-orang yang datang kemudian.” Doa ini terkabulkan dan menjadi pengajaran
bagi umat manusia. Hikmah menjadi ciri dari misi kenabian. Ibrahim pun menjelma
tokoh historis fenomenal sepanjang abad sebagai ikon dari keimanan dan
pengetahuan. Doa itu menandakan lambaran religiositas dalam lakon peradaban
manusia.
Doa visioner Ibrahim mungkin jarang dilafalkan untuk
zaman sibuk ini karena tergantikan dengan dalil-dalil sains. Doa seolah sekadar
interupsi dari kenestapaan atau kegelisahan dalam kesekaratan nilai-nilai
religius dan humanitas. Doa dilantunkan saat manusia mengalami kejatuhan dan
gagal menegakkan puncak rasionalitas.
Pendoa
Doa tak sekadar kumpulan kata, tubuh pasrah, atau isak
tangis. Doa adalah representasi diri manusia untuk sadar atas keterbatasan dan
kemauan menerima berkah dari Tuhan. Doa dilantunkan untuk memberi manusia modal
membuat perubahan dan takjub atas keajaiban. Lafal doa menjelma aliran nalar,
imajinasi, energi-tubuh melakukan kerja mengubah diri dan dunia. Doa menjelma
tanda dari ketidakpermanenan peran dan makna manusia dalam tatanan dunia.
Doa pun mengandung biografi manusia. Kalangan sufi
menjadi tokoh-tokoh fenomenal dalam produksi dan pemaknaan doa. Kisah fenomenal
Rabi’ah Al Adawiyyah dikenangkan publik sebagai ikon pendoa. Doa dilantunkan
mirip puisi-puisi mencekam, menghiba, menantang, meratap, dan memukau. Segala
tendensi itu dileburkan dalam cinta. Doa-doa Rabi’ah menandakan kesanggupan dan
kepasarhan manusia dalam memahami diri, hidup, dunia, dan Tuhan.
Tokoh kontroversial dari abad VIII mewariskan doa-doa
puitis untuk dilantunkan dengan pelbagi variasi oleh kaum sufi dari abad zaman
ke zaman. Rabi’ah pernah melafalkan doa-puitis: “Betapa aku ingin mengetahui,
apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku. Oleh sebab itu,
hiburlah aku karena kata-katamulah yang bisa menghibur keadaanku ini. Kau telah
memberiku hidup dan menjagaku, kata-kata-Mu adalah puncak kemuliaan. Jika Kau
hendak mengusirku dari pintu-Mu, akau tak akan meninggalkannya, karena cinta
yang kusimpan dalam hatiku terhadap-Mu.” Annemarie Schimmel (1986: 40-41)
menganggap doa Rabi’ah ini adalah “doa yang nekat.” Doa dalam tradisi sufi
memang identik dengan laku asketik. Mereka hidup dan mati dalam doa.
Kata
Sejarah doa pun dituliskan oleh para penyair dengan
pergulatan iman, kata, imajinasi, dan fakta. Doa dan puisi mungkin telah saling
merasuki untuk melahirkan kata dan pengharapan. Penyair kerja-kata melantunkan
doa sebagai persembahan estetika dan testimoni-religiositas. Penyair-penyair
dunia dalam senyap dan girang memberi-mewariskan doa-doa untuk bisa dilantunkan
ulang oleh manusia. Penyair-penyair Indonesia pun menuliskan dan mewariskan doa
untuk mencatatkan situasi manusia dari zaman ke zaman.
Amir Hamzah dalam puisi Doa mengisahkan: Dengan apakah kubandingkan
pertemuan kita,/ kekasihku?/ Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama/
meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah/ terik./ Angin malam mengembus
lemah, menyejuk badan,/ melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke/ bawah
kursimu./ Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang/ memasang lilinnya./
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap/ malam menyirak kelopak./ Aduh,
kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi/ dadaku dengan cahayamu, biar
bersinar mataku sendu,/ biar berbinar gelakku rayu.
Puisi ini tak sunyi karena ada kehangatan dan intimitas melalui kata untuk
membuat pendoa merasa berhadapan dengan Tuhan. Puisi ini adalah kerja-kata dan
manifestasi pergumulan iman dengan kemauan mengakrabkan diri dengan Tuhan tanpa
formalitas.
Doa lembut ala Amir Hamzah itu mendapati sambungan impresif dari
Chairil Anwar dalam puisi Doa (1943). Penyair ini juga
menuliskan-melantunkan “doa yang nekat” ala manusia abad XX di sebuah negeri
terjajah. Puisi ini hadir dalam keremangan nasib manusia modern dan latar
negeri di bawah kolonialisme. Chairil Anwar mengisahkan: Tuhanku/ Dalam
termangu/ Aku masih menyebut namaMu// Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh
seluruh// cayaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// Tuhanku/ aku
hilang bentuk/ remuk// Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di
pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. Puisi ini adalah
representasi penyair dalam kematangan kata untuk intim dengan Tuhan. Kata
mengantarkan pada luluh dan pasrah meggairahkan.
Kisah para pendoa itu adalah keinginan manusia ada dalam kasih dan
berkah dari Tuhan. Pendoa memerlukan hikmah dan suluh untuk mengubah hidup
menjadi terang. Annemarie Schimmel (1996: 212) mencatatkan: “Doa adalah inti
agama – lex orandi lex credendi. Doa adalah suatu pengorbanan kata.”
Doa-doa telah dilantunkan, dilafalkan, dinyanyikan, ditulisakan oleh para
pendoa. Pengorbanan kata telah memberi manusia kesadaran tentang diri sebagai
makhluk-keterbatasan.
Puisi Doa yang Dipanjatkan (1966) dari Slamet Sukirnanto ini
pantas jadi jejak atas antusiasme para penyair-pendoa untuk menakar
keterbatasan dan kepasrahan di hadapan Tuhan. Puisi ini mengingatkan atas makna
doa dalam tegangan religiositas: Masihkah doa itu dipanjatkan/ Bagai kidung
– tembang derita dan kecemasan/ Menolak goda-rencana dan kepahitan/ Dengan
rahmat-Mu: terusirlah! Pendoa ini memberi tanda seru di akhir doa sebagai
peringatan atas pasrah dan pongah manusia. Begitu.
Radar Surabaya (26 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar