Bandung Mawardi
Judul : Garis Perempuan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetak : 2010
Tebal : 378 Halaman
Novel ini menyapa pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan
pelik untuk menemukan jawab karena ada keterpaksaan dan pilihan-pilihan
dilematis. Pengarang menyuguhkan empat kisah perempuan dengan jalan hidup
berbeda tapi memiliki titik temu pada ikhtiar menjawab sekian perkara hidup
dalam perspektif perempuan. Pamrih penyadaran gender dan penobatan perempuan
sebagai pelaku atau korban dari konstruksi sosial-kultural kental dalam novel
ini kendati tidak mengesankan propaganda.
Pengarang peka dengan pernik-pernik kehidupan kaum
perempuan dari kalangan miskin dan ningrat. Pengisahan empat perempuan juga
mencerminkan kesadaran pengarang terhadap pergaulan sosial dalam perbedaan
etnis dan ideologi kultural. Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey hadir
sebagai tokoh-tokoh perempuan pemberani tapi harus dihadapkan pada tragedi
sebagai konsekuensi pertentangan idealitas dengan realitas. Pertanyaan awal
sebagai titik temu empat tokoh perempuan itu ketika masih bocah: “Apa artinya
menjadi perawan?”
Keperawanan
Empat tokoh perempuan menyimpan keterangan tentang
keperawanan dalam acuan normativitas sosial. Pengetahuan itu kelak diuji dengan
pelbagai peristiwa dan pilihan untuk memutuskan mempertahankan atau menyerahkan
keperawanan. Masing-masing memberi jawaban dilematis karena pemahaman
bertabrakan dengan fakta-fakta ekonomi, sosial, dan kultural. Makna keperawanan
menjadi rebutan atas nama kepentingan individu, keluarga, kekasih, suami, dan
publik.
Kisah Ranting merupakan ironi dari kelemahan perempuan
dan keperkasaan perempuan untuk memaknai diri. Ranting hidup dalam keluarga
miskin. Kondisi ekonomi tak memungkinkan Ranting melakukan pilihan atas nama
idealitas individual. Dilema muncul ketika ibu Ranting menanggung sakit tapi
tak ada uang untuk berobat. Godaan lekas menyergap Ranting melalu kehadiran Pak
Basudewo. Lelaki kaya ini menghendaki Ranting mau menjadi istri ketiga dengan
konsekuensi Pak Basudewo menanggung operasi ibu Ranting.
Pengarang memang seperti mengajukan kisah klise mengenai
kawin paksa gara-gara uang dan derita. Ranting pun mau menikah dengan Pak
Basudewo dengan menyimpan dendam karena harga keperawanan dan kesucian jatuh
gara-gara kekuatan uang. Ranting menghargai peristiwa persetubuhan dengan uang
senilai pelayanan pelacur untuk bisa menebus utang. Persetubuhan mesti
dilakukan selama seratus kali agar utang lunas. Perlawanan ini dikehendaki
meski terpaksa sebab perempuan memiliki hak untuk memilih dan menanggung risiko
dari sekian pemikiran-perbuatan. Ranting telah melawan dalam bayang-bayang
konstruksi sosial patriarki.
Uang dan keperawanan memang masalah lawas tapi terus saja
menjadi tanda aktual dari perubahan zaman. Kaum perempuan kadang disergap oleh
uang sebagai godaan atau kutukan karena dikehendaki atau keterpaksaan. Hal
berbeda dialami dalam jalan hidup Gendhing. Hidup dalam keluarga miskin membuat
Gendhing tak sanggup melambungkan angan mencapai tataran tertinggi dalam
pengertian pendidikan dan pekerjaan. Fakta kemiskinan dan nilai keperawanan
memaksa Gendhing membuat keputusan dilematis karena harus menanggungkan nasib
keluarga dan kesucian diri.
Gendhing gagal melanjutkan jenjang pendidikan ke
perguruan tinggi karena tak ada dana.
Bekerja mencari uang di salon untuk membantu orang tua menjadi pilihan logis.
Godaan menimpa Gendhing ketika ada pelanggan seorang pengusaha (Indragiri)
menaruh hati. Gendhing mencoba menghindar tapi susah karena lelaki itu intensif
melancarkan godaan pada saat Gendhing suntuk mencari arti diri. Godaan memuncak
gara-gara ibu Gendhing terlilit utang pada rentenir. Gendhing terpaksa harus
membuat keputusan untuk menyelamatkan nasib keluarga meski dengan taruhan cinta
dan keperawanan. Gendhing menemui takdir pelik.
Keputusan memuncak pada refleksi diri mengenai harga diri
perempuan, uang, keluarga, dan kemiskinan. Gendhing melakukan perlawanan atas
nama kesadaran diri sebagai perempuan: “Yang kuperlukan saat ini adalah
keberanian menjalani risiko dari sebuah pilihan. Pilihan yang batangkali akan
memerangkapku selamanya dalam takdir kemiskinan, tapi akan kujalani kemiskinan
itu dengan berani. Kemiskinan yang tidak akan membuatku menyerah dan
memasrahkan keperempuananku pada sebuah nilai berdasar ukuran materi belaka.”
Refleksi ini merupakan imbas dari dilema kaum perempuan miskin ketika harus
menghargai keperawanan dan kuasa uang dalam jeratan kemelut kemiskinan.
Godaan dan Perlawanan
Tawangsri pun mengisahkan diri sebagai perempuan dari
keluarga berkecukupan tapi mesti mengalami godaan dalam pemaknaan keperawanan,
cinta, dan trauma keluarga. Tawangsri tumbuh dengan ketimpangan kasih dari
sosok ayah dan ibu. Ibu merupakan penopang dari kehidupan keluarga tapi harus
menanggung derita karena sosok ayah menuruti egoisme dan melakukan sejenis
pengkhianatan terhadap keluarga. Norma-norma konservatif membuat ibu Tawangsri
sanggup menempuhi nasib hidup dengan pasrah dan sedikit keluhan. Tawangsri tak
bisa menerima kondisi itu dan mulai melancarkan perlawanan demi harga diri
perempuan.
Perlawanan itu menemukan pembenaran pada sosok lelaki
beranak satu. Pertemuan tidak sengaja seperti menunjukkan jalan takdir untuk
melabuhkan cinta dan menguji makna keperawanan. Sosok lelaki itu membuat
Tawangsri merindui kasih ayah. Bayangan masa lampau hendak dilunasi dengan
memasrahkan diri dalam belaian kasih seorang lelaki duda dengan kesadaran.
Lekaki bernama Jenggala itu memenuhi kerinduan dan angan Tawangsri atas
idealitas lelaki dan ayah. Godaan memuncak ketika keluarga Tawangsri dalam
kemelut. Hubungan dengan Jenggala menjadi jalan menemukan diri dan menunjukkan
perlawanan atas segala derita. Tawangsri pun memburu jawaban pada sosok dan
belaian kasih Jenggala.
Kisah akhir menampilkan sosok Zhang Mey. Perempuan dari
keluarga mapan ini mengalami kisah cinta pahit karena kehendak keluarga dan
kepentingan atas nama etnisitas. Kisah percintaan dengan tenggar terhenti demi
pemaknaan tradisi keluarga. Zhang Mey sadar dengan dilema ini meski kesadaran
sebagai perempuan modern menuntut ada kehendak bebas. Gairah cinta tak bisa
mengalahkan tradisi keluarga. Zhang Mey pun memberanikan diri melakukan
pemaknaan ulang atas keperawanan dengan pemasrahan diri terhadap Jenggar.
Novel ini lincah menampilkan godaan-godaan dalam pilihan
kaum perempuan untuk memaknai keperawanan dan hidup. Pengarang telah mengajukan
dilema dan ikhtiar mencari solusi dalam kegetiran pengorbanan dan risiko
perlawanan. Jalan hidup Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey
mengingatkan pembaca bahwa derita perempuan belum usai tapi kesadaran untuk
melawan terus ada dalam perubahan zaman. Novel Garis Perempuan
menjadi refleksi dan pengingat atas pemaknaan keperawanan dan harga (diri)
perempuan. Begitu.
Lampung Post (19 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar