Bandung Mawardi
Cara mengenali pengarang kerap mengacu pada
kata. Pengakuan diri atau segala hal dengan acuan diri dituliskan dan diberikan
pada pembaca untuk dinikmati sebagai pintu masuk membaca dan menilia manusia.
kehadiran teks-teks sastra merepresentasikan kekuatan kreatif pengarang tapi
tak bisa utuh mengisahkan diri pengarang. Pelacakan atas segala hal diri
pengarang biasa dibeberkan dalam buku biografi atau otobiografi.
Jean-Paul Sartre dalam Les Mots,
Orhan Pamuk dalam Istanbul, dan Edward W. Said dalam Out of Place
mengisahkan diri dengan timbunan kata. Bab-bab dalam buku mereka sama-sama
memberi perhatian atas makna kehadiran foto sebagai kunci mengisahkan diri dan
keluarga. Foto mengantarkan mereka pada imajinasi masa lalu untuk tahu
silsilah, situasi zaman, dan karakter manusia. Foto pada kehidupan si pengarang
adalah tanda dalam pengelanaan masa lalu dan energi penciptaan imajinasi masa
depan.
Sartre dalam kalimat-kalimat keras mengisahkan
diri melalui profil kakek. Sartre menganggap si kakek merupakan korban dari
penemuan mutakhir: fotografi dan seni menjadi kakek. Fotografi telah ikut
menentukan perubahan dan kemapanan karakter kakek sebagai lelaki dengan sekian
ambisi. Narasi Sartre bisa jadi sejenis nostalgia satire: “... dia suka berpose
dan menyusun tablo hidup; apa saja dijadikannya dalih untuk mendadak
mengambangkan suatu gerak, membeku di dalam sikap indah tertentu, seolah-olah
membatu.”
Sartre memang tak mengalami saat-saat si kakek
merasai nikmat dan kecanduan dengan penemuan fotografi. Sartre sekadar membuat
pembayangan melalui perantaraan pose-pose dan ekspresi wajah si kakek. Bahasa
foto itu telah membuncahkan sekian tafsir dan konklusi: “Dia sangat keranjingan
saat-saat pendek yang melestarikan dirinya itu, saat ketika dia menyulap diri
menjadi patung dirinya sendiri.” Kesuntukkan membuka dan membaca foto-foto
kakek mengantarkan Sartre melihat foto diri sendiri ketika usia lima tahun.
Foto bersama kakek itu telah mengabarkan masa lalu Sartre dalam kegenitan dan
kasih kakek. Sartre menemukan diri melalui foto. Sartre menemukan diri dalam
narasi panjang silsilah keluarga melalui adegan-adegan di foto.
Nostalgia keluarga pun dikisahkan dengan apik
oleh Said melalui foto ayah. Said mendapati kisah bahwa ibu menyimpan dua foto
si ayah ketika mengenakan seragam militer. Dua foto itu memberi legitimasi
mengenai karakter ayah dan otoritas ayah terhadap keluarga dan bangsa. Said
jadi penasaran dengan kisah ayah ketika perang. Jawaban-jawaban diberikan tapi
pelit dan membuat Said susah menembus selubung biografi ayah dan orang-orang
terdekat sezaman dengan ayah. Foto telah menyimpan misteri.
Misteri lumayan tersibak ketika Said memandangi
foto keluarga dalam pelbagai poses dan beda waktu. Said kecil tampak menikmati
diri ketika difoto dan menampilkan diri dalam wajah sumringah. Said kecil
seperti telah menyimpan optimisme untuk menjalani hidup dengan suka cita
kendati sejak kecil telah diliputi misteri dan identitas paradoks. Said mafhum
dengan misteri pelik ini tapi kehadiran diri di foto seperti jadi
penggalan-penggalan untuk bisa menemukan ikatan-ikatan dengan masa lalu terkait
keluarga, bangsa, kondisi zaman, dan karakterisasi diri.
Nasib apes dialami Said gara-gara foto ketika ia
sudah dikenal sebagai intelektual papan atas di dunia. Kisah pedih ini
diungkapkan Said dalam esai kecil “Freud, Zionis, dan Wina.” Said suatu hari
melakukan kunjungan ke Lebanon untuk mengingat jejak-jejak perang
Israel-Lebanon pada tahun 1980-an. Said tidak tahu pada momen ia melempar
batu-batu kecil di daerah perbatasan bersama sekian anak muda sebagai suatu
“keisengan.” Adegan ini berhasil dijepret oleh fotografer dan disebarkan ke
pelbagai koran di Israel dan dunia dengan narasi fitnah. Said dalam foto itu
dikatakan sebagai “teroris penyambit batu” dan “pria gila kekrasan”. Foto telah
menghancurkan reputasi Said dan kebohongan tersiar dengan mudah untuk
dipercayai siapa saja. Ironis!
Pengalaman historis dan puitis atas foto justru
dialami Pamuk ketika mengisahkan diri melalui kegemaran keluarga
mendokumentasikan diri dalam foto. Pajangan foto selalu menghiasi rumah
keluarga Pamuk. Tata letak foto menggambarkan posisi dan peran sesorang dalam
sejarah keluarga. Kesadaran atas makna foto tampak dari tata ruang rumah dan
kehadiran foto-foto anggota keluarga ketika masih keil sampai menjadi tua.
Pamuk mengungkapkan: “Setelah mengamati
foto-foto ini, saya jadi menghargai pentingnya melestarikan saat-saat tertentu
untuk generasi yang akan datang, dan seiring waktu berlalu saya pun menyadari
betapa kuatnya pengaruh gambar-gambar di dalam bingkai ini terhadap kami
tatkala kami menjalani kehidupan sehari-hari.”
Kesadaran itu juga diselipi dengan keinginan
naif: “... betapa jauh lebih menyenangkannya kehidupan di luar bingkai foto.”
Pamuk ingin bahwa pengalaman hidup tidak harus terjepret dan menjadi foto
sebagai pamrih mengabadikan. Momentum untuk mengalami peristiwa jadi penting
dinikmati tanpa harus terganggu oleh poses-pose tak alami dan kerap berlebihan
demi kesempurnaan hasil jepretan. Foto
menjadi dilema atas peristiwa dan makna kehadiran manusia.
Pamuk dalam Istanbul memang dominan memakai
kekuatan kata untuk mengisahkan kota dan diri. Pengisahan ini menjadi utuh dan
intim karena Pamuk menampilkan pelbagai foto dari masa-masa berbeda mengenai
kota. Foto hadir dengan bahasa visual dan pemicu imajinasi untuk mengantarkan
pembaca pada pengenalan tanda-tanda kota Istanbul. Kota itu tampil dengan
wajah-wajah tidak stabil dan mengesankan karena harus selalu bisa menyelesaikan
pertemuan pengaruh dari Timur dan Barat. Istanbul menerjemahkan diri dari dua
sumber besar. Kondisi ini membuat manusia-manusia di Istanbul pun harus sadar
identitas. Pamuk bergulat dengan sekian persoalan pelik untuk sampai pada pemahaman
identitas kultural dan petualangan sastra-intelektual.
Sartre, Said, dan Pamuk telah mengisahkan diri
dengan foto. Foto-foto dalam kehidupan mereka juga telah mengisahkan pelbagai
hal tentang manusia dan sejarah dunia. Foto mengungkap misteri tapi juga
memiliki selubung-slubung misteri untuk selalu ditafsirkan. Foto sebagai proyek
nostalgia kerap membuat orang sadar diri dengan masa lalu. Kesadaran
mengabadikan diri dengan difoto pun mengisyaratkan ada ikhtiar menciptakan
kisah masa depan. Foto hadir dengan serpihan-serpihan makna esksitensialis
ketika manusia sadar melihat diri di lembarang atau bingkai foto.
Foto sebagai tanda telah memberi pintu masuk
pada siapa saja menemukan diri atau malah menghilangkan diri ketika susah
membedakan kenikmatan mengalami dalam peristiwa atau menunda pemberian makna
dengan foto. Zaman visual telah memerangkap manusia pada kesadaran-kesadaran
artifisial. Otentisitas diri mulai kabur karena segala hal mesti terbahasakan
dengan foto. Pemaknaan atas foto mengalami bias karena represi dari motif-motif
untuk pencitraan berlebihan. Citra telah jadi candu. Foto dipaksa untuk
cerewet. Foto pun mulai mengisahkan manusia sampai lelah. Begitu.
Majalah Gong No 119/XI/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar