Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Menakar Harga (Diri) Perempuan


Bandung Mawardi

Judul            : Garis Perempuan
Penulis         : Sanie B. Kuncoro
Penerbit       : Bentang, Yogyakarta
Cetak           : 2010
Tebal           : 378 Halaman

Novel ini menyapa pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan pelik untuk menemukan jawab karena ada keterpaksaan dan pilihan-pilihan dilematis. Pengarang menyuguhkan empat kisah perempuan dengan jalan hidup berbeda tapi memiliki titik temu pada ikhtiar menjawab sekian perkara hidup dalam perspektif perempuan. Pamrih penyadaran gender dan penobatan perempuan sebagai pelaku atau korban dari konstruksi sosial-kultural kental dalam novel ini kendati tidak mengesankan propaganda.
Pengarang peka dengan pernik-pernik kehidupan kaum perempuan dari kalangan miskin dan ningrat. Pengisahan empat perempuan juga mencerminkan kesadaran pengarang terhadap pergaulan sosial dalam perbedaan etnis dan ideologi kultural. Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey hadir sebagai tokoh-tokoh perempuan pemberani tapi harus dihadapkan pada tragedi sebagai konsekuensi pertentangan idealitas dengan realitas. Pertanyaan awal sebagai titik temu empat tokoh perempuan itu ketika masih bocah: “Apa artinya menjadi perawan?”

Keperawanan
Empat tokoh perempuan menyimpan keterangan tentang keperawanan dalam acuan normativitas sosial. Pengetahuan itu kelak diuji dengan pelbagai peristiwa dan pilihan untuk memutuskan mempertahankan atau menyerahkan keperawanan. Masing-masing memberi jawaban dilematis karena pemahaman bertabrakan dengan fakta-fakta ekonomi, sosial, dan kultural. Makna keperawanan menjadi rebutan atas nama kepentingan individu, keluarga, kekasih, suami, dan publik.
Kisah Ranting merupakan ironi dari kelemahan perempuan dan keperkasaan perempuan untuk memaknai diri. Ranting hidup dalam keluarga miskin. Kondisi ekonomi tak memungkinkan Ranting melakukan pilihan atas nama idealitas individual. Dilema muncul ketika ibu Ranting menanggung sakit tapi tak ada uang untuk berobat. Godaan lekas menyergap Ranting melalu kehadiran Pak Basudewo. Lelaki kaya ini menghendaki Ranting mau menjadi istri ketiga dengan konsekuensi Pak Basudewo menanggung operasi ibu Ranting.
Pengarang memang seperti mengajukan kisah klise mengenai kawin paksa gara-gara uang dan derita. Ranting pun mau menikah dengan Pak Basudewo dengan menyimpan dendam karena harga keperawanan dan kesucian jatuh gara-gara kekuatan uang. Ranting menghargai peristiwa persetubuhan dengan uang senilai pelayanan pelacur untuk bisa menebus utang. Persetubuhan mesti dilakukan selama seratus kali agar utang lunas. Perlawanan ini dikehendaki meski terpaksa sebab perempuan memiliki hak untuk memilih dan menanggung risiko dari sekian pemikiran-perbuatan. Ranting telah melawan dalam bayang-bayang konstruksi sosial patriarki.
Uang dan keperawanan memang masalah lawas tapi terus saja menjadi tanda aktual dari perubahan zaman. Kaum perempuan kadang disergap oleh uang sebagai godaan atau kutukan karena dikehendaki atau keterpaksaan. Hal berbeda dialami dalam jalan hidup Gendhing. Hidup dalam keluarga miskin membuat Gendhing tak sanggup melambungkan angan mencapai tataran tertinggi dalam pengertian pendidikan dan pekerjaan. Fakta kemiskinan dan nilai keperawanan memaksa Gendhing membuat keputusan dilematis karena harus menanggungkan nasib keluarga dan kesucian diri.
Gendhing gagal melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi  karena tak ada dana. Bekerja mencari uang di salon untuk membantu orang tua menjadi pilihan logis. Godaan menimpa Gendhing ketika ada pelanggan seorang pengusaha (Indragiri) menaruh hati. Gendhing mencoba menghindar tapi susah karena lelaki itu intensif melancarkan godaan pada saat Gendhing suntuk mencari arti diri. Godaan memuncak gara-gara ibu Gendhing terlilit utang pada rentenir. Gendhing terpaksa harus membuat keputusan untuk menyelamatkan nasib keluarga meski dengan taruhan cinta dan keperawanan. Gendhing menemui takdir pelik.
Keputusan memuncak pada refleksi diri mengenai harga diri perempuan, uang, keluarga, dan kemiskinan. Gendhing melakukan perlawanan atas nama kesadaran diri sebagai perempuan: “Yang kuperlukan saat ini adalah keberanian menjalani risiko dari sebuah pilihan. Pilihan yang batangkali akan memerangkapku selamanya dalam takdir kemiskinan, tapi akan kujalani kemiskinan itu dengan berani. Kemiskinan yang tidak akan membuatku menyerah dan memasrahkan keperempuananku pada sebuah nilai berdasar ukuran materi belaka.” Refleksi ini merupakan imbas dari dilema kaum perempuan miskin ketika harus menghargai keperawanan dan kuasa uang dalam jeratan kemelut kemiskinan.

Godaan dan Perlawanan
Tawangsri pun mengisahkan diri sebagai perempuan dari keluarga berkecukupan tapi mesti mengalami godaan dalam pemaknaan keperawanan, cinta, dan trauma keluarga. Tawangsri tumbuh dengan ketimpangan kasih dari sosok ayah dan ibu. Ibu merupakan penopang dari kehidupan keluarga tapi harus menanggung derita karena sosok ayah menuruti egoisme dan melakukan sejenis pengkhianatan terhadap keluarga. Norma-norma konservatif membuat ibu Tawangsri sanggup menempuhi nasib hidup dengan pasrah dan sedikit keluhan. Tawangsri tak bisa menerima kondisi itu dan mulai melancarkan perlawanan demi harga diri perempuan.
Perlawanan itu menemukan pembenaran pada sosok lelaki beranak satu. Pertemuan tidak sengaja seperti menunjukkan jalan takdir untuk melabuhkan cinta dan menguji makna keperawanan. Sosok lelaki itu membuat Tawangsri merindui kasih ayah. Bayangan masa lampau hendak dilunasi dengan memasrahkan diri dalam belaian kasih seorang lelaki duda dengan kesadaran. Lekaki bernama Jenggala itu memenuhi kerinduan dan angan Tawangsri atas idealitas lelaki dan ayah. Godaan memuncak ketika keluarga Tawangsri dalam kemelut. Hubungan dengan Jenggala menjadi jalan menemukan diri dan menunjukkan perlawanan atas segala derita. Tawangsri pun memburu jawaban pada sosok dan belaian kasih Jenggala.
Kisah akhir menampilkan sosok Zhang Mey. Perempuan dari keluarga mapan ini mengalami kisah cinta pahit karena kehendak keluarga dan kepentingan atas nama etnisitas. Kisah percintaan dengan tenggar terhenti demi pemaknaan tradisi keluarga. Zhang Mey sadar dengan dilema ini meski kesadaran sebagai perempuan modern menuntut ada kehendak bebas. Gairah cinta tak bisa mengalahkan tradisi keluarga. Zhang Mey pun memberanikan diri melakukan pemaknaan ulang atas keperawanan dengan pemasrahan diri terhadap Jenggar.
Novel ini lincah menampilkan godaan-godaan dalam pilihan kaum perempuan untuk memaknai keperawanan dan hidup. Pengarang telah mengajukan dilema dan ikhtiar mencari solusi dalam kegetiran pengorbanan dan risiko perlawanan. Jalan hidup Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey mengingatkan pembaca bahwa derita perempuan belum usai tapi kesadaran untuk melawan terus ada dalam perubahan zaman. Novel Garis Perempuan menjadi refleksi dan pengingat atas pemaknaan keperawanan dan harga (diri) perempuan. Begitu.    

Lampung Post (19 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar