Laman

Kamis, 23 September 2010

Foto Mengisahkan Manusia


Bandung Mawardi

Cara mengenali pengarang kerap mengacu pada kata. Pengakuan diri atau segala hal dengan acuan diri dituliskan dan diberikan pada pembaca untuk dinikmati sebagai pintu masuk membaca dan menilia manusia. kehadiran teks-teks sastra merepresentasikan kekuatan kreatif pengarang tapi tak bisa utuh mengisahkan diri pengarang. Pelacakan atas segala hal diri pengarang biasa dibeberkan dalam buku biografi atau otobiografi.
Jean-Paul Sartre dalam Les Mots, Orhan Pamuk dalam Istanbul, dan Edward W. Said dalam Out of Place mengisahkan diri dengan timbunan kata. Bab-bab dalam buku mereka sama-sama memberi perhatian atas makna kehadiran foto sebagai kunci mengisahkan diri dan keluarga. Foto mengantarkan mereka pada imajinasi masa lalu untuk tahu silsilah, situasi zaman, dan karakter manusia. Foto pada kehidupan si pengarang adalah tanda dalam pengelanaan masa lalu dan energi penciptaan imajinasi masa depan.
Sartre dalam kalimat-kalimat keras mengisahkan diri melalui profil kakek. Sartre menganggap si kakek merupakan korban dari penemuan mutakhir: fotografi dan seni menjadi kakek. Fotografi telah ikut menentukan perubahan dan kemapanan karakter kakek sebagai lelaki dengan sekian ambisi. Narasi Sartre bisa jadi sejenis nostalgia satire: “... dia suka berpose dan menyusun tablo hidup; apa saja dijadikannya dalih untuk mendadak mengambangkan suatu gerak, membeku di dalam sikap indah tertentu, seolah-olah membatu.”
Sartre memang tak mengalami saat-saat si kakek merasai nikmat dan kecanduan dengan penemuan fotografi. Sartre sekadar membuat pembayangan melalui perantaraan pose-pose dan ekspresi wajah si kakek. Bahasa foto itu telah membuncahkan sekian tafsir dan konklusi: “Dia sangat keranjingan saat-saat pendek yang melestarikan dirinya itu, saat ketika dia menyulap diri menjadi patung dirinya sendiri.” Kesuntukkan membuka dan membaca foto-foto kakek mengantarkan Sartre melihat foto diri sendiri ketika usia lima tahun. Foto bersama kakek itu telah mengabarkan masa lalu Sartre dalam kegenitan dan kasih kakek. Sartre menemukan diri melalui foto. Sartre menemukan diri dalam narasi panjang silsilah keluarga melalui adegan-adegan di foto.
Nostalgia keluarga pun dikisahkan dengan apik oleh Said melalui foto ayah. Said mendapati kisah bahwa ibu menyimpan dua foto si ayah ketika mengenakan seragam militer. Dua foto itu memberi legitimasi mengenai karakter ayah dan otoritas ayah terhadap keluarga dan bangsa. Said jadi penasaran dengan kisah ayah ketika perang. Jawaban-jawaban diberikan tapi pelit dan membuat Said susah menembus selubung biografi ayah dan orang-orang terdekat sezaman dengan ayah. Foto telah menyimpan misteri.
Misteri lumayan tersibak ketika Said memandangi foto keluarga dalam pelbagai poses dan beda waktu. Said kecil tampak menikmati diri ketika difoto dan menampilkan diri dalam wajah sumringah. Said kecil seperti telah menyimpan optimisme untuk menjalani hidup dengan suka cita kendati sejak kecil telah diliputi misteri dan identitas paradoks. Said mafhum dengan misteri pelik ini tapi kehadiran diri di foto seperti jadi penggalan-penggalan untuk bisa menemukan ikatan-ikatan dengan masa lalu terkait keluarga, bangsa, kondisi zaman, dan karakterisasi diri.
Nasib apes dialami Said gara-gara foto ketika ia sudah dikenal sebagai intelektual papan atas di dunia. Kisah pedih ini diungkapkan Said dalam esai kecil “Freud, Zionis, dan Wina.” Said suatu hari melakukan kunjungan ke Lebanon untuk mengingat jejak-jejak perang Israel-Lebanon pada tahun 1980-an. Said tidak tahu pada momen ia melempar batu-batu kecil di daerah perbatasan bersama sekian anak muda sebagai suatu “keisengan.” Adegan ini berhasil dijepret oleh fotografer dan disebarkan ke pelbagai koran di Israel dan dunia dengan narasi fitnah. Said dalam foto itu dikatakan sebagai “teroris penyambit batu” dan “pria gila kekrasan”. Foto telah menghancurkan reputasi Said dan kebohongan tersiar dengan mudah untuk dipercayai siapa saja. Ironis!
Pengalaman historis dan puitis atas foto justru dialami Pamuk ketika mengisahkan diri melalui kegemaran keluarga mendokumentasikan diri dalam foto. Pajangan foto selalu menghiasi rumah keluarga Pamuk. Tata letak foto menggambarkan posisi dan peran sesorang dalam sejarah keluarga. Kesadaran atas makna foto tampak dari tata ruang rumah dan kehadiran foto-foto anggota keluarga ketika masih keil sampai menjadi tua. Pamuk  mengungkapkan: “Setelah mengamati foto-foto ini, saya jadi menghargai pentingnya melestarikan saat-saat tertentu untuk generasi yang akan datang, dan seiring waktu berlalu saya pun menyadari betapa kuatnya pengaruh gambar-gambar di dalam bingkai ini terhadap kami tatkala kami menjalani kehidupan sehari-hari.”
Kesadaran itu juga diselipi dengan keinginan naif: “... betapa jauh lebih menyenangkannya kehidupan di luar bingkai foto.” Pamuk ingin bahwa pengalaman hidup tidak harus terjepret dan menjadi foto sebagai pamrih mengabadikan. Momentum untuk mengalami peristiwa jadi penting dinikmati tanpa harus terganggu oleh poses-pose tak alami dan kerap berlebihan demi kesempurnaan hasil jepretan.  Foto menjadi dilema atas peristiwa dan makna kehadiran manusia.
Pamuk dalam Istanbul memang dominan memakai kekuatan kata untuk mengisahkan kota dan diri. Pengisahan ini menjadi utuh dan intim karena Pamuk menampilkan pelbagai foto dari masa-masa berbeda mengenai kota. Foto hadir dengan bahasa visual dan pemicu imajinasi untuk mengantarkan pembaca pada pengenalan tanda-tanda kota Istanbul. Kota itu tampil dengan wajah-wajah tidak stabil dan mengesankan karena harus selalu bisa menyelesaikan pertemuan pengaruh dari Timur dan Barat. Istanbul menerjemahkan diri dari dua sumber besar. Kondisi ini membuat manusia-manusia di Istanbul pun harus sadar identitas. Pamuk bergulat dengan sekian persoalan pelik untuk sampai pada pemahaman identitas kultural dan petualangan sastra-intelektual.
Sartre, Said, dan Pamuk telah mengisahkan diri dengan foto. Foto-foto dalam kehidupan mereka juga telah mengisahkan pelbagai hal tentang manusia dan sejarah dunia. Foto mengungkap misteri tapi juga memiliki selubung-slubung misteri untuk selalu ditafsirkan. Foto sebagai proyek nostalgia kerap membuat orang sadar diri dengan masa lalu. Kesadaran mengabadikan diri dengan difoto pun mengisyaratkan ada ikhtiar menciptakan kisah masa depan. Foto hadir dengan serpihan-serpihan makna esksitensialis ketika manusia sadar melihat diri di lembarang atau bingkai foto.
Foto sebagai tanda telah memberi pintu masuk pada siapa saja menemukan diri atau malah menghilangkan diri ketika susah membedakan kenikmatan mengalami dalam peristiwa atau menunda pemberian makna dengan foto. Zaman visual telah memerangkap manusia pada kesadaran-kesadaran artifisial. Otentisitas diri mulai kabur karena segala hal mesti terbahasakan dengan foto. Pemaknaan atas foto mengalami bias karena represi dari motif-motif untuk pencitraan berlebihan. Citra telah jadi candu. Foto dipaksa untuk cerewet. Foto pun mulai mengisahkan manusia sampai lelah. Begitu.
      
Majalah Gong No 119/XI/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar